หน้าหลัก / Romansa / Antara Kamu dan Putraku / Bab 6 Sindiran yang Menyakitkan

แชร์

Bab 6 Sindiran yang Menyakitkan

ผู้เขียน: Weneedta
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-12-05 22:47:18

“Hei!” panggil Brenda pada anak buahnya yang duduk terpaku di hadapannya.

“Ohh … maaf.” Elena tampak gelagapan, menyadari sikapnya yang tidak responsif . “Iya, Ms. Brenda. Saya paham kok. Hanya ….”

“Hanya apa?”

Elena menggeleng cepat. “Ehm ... tidak. Tidak apa-apa.”

Brenda menghela napas singkat. “Setiap orang pasti punya masalahnya sendiri, ‘kan? Tapi sebagai orang dewasa, harus bisa memilah dan menempatkan diri dengan baik. Jangan mencampuradukkan satu masalah dengan masalah lainnya, bisa-bisa malah kehilangan semuanya.”

Elena mengangguk pelan. Minggu lalu dia kurang fokus dan hampir melakukan kesalahan pembayaran kepada salah satu supplier. Untung saja prosedur pembayaran harus dengan persetujuan manajer sehingga kesalahan itu tidak terjadi.

Senyum tipis pun tersungging dari bibirnya. “Terima kasih, Ms. Brenda.”

“Ya,” balas Brenda sambil memberikan Elena setumpuk dokumen yang sudah dia tanda tangani. “Bawa kembali. Sebentar lagi waktunya pulang.”

Sekali lagi Elena mengangguk, kemudian keluar dari ruangan itu. Dia bersyukur atasannya tidak terlalu sibuk, sehingga cepat memeriksa dokumen yang harus ditandatangani.

Begitu sampai di ruangannya, Elena langsung bertanya pada Asya Kamala―rekannya yang duduk dekat dengannya. “Jam berapa sekarang?”

“Jam 5 kurang 10 menit,” jawab Asya sambil melihat jam di ponselnya, lalu menatap Elena. “Kenapa? Kamu terlihat terburu-buru.”

“Iya, aku ada janji dengan … kakakku.”

Oh God, sejak memiliki hubungan dengan Aldo, Elena merasa jadi mudah berbohong.

Asya tidak bertanya lagi. Seperti Elena, dia mulai membereskan dokumen di meja dan bersiap-siap pulang.

Setelah mejanya rapi, Elena keluar ruangan bersama beberapa karyawan lainnya hingga mereka berada di depan lift. Sambil menunggu, dia membuka ponsel untuk mengecek pesan dari Aldo, sampai seseorang menepuk bahunya. Dia terkejut dan langsung menoleh ke belakang.

“Istrimu sudah ada di bawah tuh, jemput kamu!” sarkas Reza―salah satu manajer di kantornya―dengan senyum terkulum di bibir.

“Hahahaaa ….” gelak tawa riuh terdengar dari beberapa karyawan yang berada di sana, membuat air muka Elena berubah merah.

Sebuah sindiran yang menyakitkan, tetapi mereka malah tertawa-tawa seolah itu hanyalah sebuah lelucon.

Elena hanya bisa menundukkan kepala. Mereka sungguh tidak menyadari jika ucapan ‘istri’ yang dilontarkan Reza telah membuat hatinya meradang.

Seperti yang sudah diduganya, mungkin semua orang kantor telah mengetahui kondisi rumah tangganya. Entah dari mana mereka tahu hal itu. Mungkin juga karena suaminya―saat menganggur―sering terlihat mengantar jemput dirinya dengan hanya mengenakan kaus dan celana pendek layaknya pakaian rumahan.

“Ihhh … kalian jahat banget sama Elena,” ujar salah satu karyawati dari divisi lain. “Masa ngomong seperti itu?”

“Hei, serius amat sih!” seru karyawan lain. ”Kami juga cuma bercanda kok!”

Elena benar-benar mati kutu, lidahnya kelu dan otaknya serasa kosong, tidak bisa membalas ucapan Reza. Yang bisa dilakukannya hanyalah berdoa dalam hati agar lift segera terbuka.

Tak lama doanya terkabul. Begitu pintu lift terbuka, Elena bergegas masuk. Dia sudah tidak tahan berlama-lama di tempat itu.

Tiba di lobi, Elena dapat melihat Damar berdiri menunggu di pelataran parkir. Dia bergegas menghampiri suaminya.

Setelah duduk di dalam mobil, Elena bertanya sembari mengenakan sabuk pengaman. “Kenapa tidak mengabari kalau ingin menjemput?”

“Tadi aku bertemu dengan rekan kerjamu dan sudah menitip pesan padanya,” balas Damar tanpa menoleh ke arah Elena. Tatapannya fokus ke depan, mengendarai mobil keluar dari gedung perkantoran.

Selanjutnya tidak ada percakapan lagi di antara mereka. Elena mengalihkan pandangan keluar jendela di sampingnya. Sampai tiba-tiba ponselnya berbunyi.

Elena mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Setelah mengetahui siapa yang menghubunginya, dia menolak panggilan itu. Namun ponselnya berdering lagi hingga dua kali, dan dia tetap melakukan hal yang sama.

“Kenapa tidak dijawab?” Damar menoleh curiga padanya.

“Orang kantor,” balas Elena singkat.

“Apa bukan sesuatu yang penting?”

“Aku malas ditelepon di luar jam kantor.”

Duh, Elena menyesalkan dirinya sendiri karena sekarang mulutnya semakin lancar untuk berbohong. Namun harus bagaimana lagi?

Tidak mungkin dia mengatakan sejujurnya bahwa itu telepon dari Aldo. Bahkan Elena sendiri sempat lupa dengan janji bertemu pria itu. Semua karena Damar yang tiba-tiba menjemputnya, dan juga sarkas dari Reza yang membuatnya merasa dipermalukan.

Elena hanya berharap Aldo tidak marah atau kecewa karena dia tidak datang dan tidak mengabarinya terlebih dahulu.

***

Sementara di sebuah kafe, Aldo duduk sambil menatap ponselnya. Dia tidak mengerti mengapa Elena tiga kali menolak panggilannya. Bahkan Elena tidak mengirim pesan lagi, selain ucapan terima kasih setelah dia mengirim bukti transfer.

Dia bertanya-tanya dalam hati karena Elena tidak pernah bersikap seperti ini sebelumnya. Aldo juga mengkhawatirkannya, dan berharap Elena tidak mendapat kekerasan lagi dari suaminya.

Setelah menunggu hampir sejam lamanya, Aldo berniat meninggalkan kafe itu. Namun niatnya terhenti setelah melihat lambaian tangan seorang wanita muda.

“Kak Aldo!” panggil wanita itu dari jarak beberapa meter.  Setelah berada di hadapannya, tanpa basa-basi dia menarik sebuah kursi dan langsung duduk di sana.

Aldo menatap wanita bernama Raellyn Pradipta yang dulu merupakan adik kampusnya, sekaligus teman satu klub basket.

“Dari mana?” tanyanya singkat.

“Tadi bertemu dengan teman di mall. Niatnya mau pulang, tapi begitu melihat Kak Aldo, langsung melipir ke sini deh,” jawab Raellyn sambil tertawa yang menampilkan kedua lesung pipinya.

“Kak Aldo, bagaimana kabarnya?” lanjutnya dengan mata berbinar. “Kok Kak Aldo makin ganteng sih? Sepertinya sudah lama ya kita tidak ketemuan. Oya, apa Kak Aldo masih melatih anak-anak junior?”

“Masih …. Aku belum ber―”

“Eh sebentar, Kak,” potong Raellyn sambil menatap sekilas gelas kosong di hadapannya. “Apa Kak Aldo mau minum lagi?”

Namun tanpa menunggu jawaban Aldo, kepala Raellyn sudah bergerak mengitari ruangan untuk mencari keberadaan pramusaji.

Aldo mengeryit melihatnya. “Kamu mau apa?”

Mendengar pertanyaan Aldo, Raellyn beralih menatap pria itu. “Aku mau pesan minum, sekalian buat Kak Aldo.”

“Thanks, Rae, tapi tidak usah,” balas Aldo cepat sambil bangkit berdiri. “Sejak tadi aku sudah berniat ingin pulang.”

“Loh loh … tapi kita belum ngobrol, Kak!” protes Raellyn bingung dengan Aldo yang tampak terburu-buru.

“Sorry, aku masih ada urusan lain, Rae. Kapan-kapan kita masih bisa ketemuan.”

Aldo meninggalkan Raellyn yang masih tak percaya akan ditinggal begitu saja. Namun Aldo tidak peduli. Dia tahu perasaan Raellyn padanya. Bagi Aldo, hanya ada nama satu wanita yang bersemayam di hatinya.

Dia berharap kelak ibunya tidak ikut campur dalam urusan asmaranya, mengingat hubungan baik yang terjalin antara Keluarga Brawijaya dengan Keluarga Pradipta.

***

Elena baru saja tiba di lantai dua usai mencuci peralatan makan malam, ketika Damar menghalangi jalannya.

“Ada yang ingin kubicarakan denganmu,” ujar pria itu dengan raut muka serius.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Antara Kamu dan Putraku   Bab 10 Kemarahan Aldo

    Hati Elena menghangat karena tangan Aldo, juga panggilan pria itu kepadanya. Seperti remaja kemarin sore yang baru mengenal cinta, kedua pipinya tampak merona.“Kamu mau makan apa?” tanya Aldo setelah mereka duduk.Elena meraih buku menu, membukanya perlahan. Tak lama jarinya menunjuk salah satu menu steak yang tidak terlalu mahal.“Minumannya?” tanya Aldo lagi.“Bluegrass Sunrise.”Setelah makanan dan minuman tersaji di meja, mereka menyantapnya sambil mengobrol ringan. Kebanyakan Aldo yang bercerita tentang pertandingan basket anak-anak didiknya.Mereka hanya sekitar sejam menghabiskan waktu di sana, kemudian melanjutkan perjalanan menuju kost Aldo.***Jarum pendek jam dinding baru menunjuk angka tujuh, ketika terdengar suara desahan dan erangan dari sebuah kamar. Mereka hanya berdua di dalam sebuah rumah―yang lingkungan tetangganya tidak terlalu peduli dengan urusan orang lain.Sesaat kemudian terdengar erangan panjang, diiringi dengan suara televisi yang volumenya sengaja dikeras

  • Antara Kamu dan Putraku   Bab 9 Masing-Masing Memiliki Janji

    Elena membaca notifikasi pesan dari Aldo. Segera dibukanya pesan itu, sambil berjalan keluar dari foodcourt yang ramai dan berisik, karena banyak karyawan yang makan sambil mengobrol.Setelah suasana di sekitarnya cukup tenang, Elena melakukan panggilan kepada Aldo. Dia merasa tidak enak hati karena belum memberi kabar sama sekali kepada pria itu, mengenai alasannya tidak datang kemarin.[Halo.]“Maaf Do, kemarin aku tidak jadi datang karena tiba-tiba Mas Damar menjemput.”[Hmm …. Kenapa kamu tidak mengabari aku?]“Itu ….” Elena bingung mengatakan alasannya melalui telepon. “Maaf, aku benar-benar lupa. Kemarin kamu sudah menunggu di kafe ya?”[Ya, aku menunggu satu jam di sana.]“Maaf, Do. Aku tidak bermaksud seperti itu. Tapi aku tidak bisa cerita sekarang. Nanti aku cerita kalau kita bertemu.”[Kapan?”]Elena tidak langsung menjawab. Tiba-tiba sebuah pikiran terlintas di benaknya. Apa bisa mencoba meminjam uang pada Aldo?“Ehmm … apa bisa nanti sore, Do?”[Bisa. Tapi pastikan kamu t

  • Antara Kamu dan Putraku   Bab 8 Ancaman Damar

    “Apa maksud kamu, Mas?” Jantung Elena berdegup lebih cepat. “Apa kamu mengancamku lagi?”Damar tidak menjawab, tatapan tajamnya tertuju pada Elena.“Bukannya aku tidak mau membantu,” jelas Elena dengan perasaan tidak nyaman. “Tapi aku benar-benar tidak tahu bagaimana bisa mendapatkan uang lagi.”Setiap kali Damar melontarkan ancaman, hati Elena menjadi tidak tenang. Dia sungguh khawatir Damar akan nekad melakukannya.“Kalau kamu tidak mau itu terjadi, ya kamu harus bantu aku.” Damar menjawab dengan enteng. “Kalau saja aku punya uang, aku juga tidak mau merepotkan kamu. Jelek-jelek begini, aku masih punya harga diri.”Elena menarik tatapannya dari Damar, dan membuang pandangannya ke arah jendela.Sejak memburuknya hubungan mereka akibat ucapan pedas dari ibu Elena tujuh tahun lalu, sikap suaminya berubah total. Damar menjadi kasar, seolah sudah tidak ada lagi cinta untuknya.Padahal dua belas tahun lalu Elena menerima Damar karena yakin pria itu mencintainya, meskipun kala itu dia tida

  • Antara Kamu dan Putraku   Bab 7 Kepercayaan yang Hampir Hilang

    Mendengar permintaan suaminya, Elena tidak mengatakan apa-apa, hanya mengekor Damar menuju kamar mereka. Setelah berada di kamar, Damar menjatuhkan bokongnya di sofa. Sementara Elena memilih ranjang sebagai tempat duduknya.Suasana hening selama beberapa menit. Hanya terdengar helaan napas panjang. Elena sengaja tidak membuka mulut. Menunggu suaminya memulai pembicaraan.“Lena ….” Akhirnya Damar membuka mulutnya. “Apa kamu bisa pinjam uang di kantor? Sudah dua bulan cicilan mobil tidak dibayar.”Elena terkejut mendengarnya. “Mas, aku tidak mengerti maksudnya. Setiap bulan aku transfer uang cicilan mobil ke rekening Mas Damar. Terus uangnya ke mana?”“Apa kamu lupa kalau aku pernah bilang uangnya digunakan untuk modal bikin kontrakan rumah bareng temanku? Gajiku yang tidak seberapa juga aku taruh di sana.”Mata mereka saling bertatapan. Damar bertahan agar Elena mempercayai ucapannya. Sementara Elena berusaha mencari kejujuran di mata Damar. Seingatnya Damar tidak pernah mengatakan hal

  • Antara Kamu dan Putraku   Bab 6 Sindiran yang Menyakitkan

    “Hei!” panggil Brenda pada anak buahnya yang duduk terpaku di hadapannya.“Ohh … maaf.” Elena tampak gelagapan, menyadari sikapnya yang tidak responsif . “Iya, Ms. Brenda. Saya paham kok. Hanya ….”“Hanya apa?”Elena menggeleng cepat. “Ehm ... tidak. Tidak apa-apa.”Brenda menghela napas singkat. “Setiap orang pasti punya masalahnya sendiri, ‘kan? Tapi sebagai orang dewasa, harus bisa memilah dan menempatkan diri dengan baik. Jangan mencampuradukkan satu masalah dengan masalah lainnya, bisa-bisa malah kehilangan semuanya.”Elena mengangguk pelan. Minggu lalu dia kurang fokus dan hampir melakukan kesalahan pembayaran kepada salah satu supplier. Untung saja prosedur pembayaran harus dengan persetujuan manajer sehingga kesalahan itu tidak terjadi.Senyum tipis pun tersungging dari bibirnya. “Terima kasih, Ms. Brenda.”“Ya,” balas Brenda sambil memberikan Elena setumpuk dokumen yang sudah dia tanda tangani. “Bawa kembali. Sebentar lagi waktunya pulang.”Sekali lagi Elena mengangguk, kemud

  • Antara Kamu dan Putraku   Bab 5 Perasaan Jijik

    Dengan emosi tertahan, Elena menaruh perabotan yang sudah dicuci ke rak piring, dan dia sengaja membuat kegaduhan.“Lena! Apa kamu tidak bisa pelan-pelan?”Elena membalikkan badan, kemudian menatap tajam sang ibu mertua.“Ibu!”Ratih tersentak dengan teriakan menantunya.“Bisakah sekali saja Ibu berbicara yang baik padaku? Apa Ibu tidak bisa menghentikan mulut Ibu yang hanya mengkritik dan menyalahkan aku?”Saking kesalnya, Elena meninggalkan dapur yang masih tersisa sedikit perabotan yang kotor. Dia tidak peduli lagi. Berada berdua dengan ibu mertuanya hanya akan membuatnya terpancing emosi. Dia pun mendengus marah saat menaiki anak tangga menuju kamarnya.Setengah jam kemudian Elena turun setelah taksi online yang dipesannya datang. Dia mengeloyor keluar tanpa berpamitan dengan ibu mertuanya.Dalam perjalanan, Elena membuka dompetnya. Kemarin setelah dari tempat kost Aldo, mereka pergi berbelanja bahan makanan. Aldo yang membayari semua belanjaannya. Selain itu Aldo juga memberinya

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status