“Udara mana kini yang kau hirup?
Hujan di mana kini yang kau peluk?
Di mana pun kau kini…
Rindu tentangmu tak pernah pergi” – Dere, Kota
_____________
Malam harinya merupakan acara resepsi pernikahan Fando. Rafka dan teman-temannya sudah berkumpul di sana, mengisi salah satu meja yang kosong untuk menaruh semua makanan yang ingin mereka cicipi.
Fando sendiri tampak sibuk menyalami tamu-tamu yang datang.
Sekedar informasi, tentu saja Nadira-nya Fando bukan Anindia Fara.
Rafka tertawa kecil mengingat tebakan asal teman-temannya. Sebrengsek-brengseknya hal yang pernah ia lakukan pada Fando, itu cuma masa lalu yang mungkin Fando sendiri sudah tidak mengingatnya.
"Dari dateng tadi kita belom salaman, nih." Farel mengingatkan teman-temannya yang masih sibuk mencicipi makanan.
"Nanti ajalah, gue sibuk. Lah si Bagas juga ngilang ke mana tuh?" Dika baru kembali dengan sebuah mangkuk berisikan bakso.
Farel sampai bergidik melihat porsi makan Dika. Padahal, belum lama lelaki itu baru menghabiskan sepiring siomay.
"Noh si Bagas, lagi modus-modus tai ama cewek," sahut Dika.
Rafka yang melihat Bagas segera berdiri, menyeret cowok itu untuk kembali ke meja bersama teman-temannya, sebelum melakukan hal aneh pada cewek-cewek yang terlihat sendirian.
Rafka dan Bagas akhirnya kembali ke meja tempat teman-temannya berkumpul, ternyata di sana sudah berdatangan beberapa teman SMA mereka yang lain.
Mata Rafka memicing, memperhatikan wanita yang bergabung dengan teman-temannya, berusaha mengingatnya.
"Buset, Raquelle makin cakep kok, ya? Jadi nyesel dulu mau deketin gak berani." Bagas yang berjalan di belakang Rafka segera duduk di sebelah wanita yang tadi dipanggilnya Raquelle.
Ah iya, dia Raquelle. Wanita paling cantik di kelasnya saat itu, dengan rambutnya yang berwarna kecoklatan dan bola mata berwarna abu-abu. Kini garis wajahnya terlihat lebih tegas.
"Gue juga gak pernah berharap dideketin sama lo sih, Gas." Raquelle menjawab sambil tersenyum meledek, tanpa sedikit pun melunturkan aura kecantikannya.
"Sakit. Mending jedotin kepala ke tembok sono, Gas." Deni bersuara, meledek Bagas yang wajahnya berubah masam.
Raquelle tertawa mendengar candaan dari Deni. Mereka masih tidak berubah, ia tidak tau mereka masih sering berkumpul atau tidak, tapi yang jelas mereka masih seakrab jaman SMA.
"Mone mana, Raf?" tanya Raquelle, tatapannya kini beralih pada Rafka, membuat cowok itu yang sedang mencicipi rujak seketika mengangkat kepalanya.
"Gak tau, El. Kita udah lost contact," jawab Rafka santai, sedangkan teman-teman cowoknya hanya terkekeh mendengar jawaban Rafka.
"Eh, kalian udah putus? Sejak kapan? Sorry, gue gak tau. Kirain kalian bakal goals ampe nikah gitu, mana elo kuliah juga bareng Mone, kan?"
"Ketahuilah wahai Raquelle, tidak ada yang abadi di dunia ini, ada kalanya Mone mulai sadar dari kekhilafannya yang bisa-bisanya mau sama Rafka." Alih-alih Rafka yang menjawab, Deni segera bersuara menjawab pertanyaan Raquelle.
"Ya, ya, semerdeka lo pada deh." Raquelle yang malas menanggapi candaan mereka hanya membalas seadanya, lalu wanita itu kini berkutat pada ponselnya.
"Tapi, Mone diundang gak? Di grup alumni juga gak ada kontak Mone, ngilang gitu, ke mana deh tuh anak?" Raquelle kembali membahas tentang Mone.
Semuanya bingung harus menjawab apa, karena memang sejak putus dari Rafka, Mone pergi begitu saja tanpa meninggalkan jejak.
"Gue gak tau, El." Tanpa disangka, Rafka yang menjawab pertanyaan Raquelle.
Deni, Farel, Bagas, dan Dika, teman-temannya yang mulutnya biadab itu, kini tidak lagi melontarkan ucapan-ucapan absurdnya. Mereka lebih dari tahu, bagaimana kisah Rafka dan Mone yang kandas karena keegoisan Rafka. Mereka menjadi saksi bagaimana hancurnya Rafka pasca putus dari Mone.
"Jangan bilang lo gak pacaran lagi setelah putus dari Mone ya, Raf? Muka lo desperate banget soalnya."
Rafka tertawa mendengar ucapan Raquelle. "Yakali, gue punya pacar kok."
"Yaelah, nyokap minta cucu, masih aja maennya pacaran kayak ABG. Dikawininnya kapan?"
Mulai lagi. Bagas yang tidak bisa mengontrol mulutnya kembali membuat ramai suasana.
"Berisik, Anjing! Kawin doang mah gampang. Gue kan gak cuman mau mindahin anak orang dari ranjang kamarnya ke ranjang gue."
"Apaan ini? Gue yang lagi nikah lo pada ngomongin ranjang."
"Bahasan lo pada masih aja ya, kawin ama ranjang."
Rafka yang saat itu tengah minum es jeruk miliknya, nyaris tersedak saat mendengar suara setelah suara Fando yang baru mendatangi meja teman-temannya. Ia tidak salah dengar, itu suara—
"Mone!" Suara Farel membuat seluruh mata kini mengarah pada wanita yang berdiri di sebelah Fando, yang saat itu hanya tertawa kecil melihat wajah-wajah shock yang berada di meja tersebut.
"Anjir, itu beneran Mone!" Dika yang tidak mampu menahan teriakannya, berseru lantang sambil berdiri, sampai beberapa tamu undangan menoleh ke meja mereka.
"Heh, ngapain lo pake berdiri-berdiri?" Bagas yang melihat gelagat Dika segera menarik cowok itu untuk kembali duduk.
"Ya, mau peluk lah, kangen gue ama Mone, coba itung berapa taun gue gak ketemu Mone?"
"Sekarang Mone kan udah available. Jadi, bisa dipeluk tanpa dipelototin sama heldernya." Deni melirik Rafka, yang ia maksud sebagai helder Mone.
"Siapa bilang gue udah available? Suami gue nungguin di depan, tau!" Mone yang melihat Raquelle segera menyapa dan kini mereka berdua sibuk berpelukan.
"Kenapa tadi Raquelle gak meluk gue kaya gitu pas baru ketemu?" Bagas bertanya sambil menatap kedua wanita yang kini berpelukan dengan gemasnya.
Raquelle sejak SMA memang sudah cantik. Sedangkan Mone, cewek itu memang manis, tapi saat itu Mone masih belum bisa merawat diri. Berbeda dengan saat ini, cuma orang idiot yang mengatakan Mone tidak cantik.
"Serius, Mon, suami lo di depan?" Dika bertanya perihal ucapan Mone sebelumnya, seketika semuanya penasaran akan jawaban Mone.
Sebab, seluruh hal yang berkaitan dengan Mone sudah tidak pernah terdengar sejak hubungannya dengan Rafka berakhir.
"Ya, kagak lah, emang gue udah keliatan kayak mahmud, apa?" Mone menanggapi pertanyaan tersebut diiringi tawa.
"Gak ada mahmud-mahmudnya, Mon. malah pas tadi lo pertama dateng, gue kira anak SMA yang baru kelar MOS."
Mone tertawa pelan, lalu sibuk menanggapi ocehan teman-temannya. Sesekali wanita itu tertawa karena candaan receh mereka.
Rafka ingin bersikap biasa saja, ikut bercanda dan tertawa dengan mereka. Namun, faktanya Rafka membutuhkan waktu beberapa menit untuk terdiam, memandangi Mone yang tertawa begitu lepasnya.
Dia masih Mone yang sama, kepribadiannya yang santai meski terkadang ucapannya tajam. Dengan balutan kebaya berwarna merah muda yang menunjukan pinggang rampingnya, dipadu kain batik diatas lutut dengan model modern. Rambut panjangnya dibiarkan terurai, tapi tidak berantakan.
"Raf, woy! Jangan ngeces juga kali ngeliatin Monenya!"
Ucapan Deni membuat Rafka tersadar, bahwa sudah sepuluh menit lamanya mata Rafka tidak berpaling dari Mone yang kini masih berdiri di sebelah Fando.
"Gue balik ke sana ya, tar bini gue nyariin." Fando menunjuk pelaminan dan segera pergi dari meja teman-temannya.
"Sombong amat yang udah punya bini." Dika menimpali ucapan Fando.
"Hai, Rafka. Masih belom move on kah dari aku?"
Pertanyaan Mone sukses membuat riuh teman-temannya, juga Rafka yang kini tersenyum lalu menyalami Mone.
"Meluk mantan, tuh hukumnya apa?" Rafka menoleh ke teman-temannya, yang disambut dengan tatapan tidak terima.
"Harom!"
"Dosa besar!"
"Pengkhianat negara!"
"Tapi gue kangen si, pengen meluk juga." Tanpa menunggu reaksi teman-temannya, Mone sudah memeluk Rafka terlebih dulu.
Rafka yang terkejut dengan gerakan Mone, kini tangannya masih terlihat kaku dan tidak memeluk balik Mone, setelah beberapa detik barulah Rafka tersadar dan membalas pelukan Mone.
Delapan tahun sudah berlalu, rupanya Mone tidak lagi mempermasalahkan hubungan mereka yang kandas dengan cara yang tidak cukup baik. Rafka sendiri bersyukur karena tindakan Mone yang tidak canggung, sebab ia sendiri tidak tau tadi harus bersikap bagaimana?
Sebagian hatinya, seolah bergetar saat melihat sosok itu. Akan selalu ada tempat untuk Mone di hati Rafka, tapi ia mati-matian untuk tidak menunjukannya.
"Lo gak pada jadi mau meluk gue? Masa gak kangen si?"
Setelah melepas pelukannya dari Rafka, Mone beralih ke teman-temannya. Tangannya kini terbuka, mengisyaratkan agar mereka semua berpelukan, yang disambut hangat oleh teman-temannya.
Rafka kembali duduk di bangkunya, disusul Mone yang duduk di sebelahnya, karena itu satu-satunya bangku yang kosong.
Farel yang melihat itu segera berdiri, lalu berkata, "Mon, duduk sini aja! Kalo sampe balikan repot deh, Rafka udah booking gedung soalnya."
Mendengar ucapan Farel, Mone pun menoleh pada Rafka. "Oh ya? Lebih cantik gak dari aku? Apa kamu masih mencari pegangan hidup?"
Teman-temannya tertawa mendengar Mone, teringat akan Daisy, mantan Rafka di SMA yang sering dikatakan sebagai pegangan hidup Rafka karena memiliki dada yang besar.
Tak ayal, Mone tetap berdiri dan bertukar posisi dengan Farel.
"Belom sampe booking gedung juga. Baru pertemuan keluarga doang. Ke depannya masih direncanakan."
Mone mengangguk. Paham dengan maksud pertemuan keluarga itu berarti tunangan.
__________
"Cause all of me. Loves all of you. Love your curves and all your edges. All your perfect imperfections. "Give your all to me. I'll give my all to you. You're my end and my beginning. Even when I lose I'm winning. 'Cause I give you all of me. And you give me all of you." - All Of Me, John Legend __________ Sebuah ruangan 2x3 yang terletak di sayap gedung, menjadi ruang privat antara perias dan calon mempelai wanita. Bagai ratu, mempelai wanita ditangani khusus oleh pemilik usaha riasan pengantin itu. Para pendamping sudah lebih dulu dirias bergantian oleh beberapa asisten di ruangan sebelah. Riasan pemeran utama jelas sakral dan memakan waktu lebih lama. Mata Mone mengerjap-ngerjap usai perias memasangkan bulu mata. Meski ia minta riasan sederhana, faktanya ia tetap harus memakai entah berapa lapis bulu mata yang membuatnya sulit untuk mengedip. Untuk sentuhan terakhir, Riani, pemilik bisnis perias pengantin itu menyemprotkan hairspray pada rambutnya yang sudah ditata. Setelahnya,
"Ketemu!" Hilman setengah berteriak, ia membuka gulungan tali tersebut, lalu menyuruh Mone untuk sedikit menyingkir.Dikaitkannya tali tersebut pada batang pohon yang terlihat kokoh, yang berada di dekat situ. Hilman khawatir jika hanya mengandalkan tenaga mereka, yang ada malah yang lainnya ikut terseret. Kemudian, ia melemparkan tali tersebut pada Rafka, agar lelaki itu dapat memanjat dengan berpegangan pada tali tersebut."Tangan Rafka berdarah!" Mone memberitahu pada Bagas yang kini ada di dekatnya."Tenang, Mon. Rafka pasti bisa naik." Bagas menggenggam sebelah tangan Mone yang bergetar ketakutan, berusaha menenangkan sahabatnya itu.Rafka menggapai tali yang bergelantungan di sampingnya. Ia menoleh ke bawah sekilas, berusaha menelaah seberapa dalam tempat itu jika tak mampu menarik dirinya dengan tali itu. Namun, gelapnya malam seolah mengubur pandangannya. Ia tak dapat melihat ke bawah dengan jelas, tertutup oleh pekat.Kedua tangannya kini sudah menggenggam tali. Perlahan, ia
Mone merapatkan mantel tebal yang melekat di tubuhnya. Hawa dingin semakin terasa merasuk ke tulangnya saat pendakian semakin mendekati puncak. Terlebih karena hari sudah mencapai petang, membuat sinar matahari perlahan memudar, berganti tugas dengan rembulan yang mulai menampakkan kehadirannya.Kakinya terus melangkah mengikuti teman-temannya yang berjalan di depannya. Mereka tampak mengejar waktu sebelum hari semakin malam, untuk setidaknya sampai pada pos berikutnya, lalu akan mendirikan tenda untuk bermalam sebelum melanjutkan perjalanan menuju puncak.Jalan berbatu dengan kanan-kiri jalan yang dipenuhi semak belukar, membuat langkahnya kesulitan. Terlebih karena pencahayaan yang mulai meremang, beberapa senter sudah mulai dinyalakan untuk membantu penerangan."Gara-gara si Rafka nih kebanyakan minta istirahat, jadi kesorean, kan!"Terdengar suara Alvin yang berjalan di belakangnya mengeluh, menyalahkan Rafka yang entah sudah berapa kali mengajak beristirahat karena kelelahan."Gu
Minggu sore, bagian luar stadion Gelora Bung Karno tampak ramai pengunjung. Di akhir pekan, tempat itu menjadi salah satu favorit warga Ibu Kota dalam melakukan aktivitas kebugaran jasmani. Sejak pagi hari yang dibarengi dengan car free day, sampai nyaris tengah malam, tempat itu tidak pernah sepi oleh pengunjung yang datang dan pergi silih berganti.Mone menghentikan aktivitas larinya yang sudah mencapai putaran kedua. Wanita itu kini hanya melangkah seperti biasa, diikuti Rafka yang sudah berjalan sejak menuntaskan lari satu putaran."Kamu gak lari!" protes Mone saat Rafka sudah berjalan di sebelahnya."Capek, Mon! Ini ngiterin GBK, bukan lapangan RPTRA*." Rafka mengulurkan air mineral yang ada di tangannya, yang segera disambut Mone.(RPTRA : Ruang Publik Terpadu Ramah Anak)Diteguknya air mineral sampai isinya nyaris separuh, lalu ia melanjutkan langkahnya, yang mulai berjalan santai. Namun, tetap mengitari stadion."Lagi, kamu kesambet setan apaan ngajak lari gini? Kamu mana mung
"Aku bersyukur kamu bisa hidup dengan baik. Bisa main lagi sama temen-temen kamu, jalan-jalan setelah pulang kerja, dan Rafka? If you two get back together, I'm really happy for you." Pandu mengatakannya dengan tulus. Sesekali ia melambaikan tangannya ke arah Naka yang berteriak memanggilnya.Tidak ada sahutan dari Mone, hal itu membuat Pandu penasaran dan menolehkan kepalanya kembali pada wanita itu. Matanya terbelalak melihat Mone yang kini sibuk menghapuskan air mata yang membasahi pipinya."Mon, kamu ...." Tangan Pandu setengah terangkat, berniat merengkuh tubuh Mone, yang kemudian diurungkannya. Hal itu membuatnya hanya dapat meremat tangannya sendiri. "Seumur hidup, aku belom pernah sebenci ini terhadap apa pun. Tapi sejak pertama kali lihat kamu nangis, demi apa pun aku benci lihat itu. Kenapa hidup kamu harus sesakit ini? Dari sekian banyak pilihan takdir, kenapa Tuhan memilihkan takdir yang kayak gini buat kamu. Sejak saat itu, aku selalu berharap gak akan ada hal buruk lainn
"Kau dan aku saling membantu, membasuh hati yang pernah pilu, mungkin akhirnya tak jadi satu, namun bersorai pernah bertemu...." - Sorai, Nadin Amizah____________Mone berjongkok, untuk menyamai tingginya dengan Naka. "Naka, kok sendirian? Emang ke sini sama siapa?" tanyanya lembut, meski mati-matian ia berusaha mengatur detak jantungnya, khawatir akan orang yang menemani Naka. Entah Anggika atau Pandu, Mone jelas tidak menginginkan keduanya."Ama Papa," sahutnya dengan suara yang terdengar menggemaskan.Mone mematung seketika, mendengar satu nama meluncur dari mulut kecil Naka. Namun, ia segera tersadar Naka tampak masih di hadapannya."Papanya mana?""Gak tau," jawab Naka polos.Mone mengembuskan napasnya yang mulai terasa berat, kemudian ia tersenyum untuk menghadapi Naka."Naka mau main ama Aunty. Papa kenapa gak ajak Aunty buat maen sama Naka?"Senyum Mone luntur seketika, mendengar ucapan Naka. Anak itu menganggapnya yang kerap kali berdalih mengajak Naka main untuk mencuri wak