"Em, maaf, bukan maksud apa-apa. Tapi barangkali mau merapikan kembali hijabnya. Rambutnya kelihatan sedikit." Pria itu tersenyum. Ya Allah, dia tampan sekali."Gimana?" tanyanya membuatku gelagapan karena malah melamun."Em, i-iya.""Saya antar, ya?" Aku menunduk, kemudian mengangguk malu-malu.Pria itu sungguh-sungguh menungguiku selama aku di toilet. Saat aku keluar, dia yang belum menyadari kehadiranku masih duduk di atas batu sambil membelakangi. Dia benar-benar pria yang baik. "Sudah," ucapku membuatnya menoleh.Pria itu tersenyum sesaat, namun lama kelamaan senyumannya pudar. Kedua matanya menatapku dengan ... lekat. Aku sampai salah tingkah sendiri melihatnya seperti itu. "Em, Mas?" Aku melambaikan tangan di depannya. "Astaghfirullohal'adziim..." lirih pria itu sambil mengusap wajahnya. Dia tersenyum lagi padaku, lalu menggelengkan kepala tanpa berhenti tersenyum. Tiba-tiba ada yang menghangat dalam dada ini melihat sikapnya. Ya Allah ... "Kamu menyelamatkannya dari bapa
Kedua laki-laki itu menatap mobil dengan heran. Ya, mereka pasti tertarik dengan keadaan mobil yang terus bergerak-gerak bagai diguncang gempa. "Tolooong... Tolooong...!" Tak menyiakan waktu, aku langsung berteriak sekuat tenaga sampai tenggorokanku sakit. Ku dorong pria botak di depanku sampai membentur kaca jendela, untuk semakin menarik perhatian mereka yang berada tepat di belakang Daka. Dirasa tanganku sampai, dengan segera ku gedor kaca jendela sambil terus berteriak-teriak. Setidaknya mereka melihat telapak tanganku di kaca yang memberi isyarat."Sialan!" umpat Daka dengan wajah panik menyadari ada orang yang kini di dekat kami.Plak! Tamparan kedua benar-benar mendarat di pipiku dengan lebih keras. Pandanganku berkunang-kunang."Wah, gila sih ini," ucap laki-laki itu yang dapat ku dengar. Dia mondar mandir ke sana kemari entah mencari apa. Sedangkan satu pemuda lagi hanya menyaksikan aksi temannya sambil berdiri bersandar pada mobil dengan santai."Tolooong ..." lirihku de
Kini waktu yang dinantikan tiba. Aku sudah bersiap, membawa cukup banyak baju ganti karena jaraknya yang memang jauh. Salah satu teman menawariku untuk menginap beberapa hari di rumahnya. Walau sungkan, tapi akhirnya aku setuju juga.Perjalanan sangat menyita waktu, 5 jam ke depan baru akan sampai di terminal. Entahlah, Allah mentakdirkan ku untuk punya teman baru yang terhalang jarak.Saat aku hendak mengirim chat ke Jihan, tiba-tiba beberapa orang laki-laki menyeret ku ke tempat sepi. Aku terus berontak, tapi mereka membekap mulutku dan meringkus ku dengan begitu kuat."Lepas! Siapa kalian? Ada urusan apa kalian sama aku?" teriakku begitu mereka menjebloskan ku ke dalam mobil. Namun, mereka malah pergi meninggalkanku di dalam mobil begitu saja."Heeyy! Kenapa kalian mengurungku di sini?" teriakku lagi sambil berusaha membuka pintu.Aku panik, lalu mengedarkan pandangan, seseorang tertawa dengan keras dari balik kemudi. Aku terjengkat kaget, dan semakin terkejut saat melihat kalau or
Pikiranku kini bertarung, hasrat meminta untuk menyetujui ajakan Gladis yang sangat menggiurkan itu, tapi naluriku menolak. Seketika itu juga aku teringat kembali dengan mimpi yang teramat seram tadi malam. Dengan cepat aku mengerjap, berusaha meneguhkan hati."Maaf, Gladis. Gue ... Gue gak bisa," ucapku sambil mencoba berlalu meninggalkan Gladis."Udah lah, kita gak perlu berpikir buat hijrah dan taubat. Dosa kita udah terlalu banyak, Mar. Gak bakalan juga kita diampuni sama Tuhan. Mending kita nikmatin aja hidup ini, bersenang-senang dahulu, soal nanti gimana nanti aja," teriak Gladis membuat langkahku terhenti.Untuk kesekian kalinya lagi-lagi aku dibuat bingung. Entahlah ... walau sebelumnya niatku untuk berubah sudah sangat kuat, tapi aku selalu merasa was-was, seperti ada bisikan-bisikan yang terus berusaha untuk menggoyahkan tekadku. Bagaikan aku ini sebuah pohon kelapa tinggi di tengah lapangan, diterjang angin topan dan badai yang membuatku terombang-ambing ke sana ke mari.T
"Ibuu ... Ampun Bu, tolong maafkan Marisa. Marisa mau berhenti Bu, Marisa juga mau taubat. Ibu tolong maafin Marisa yang sudah salah jalan, tolong Bu..." Ku peluk kedua kaki bu panti sambil terus menangis.Ibu terus saja terisak sambil memegang dadanya. Kulihat nadanya mulai terengah-engah. Panik, cemas, semua perasaan bercampur menjadi satu. Apalagi saat tiba-tiba ibu terduduk di kursi sambil memejam."Bu! Ibu kenapa Bu?!""Sudah, kamu pergi saja. Kamu lanjutkan saja hidupmu sendiri, anggap saja kamu tidak pernah tinggal di sini. Kamu sudah melupakan semua yang ibu ajarkan. Ibu malu punya anak seperti kamu!" Deg!Jantungku terasa berhenti berdetak."Apa Bu?" lirihku."Kamu pergi dari sini!" tegasnya lagi sambil melambaikan tangannya.Jangan tanya perasaanku, kini satu-satunya tempat kembali yang ku harapkan sebelumnya sudah tak bisa lagi menerima diriku. Harapan untuk mendapat dukungan, arahan, dan juga tempat untuk bersandar langsung hancur dalam sekejap.Dengan tertatih aku bangk
Aku Marisa, dan aku wanita muslimah. Kutekankan itu dalam hati sambil memandang pantulan diri di cermin. Di mana seorang perempuan berhijab terlihat di sana.Aku merasa terlahir kembali ke dunia dalam pribadi yang berbeda. Ya, ini saatnya kulupakan semua yang pernah terjadi dalam hidupku. Menata hati dan hidup dengan sebaik mungkin untuk menjalani hari-hari yang baru. Melukiskan kenangan yang lebih baik untukku kenang kelak. Aku tak mau hidup sendirian lagi. Bagaimana nanti kalau tiba-tiba saja aku mati di sini, dan tak ada orang yang tahu. Aku ingin kembali ke panti, tetapi apa mereka akan menerimaku?Segera ku sambar tas dan mulai melangkah keluar dari kontrakan. Tak ku hiraukan tatapan melongo dari para tetangga yang melihatku dengan penampilan berbeda. Hanya senyuman kecil dan anggukkan kepala yang kulakukan."Assalaamu'alaikum, Ibu," ucapku begitu sampai di tempat ibu panti.Seorang wanita dengan memakai jubah dan hijab lebar datang mendekati, tatapannya menunjukan kebingungan.