"Sekarang antarin aku pulang?""Eh, kok cepat banget pulangnya. Tinggal beberapa saat lagi ya!""Aku mau pulang, Ley!" Ana membalas dengan wajah tanpa ekspresi. "Oke. Oke. Kita pulang!"Stanley menurut saja. Ia tak mau memaksa lagi. "Kita ke kedai ya. Ambil motormu,""Iya."Selama perjalanan Ana tak banyak bicara. Begitu juga dengan Stanley. Ia bingung harus bilang apa. Dengan meminjam uang dari pacar sendiri saja sudah hal yang memalukan bagi dirinya. Dan kenapa Ana harus tahu tentang utang ini?Mereka telah sampai di kedai. Ana langsung berjalan menuju motornya. "Mau aku temani sampai rumah?""Nggak perlu. Aku bisa sendiri kok. Kamu urus kedai kamu aja. Sepertinya ramai sekali. Pegawaimu butuh bantuan,""Yakin?""Iya. Yakin kok. Semangat ya!""Iya. Kamu juga ya!""Selalu.""Oh ya, hari minggu besok kamu mau ngapain?""Mm, belum ada rencana sih,""Kalau boleh aku... ""Bro, untung kau udah sampai. Itu di dalam kami kewalahan banget. Tolong ya!" Temannya memanggil dari belakang. "Eh
"Akhirnya selesai mandi juga. Kalau gini kan segar." seru Ana pada dirinya sendiri. "Makan dulu kali ya!" Setelah berganti pakaian. Ia keluar dari kamar.Untuk beberapa saat kemudian, ia kembali. Saat ini tenaganya sudah pulih. Siap mendengar penjelasan dari Gracia yang pesan-pesannya tadi masih mengena di hati. "Aku harus segera tahu, kenapa Gracia ngambek kayak gini,"(Sekarang kamu baru hidup? Kemana aja dari tadi? Kamu sekarat?)Ana segera mencari kontak Gracia. Mengetuk sebuah gagang telepon berwarna hijau di layar."Halo!" Terdengar sapaan dari sana. "Hai, Cia! Kamu kenapa? Kamu kesal sama siapa? Sampai-sampai aku kena juga,""Jangan sok perhatian deh! Pertama aku cuman kesal sama satu orang. Sekarang malah nambah kesal sama satu orang lagi,""Siapa?""Jangan berlagak bodoh deh!""Aku?""Iya. Siapa lagi?""Hei, Cia. Keterlaluan kamu. Kenapa sih? Aku kan cuman nggak balas hanya dalam waktu beberapa jam. Bukan beberapa hari. Kalau kamu mau curhat, curhat aja. Aku dengar kok. Tap
"Udah salah. Sekarang malah dimatikan teleponnya. Emang ya, dasar serigala berbulu domba." Gracia melempar gawainya ke kasur. Sedangkan dirinya bangkit berdiri dari atas tempat tidurnya.Ia menengok ke belakang. Selimutnya berantakan. Bantal dan guling juga dalam kondisi berantakan. "Se kesal itu aku sama kamu, Ana. Bahkan masalah Nicho sampai tidak ada lebih parahnya dari masalah dengan kamu. Bahkan, tadi aku sampai keceplosan tentang Bu Lina. Tapi, itu lebih bagus daripada aku harus pura-pura tak mengetahuinya sama sekali."Tring.Sebuah pesan masuk. (Cia, maaf. Aku terlepas tadi. Seharusnya aku nggak bilang kamu gila. Aku nggak mau hubungan persahabatan kita jadi buruk. Aku mohon, Cia. Balas pesan ini.) Gracia mengintip dari notifikasi."Persetan dengan katamu. Sekarang malah aku bingung, aku harus ngapain saat senin depan dan minggu-minggu berikutnya. Di satu sisi ingin menghindar dari Nicho, di lain sisi menjauhi Bu Lina. Sekarang malah ditam
Jam sudah menunjukkan pukul enam sore. Lampu di dalam hotel sengaja dinyalakan semua. Nicho tak lagi ada di meja kerjanya sejak setengah jam yang lalu.Ia sudah mencoba untuk bekerja lagi, setelah ditelepon Eric. Namun, tetap saja konsentrasinya selalu buyar.Ia berdiri di dapur. Ia baru saja memasukkan roti ke mesing pemanggang."Saya nggak bisa tinggal diam aja disini. Bisa-bisa saya nggak bisa tidur dan akan terus kepikiran,"Nicho berlari pelan menuju kamarnya. Mengambil dompet dan kunci mobil. Roti bakar telah siap saat ia kembali ke dapur.Ia mengambilnya, lantas mengapit tepi roti itu dengan mulutnya. Dengan cepat ia mematikan lampu dapurnya. Segera keluar dari ruangan hotel, menuju ke rumah Gracia."Semoga kamu baik-baik aja Gracia!"Saat ia masuk ke dalam lift, bertepatan juga di lift sebelah ada segerombolan wanita tiba di lantai tersebut. Salah seorang dari mereka berseru, "Vio, terima kasih ya sudah diantar sampai kesini. Aku masuk ke kam
"Iih kok banyak nyamuk sih disini?" gerutu Gracia. "Bukannya menenangkan jiwa malah lama-lama aku bisa kehabisan darah disini."Taman di rumahnya tidak terlalu besar. Hanya ada sebuah kursi taman panjang, ada kolam batu kecil di tengah-tengah taman itu. Selebihnya ada tanaman seperti kamboja, cabe, bunga telang, daun pandan, dan rumput-rumput yang selalu tumbuh. Semua itu tertata rapi di tangan tukang kebunnya. Sedangkan di pinggir taman, ada sebuah pohon jambu yang cukup tinggi dan rindang."Ya iyalah banyak. Kamu kan nggak hidupin lampu," Nicho berseru dari belakang. Ia menyalakan sebuah lampu taman. Tepat berada di samping Gracia."Silau tahu?""Geser aja duduknya. Saya duduk di sini,"Gracia menurut. "Kamu kenapa kesini?""Saya hanya sedang kebetulan lewat tadi. Cari makanan pencuci mulut,""Jauh amat sampai cari kesini?""Kan saya sudah lama nggak pulang Pontianak. Jadi, saya agak lupa. Kenapa kamu duduk disini? Udah tahu banyak nyamuk,""Mau tahu aja! Sana-sana, nanti kalau dili
Ana membuka matanya perlahan. Pelan-pelan ia tersadar dari tidurnya."Aku ternyata benar-benar ketiduran ya. Sekarang jam berapa ya?" Ana memutuskan untuk duduk di pinggir tempat tidurnya. Kakinya dibiarkan tergantung ke bawah."Sudah pukul tujuh malam ya!" Ana kembali membuka pesan di gawainya. "Tidak ada balasan dari Gracia. Apa aku besok langsung ke rumahnya aja?"Dengan sekuat tenaganya, ia turun dari tempat tidurnya. Energinya seperti terkuras habis. Masalah hati dengan Stanley saja belum ada jawabannya, sekarang ditambah Gracia."Ini adalah sakit hati paling parah, Cia. Aku masih memilih untuk diam dengan partner kerja lainnya dibandingkan sama kamu, Cia. Kamu yang paling ngerti aku. Kamu yang selalu ada untuk aku. Kamu satu-satunya partner kerja dan sahabat yang paling mengenal aku. Kenapa bisa gini sih?" Ana berjalan mondar-mandir di kamarnya yang masih gelap. "Kamu ada ngomong apaan ke Bu Lina sih Ana? Ingat-ingat dong!"Ia mengacak-acak rambutnya. Ia mencoba untuk menerka-ne
Ana lebih memilih tak menggubris pernyataan Stanley saat makan malam. Sebenarnya, ia sedang malas berbicara. Biarlah Stanley berpikir bahwa ia murung karena uangnya dipinjam.Sebenarnya, normal juga kalau ceweknya akan merasa sedih karena harus mengeluarkan uang tabungannya untuk usaha pacarnya. Iya kan?"Ana, aku janji. Aku akan mengembalikan uangmu seutuhnya. Tapi, apakah karena hal ini posisiku sebagai calon menantuku bisa terancam?""Mungkin sebelum kamu dicoret sebagai calon menantu, kamu sudah akan kucoret sebagai calon suamiku terlebih dahulu,""Yah. Aku kecewa nih. Kamu ah, suka ngomong gitu,""Yah iya, aku realistis aja. Kamu harus mulai bisa belajar mandiri. Aku yakin kamu bisa berjuang di dunia yang serba rumit ini," Ana mencoba untuk menenangkan dirinya atau mungkin malah mengacaukan pikiran Stanley."Iya dong. Aku mandiri. Buktinya aku mampu mendirikan Kedai Koopi. Aku bisa menjadi pengusaha di usia muda," katanya menyombongkan diri. Sombong sedikit bisa menyelamatkan har
"Hai, My name is Violla. Teruntuk bab ini aku akan mengambil alih. Dari awal sampai akhir bab ke-61 ini sudah kubajak. Semoga kalian tidak keberatan ya," Salam damai dari Violla.***Musim salju tengah melanda kota Paris saat ini. Orang-orang sudah mulai mengenakan mantel musim dingin. Untungnya, ini baru hari pertama masuknya musim salju, jadi jalanan belum nampak adanya tumpukan salju yang menggunung.Dari dalam kedai kopi, Violla menghangatkan dirinya. Pemanas di dalam kedai juga sudah dinyalakan oleh pemiliknya. Sebenarnya ia tidak berencana untuk keluar di tengah salju seperti ini, tapi daripada hanya duduk di hotel, terasa membosankan.Dari ekor matanya, ia kadang mendapati beberapa pria asing melirik dirinya. Malas untuk diajak mengobrol, ia memilih untuk memainkan gawainya. Melihat obrolan dengan orang yang sedang ditunggunya saat ini, selama ini, lebih tepatnya."Nicho, kamu tidak lupa dengan janji kita esok hari kan? Jangan lupa pakai pakaian yang aku rekomendasikan kemarin