LOGINDengan bibir terkatup rapat, Damar menatap ibunya. Tidak, dia tidak mau mendengarkan perkataan ibunya yang selalu berusaha menghasutnya. Dia tahu ibunya tidak pernah menyukai Elena dan berharap dia menceraikan istrinya itu. Bahkan saat ini ibunya telah memiliki kandidat untuk dijodohkan dengannya.
Di sisi lain, menurut Ratih, Elena adalah wanita yang sudah merusak masa depan anaknya. Dengan ijazah arsitektur di tangan, seharusnya Damar bisa memiliki karier yang cemerlang. Namun di usia yang masih muda―23 tahun dan baru saja wisuda―Damar harus menikahi Elena yang saat itu tengah mengandung.
Ratih tidak pernah berharap anak-anaknya untuk menikah muda. Sudah sepantasnya jika Damar dan abangnya membahagiakan dirinya terlebih dahulu sebagai ibu, serta mengangkat derajatnya. Bukan malah buru-buru menikah dan memanjakan wanita lain yang menjadi istri mereka.
“Sudahlah, Bu.” Damar menghela napas panjang. “Sudah malam. Ibu kembali ke kamar dan segera tidur.”
Setelah mengatakannya, Damar meninggalkan ibunya dan naik tangga menuju kamarnya.
***
Tidur Elena terganggu karena merasakan kecupan di bibir serta belaian di dadanya. Dia hampir saja terbuai dengan sentuhan pada tubuhnya. Namun tiba-tiba dia tersadar, bukan Aldo yang sedang menyentuhnya saat ini, melainkan suaminya.
Saat dia membuka mata, tampak wajah sang suami yang sedang tersenyum kepadanya.
“Len, kamu mau ‘kan?” Suara Damar terdengar parau.
Namun reaksi Elena berbanding terbalik dengan suaminya. Dia malah mendorong tubuh Damar.
“Lepaskan, Mas! Aku benar-benar capek.”
Memang mereka sudah jarang berhubungan intim. Tepatnya sejak tujuh tahun lalu, setelah Elena keguguran anak kedua. Mereka melakukannya paling hanya satu atau dua kali dalam sebulan. Itu pun biasanya dilakukan Damar untuk meredam pertengkaran mereka.
Sejak saat itu Damar enggan menyentuhnya karena membenci sikap Avanti―ibu Elena―yang kerap menyinggung masalah pekerjaan dan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga. Secara tidak langsung Avanti menuduhnya sebagai penyebab Elena mengalami keguguran. Damar merasa terhina dengan ucapan Avanti, dan pada akhirnya kondisi tersebut berakibat pada hubungannya dengan Elena.
“Kenapa?” tanya Damar dengan suara bergetar menahan emosi. Dia tersentak dengan penolakan istrinya. “Apa kamu sudah tidak mau lagi bercinta denganku?”
Elena tidak langsung menjawab. Selain masih marah dengan perlakuan Damar sore tadi, yang terlintas di benaknya saat ini adalah kejadian beberapa jam lalu. Dia ingat betul, Aldo melakukannya tanpa pengaman.
Bagaimanapun Elena harus waspada. Bukan karena takut hamil, karena selama bertahun-tahun dia menggunakan kontrasepsi suntik. Dia hanya tidak ingin suaminya menjadi curiga. Sudah lama dia dan Damar tidak melakukan hubungan intim. Entah tiga minggu lalu atau sebulan lalu, dia tidak pernah memerhatikan tanggal. Lalu apa jadinya jika Damar mengetahui, mungkin ada jejak-jejak Aldo di dalam miliknya?
Tidak, lebih baik dia menolak ajakan suaminya. Risikonya terlalu besar.
“Aku benar-benar capek sekarang. Besok atau lain waktu saja.”
Damar tertegun sesaat, tetapi tak lama dia melepaskan tubuh istrinya. Penolakan Elena benar-benar telah menjatuhkan harga dirinya. Dia bangkit dari ranjang dan memilih keluar dari kamar tidur mereka.
***
Elena membiarkan air pancuran jatuh menimpa tubuhnya. Pikirannya masih terbayang dengan apa yang dilakukannya bersama Aldo semalam. Dia tidak menyangka pada akhirnya mereka melakukan hubungan terlarang. Perasaan berdosa pun mendera hatinya.
Dia berselingkuh. Ya, dia telah berselingkuh.
Bagaimana seandainya dia yang berada di posisi suaminya? Akankah sakit hati? Sudah pasti, pikirnya. Namun, benarkah begitu?
Elena tidak tahu apakah masih ada cinta antara dirinya dan Damar. Kehidupan pernikahannya benar-benar telah menguras energinya. Dia yang dulu aktif, kini menjadi pribadi yang tertutup. Perasaan malu dan kecewa akan suaminya, membuat dia membatasi diri dengan lingkungan.
Ingatan Elena melompat kembali pada kejadian semalam. Tanpa sadar dia mendekati wastafel dan bercermin melihat tubuhnya yang polos dan basah. Perlahan tangannya mulai menyentuh lembut salah satu dadanya.
Dia memejamkan kedua mata. Membayangkan bagaimana Aldo menyentuh kedua dadanya, hingga bayangan mereka saat melakukan hubungan intim, terus bermain di benaknya. Bahkan dia masih dapat merasakan tubuh atletis Aldo yang bergerak-gerak di atas tubuhnya. Permainan Aldo yang membuat tubuhnya serasa melayang.
“Aahhh ….”
Desahan lembut meluncur dari mulut Elena. Kenikmatan itu masih dapat dirasakannya ….
Tok tok tok!
“Ma …. Ma!”
Ketukan pintu dan suara putranya membangunkan Elena dari pikiran liar yang bermain di benaknya. Dia segera tersadar.
“Ya, Justin! Sebentar lagi Mama selesai!”
“Jangan lama-lama, Ma! Justin sakit perut!”
Elena buru-buru melanjutkan mandinya. Memang kamar mandi di rumah ini hanya ada dua. Satu di bawah dan satu lagi di lantai dua. Justin hampir tidak pernah mau menggunakan kamar mandi bawah dengan alasan malas turun.
Lima menit berselang Elena keluar dari kamar mandi. Tampak Justin berdiri setengah membungkuk menahan panggilan alam di pagi hari.
Setelah mengenakan pakaian rumah, Elena bergegas menyiapkan sarapan untuk Justin―yang saat ini duduk di kelas 7. Dia juga menyiapkan makanan untuk makan siang putranya nanti. Hal ini sudah menjadi rutinitas pagi Elena sebelum berangkat ke kantor.
“Ibu ingin sarapan apa?” Elena menoleh singkat pada ibu mertuanya yang sudah duduk di kursi makan dengan secangkir teh di tangan.
“Memang kamu punya apa selain roti tawar? Biasanya cuma itu ‘kan? Tidak usah buatkan Ibu roti. Nanti Ibu makan nasi saja.”
Elena menoleh kembali pada ibu mertuanya. Ratih hampir tidak pernah bicara menggunakan kata-kata lembut atau bernada normal. Ucapan yang keluar dari bibirnya sering kali terdengar sarkas dan menusuk hati.
Namun Elena tidak mengindahkan ucapan Ratih. Lebih baik dia melanjutkan memasak karena waktunya sangat terbatas.
Selesai sarapan, Justin berpamitan pada Elena. Seperti biasa Damar akan mengantar putra mereka ke sekolah yang hanya menempuh waktu lebih kurang 15 menit. Setelahnya Damar kembali dan mengantar Elena sampai ke kantor.
Namun pagi ini, setelah berpamitan dengan ibunya, Damar langsung mengambil tas laptop-nya. Alis Elena mengeryit ketika melihatnya.
“Kamu mau langsung pergi, Mas?”
Wajah Damar terlihat tegang dengan rahang mengeras. “Hari ini kamu berangkat sendiri ke kantor. Aku ada urusan.”
Elena tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya memerhatikan suami dan putranya berjalan keluar rumah menuju mobil. Walau hatinya sedikit kesal karena harus mengeluarkan uang buat ongkos transportasi umum. Namun dia bisa menduga penolakan dirinya semalam yang membuat suaminya seperti itu.
Tidak ingin membuang waktu, dia bergegas merapikan meja makan dan membawa gelas serta piring untuk dicuci. Sementara Ratih masih duduk di kursi makan.
“Memang kamu ya, yang tidak bisa menyenangkan suami! Sekarang apa susahnya sih melayani suami seperti membuat kopi yang dia minta semalam? Itu ‘kan memang tugasmu sebagai istri. Lihat sekarang, Damar tidak mau mengantarmu ‘kan?”
Hati Elena menghangat karena tangan Aldo, juga panggilan pria itu kepadanya. Seperti remaja kemarin sore yang baru mengenal cinta, kedua pipinya tampak merona.“Kamu mau makan apa?” tanya Aldo setelah mereka duduk.Elena meraih buku menu, membukanya perlahan. Tak lama jarinya menunjuk salah satu menu steak yang tidak terlalu mahal.“Minumannya?” tanya Aldo lagi.“Bluegrass Sunrise.”Setelah makanan dan minuman tersaji di meja, mereka menyantapnya sambil mengobrol ringan. Kebanyakan Aldo yang bercerita tentang pertandingan basket anak-anak didiknya.Mereka hanya sekitar sejam menghabiskan waktu di sana, kemudian melanjutkan perjalanan menuju kost Aldo.***Jarum pendek jam dinding baru menunjuk angka tujuh, ketika terdengar suara desahan dan erangan dari sebuah kamar. Mereka hanya berdua di dalam sebuah rumah―yang lingkungan tetangganya tidak terlalu peduli dengan urusan orang lain.Sesaat kemudian terdengar erangan panjang, diiringi dengan suara televisi yang volumenya sengaja dikeras
Elena membaca notifikasi pesan dari Aldo. Segera dibukanya pesan itu, sambil berjalan keluar dari foodcourt yang ramai dan berisik, karena banyak karyawan yang makan sambil mengobrol.Setelah suasana di sekitarnya cukup tenang, Elena melakukan panggilan kepada Aldo. Dia merasa tidak enak hati karena belum memberi kabar sama sekali kepada pria itu, mengenai alasannya tidak datang kemarin.[Halo.]“Maaf Do, kemarin aku tidak jadi datang karena tiba-tiba Mas Damar menjemput.”[Hmm …. Kenapa kamu tidak mengabari aku?]“Itu ….” Elena bingung mengatakan alasannya melalui telepon. “Maaf, aku benar-benar lupa. Kemarin kamu sudah menunggu di kafe ya?”[Ya, aku menunggu satu jam di sana.]“Maaf, Do. Aku tidak bermaksud seperti itu. Tapi aku tidak bisa cerita sekarang. Nanti aku cerita kalau kita bertemu.”[Kapan?”]Elena tidak langsung menjawab. Tiba-tiba sebuah pikiran terlintas di benaknya. Apa bisa mencoba meminjam uang pada Aldo?“Ehmm … apa bisa nanti sore, Do?”[Bisa. Tapi pastikan kamu t
“Apa maksud kamu, Mas?” Jantung Elena berdegup lebih cepat. “Apa kamu mengancamku lagi?”Damar tidak menjawab, tatapan tajamnya tertuju pada Elena.“Bukannya aku tidak mau membantu,” jelas Elena dengan perasaan tidak nyaman. “Tapi aku benar-benar tidak tahu bagaimana bisa mendapatkan uang lagi.”Setiap kali Damar melontarkan ancaman, hati Elena menjadi tidak tenang. Dia sungguh khawatir Damar akan nekad melakukannya.“Kalau kamu tidak mau itu terjadi, ya kamu harus bantu aku.” Damar menjawab dengan enteng. “Kalau saja aku punya uang, aku juga tidak mau merepotkan kamu. Jelek-jelek begini, aku masih punya harga diri.”Elena menarik tatapannya dari Damar, dan membuang pandangannya ke arah jendela.Sejak memburuknya hubungan mereka akibat ucapan pedas dari ibu Elena tujuh tahun lalu, sikap suaminya berubah total. Damar menjadi kasar, seolah sudah tidak ada lagi cinta untuknya.Padahal dua belas tahun lalu Elena menerima Damar karena yakin pria itu mencintainya, meskipun kala itu dia tida
Mendengar permintaan suaminya, Elena tidak mengatakan apa-apa, hanya mengekor Damar menuju kamar mereka. Setelah berada di kamar, Damar menjatuhkan bokongnya di sofa. Sementara Elena memilih ranjang sebagai tempat duduknya.Suasana hening selama beberapa menit. Hanya terdengar helaan napas panjang. Elena sengaja tidak membuka mulut. Menunggu suaminya memulai pembicaraan.“Lena ….” Akhirnya Damar membuka mulutnya. “Apa kamu bisa pinjam uang di kantor? Sudah dua bulan cicilan mobil tidak dibayar.”Elena terkejut mendengarnya. “Mas, aku tidak mengerti maksudnya. Setiap bulan aku transfer uang cicilan mobil ke rekening Mas Damar. Terus uangnya ke mana?”“Apa kamu lupa kalau aku pernah bilang uangnya digunakan untuk modal bikin kontrakan rumah bareng temanku? Gajiku yang tidak seberapa juga aku taruh di sana.”Mata mereka saling bertatapan. Damar bertahan agar Elena mempercayai ucapannya. Sementara Elena berusaha mencari kejujuran di mata Damar. Seingatnya Damar tidak pernah mengatakan hal
“Hei!” panggil Brenda pada anak buahnya yang duduk terpaku di hadapannya.“Ohh … maaf.” Elena tampak gelagapan, menyadari sikapnya yang tidak responsif . “Iya, Ms. Brenda. Saya paham kok. Hanya ….”“Hanya apa?”Elena menggeleng cepat. “Ehm ... tidak. Tidak apa-apa.”Brenda menghela napas singkat. “Setiap orang pasti punya masalahnya sendiri, ‘kan? Tapi sebagai orang dewasa, harus bisa memilah dan menempatkan diri dengan baik. Jangan mencampuradukkan satu masalah dengan masalah lainnya, bisa-bisa malah kehilangan semuanya.”Elena mengangguk pelan. Minggu lalu dia kurang fokus dan hampir melakukan kesalahan pembayaran kepada salah satu supplier. Untung saja prosedur pembayaran harus dengan persetujuan manajer sehingga kesalahan itu tidak terjadi.Senyum tipis pun tersungging dari bibirnya. “Terima kasih, Ms. Brenda.”“Ya,” balas Brenda sambil memberikan Elena setumpuk dokumen yang sudah dia tanda tangani. “Bawa kembali. Sebentar lagi waktunya pulang.”Sekali lagi Elena mengangguk, kemud
Dengan emosi tertahan, Elena menaruh perabotan yang sudah dicuci ke rak piring, dan dia sengaja membuat kegaduhan.“Lena! Apa kamu tidak bisa pelan-pelan?”Elena membalikkan badan, kemudian menatap tajam sang ibu mertua.“Ibu!”Ratih tersentak dengan teriakan menantunya.“Bisakah sekali saja Ibu berbicara yang baik padaku? Apa Ibu tidak bisa menghentikan mulut Ibu yang hanya mengkritik dan menyalahkan aku?”Saking kesalnya, Elena meninggalkan dapur yang masih tersisa sedikit perabotan yang kotor. Dia tidak peduli lagi. Berada berdua dengan ibu mertuanya hanya akan membuatnya terpancing emosi. Dia pun mendengus marah saat menaiki anak tangga menuju kamarnya.Setengah jam kemudian Elena turun setelah taksi online yang dipesannya datang. Dia mengeloyor keluar tanpa berpamitan dengan ibu mertuanya.Dalam perjalanan, Elena membuka dompetnya. Kemarin setelah dari tempat kost Aldo, mereka pergi berbelanja bahan makanan. Aldo yang membayari semua belanjaannya. Selain itu Aldo juga memberinya







