/ Romansa / Antara Kamu dan Putraku / Bab 5 Perasaan Jijik

공유

Bab 5 Perasaan Jijik

작가: Weneedta
last update 최신 업데이트: 2025-12-02 18:29:03

Dengan emosi tertahan, Elena menaruh perabotan yang sudah dicuci ke rak piring, dan dia sengaja membuat kegaduhan.

“Lena! Apa kamu tidak bisa pelan-pelan?”

Elena membalikkan badan, kemudian menatap tajam sang ibu mertua.

“Ibu!”

Ratih tersentak dengan teriakan menantunya.

“Bisakah sekali saja Ibu berbicara yang baik padaku? Apa Ibu tidak bisa menghentikan mulut Ibu yang hanya mengkritik dan menyalahkan aku?”

Saking kesalnya, Elena meninggalkan dapur yang masih tersisa sedikit perabotan yang kotor. Dia tidak peduli lagi. Berada berdua dengan ibu mertuanya hanya akan membuatnya terpancing emosi. Dia pun mendengus marah saat menaiki anak tangga menuju kamarnya.

Setengah jam kemudian Elena turun setelah taksi online yang dipesannya datang. Dia mengeloyor keluar tanpa berpamitan dengan ibu mertuanya.

Dalam perjalanan, Elena membuka dompetnya. Kemarin setelah dari tempat kost Aldo, mereka pergi berbelanja bahan makanan. Aldo yang membayari semua belanjaannya. Selain itu Aldo juga memberinya uang satu juta.

Sejujurnya, Elena sempat merasa jijik dengan dirinya sendiri. Dia merasa bersalah dan berdosa karena telah berselingkuh sampai melakukan hubungan intim dengan pria lain selain suaminya. Ditambah dengan Aldo yang memberinya uang dan membelanjakan bahan makanan untuk di rumahnya. Apakah memang harus seperti itu, seolah dia menjual diri kepada pria lain? Dia merasa dirinya benar-benar rendah dan hina.

Elena mendesah pelan sembari melayangkan pandangan keluar jendela. Kepalanya terasa pening dengan berbagai macam pikiran yang melintas di benaknya.

***

Di tempat duduknya yang berada di area proyek, Damar menghisap pelan rokoknya. Matanya menatap layar laptop di depannya. Dia malas untuk memulai pekerjaannya. Sebuah pekerjaan yang sangat dia benci.

Menurutnya, menjadi seorang drafter cukup dengan lulusan SMK. Bukan seorang sarjana arsitektur seperti dirinya. Entah apa yang terjadi, dia merasa hidupnya selalu sial. Bukan sekali dua kali Damar mencoba peruntungan dengan bergabung bersama para arsitek lain, tetapi dia selalu dicemooh. Dianggap tidak berkompeten dan tidak memiliki bakat.

Permohonan istrinya yang memintanya banting setir mencari pekerjaan lain, tidak pernah digubrisnya. Damar menganggap Elena sama saja seperti rekan-rekannya, yang hanya bisa mengecilkan usahanya.

Ketika masih termenung dengan rokok yang terjepit di jemarinya, Damar dikejutkan dengan panggilan seorang wanita muda.

“Pak Damar!”

Damar menoleh, menatap Shila―wanita berparas manis yang sudah duduk di sampingnya. Namun dia tidak membalas panggilan wanita itu.

“Dipanggil Pak Ardi. Ditunggu di ruang rapat.”

Pagi ini tidak ada rapat apa pun. Damar yakin pasti atasannya ini memintanya datang untuk menagih pekerjaan. Segera dia mematikan rokok yang tersisa sedikit di asbak, lalu mengangkat laptop-nya untuk dibawa ke ruang rapat.

Namun sebelum keluar dari ruangan, langkahnya terhenti dengan panggilan Shila yang kedua kali. Damar menoleh ke belakang. “Kenapa?”

“Hmm … itu Pak Damar. Rumah saya kosong hari ini. Kebetulan orang tua saya pulang ke Malang tadi pagi. Apa Pak Damar mau ke rumah sore nanti, setelah pulang kerja?” Shila bertanya dengan tatapan berharap.

Damar memikirkan undangan Shila yang terdengar cukup menyenangkan. Dia pikir dia tidak boleh melewatkan kesempatan ini. Baru saja hendak mengiyakan, tiba-tiba dia teringat dengan telepon dari pihak leasing yang hampir setiap hari menerornya.

“Tidak,” jawabnya tegas. “Hari ini aku tidak bisa karena harus menjemput istriku.”

Setelah menolak undangan itu, Damar melanjutkan langkahnya keluar dari ruangan itu. Sementara Shila hanya bisa terpaku sambil mengigit jari telunjuknya.

***

Arnaldo Brawijaya sibuk mempelajari beberapa gambar resort yang dikirim melalui email. Pria muda berusia 25 tahun itu tidak ingin membuang waktu karena siang hingga sore dia sudah memiliki jadwal. Pukul 2 siang dia harus melatih anak-anak basket junior, dan sorenya dia sudah membuat janji untuk bertemu Elena.

Ponsel yang tiba-tiba berbunyi, mengalihkan tatapannya dari layar laptop. Tanpa melihat nama penelepon, dia menjawab panggilan itu.

“Halo!”

[Aldo, kapan pulang? Sudah bertahun-tahun kamu tidak pulang. Apa kamu sudah lupa jalan ke rumah orang tuamu sendiri?]

Aldo terkekeh mendengar ucapan ibunya. “Baru juga enam bulan lalu pulang. Kenapa? Apa Mama kangen?”

[Ya jelaslah kangen! Kamu ini ya, pulang kalau hanya didesak. Tidak ada inisiatif sendiri bertemu orang tua. Jadi kapan kamu pulang? Minggu ini bisa kan?]

“Tidak bisa, Ma. Aku masih sibuk dengan jadwalku.”

[Kenapa tidak kamu lepaskan pekerjaan itu? Toh hasilnya tidak seberapa. Lebih baik kamu di Bali, serius dengan pekerjaan di sini.]

“Hmm … nanti deh aku pikirkan lagi, Ma. Sekarang aku tutup teleponnya ya. Mendadak perutku mulas.” Aldo tertawa kecil karena telah membohongi ibunya. Dia hanya ingin menghindar dari percakapan itu.

[Ya sudah. Mama tunggu kabar secepatnya.]

Percakapan berakhir. Aldo menaruh ponselnya di meja, kemudian tatapannya beralih ke layar laptop. Namun tiba-tiba dia teringat satu hal yang harus dikerjakannya.

Diambilnya ponsel kembali, kemudian membuka salah satu aplikasi m-banking miliknya. Setelahnya Aldo melanjutkan kesibukannya.

***

Sejak pagi Elena berkutat dengan pekerjaannya. Tanggung jawabnya sebagai kepala bagian keuangan di sebuah perusahaan manfuktur, membuatnya hanya sedikit memiliki waktu untuk berleha-leha. Terlebih menjelang akhir bulan seperti saat ini. Banyak tagihan yang sudah tenggat waktu untuk dibayar.

Elena melirik arlojinya. Waktu sudah melebihi pukul 4 sore. Bergegas dia mengumpulkan dokumen yang akan dibawa ke ruangan Ms. Brenda―wanita blasteran yang merupakan atasannya―untuk diperiksa dan ditandatangani. Dia tahu biasanya sang manajer akan memintanya menunggu sampai urusannya selesai.

Namun sebelum menghadap atasannya, Elena menyempatkan diri membuka ponsel. Dia penasaran dengan suara notifikasi yang didengarnya beberapa jam lalu. 

Senyumnya mengembang seketika melihat pesan dari Aldo. Bukan pesan tulisan, melainkan bukti transfer. Bahkan kedua matanya sedikit membesar melihat nominal yang dikirim Aldo. Setidaknya dengan uang 5 juta di tangan, dia bisa sedikit tenang karena bisa menyambung hidup sampai saatnya menerima gaji. 

Tidak lupa untuk berterima kasih, Elena mencoba menghubungi Aldo. Namun setelah beberapa kali melakukan panggilan, Aldo tidak juga menjawabnya.

“Apa saat ini dia sedang sibuk?” gumam Elena sembari mengetikkan pesan kepada pria itu. 

Setelah mengirim pesan, Elena mengambil tumpukan dokumen untuk dibawa ke ruangan atasannya. Sungguh dia berharap pekerjaannya cepat selesai karena sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Aldo.

Brenda menerima dokumen tersebut sambil menggerutu. “Kenapa baru dikasih sore begini? Mestinya setelah jam istirahat tadi.”

Menyadari kesalahannya, Elena buru-buru menjawab teguran dari atasannya. “Ya, Ms. Brenda. Saya minta maaf. Berikutnya akan saya usahakan lebih cepat.”

"Bukan hanya itu, Elena. Saya minta kamu fokus dengan pekerjaan saat berada di kantor, dan kesampingkan masalah lain. Saya tidak ingin ada kesalahan sedikit saja dari kamu seperti sebelumnya. Paham?"

Elena tertegun. Apa maksudnya kesampingkan masalah lain?

이 책을.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • Antara Kamu dan Putraku   Bab 10 Kemarahan Aldo

    Hati Elena menghangat karena tangan Aldo, juga panggilan pria itu kepadanya. Seperti remaja kemarin sore yang baru mengenal cinta, kedua pipinya tampak merona.“Kamu mau makan apa?” tanya Aldo setelah mereka duduk.Elena meraih buku menu, membukanya perlahan. Tak lama jarinya menunjuk salah satu menu steak yang tidak terlalu mahal.“Minumannya?” tanya Aldo lagi.“Bluegrass Sunrise.”Setelah makanan dan minuman tersaji di meja, mereka menyantapnya sambil mengobrol ringan. Kebanyakan Aldo yang bercerita tentang pertandingan basket anak-anak didiknya.Mereka hanya sekitar sejam menghabiskan waktu di sana, kemudian melanjutkan perjalanan menuju kost Aldo.***Jarum pendek jam dinding baru menunjuk angka tujuh, ketika terdengar suara desahan dan erangan dari sebuah kamar. Mereka hanya berdua di dalam sebuah rumah―yang lingkungan tetangganya tidak terlalu peduli dengan urusan orang lain.Sesaat kemudian terdengar erangan panjang, diiringi dengan suara televisi yang volumenya sengaja dikeras

  • Antara Kamu dan Putraku   Bab 9 Masing-Masing Memiliki Janji

    Elena membaca notifikasi pesan dari Aldo. Segera dibukanya pesan itu, sambil berjalan keluar dari foodcourt yang ramai dan berisik, karena banyak karyawan yang makan sambil mengobrol.Setelah suasana di sekitarnya cukup tenang, Elena melakukan panggilan kepada Aldo. Dia merasa tidak enak hati karena belum memberi kabar sama sekali kepada pria itu, mengenai alasannya tidak datang kemarin.[Halo.]“Maaf Do, kemarin aku tidak jadi datang karena tiba-tiba Mas Damar menjemput.”[Hmm …. Kenapa kamu tidak mengabari aku?]“Itu ….” Elena bingung mengatakan alasannya melalui telepon. “Maaf, aku benar-benar lupa. Kemarin kamu sudah menunggu di kafe ya?”[Ya, aku menunggu satu jam di sana.]“Maaf, Do. Aku tidak bermaksud seperti itu. Tapi aku tidak bisa cerita sekarang. Nanti aku cerita kalau kita bertemu.”[Kapan?”]Elena tidak langsung menjawab. Tiba-tiba sebuah pikiran terlintas di benaknya. Apa bisa mencoba meminjam uang pada Aldo?“Ehmm … apa bisa nanti sore, Do?”[Bisa. Tapi pastikan kamu t

  • Antara Kamu dan Putraku   Bab 8 Ancaman Damar

    “Apa maksud kamu, Mas?” Jantung Elena berdegup lebih cepat. “Apa kamu mengancamku lagi?”Damar tidak menjawab, tatapan tajamnya tertuju pada Elena.“Bukannya aku tidak mau membantu,” jelas Elena dengan perasaan tidak nyaman. “Tapi aku benar-benar tidak tahu bagaimana bisa mendapatkan uang lagi.”Setiap kali Damar melontarkan ancaman, hati Elena menjadi tidak tenang. Dia sungguh khawatir Damar akan nekad melakukannya.“Kalau kamu tidak mau itu terjadi, ya kamu harus bantu aku.” Damar menjawab dengan enteng. “Kalau saja aku punya uang, aku juga tidak mau merepotkan kamu. Jelek-jelek begini, aku masih punya harga diri.”Elena menarik tatapannya dari Damar, dan membuang pandangannya ke arah jendela.Sejak memburuknya hubungan mereka akibat ucapan pedas dari ibu Elena tujuh tahun lalu, sikap suaminya berubah total. Damar menjadi kasar, seolah sudah tidak ada lagi cinta untuknya.Padahal dua belas tahun lalu Elena menerima Damar karena yakin pria itu mencintainya, meskipun kala itu dia tida

  • Antara Kamu dan Putraku   Bab 7 Kepercayaan yang Hampir Hilang

    Mendengar permintaan suaminya, Elena tidak mengatakan apa-apa, hanya mengekor Damar menuju kamar mereka. Setelah berada di kamar, Damar menjatuhkan bokongnya di sofa. Sementara Elena memilih ranjang sebagai tempat duduknya.Suasana hening selama beberapa menit. Hanya terdengar helaan napas panjang. Elena sengaja tidak membuka mulut. Menunggu suaminya memulai pembicaraan.“Lena ….” Akhirnya Damar membuka mulutnya. “Apa kamu bisa pinjam uang di kantor? Sudah dua bulan cicilan mobil tidak dibayar.”Elena terkejut mendengarnya. “Mas, aku tidak mengerti maksudnya. Setiap bulan aku transfer uang cicilan mobil ke rekening Mas Damar. Terus uangnya ke mana?”“Apa kamu lupa kalau aku pernah bilang uangnya digunakan untuk modal bikin kontrakan rumah bareng temanku? Gajiku yang tidak seberapa juga aku taruh di sana.”Mata mereka saling bertatapan. Damar bertahan agar Elena mempercayai ucapannya. Sementara Elena berusaha mencari kejujuran di mata Damar. Seingatnya Damar tidak pernah mengatakan hal

  • Antara Kamu dan Putraku   Bab 6 Sindiran yang Menyakitkan

    “Hei!” panggil Brenda pada anak buahnya yang duduk terpaku di hadapannya.“Ohh … maaf.” Elena tampak gelagapan, menyadari sikapnya yang tidak responsif . “Iya, Ms. Brenda. Saya paham kok. Hanya ….”“Hanya apa?”Elena menggeleng cepat. “Ehm ... tidak. Tidak apa-apa.”Brenda menghela napas singkat. “Setiap orang pasti punya masalahnya sendiri, ‘kan? Tapi sebagai orang dewasa, harus bisa memilah dan menempatkan diri dengan baik. Jangan mencampuradukkan satu masalah dengan masalah lainnya, bisa-bisa malah kehilangan semuanya.”Elena mengangguk pelan. Minggu lalu dia kurang fokus dan hampir melakukan kesalahan pembayaran kepada salah satu supplier. Untung saja prosedur pembayaran harus dengan persetujuan manajer sehingga kesalahan itu tidak terjadi.Senyum tipis pun tersungging dari bibirnya. “Terima kasih, Ms. Brenda.”“Ya,” balas Brenda sambil memberikan Elena setumpuk dokumen yang sudah dia tanda tangani. “Bawa kembali. Sebentar lagi waktunya pulang.”Sekali lagi Elena mengangguk, kemud

  • Antara Kamu dan Putraku   Bab 5 Perasaan Jijik

    Dengan emosi tertahan, Elena menaruh perabotan yang sudah dicuci ke rak piring, dan dia sengaja membuat kegaduhan.“Lena! Apa kamu tidak bisa pelan-pelan?”Elena membalikkan badan, kemudian menatap tajam sang ibu mertua.“Ibu!”Ratih tersentak dengan teriakan menantunya.“Bisakah sekali saja Ibu berbicara yang baik padaku? Apa Ibu tidak bisa menghentikan mulut Ibu yang hanya mengkritik dan menyalahkan aku?”Saking kesalnya, Elena meninggalkan dapur yang masih tersisa sedikit perabotan yang kotor. Dia tidak peduli lagi. Berada berdua dengan ibu mertuanya hanya akan membuatnya terpancing emosi. Dia pun mendengus marah saat menaiki anak tangga menuju kamarnya.Setengah jam kemudian Elena turun setelah taksi online yang dipesannya datang. Dia mengeloyor keluar tanpa berpamitan dengan ibu mertuanya.Dalam perjalanan, Elena membuka dompetnya. Kemarin setelah dari tempat kost Aldo, mereka pergi berbelanja bahan makanan. Aldo yang membayari semua belanjaannya. Selain itu Aldo juga memberinya

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status