Share

1. Pacar Baru

Penulis: Hilda Wardani
last update Terakhir Diperbarui: 2022-08-07 01:17:28

Pukul lima lewat lima belas menit, Rafka baru tiba di samping mobilnya yang terparkir pada basement gedung perkantoran tempatnya bekerja. Ia memencet tombol yang ada pada kunci mobil dan terdengar bunyi klik pelan dari mobilnya. Lalu ia membuka pintu mobil dan duduk di hadapan setir.

Tak lama kemudian mesin mobilnya menyala, mobil itu perlahan-lahan keluar dari parkiran basement, meluncur ke jalan raya yang dipenuhi berbagai macam kendaraan.

Padatnya jalanan ibu kota saat jam pulang kerja bukanlah hal aneh baginya. Mau tak mau Rafka harus menurunkan kecepatan mobilnya, membuat lelaki itu mendengus pelan karena waktu semakin menjelang petang.

Rafka melirik jam tangannya. Sudah sepuluh menit berlalu dan mobilnya belum berada jauh dari kantornya. Ia mendengus lagi, berusaha menyabarkan hatinya sendiri menghadapi kemacetan Ibu Kota yang tak pernah absen mewarnai jalan raya.

Terdengar ringtone ponsel pertanda panggilan masuk, Rafka mengangkat panggilannya yang sudah tersambung dengan airpods di telinganya.

"Aku udah keluar, kamu di mana?" Suara manis seorang wanita segera menyapanya dari seberang sana.

"Masih di jalan. Macet banget, ya, kapan sih gak macet?" Rafka menyahuti pertanyaan wanita di telepon itu.

"Yaudah, aku tunggu di lobi, ya."

"Iya, Sayang."

"Bye."

"Hm."

Setelah panggilannya berakhir, Rafka kembali fokus pada jalanan di hadapannya. Barusan adalah telepon dari kekasihnya, Fara. Dan tujuannya setiap pulang kantor adalah kantor Fara, untuk menjemput wanita itu.

Letak kantornya dengan kantor Fara memang tidak terlalu jauh, jika jalanan normal ia hanya membutuhkan waktu lima belas menit dengan menggunakan mobil. Namun, saat jam pulang kerja seperti ini, paling cepat Rafka bisa sampai di kantor tempat Fara bekerja dalam waktu tiga puluh menit.

Setelah menempuh waktu sekitar empat puluh lima menit, akhirnya ia sampai di basement parkir gedung, tempat Fara bekerja. Setelah memarkirkan mobilnya, ia naik lift menuju lobi tempat Fara menunggu.

Rafka mengedarkan pandangannya ketika memasuki lobi, lalu menemukan Fara duduk di salah satu sofa yang tersedia di sana. Ia berjalan menghampiri Fara, wanita itu tampak sibuk dengan ponsel di tangannya dan airpods yang terpasang di kedua telinganya.

Kening Fara tampak berkerut saat sedang memperhatikan ponselnya, mungkin ia melihat sesuatu yang membuatnya bingung.

Rafka menyukai cara wanita itu berekspresi.

"Pacarnya Rafka, ya?" Rafka berhenti di hadapan Fara, membuat wanita itu mendongak karena mengenali suara itu.

Fara tertawa pelan, lalu menyahut, "Iya, nih, masa disuruh nunggu gini, Mas. Nanti kalo diambil orang si Rafka ngamuk."

"Gak bakal ngamuk kok, Rafka, kan, orangnya baik hati dan penyabar."

"Kamu? Sabar? Bisa hujan badai dunia ini, Raf, kalo kamu bisa sabar." Fara tertawa meledek Rafka dengan jawaban sarkasnya, lalu berdiri dan berjalan mendahului Rafka yang masih berdiri di tempatnya.

"Aku sabar, kok, kalo ngadepin macet pas pulang kerja. Kalo aku gak sabar, udah aku tabrakin semua kendaraan yang ngalangin."

"Abis itu kamu ditangkep polisi, masuk penjara, pas keluar jadi mantan napi. Jangan harap aku masih mau sama kamu, ya."

"Yah, kalo kamu gak mau sama aku, aku cari yang lain lah. Meskipun mantan napi, kadar kegantenganku, kan, gak berkurang."

Fara menoleh ke sampingnya, di mana Rafka sudah berjalan sejajar dengannya, tanpa ragu wanita itu mencubit kecil lengan Rafka karena ucapannya barusan.

"Aw aw aw." Rafka meringis dan menjauhkan tangannya dari jangkauan Fara. "Sakit tau!" cibir Rafka. "Ciye yang takut aku cari yang lain, ciye. Pasti udah sayang banget, tuh," lanjutnya, masih menggoda Fara.

Fara bergidik mendengar suara Rafka yang kini menggodanya dengan sangat norak, suara Rafka yang lumayan keras membuat beberapa pasang mata menoleh ke arahnya, lalu ia segera berjalan cepat meninggalkan lelaki itu.

"Bukan pacar aku. Bukan. Gatau siapa, sih?"

Rafka tertawa dengan tingkah Fara yang kini sudah berjalan di depannya lagi.

Rafka mempercepat langkahnya untuk mensejajari Fara, setelah kembali berjalan di sebelah wanita itu, ia merangkulnya dengan lembut.

Mereka sudah di dalam mobil Rafka, mobil itu kembali melaju menuju jalan raya yang masih macet. Normalnya, Rafka mengendarai mobil dengan kecepatan di atas 60-80 km/jam. Namun, di waktu pulang kerja turun menjadi 20 km/jam.

"Far, kamu tau Fando temen SMA aku? Yang sering main sama aku itu?" tanya Rafka, di sela-sela konsentrasi dengan jalanan.

Fara mengingat sebentar, ia tau teman-teman SMA Rafka karena Rafka masih aktif bermain dengan mereka, hanya saja ia berpikir yang mana yang bernama Fando.

"Ah iya, Fando! Yang alumni IPB, ya? Kenapa emang?"

"Iya, yang itu. Minggu depan dia nikah. Gila, ya, gak nyangka tuh anak yang nikah duluan. Kita—aku dan yang lainnya—gak ada yang tau dia nikah sama siapa?" Rafka bercerita dengan antusias.

Ia suka berbagi cerita dengan Fara, karena wanita itu akan menyimaknya dengan baik, juga menanggapi ceritanya yang sebenarnya banyak yang tidak pahami Fara.

"Lah, bisa gitu? Emang Fando gak punya pacar? Atau dia gak pernah cerita kali sama kalian?"

Rafka berpikir sejenak, mengingat-ingat tentang wanita mana yang pernah dekat dengan Fando. Namun, sebisa mungkin ia mencari, sejak masuk SMA hingga detik ini, ia tidak menemukan satu pun wanita yang pernah pacaran dengan Fando. Yang ia ingat hanya satu nama, cewek yang pernah Fando suka saat SMA. Namun, ia segera menepis nama itu dari pikirannya.

"Serius, gak tau. Dia gak pernah deket sama cewek, atau godain cewek juga sih, asli kaku banget! Makanya kaget pas tau dia mau nikah."

"Mungkin, dia emang gak suka aja kali cerita tentang cewek ke temen-temennya."

"Atau kapok?" cetus Rafka tiba-tiba.

Fara seketika menoleh, merasa tertarik dengan tanggapan Rafka. "Kapok?" ulangnya, tidak mengerti maksud Rafka.

Rafka hanya mengangguk, sambil tersenyum. Tanpa menjawab apa pun lagi.

Obrolan mengenai wanita mana yang akan dinikahi Fando berakhir sampai sana. Pembicaraan mereka berakhir saat Rafka mengajak Fara untuk menghadiri pernikahan Fando minggu depan, tapi Fara berusaha mengecek agendanya terlebih dahulu.

Mengisi perjalanan dengan obrolan ringan, tanpa terasa mobil Rafka sudah sampai di depan gerbang rumah Fara. Wanita itu pun bergegas turun tanpa menunggu Rafka membukakan pintu untuknya. Terlebih, Rafka tidak mungkin melakukan itu. Rafka yang pemalas, mana mungkin mau kurang kerjaan bukain pintu mobil untuknya?

Lalu, mobilnya melesat meninggalkan komplek perumahan tempat tinggal Fara. Untuk kembali memasuki jalan raya yang sudah mulai lengang.

Teringat akan Fara, sebenarnya belum lama ia berpacaran dengan wanita itu. Mungkin baru sekitar sembilan bulan terakhir ini, meski mereka sudah mengenal lebih dari setahun.

Pertemuan awal mereka bermula saat ia mengunjungi kantor pusat, yang satu gedung dengan tempat Fara bekerja. Ketika ia diajak makan siang dengan rekan kerjanya di gedung tersebut, di kantin yang berada pada lantai lobi gedung, sayangnya siang itu sedang penuh.

Alena, rekan kerja Rafka di perusahaan pusat tempat Rafka bekerja, kebetulan mengenal Fara. Karena meja yang ditempati Fara tidak terlalu penuh, Alena akhirnya mengajaknya untuk bergabung dengan Fara dan teman-temannya.

Dari sana mereka saling mengenal, hingga beberapa pertemuan baik yang kebetulan atau pun direncanakan, hingga akhirnya sembilan bulan yang lalu Rafka baru menyatakan perasaannya pada Fara. Perlahan, tapi meyakinkan, membuat Fara tak kuasa untuk menolak Rafka.

***

Hari itu pun tiba, hari pernikahan Fando. Dan sampai hari itu pula, Rafka masih tidak mengetahui wanita mana yang akan dinikahi Fando selain wanita itu bernama Nadira. Meskipun ia memiliki akses grup W******p bersama teman-teman SMA-nya, tapi Fando sama sekali tak berbicara tentang wanita itu.

Sabtu pagi, Rafka sudah rapi dengan kemeja batik bermotif kompakan dengan teman-teman SMA-nya, yang sumpah norak abis, tapi ia tetap memakainya.

Ijab kabul dilaksanakan jam sepuluh, sedang resepsi menyusul di malam hari. Fara tidak bisa ikut karena harus menemani ibunya berkunjung ke rumah Neneknya, yang biasanya memakan waktu seharian penuh.

Ponselnya mendadak ramai dengan bunyi notifikasi W******p-nya. Rafka masih menunggu mobilnya yang sedang dipakai Retha, adiknya, mengantar Ibu ke pasar. Kebetulan acara juga mulai jam sepuluh, dan saat ini baru jam delapan.

Rafka membaca pesan-pesan di roomchat tidak bermutu dari teman-temannya, sambil sesekali terkekeh pelan. Roomchat itu berisikan teman sekelasnya semasa SMA, tepatnya hanya anak-anak cowok yang main dengannya saja.

Rafka akhirnya tertarik dengan isi chat teman-temannya yang membahas calonnya Fando, dan mengaitkan dengan nama pacarnya. Mata Rafka agak memicing dengan teori teman-temannya itu.

Dika : namanya Nadira, lah cewenya Rafka Anindia Fara

Bagas : passs bangettt guyzzzzzzz

Farel : pantes Fando gapernah cerita

Deni : diam diam bales dendam hahaha

Rafka menggelengkan kepalanya melihat isi chat teman-teman SMA-nya itu. Ia melempar ponselnya asal ke kasur, tidak terlalu memikirkan soal Nadira calon istriya Fando dan Anindia Fara tunangannya. Lagi pula, gak mungkin banget kan?

Namun, Rafka menjadi teringat sesuatu.

Fando.

Kapok.

Balas dendam.

Dan seorang cewek yang pernah mengisi masa SMA mereka.

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Antara Mantan dan Selingkuhan   Epilog

    "Cause all of me. Loves all of you. Love your curves and all your edges. All your perfect imperfections. "Give your all to me. I'll give my all to you. You're my end and my beginning. Even when I lose I'm winning. 'Cause I give you all of me. And you give me all of you." - All Of Me, John Legend __________ Sebuah ruangan 2x3 yang terletak di sayap gedung, menjadi ruang privat antara perias dan calon mempelai wanita. Bagai ratu, mempelai wanita ditangani khusus oleh pemilik usaha riasan pengantin itu. Para pendamping sudah lebih dulu dirias bergantian oleh beberapa asisten di ruangan sebelah. Riasan pemeran utama jelas sakral dan memakan waktu lebih lama. Mata Mone mengerjap-ngerjap usai perias memasangkan bulu mata. Meski ia minta riasan sederhana, faktanya ia tetap harus memakai entah berapa lapis bulu mata yang membuatnya sulit untuk mengedip. Untuk sentuhan terakhir, Riani, pemilik bisnis perias pengantin itu menyemprotkan hairspray pada rambutnya yang sudah ditata. Setelahnya,

  • Antara Mantan dan Selingkuhan   48. Mengikat Tanpa Cincin

    "Ketemu!" Hilman setengah berteriak, ia membuka gulungan tali tersebut, lalu menyuruh Mone untuk sedikit menyingkir.Dikaitkannya tali tersebut pada batang pohon yang terlihat kokoh, yang berada di dekat situ. Hilman khawatir jika hanya mengandalkan tenaga mereka, yang ada malah yang lainnya ikut terseret. Kemudian, ia melemparkan tali tersebut pada Rafka, agar lelaki itu dapat memanjat dengan berpegangan pada tali tersebut."Tangan Rafka berdarah!" Mone memberitahu pada Bagas yang kini ada di dekatnya."Tenang, Mon. Rafka pasti bisa naik." Bagas menggenggam sebelah tangan Mone yang bergetar ketakutan, berusaha menenangkan sahabatnya itu.Rafka menggapai tali yang bergelantungan di sampingnya. Ia menoleh ke bawah sekilas, berusaha menelaah seberapa dalam tempat itu jika tak mampu menarik dirinya dengan tali itu. Namun, gelapnya malam seolah mengubur pandangannya. Ia tak dapat melihat ke bawah dengan jelas, tertutup oleh pekat.Kedua tangannya kini sudah menggenggam tali. Perlahan, ia

  • Antara Mantan dan Selingkuhan   47. Lamaran Di Tepi Jurang

    Mone merapatkan mantel tebal yang melekat di tubuhnya. Hawa dingin semakin terasa merasuk ke tulangnya saat pendakian semakin mendekati puncak. Terlebih karena hari sudah mencapai petang, membuat sinar matahari perlahan memudar, berganti tugas dengan rembulan yang mulai menampakkan kehadirannya.Kakinya terus melangkah mengikuti teman-temannya yang berjalan di depannya. Mereka tampak mengejar waktu sebelum hari semakin malam, untuk setidaknya sampai pada pos berikutnya, lalu akan mendirikan tenda untuk bermalam sebelum melanjutkan perjalanan menuju puncak.Jalan berbatu dengan kanan-kiri jalan yang dipenuhi semak belukar, membuat langkahnya kesulitan. Terlebih karena pencahayaan yang mulai meremang, beberapa senter sudah mulai dinyalakan untuk membantu penerangan."Gara-gara si Rafka nih kebanyakan minta istirahat, jadi kesorean, kan!"Terdengar suara Alvin yang berjalan di belakangnya mengeluh, menyalahkan Rafka yang entah sudah berapa kali mengajak beristirahat karena kelelahan."Gu

  • Antara Mantan dan Selingkuhan   46. Hubungan Dewasa

    Minggu sore, bagian luar stadion Gelora Bung Karno tampak ramai pengunjung. Di akhir pekan, tempat itu menjadi salah satu favorit warga Ibu Kota dalam melakukan aktivitas kebugaran jasmani. Sejak pagi hari yang dibarengi dengan car free day, sampai nyaris tengah malam, tempat itu tidak pernah sepi oleh pengunjung yang datang dan pergi silih berganti.Mone menghentikan aktivitas larinya yang sudah mencapai putaran kedua. Wanita itu kini hanya melangkah seperti biasa, diikuti Rafka yang sudah berjalan sejak menuntaskan lari satu putaran."Kamu gak lari!" protes Mone saat Rafka sudah berjalan di sebelahnya."Capek, Mon! Ini ngiterin GBK, bukan lapangan RPTRA*." Rafka mengulurkan air mineral yang ada di tangannya, yang segera disambut Mone.(RPTRA : Ruang Publik Terpadu Ramah Anak)Diteguknya air mineral sampai isinya nyaris separuh, lalu ia melanjutkan langkahnya, yang mulai berjalan santai. Namun, tetap mengitari stadion."Lagi, kamu kesambet setan apaan ngajak lari gini? Kamu mana mung

  • Antara Mantan dan Selingkuhan   45. Sorai Perpisahan

    "Aku bersyukur kamu bisa hidup dengan baik. Bisa main lagi sama temen-temen kamu, jalan-jalan setelah pulang kerja, dan Rafka? If you two get back together, I'm really happy for you." Pandu mengatakannya dengan tulus. Sesekali ia melambaikan tangannya ke arah Naka yang berteriak memanggilnya.Tidak ada sahutan dari Mone, hal itu membuat Pandu penasaran dan menolehkan kepalanya kembali pada wanita itu. Matanya terbelalak melihat Mone yang kini sibuk menghapuskan air mata yang membasahi pipinya."Mon, kamu ...." Tangan Pandu setengah terangkat, berniat merengkuh tubuh Mone, yang kemudian diurungkannya. Hal itu membuatnya hanya dapat meremat tangannya sendiri. "Seumur hidup, aku belom pernah sebenci ini terhadap apa pun. Tapi sejak pertama kali lihat kamu nangis, demi apa pun aku benci lihat itu. Kenapa hidup kamu harus sesakit ini? Dari sekian banyak pilihan takdir, kenapa Tuhan memilihkan takdir yang kayak gini buat kamu. Sejak saat itu, aku selalu berharap gak akan ada hal buruk lainn

  • Antara Mantan dan Selingkuhan   44. Demi Anak

    "Kau dan aku saling membantu, membasuh hati yang pernah pilu, mungkin akhirnya tak jadi satu, namun bersorai pernah bertemu...." - Sorai, Nadin Amizah____________Mone berjongkok, untuk menyamai tingginya dengan Naka. "Naka, kok sendirian? Emang ke sini sama siapa?" tanyanya lembut, meski mati-matian ia berusaha mengatur detak jantungnya, khawatir akan orang yang menemani Naka. Entah Anggika atau Pandu, Mone jelas tidak menginginkan keduanya."Ama Papa," sahutnya dengan suara yang terdengar menggemaskan.Mone mematung seketika, mendengar satu nama meluncur dari mulut kecil Naka. Namun, ia segera tersadar Naka tampak masih di hadapannya."Papanya mana?""Gak tau," jawab Naka polos.Mone mengembuskan napasnya yang mulai terasa berat, kemudian ia tersenyum untuk menghadapi Naka."Naka mau main ama Aunty. Papa kenapa gak ajak Aunty buat maen sama Naka?"Senyum Mone luntur seketika, mendengar ucapan Naka. Anak itu menganggapnya yang kerap kali berdalih mengajak Naka main untuk mencuri wak

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status