Share

APA BERLEBIHAN?

Dia teman sekelas kakakku. Cowok dengan postur proposional, berkulit putih bersih, dengan rambut tebal. Seperti namanya, sepertinya dia memang keturunan Jepang. Seperti Mamaku, yang keturunan Jepang juga.

Kaze Haruto, dia berdiri di dekatku saat ini. Ku pandangi dia, dia tengah sibuk menatap poster yang terpajang di Mading itu. Tersenyum, jelas terlihat ada rasa bangga di tatapannya itu. Melihat pacarnya terpampang di poster dengan foto close up. Ya, Sky terlihat sempurna di poster itu.

Dia, dia pacar Sky, cewek yang membuat jantungku berdegup tak menentu sejak kemarin. Pantas, dia terlihat sangat pantas berdiri di samping Sky. Tapi aku juga merasa sangat pantas berdiri di samping Sky juga. Mulai detik ini, aku memutuskan untuk bersaing dengan Kaze Haruto. Tanpa ku sadari, aku terus menatapnya saat ini. Ada perasaan membara di dalam dada. Yang tak bisa aku tepis sama sekali.

“Hei? Lu adiknya Hana kan?” Pertanyaan itu membuat aku sedikit tersentak. Kaze yang bertanya.

Aku tak menjawab pertanyaannya, hanya melempar sedikit senyuman, lalu berlalu.

Pada dasarnya, begitulah sifat asliku. Tidak ramah pada orang yang baru aku kenal. Seharusnya sedikit berubah sejak aku masuk SMA, tapi barusan, aku bertingkah seperti itu lagi. Mungkin karena dia Kaze. Sainganku.

*****

[Sedang apa?]

Aku mengirim chat itu pada Sky. Setelah lima menit, dia masih belum mengirim balasannya untukku. Sedang apa dia sekarang? Aku begitu penasaran.

Aku berdiam diri di dalam kamar sejak pulang sekolah tadi. Bahkan aku belum makan siang. Kak Hana dan Raline juga sedang tidak ada di rumah. Kak Hana sudah berangkat kursus bahasa Inggris sejam yang lalu. Sedangkan Raline sedang kursus Matematika di sekolahnya bersama Mama.

“Ah, lebih baik di telpon saja.” Gumamku, sembari beranjak turun ke bawah, mengambil telpon dari ruang keluarga.

Aku tak jadi membawa telpon tanpa kabel itu ke kamarku. Karena aku sedang sendirian kan di rumah. Jadi aku tak perlu sembunyi-sembunyi.

TUT ..., TUT ..., TUT ...

Tak ada jawab dari sana. Rasa penasaranku semakin memuncak. Ku coba menelponnya sekali lagi. Tetap tak ada jawaban.

“Apa dia sedang bareng Kaze?” Aku menggumam lagi. Lalu membanting gagang telpon itu. “Ah!” Ku hempas tubuhku ke atas sofa.

Trrrrrt-Trrrrrt-Trrrrrrt

Ponselku bergetar, aku buru-buru mengeceknya. Sky membalas chatku.

[Sorry, gue lagi kursus tadi, ponsel aku silent]

Ntah kenapa, ada perasaan yang sangat lega di dada ini. Hingga aku menghela napas panjang.

[Kursus dimana? Udah kelar?]

Balasku.

[Di LIA, Udah]

[Gue jemput ya?]

[Gue bawa motor, abis ini mau ke studio dulu, katanya ada yang mau ketemu sama gue.]

Aku tak membalas pesannya lagi. Tapi aku berlari menuju kamarku, lalu segera menuju ke kamar mandi. Bersiap untuk ke studio juga. Aku ingin bertemu dengannya di sana.

*****

Tiga puluh menit berlalu, aku siap dengan kaos oblong berwarna coklat tua dan jeans belel. Aku langsung berangkat menuju studio Memory.

Ku parkirkan motor, lalu menilik sekitar. Tak terlihat motor milik Sky disini. Apa mungkin dia belum tiba? Aku memutuskan untuk menunggunya di depan ruang mixing kemarin.

“Hei Langit?” Seseorang menyapaku. Aku menoleh, ternyata dia kak Andri. “Jadwal kamu besok kan?”

“Eh, iya kak. Iseng aja kesini.” Jawabku, aku tak mungkin jujur padanya. Sengaja datang kesini demi menemui Sky. “Kak Andri mau ngajar?” Tanyaku berbasa-basi.

“Iya, masuk dulu yah?” Katanya. “Eh, tadi juga Sky baru dari sini. Kalian kompakan amat.” Sambungnya.

Berarti Sky sudah tiba duluan, lalu pergi lagi? Aku menyusul kak Andri ke dalam studio.

“Kak, tadi Sky kesini? Terus sekarang dimana?” Tanyaku tanpa permisi, membuka pintu studio seenaknya.

Dua orang murid kak Andri reflek menatapku bersamaan.

“Sky?” Tanya kak Andri memastikan. Aku mengangguk kencang. “Tadi dia di ajak gitaris band Luminous, katanya butuh vokalnya dia, buat di masukin ke dalam lagu. Itu doank yang gue tau sih.”

“Luminous?” Sungguh aku tak kenal mereka.

“Ya, Ryo. Gitarisnya si Ryo.” Jelas kak Andri.

“Oh, oke kak, thank you infonya. Maaf aku ganggu.” Ucapku tak enak hati.

“Santai aja Lang.” Katanya tersenyum.

Setelah membalas senyumannya, aku menutup kembali pintu studio.

[Lu lagi dimana?]

Aku mengirim chat itu pada Sky.

[Lagi di rumahnya kak Ryo]

Siapa Ryo? Siapa Luminous. Ah, aku tidak tau siapa itu. Aku terlalu baru di dunianya.

[Sedang apa?]

Tanyaku lagi.

[Lagi latihan, aku di ajak rekaman untuk lagu baru mereka]

Balasnya, sama persis dengan info yang di berikan kak Andri barusan. Dia sangat jujur padaku.

[Lu sama siapa di sana?]

Apa aku begitu cerewet?

[Ada kak Ryo, kak Fredy, sama temannya satu lagi, gue ngga kenal]

Balasnya.

[Cowok semua?]

Lagi-lagi aku bertindak tidak sesuai otakku. Kenapa aku begitu berlebihan menginterogasinya?

[Yap, aku latihan dulu yah?]

Sepertinya dia sedang tidak ingin di ganggu. Tapi aku masih penasaran. Kenapa latihannya di rumah Ryo? Bukan di studio? Apa di rumah Ryo ada studio? Segudang pertanyaan berputar-putar di otakku.

[Latihannya dimana? Please jawab dulu]

Akhirnya aku mengiriminya chat lagi.

[Di kamarnya kak Ryo]

Wah, hatiku tak karuan. Di kamar? Dengan tiga laki-laki. Seketika aku resah tak menentu. Aku ingin menyusulnya, membawa kabur dia dari sana. Tapi aku tak tau dimana Ryo tinggal.

Setelah terduduk diam di depan ruangan tempat kami duduk berdua kemarin. Aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Aku tak mau terbodoh sendirian disini.

*****

Pukul Lima sore. Aku ingin menelponnya, tapi aku tak yakin dia sudah selesai dengan urusannya. Aku terus menatap jam yang terpajang di dinding kamar. Lalu kembali menatap layar ponsel. Berharap ia mengajariku duluan. Aku tak sadar diri, memangnya aku siapa? Hingga dia dengan sukarela mengabariku. Tapi harapan itu sangat besar.

KRUCUK ...,

Itu suara perutku, cacing-cacing di dalamnya sepertinya mulai protes. Karena aku masih belum memasukan makanan apapun sejak tadi. Akhirnya aku mengalah, aku turun ke bawah demi mengisi perutku yang lapar.

Terlihat Mama yang sedang sibuk membersihkan piring-piring di atas meja.

“Langit? Kamu di rumah? Mama pikir kamu keluar, main basket.” Sapa Mama.

“Kan udah lama aku ngga main basket lagi Ma ...,” Jawabku, sembari mengambil piring di rak. “Aku mau makan ya Ma? Maaf ya Ma, jadi nambahin piring kotor lagi.”

“Kamu belum makan?”

Aku menggeleng, “Belum, ini baru laper.”

“Lauknya tinggal ini doank, ngga apa-apa?” Mama menyodorkan sepotong ayam goreng rempah kesukaanku.

“It’s oke, Ma.” Kataku sembari tersenyum.

“Sini Mama ambilin nasinya?” Mama mengulurkan tangannya, aku menyerahkan piring yang aku pegang pada Mama.

Begitulah Mama, sangat perhatian pada semua orang di rumah ini.

“Nih, Mama ambilin sambel yah?” Mama meletakkan sepiring nasi panas di depanku.

Aku tak makan dengan lahap kali ini. Walau di hadapanku adalah makanan kesukaanku yang tersedia. Pikiranku masih berkutat pada Sky. Ku lirik jam di layar ponsel. Sudah hampir magrib.

“Jangan lama-lama makannya Lang, sebentar lagi Magrib. Shalat berjamaah.” Mama mengingatkanku.

“Iya Ma,” Aku tersenyum pada Mama.

Trrrrrt-Trrrrrt-Trrrrrrt

Satu chat masuk. Seperti harapanku, itu chat dari Sky. Aku buru-buru menghabiskan makananku. Lalu mencuci tangan dan segera berlari menuju kamar. Tak lupa membawa telpon di ruang keluarga ke dalam kamar. Aku hanya membaca sekilas chat itu. Intinya Sky mengabariku, kalau dia sudah di rumah sekarang.

Aku menekan nomer ponselnya. Tak sabar aku ingin mendengar suaranya.

“Ya, Hallo?” Jawab dari sana lembut.

“Balik jam berapa tadi?” Tanyaku tanpa basa-basi.

“Ya, ini. Baru balik banget. Lu tadi ke studio?”

“Hah? Ngga.” Aku berbohong. “Kamu kenal emang sama Ryo?”

“Kak Ryo? Baru kenal hari ini. Sebelumnya cuma tau aja. Ngga kenal.” Dia menjelaskan dengan suara yang terdengar seperti tertawa.

“Baru kenal? Tapi udah mau di ajak-ajak gitu?” Kataku agak sedikit emosi.

“Dia butuh suara gue, gue seneng lah. Di ajak sama Band terkenal, buat rekaman. Hihihi!” Dia malah tertawa.

“Terus tadi, beneran di kamarnya? Lu cewek sendiri?” Aku masih emosi.

“Iya, di kamarnya. Lu khawatir ya?” Dia terdengar masih tertawa.

“Iya, jelas gue khawatir lah. Besok-besok kalau lu di ajak kesana lagi. Kabarin gue ya? Biar gue temenin.”

Apa yang aku ucapkan? Memangnya aku siapa? Sementara pacarnya saja tak peduli.

“Lu kan cowok juga, malah makin rame dong cowoknya ntar.” Dia terdengar bercanda.

“Seengganya kita kenal. Lu ngga sendirian di sana.” Kataku geram.

“Oke, oke! Ntar kalau kesana lagi, bareng lu aja. Hihihi!” Dia terdengar tertawa geli. “Udah adzan nih. Shalat dulu yuk?”

“Oke, ntar aku telpon lagi ya? Tapi kalo telponnya ngga di pake.” Jujur aku belum puas mendengar suaranya.

“Oke!” Ucapnya. “Hihihi!” Dia terdengar tertawa lagi.

“Ya udah, tutup.” Kataku.

“Oke!” Dia menutup telponnya.

Apa yang aku lakukan sebenarnya? Aku tak mengerti akan tindakanku. Tapi aku bahagia, karena sepertinya dia nyaman dengan apa yang aku lakukan.

“Woi! Shalat!” Terdengar suara kak Hana dari balik pintu.

“On the way!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status