Share

1. Pacar Baru

Pukul lima lewat lima belas menit, Rafka baru tiba di samping mobilnya yang terparkir pada basement gedung perkantoran tempatnya bekerja. Ia memencet tombol yang ada pada kunci mobil dan terdengar bunyi klik pelan dari mobilnya. Lalu ia membuka pintu mobil dan duduk di hadapan setir.

Tak lama kemudian mesin mobilnya menyala, mobil itu perlahan-lahan keluar dari parkiran basement, meluncur ke jalan raya yang dipenuhi berbagai macam kendaraan.

Padatnya jalanan ibu kota saat jam pulang kerja bukanlah hal aneh baginya. Mau tak mau Rafka harus menurunkan kecepatan mobilnya, membuat lelaki itu mendengus pelan karena waktu semakin menjelang petang.

Rafka melirik jam tangannya. Sudah sepuluh menit berlalu dan mobilnya belum berada jauh dari kantornya. Ia mendengus lagi, berusaha menyabarkan hatinya sendiri menghadapi kemacetan Ibu Kota yang tak pernah absen mewarnai jalan raya.

Terdengar ringtone ponsel pertanda panggilan masuk, Rafka mengangkat panggilannya yang sudah tersambung dengan airpods di telinganya.

"Aku udah keluar, kamu di mana?" Suara manis seorang wanita segera menyapanya dari seberang sana.

"Masih di jalan. Macet banget, ya, kapan sih gak macet?" Rafka menyahuti pertanyaan wanita di telepon itu.

"Yaudah, aku tunggu di lobi, ya."

"Iya, Sayang."

"Bye."

"Hm."

Setelah panggilannya berakhir, Rafka kembali fokus pada jalanan di hadapannya. Barusan adalah telepon dari kekasihnya, Fara. Dan tujuannya setiap pulang kantor adalah kantor Fara, untuk menjemput wanita itu.

Letak kantornya dengan kantor Fara memang tidak terlalu jauh, jika jalanan normal ia hanya membutuhkan waktu lima belas menit dengan menggunakan mobil. Namun, saat jam pulang kerja seperti ini, paling cepat Rafka bisa sampai di kantor tempat Fara bekerja dalam waktu tiga puluh menit.

Setelah menempuh waktu sekitar empat puluh lima menit, akhirnya ia sampai di basement parkir gedung, tempat Fara bekerja. Setelah memarkirkan mobilnya, ia naik lift menuju lobi tempat Fara menunggu.

Rafka mengedarkan pandangannya ketika memasuki lobi, lalu menemukan Fara duduk di salah satu sofa yang tersedia di sana. Ia berjalan menghampiri Fara, wanita itu tampak sibuk dengan ponsel di tangannya dan airpods yang terpasang di kedua telinganya.

Kening Fara tampak berkerut saat sedang memperhatikan ponselnya, mungkin ia melihat sesuatu yang membuatnya bingung.

Rafka menyukai cara wanita itu berekspresi.

"Pacarnya Rafka, ya?" Rafka berhenti di hadapan Fara, membuat wanita itu mendongak karena mengenali suara itu.

Fara tertawa pelan, lalu menyahut, "Iya, nih, masa disuruh nunggu gini, Mas. Nanti kalo diambil orang si Rafka ngamuk."

"Gak bakal ngamuk kok, Rafka, kan, orangnya baik hati dan penyabar."

"Kamu? Sabar? Bisa hujan badai dunia ini, Raf, kalo kamu bisa sabar." Fara tertawa meledek Rafka dengan jawaban sarkasnya, lalu berdiri dan berjalan mendahului Rafka yang masih berdiri di tempatnya.

"Aku sabar, kok, kalo ngadepin macet pas pulang kerja. Kalo aku gak sabar, udah aku tabrakin semua kendaraan yang ngalangin."

"Abis itu kamu ditangkep polisi, masuk penjara, pas keluar jadi mantan napi. Jangan harap aku masih mau sama kamu, ya."

"Yah, kalo kamu gak mau sama aku, aku cari yang lain lah. Meskipun mantan napi, kadar kegantenganku, kan, gak berkurang."

Fara menoleh ke sampingnya, di mana Rafka sudah berjalan sejajar dengannya, tanpa ragu wanita itu mencubit kecil lengan Rafka karena ucapannya barusan.

"Aw aw aw." Rafka meringis dan menjauhkan tangannya dari jangkauan Fara. "Sakit tau!" cibir Rafka. "Ciye yang takut aku cari yang lain, ciye. Pasti udah sayang banget, tuh," lanjutnya, masih menggoda Fara.

Fara bergidik mendengar suara Rafka yang kini menggodanya dengan sangat norak, suara Rafka yang lumayan keras membuat beberapa pasang mata menoleh ke arahnya, lalu ia segera berjalan cepat meninggalkan lelaki itu.

"Bukan pacar aku. Bukan. Gatau siapa, sih?"

Rafka tertawa dengan tingkah Fara yang kini sudah berjalan di depannya lagi.

Rafka mempercepat langkahnya untuk mensejajari Fara, setelah kembali berjalan di sebelah wanita itu, ia merangkulnya dengan lembut.

Mereka sudah di dalam mobil Rafka, mobil itu kembali melaju menuju jalan raya yang masih macet. Normalnya, Rafka mengendarai mobil dengan kecepatan di atas 60-80 km/jam. Namun, di waktu pulang kerja turun menjadi 20 km/jam.

"Far, kamu tau Fando temen SMA aku? Yang sering main sama aku itu?" tanya Rafka, di sela-sela konsentrasi dengan jalanan.

Fara mengingat sebentar, ia tau teman-teman SMA Rafka karena Rafka masih aktif bermain dengan mereka, hanya saja ia berpikir yang mana yang bernama Fando.

"Ah iya, Fando! Yang alumni IPB, ya? Kenapa emang?"

"Iya, yang itu. Minggu depan dia nikah. Gila, ya, gak nyangka tuh anak yang nikah duluan. Kita—aku dan yang lainnya—gak ada yang tau dia nikah sama siapa?" Rafka bercerita dengan antusias.

Ia suka berbagi cerita dengan Fara, karena wanita itu akan menyimaknya dengan baik, juga menanggapi ceritanya yang sebenarnya banyak yang tidak pahami Fara.

"Lah, bisa gitu? Emang Fando gak punya pacar? Atau dia gak pernah cerita kali sama kalian?"

Rafka berpikir sejenak, mengingat-ingat tentang wanita mana yang pernah dekat dengan Fando. Namun, sebisa mungkin ia mencari, sejak masuk SMA hingga detik ini, ia tidak menemukan satu pun wanita yang pernah pacaran dengan Fando. Yang ia ingat hanya satu nama, cewek yang pernah Fando suka saat SMA. Namun, ia segera menepis nama itu dari pikirannya.

"Serius, gak tau. Dia gak pernah deket sama cewek, atau godain cewek juga sih, asli kaku banget! Makanya kaget pas tau dia mau nikah."

"Mungkin, dia emang gak suka aja kali cerita tentang cewek ke temen-temennya."

"Atau kapok?" cetus Rafka tiba-tiba.

Fara seketika menoleh, merasa tertarik dengan tanggapan Rafka. "Kapok?" ulangnya, tidak mengerti maksud Rafka.

Rafka hanya mengangguk, sambil tersenyum. Tanpa menjawab apa pun lagi.

Obrolan mengenai wanita mana yang akan dinikahi Fando berakhir sampai sana. Pembicaraan mereka berakhir saat Rafka mengajak Fara untuk menghadiri pernikahan Fando minggu depan, tapi Fara berusaha mengecek agendanya terlebih dahulu.

Mengisi perjalanan dengan obrolan ringan, tanpa terasa mobil Rafka sudah sampai di depan gerbang rumah Fara. Wanita itu pun bergegas turun tanpa menunggu Rafka membukakan pintu untuknya. Terlebih, Rafka tidak mungkin melakukan itu. Rafka yang pemalas, mana mungkin mau kurang kerjaan bukain pintu mobil untuknya?

Lalu, mobilnya melesat meninggalkan komplek perumahan tempat tinggal Fara. Untuk kembali memasuki jalan raya yang sudah mulai lengang.

Teringat akan Fara, sebenarnya belum lama ia berpacaran dengan wanita itu. Mungkin baru sekitar sembilan bulan terakhir ini, meski mereka sudah mengenal lebih dari setahun.

Pertemuan awal mereka bermula saat ia mengunjungi kantor pusat, yang satu gedung dengan tempat Fara bekerja. Ketika ia diajak makan siang dengan rekan kerjanya di gedung tersebut, di kantin yang berada pada lantai lobi gedung, sayangnya siang itu sedang penuh.

Alena, rekan kerja Rafka di perusahaan pusat tempat Rafka bekerja, kebetulan mengenal Fara. Karena meja yang ditempati Fara tidak terlalu penuh, Alena akhirnya mengajaknya untuk bergabung dengan Fara dan teman-temannya.

Dari sana mereka saling mengenal, hingga beberapa pertemuan baik yang kebetulan atau pun direncanakan, hingga akhirnya sembilan bulan yang lalu Rafka baru menyatakan perasaannya pada Fara. Perlahan, tapi meyakinkan, membuat Fara tak kuasa untuk menolak Rafka.

***

Hari itu pun tiba, hari pernikahan Fando. Dan sampai hari itu pula, Rafka masih tidak mengetahui wanita mana yang akan dinikahi Fando selain wanita itu bernama Nadira. Meskipun ia memiliki akses grup W******p bersama teman-teman SMA-nya, tapi Fando sama sekali tak berbicara tentang wanita itu.

Sabtu pagi, Rafka sudah rapi dengan kemeja batik bermotif kompakan dengan teman-teman SMA-nya, yang sumpah norak abis, tapi ia tetap memakainya.

Ijab kabul dilaksanakan jam sepuluh, sedang resepsi menyusul di malam hari. Fara tidak bisa ikut karena harus menemani ibunya berkunjung ke rumah Neneknya, yang biasanya memakan waktu seharian penuh.

Ponselnya mendadak ramai dengan bunyi notifikasi W******p-nya. Rafka masih menunggu mobilnya yang sedang dipakai Retha, adiknya, mengantar Ibu ke pasar. Kebetulan acara juga mulai jam sepuluh, dan saat ini baru jam delapan.

Rafka membaca pesan-pesan di roomchat tidak bermutu dari teman-temannya, sambil sesekali terkekeh pelan. Roomchat itu berisikan teman sekelasnya semasa SMA, tepatnya hanya anak-anak cowok yang main dengannya saja.

Rafka akhirnya tertarik dengan isi chat teman-temannya yang membahas calonnya Fando, dan mengaitkan dengan nama pacarnya. Mata Rafka agak memicing dengan teori teman-temannya itu.

Dika : namanya Nadira, lah cewenya Rafka Anindia Fara

Bagas : passs bangettt guyzzzzzzz

Farel : pantes Fando gapernah cerita

Deni : diam diam bales dendam hahaha

Rafka menggelengkan kepalanya melihat isi chat teman-teman SMA-nya itu. Ia melempar ponselnya asal ke kasur, tidak terlalu memikirkan soal Nadira calon istriya Fando dan Anindia Fara tunangannya. Lagi pula, gak mungkin banget kan?

Namun, Rafka menjadi teringat sesuatu.

Fando.

Kapok.

Balas dendam.

Dan seorang cewek yang pernah mengisi masa SMA mereka.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status