Share

2. Dulu Kita Masih Remaja

"Dulu kita masih remaja. Usia anak SMA. Di sekolah kita berjumpa. Pulang pasti kita berdua. Dan kini kamu ada di mana? Dan kini rindu, apa kabarmu?" - Dulu Kita Masih Remaja, The Panas Dalam

_____________________

 12 Tahun Yang Lalu...

Tahun ajaran baru sudah masuk sejak satu minggu yang lalu, papan mading yang berisi daftar nama siswa dan penempatan kelasnya sudah tak ramai seperti hari senin di minggu kemarin.

Memang tidak ada yang menarik dari mading SMA Graha, selain berisi info-info tentang perlombaan yang sangat jarang diminati para siswanya. Mading itu hanya ramai saat hari pertama tahun ajaran baru, karena para siswa yang berebut untuk melihat namanya masuk di kelas mana.

Namun, pagi ini seorang siswa yang seragamnya ditutupi oleh sweater hitam berdiri di depan madding, memperhatikan daftar nama siswa yang masih tertempel di sana. Ia berusaha mencari namanya dalam jajaran daftar nama siswa di kelas sebelas. Ada satu kemungkinan mengapa siswa itu baru mencari tau namanya ada di kelas mana, padahal tahun ajaran baru sudah masuk satu minggu.

Siswa itu baru kembali masuk sekolah, setelah berlibur dua minggu ditambah libur sendiri satu minggu.

"Sebelas IPS tiga. Dengan berat hati gue infokan, kita gak sekelas, Raf."

Rafka menoleh ke asal suara yang berasal dari sampingnya, mendapati teman semejanya saat kelas sepuluh, Fando.

"Bukan bilang dari tadi, jadi gue gak lama-lama di depan mading kaya orang bego."

"Gue aja gak tau lo masuk hari ini, Nyet!" Fando berjalan mengikuti langkahnya menuju kelas barunya.

Mereka sampai di depan kelas XI IPS 3. Rafka melenggang memasuki kelas barunya dan Fando masih mengikutinya. Beberapa siswa XI IPS 3 memperhatikan wajah baru di kelasnya itu, sebagian yang pernah sekelas dengan Rafka mengenalnya, sebagian lagi tidak. Rafka memang tidak terlalu terkenal, karena memang tidak ada alasan untuk dia dikenal.

Rafka berjalan menuju meja paling belakang, yang terletak di pojok kelas, sebagai satu-satunya meja yang tersisa. Ia juga tidak berharap mendapat pilihan tempat duduk.

"Lo ngapain di sini, Raf?" tanya siswa yang duduk di bangku barisan belakang, menyapa Rafka ketika ia melemparkan tas ke meja.

"Gue sekelas sama lo lagi? Ya ampun, dosa apa yang udah gue lakuin?" Rafka membalas ucapan Farel, teman sekelasnya saat kelas sepuluh.

"Kelas lo di sini? Kok dari kemaren lo gak ada?" Dika yang menempati bangku di depan Rafka, kini menoleh. Saat kelas sepuluh , kelas cowok itu berada di sebelahnya, membuatnya lebih sering bergabung dengan anak-anak kelasnya.

"Gue baru masuk hari ini." Rafka menjawab dengan santai.

"Tai, berasa sekolah punya nenek lo ya, baru masuk hari ini."

Rafka tertawa mendengar komentar Farel, sedang Dika hanya menggelengkan kepala dengan kelakuannya.

"Nah, lo ngapain di sini, Do? Lo masuk IPS 1, kan?"

"Gue mau minta oleh-oleh lah, apa gunanya si Rafka liburan ke Bandung ampe tiga minggu gak bawa apa-apa?"

Seorang siswi yang duduk di deretan bangku paling depan, sedari tadi menoleh ke belakang. Siswi itu memperhatikan gerak-gerik Rafka yang baru datang dan langsung berbaur dengan teman-teman sekelas mereka.

Mone tidak mendengar apa yang dibicarakan cowok-cowok itu, tapi saat melihat gerak bibir mereka menyebut nama Rafka, ia akhirnya berdiri.

Ternyata itu yang bernama Rafka. Sejak cowok itu melewati depan meja Mone tadi, sebenarnya ia sudah mengira bahwa siswa itu adalah Rafka, karena Mone tak pernah melihatnya di kelas ini. 

Satu minggu kemarin, nama cowok itu selalu dikeluhkan oleh sekretaris kelas—yang duduk semeja dengannya—karena mengotori absen. Jadi, saat ada wajah baru di kelasnya, tak sulit bagi Mone mengira bahwa dia adalah Rafka.

"Rafka, ya?" tanya Mone saat sudah sampai di samping meja Rafka, membuat tak hanya Rafka yang menoleh, melainkan ketiga cowok yang tadi sedang terlibat candaan ikut menoleh.

"Ya." Rafka menjawab singkat sambil memperhatikan Mone. Ia memang pernah melihatnya, tapi tak pernah benar-benar mengenalnya.

"Kalo gue Dika." Dika ikut menjawab pertanyaan Mone.

"Gue Farel."

Mone melihat pada Dika dan Farel secara bergantian yang kini cengengesan. "Udah tau!" jawab Mone ketus.

Farel dan Dika hanya tertawa.

"Tugas seni budaya, lo satu kelompok sama gue, ya. Gue Mone. Hari rabu harus dikumpulin, anak-anak yang lain udah pada ngerjain, tapi karena lo gak masuk-masuk, gue belom ngerjain. Jadi, gue cuma mau bilang, pulang sekolah nanti kita harus selesain itu!" lanjutnya.

Rafka mendengarkan ucapan Mone hingga selesai, cewek itu tampak tidak terganggu meski barusan diledek oleh Farel dan Dika yang sepertinya sudah lebih mengenal Mone.

"Kelompoknya cuma berdua doang? Cuma lo sama gue?"

"Yap."

"Ciye, cuma berdua." Dika lagi-lagi bersuara, yang berhasil membuat kotak pensil plastik yang tertangkap oleh mata Mone menemplok di kepalanya.

"Aw, sadis lo, Mon!"

"Besok aja deh, ya, hari ini gue gak bisa."

"Kenapa?"

Rafka bingung ketika Mone bertanya. Maksudnya, mereka tidak cukup saling mengenal dan haruskah Mone bertanya 'kenapa?' saat Rafka mengatakan tidak bisa?

"Ada urusan." Tak ayal Rafka menjawab.

"Urusannya apa?"

Tanpa disangka, Mone malah bertanya seperti itu. Hal itu membuat mata Rafka melebar, menatap cewek yang masih berdiri di samping mejanya itu. Memang dia harus tau, apa?

"Kok lo kepo banget sih, Mon ama Rafka? Gue jadi curiga." Kali ini Farel yang menggoda Mone.

Sebenarnya Rafka juga mau bertanya seperti itu, memang apa pentingnya urusannya bagi cewek ini? Kenapa juga dia harus tau?

"Bukan gitu, maksud gue kalo urusannya gak penting, nanti ajalah. Tugas ini lebih penting, tau! Dikumpulin hari Rabu, dan kalo ngerjain besok berarti hari Selasa. Emang yakin bisa ngerjain dalam satu hari?" Mone yang tidak terima dengan tuduhan Farel segera menjelaskan, membuat cowok-cowok itu hanya manggut-manggut. Lalu Mone kembali menoleh pada Rafka. "Jadi, Rafka, apa pun urusan lo pulang sekolah nanti, tolong dibatalin, ya. Ini tugas pertama di kelas sebelas, gue gak mau nilai gue kosong gara-gara lo yang dari kemarin gak masuk dan urusan lo hari ini!" tandasnya.

Setelah mengatakan itu ia segera berbalik tanpa menunggu jawaban Rafka. Ia berjalan kembali menuju bangkunya.

Fando sedari tadi hanya diam. Karena ia tak mengenal Mone dan rasanya tidak enak jika ia ikut-ikutan berkomentar. Namun, setelah cewek itu kembali duduk di bangkunya, barulah Fando bersuara. "Dia Mone."

"Dia bossy." Rafka membalas ucapan Fando.

"Ya ampun, jadi lo sekelas sama Mone! Gue bakal sering-sering maen deh, Raf, ke kelas lo. Udah ah mau bel, gue balik ke kelas." Lantas Fando berdiri dan meninggalkan kelasnya, setelah mengatakan hal yang Rafka sendiri tidak mengerti.

Memangnya kenapa kalo dia Mone? Kenapa juga Fando harus sering main ke kelasnya?

"Gue baru inget si Fando pernah naksir sama Mone gara-gara satu bis pas LDKS." Farel yang membantu jawab pertanyaan dalam benak Rafka.

Ah, rupanya cewek itu yang pernah diceritakan Fando tempo hari. Cewek model bossy gitu yang disukai Fando? Rafka tebak, kalaupun cewek itu punya pacar atau siapa pun yang menjadi pacarnya, pasti dia yang lebih banyak mengatur.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status