Share

Antara Mantan dan Selingkuhan
Antara Mantan dan Selingkuhan
Penulis: Hilda Wardani

Prolog

Lewat tengah malam, jalanan Ibu Kota tampak lengang, bahkan nyaris tak ada yang melintas. Hanya beberapa kendaraan yang didominasi truk barang melintas dengan kecepatan gila-gilaan karena kosongnya jalan.

Rafka memacu motornya dengan kecepatan maksimal. Namun, karena motornya merupakan keluaran lama dan sudah sering mengalami gejala kerusakan, kecepatan maksimal dari motor tersebut jauh dari kata maksimal. Sepanjang jalan ia merapalkan sumpah serapah untuk motornya yang tidak mau bekerja sama di saat genting seperti ini.

Menempuh waktu lima belas menit, ia tiba di depan rumah teman SMA sekaligus satu kampusnya. Ia tau ini sudah lewat tengah malam, tapi ia mendapat kabar yang sukses membuat jantungnya tak bisa berpacu dengan pelan.

"Gue udah di depan rumah lo, cepet keluar! Anter gue ke Sukabumi." Rafka berbicara dengan pemilik rumah di depannya melalui sambungan telepon, karena tak ingin membangunkan penghuni rumah yang lain.

"Hah? Ngapain? Lo gila, ya, Raf! Jam dua malem ngajak ke Sukabumi. Gue ngantuk."

"Mone ilang. Pinjem mobil bokap lo, anter gue ke sana."

Satu pemberitahuan yang membuat Rafka gelisah sejak tadi, berhasil membangunkan Bagas dari tidurnya dan bergegas mengeluarkan mobil milik ayahnya untuk mengantar Rafka ke jalur pendakian salah satu gunung tertinggi di Jawa Barat.

Bagas mengeluarkan mobil dari garasi rumahnya, sedang Rafka memarkirkan motor miliknya di dalam garasi rumah cowok itu, sebelum ikut naik ke mobil.

Sepanjang perjalanan, Bagas tak banyak bertanya saat melihat Rafka yang tampak sibuk dengan ponselnya, menelpon beberapa pihak untuk bantu mencari Mone.

Setelah menempuh waktu tiga jam, mereka sudah sampai di tujuan.

Sesampainya di sana Rafka melihat beberapa orang yang dikenalnya terlihat khawatir sama sepertinya. Berbekal emosi yang ditahannya sejak mendapat kabar Mone hilang, ia segera menghampiri salah satu cowok yang sedang sibuk memberikan informasi pada tim SAR yang baru tiba.

Seketika, Rafka menonjok cowok itu tepat di wajahnya, membuat kerumunan di tempat tersebut tertuju pada Rafka.

"Bangsat lo! Gue udah bilang jangan ngajak Mone, lo malah nutupin kalo Mone ikut!" Rafka memaki cowok itu yang kini sudah tersungkur.

Beberapa orang memisahkan Rafka yang tampak emosi. Ia masih terus meronta dan ingin menghajar Hilman, ketua Sarpala, UKM Pecinta Alam di kampusnya, yang juga teman mainnya saat di kampus.

Bagas segera menarik Rafka, menjauhkan cowok itu dari Hilman yang tengah sibuk dalam pencarian Mone yang menghilang saat pendakian. Sebisa mungkin ia berusaha menenangkan Rafka yang kini terlihat seperti orang kesetanan.

Setelah beberapa saat Rafka mulai tenang dari emosinya, Hilman menghampiri Rafka.

"Raf, sorry. Gue tau gue salah gak bilang sama lo kalo Mone ikut. Gue mau ikut naek buat nyari Mone, lo ikut gak?" tanya Hilman.

Rafka terdiam sesaat, lalu melihat jalur pendakian yang tampak gelap. Serta merta sederet ketakutan mulai menghantuinya.

Rafka menggeleng pasrah. Ia bahkan tidak bisa ikut mencari Mone.

***

Pukul tujuh pagi, tim SAR beserta rombongan anggota Sarpala yang ikut dalam pencarian akhirnya berhasil menemukan Mone. Kondisinya tidak terlalu buruk, meski cewek itu sempat ketakutan karena terpisah dari rombongannya sendirian. Beruntung ia tak bergerak dari posisinya, karena takut hilang terlalu jauh, membuatnya dapat segera ditemukan.

Mone dibawa ke warung yang menjadi tempat berkumpul teman-temannya, untuk beristirahat sejenak sebelum pulang ke Jakarta. Saat itu, ia melihat Rafka yang sedang menatapnya dengan tatapan tak terdefinisikan.

Mata Rafka tampak memerah, wajahnya terlihat sangat kusut, serta rambut yang acak-acakan. Mone menebak kemungkinan Rafka yang menangis menunggu kabar tentangnya. Namun, cowok itu tampak tak bergerak sejak melihat kedatangannya, padahal ia mengira Rafka akan segera memeluknya setelah lebih dari lima jam ia ketakutan di atas sana.

Kilatan mata Rafka membuat Mone akhirnya memahami situasi ini. Rafka memang terlihat khawatir padanya, juga marah.

"Raf ...," panggil Mone.

Rafka tidak menyahut, ia hanya memejamkan mata sejenak, sebelum akhirnya memeluk Mone.

Setelah melepaskan pelukannya, Rafka tak mengatakan apa pun. Ia justru pergi meninggalkan warung tersebut.

Mone mendesah pelan, antara kesal, tapi juga merasa bersalah. Mengurungkan niatnya untuk beristirahat, ia mengejar cowok itu.

Rafka belum bicara sama sekali dengannya, cowok itu tidak mengatakan apa pun. Padahal, Mone diceritakan bahwa Rafka menghajar Hilman karena menutupi keikutsertaannya dalam pendakian ini, dan itu memang bukan pertama kalinya.

"Rafka, aku gak papa, kok. Aku gak jatoh atau lecet sama sekali, tadi cuma kepisah bentar doang. Beneran, aku gak papa." Mone mengejar Rafka yang terus berjalan dan menjauh dari keramaian.

Mone menghadang jalan Rafka, membuat cowok itu menghentikan langkahnya. "Kamu liat, kan? Aku di sini, aku gak ilang."

Mone tau, Rafka melarang keras aktivitas Mone yang satu ini. Rafka bahkan sudah melarangnya untuk bergabung dengan Sarpala, karena ia pasti akan mengikuti pendakian. Namun, saat itu, ia berusaha meyakinkan bahwa UKM Pecinta Alam tidak selalu mendaki gunung.

Mone juga tau, Rafka memiliki trauma dengan pendakian. Kakaknya pernah hilang dan sampai sekarang tidak pernah ditemukan. Karena itulah Rafka tidak mengijinkannya mengikuti pendakian ini.

"Mon ...," panggil Rafka, yang akhirnya mulai buka suara. "Ini bukan pertama kalinya, kan? Aku tau setiap kali kamu dan Hilman bilang ada acara Sarpala yang entah ke mana, tapi bukan ke gunung, setiap itu kan kamu ikut?"

Mone menunduk. Rafka benar. Ia sering bekerja sama dengan Hilman yang merupakan teman Rafka setiap kali ia ingin ikut naik gunung.

"Mon, kalo tadi kamu gak ketemu, kalo kamu jatoh ke jurang, kalo gunungnya tiba-tiba erupsi, kalo"

"Tapi, sekarang aku gak papa. Aku di sini!" Mone memotong ucapan Rafka, sebelum ucapannya semakin panjang.

Mone mengerti Rafka hanya khawatir, tapi di situasi seperti ini, bukankah seharusnya Rafka terlebih dahulu menanyakan keadaannya? Sejak bertemu Rafka, ia berusaha untuk menunjukan bahwa ia tidak kenapa-napa. Bahwa ia baik-baik saja. Namun, bisakah Rafka setidaknya berusaha menenangkannya yang sebenarnya juga ketakutan?

"Mon, coba aja kalo kamu dengerin aku. Aku gak pernah ngatur kamu mau pergi ke mana pun, aku juga gak pernah larang kamu bergaul dengan siapa pun, aku juga gak marah pas kamu bohong lagi di rumah Decha padahal kamu nonton sama Rio, aku gak nuntut kamu buat selalu ngasih kabar. Aku gak pernah ngebatesin kamu apa pun, Mone. Kamu bebas ngelakuin semua hal yang pengen kamu lakuin tanpa perlu aku tau karena itu hak kamu."

"Aku bukan Kakak kamu, Rafka! Aku gak akan ilang kaya dia!" Kesal, suara Mone akhirnya ikut meninggi. Serentet hal-hal yang ia inginkan dari Rafka, tapi tidak satu pun yang cowok itu lakukan di saat seperti ini, membuatnya tak bisa lagi memaklumi trauma Rafka. "Kamu cuma ngomel di sini, bilang kalo aja-kalo aja, sedangkan semua orang udah repot nyariin aku. Kamu bahkan gak nanyain keadaan aku sama sekali. Aku udah ketakutan di sana sendirian, dan saat ketemu kamu kenapa aku harus ketakutan lagi?"

Sepanjang Rafka mengenal Mone, ia tau sifat Mone memang seperti ini. Mone tidak suka diatur—sebenarnya Rafka juga, tapi ia hanya meminta satu hal dengan Mone.

Jika satu-satunya yang Rafka minta tak lagi bisa Mone lakukan, ia pun tidak bisa. Ia tidak bisa terus menerus khawatir sepanjang malam saat ia tau Mone sedang beralasan untuk melakukan kegiatan apa pun, tapi nyatanya cewek itu sedang naik gunung.

Rafka tidak bisa terus-terusan menyalahkan teman-temannya yang menutupi hal ini, padahal mereka hanya mengikuti Mone.

Rafka tidak bisa. Ia tidak bisa lagi bersama Mone jika cewek itu seperti ini.

Mone bergegas pergi meninggalkan Rafka, ia malas berdebat lebih jauh untuk perkara yang tidak akan ada ujungnya ini.

"Mone," panggil Rafka. Suaranya terdengar pelan, tapi Mone menangkapnya.

Tak ayal cewek itu menghentikan langkahnya sejenak.

"Aku gak suka kamu naik gunung. Aku gak akan bisa terima kalo kamu bakal terus bohongin aku buat naik gunung." Nada suara Rafka kini mulai melunak, tapi suara itu malah membuat jantung Mone semakin berdetak dengan kencang. "Kita, selesai ... kamu gak perlu khawatir aku larang kamu ngelakuin apa pun, kamu gak perlu bohong kalo kamu emang suka itu. Aku harap kamu bahagia."

Mone yang membelakangi Rafka menutup mulutnya saat mendengar pernyataan Rafka barusan. Lalu ia mendengar langkah Rafka yang pergi meninggalkannya. Rafka sudah pergi tanpa menunggunya mengatakan apa pun.

Dada Mone terasa begitu sesak, Rafka sudah mengakhiri semuanya hari itu. Ia tidak menyangka perdebatannya hari ini mampu membuat Rafka memutuskannya seperti ini. Lututnya mendadak lemas, membuat cewek itu kini berjongkok di tempatnya. Tak mampu lagi menahannya, tangisnya pun pecah.

Empat tahun mereka berpacaran, sejak SMA hingga memutuskan untuk kuliah di kampus yang sama, dan barusan Rafka mengakhiri semuanya. Semuanya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status