Share

5. Bukan Yang Pertama

Nyaris tengah malam, Rafka membopong Mone menuju unit apartemennya. Mone minum sangat banyak hingga ia mabuk berat sampai tak mampu berjalan dengan benar. Rafka juga sebenarnya cukup pusing karena tidak terbiasa minum. Sepertinya ia akan memarkirkan mobilnya di sini semalam dan pulang naik taksi.

"Raf ... Raf ... kamu tau gak?" Dengan suara yang putus-putus, Mone bertanya. Rafka bisa menebak ucapan Mone akan ngelantur.

"Ada yang mulus, tapi bukan jalan hidupku hahaha." Mone tertawa dengan leluconnya sendiri. "Ada yang happy ending, tapi bukan kisah cintaku," lanjutnya sambil diikuti tawanya kembali.

Rafka membiarkan Mone terus mengoceh tanpa menyahutinya. Ia fokus mencari nomor unit apartemen Mone, sebab cewek itu pun tidak hafal letak unitnya karena mabuk.

Rafka berdiri di depan pintu salah satu unit sambil mencocokan nomornya dengan kunci yang Mone bawa. Beruntung apartemen yang Mone tempati tidak hanya menggunakan pin, bisa repot jika Mone tidak bisa ditanyai untuk keadaan saat ini.

Rafka memasuki unit apartemen Mone yang bertipe studio. Hanya ada satu ruangan yang disekat dengan kitchen set untuk area dapur.

Rafka berniat menjatuhkan Mone di tempat tidurnya, tapi karena kondisi yang sempoyongan, Rafka ikut terjatuh menimpa tubuh Mone.

"Ahh …." Mone mengeluh, karena ditimpa tubuh Rafka.

Rafka belum bergerak, ia tampak tertegun melihat wajah Mone yang kini tepat berada di hadapannya.

"Loh, kok kamu Rafka?" Mone kembali berbicara hal-hal aneh, sudah jelas sejak tadi ia memang bersama Rafka.

Lalu, Mone tersenyum saat melihat Rafka masih terdiam. Tangan Mone yang masih berada di bahu Rafka, bergerak untuk menarik Rafka mendekat ke wajahnya hingga tidak menyisakan jarak.

Mone mencium bibir Rafka perlahan, hingga Rafka menyadari dan mengangkat kepalanya.

Mone tertawa. Ia masih melihat wajah Rafka di hadapannya. "Kok bisa-bisanya aku mimpi kaya gini sama kamu ya, Raf. Padahal kamu udah pergi ... jauh ... ninggalin aku. Kamu ninggalin aku kan, Raf? Hahaha."

Rafka tidak mendengar ucapan Mone dengan jelas, ia hanya menangkap Mone mengatakan ini mimpi. Lalu pengaruh alkohol kembali menguasai tubuh dan pikirannya. Ia melihat Mone yang masih tertawa dan terus mengoceh, semakin membuat kepalanya sakit.

Lalu, Rafka menyadari satu hal. Mana mungkin Mone berada di hadapannya? Bukankah Mone menghilang sejak delapan tahun lalu tanpa ada kabar dan jejak. Mungkin benar kata Mone, lebih masuk akal jika ini mimpi. Rafka sudah ratusan kali memimpikan bertemu dengan Mone, dan terbangun di pagi hari dengan kecewa karena itu sebatas mimpi.

Mungkin ini memang mimpi. Rafka tidak percaya Mone harus hadir di situasi mimpi erotisnya. Sebab setelah itu, Rafka yang memajukan wajahnya untuk membalas ciuman Mone sebelumnya.

Sejak masa pubertasnya, tentu saja ini bukan kali pertama Rafka bermimpi seperti ini. Rafka menikmati mimpinya sebisa mungkin, melepas kerinduan pada wanita yang pernah dicintainya. Pada wanita yang sesekali masih mengganggu pikirannya padahal Rafka bertemu lagi dengannya saja tidak pernah.

Persetan dengan Fara. Rafka ingin menikmati mimpi indahnya dengan Mone.

***

Rafka mengerjapkan matanya saat mendengar suara alarm dari ponselnya, ia berusaha mengumpulkan kesadarannya, dengan sesekali menggerakan tubuh meski matanya sempat terpejam kembali. Namun, alarm ponsel Rafka terus berbunyi selagi Rafka belum mematikannya. Tangan Rafka berusaha mencari keberadaan ponsel itu di tempat tidurnya dengan mata yang masih terpejam.

"Sshh ... itu apasih? Berisik!" Mone yang tidur di sebelahnya ikut terganggu dengan suara itu, tetapi Mone juga enggan membuka matanya. Hanya tubuhnya yang kini bergerak untuk berganti posisi tidur.

Seketika Rafka membuka mata, bukan lagi karena alarm yang masih terus berbunyi, tapi karena mendengar suara Mone yang terasa dekat. Mana mungkin Mone berada di kamarnya?

Rafka langsung terduduk sambil menyentuh pelipisnya yang terasa pusing, ia memperhatikan sekelilingnya, ini bukan kamarnya. Lalu ia melihat ke arah sampingnya, tempat suara Mone berasal. Benar saja, Rafka menemukan Mone di sana.

Seolah belum cukup, Rafka memeriksa tubuhnya yang kini terbalut selimut biru muda milik Mone, lalu menoleh bergantian pada Mone yang tubuhnya pun tertutup selimut itu. Rafka menyadari satu hal, dirinya dan Mone tidak berbalut sehelai benangpun dan tertidur di atas ranjang yang sama.

Rafka masih shock dan tidak bergerak dari posisinya. Ia memikirkan apa yang telah terjadi antara dirinya dan Mone? Perlahan, reka ulang kejadian semalam berputar di kepalanya, saat dirinya yang mengantarkan Mone pulang, hingga malah terjebak bersama Mone karena mengira itu mimpi.

Jika di mimpi-mimpi sebelumnya Rafka selalu kecewa karena pertemuannya dengan Mone tidaklah nyata, kali ini Rafka justru menyesali bahwa kejadian semalam itu adalah nyata.

"Mon ... Mone ...." Rafka menepuk bahu Mone, yang tidak berbalut apa pun, membuat tangan Rafka semakin gemetar.

Astaga. Apa yang sudah ia perbuat pada Mone? Apa yang akan ia katakan pada Fara jika Fara tau tentang ini?

"Nghh ... aku masih ngantuk." Mone menjawab tanpa membuka matanya.

"Mon, bangun dulu. Aku ... kita ... semalem?" ucap Rafka putus-putus. Ia seolah kehilangan seluruh kosa kata untuk menggambarkan kejadian semalam.

Mone mengubah posisi tidurnya, yang kini menghadap Rafka. Ia membuka matanya sebentar, lalu melihat Rafka yang kini duduk di sampingnya tanpa menggunakan baju. Mone tersenyum geli, mungkin bagian bawah Rafka juga belum menggunakan celana.

"Kamar mandi sebelah sana, udah ada handuk dan sikat gigi baru kok. Kamu bisa pake," kata Mone sambil menunjuk sebuah pintu di samping sekat kitchen set, lalu kembali melanjutkan tidurnya.

Rafka menatap Mone tidak percaya. Kenapa Mone malah menjelaskan posisi kamar mandi dengan santainya? Rafka yakin Mone tadi sudah membuka matanya dan melihat keberadaan Rafka. Tapi, cewek itu tidak terlihat terkejut dan kembali melanjutkan tidurnya.

Rafka tau ini kejadian gila. Sebelum ia kembali memikirkan seluruh hal ini, mungkin Mone benar, ia harus menyiram kepalanya terlebih dahulu agar bisa berpikir dengan jernih.

***

"Pagi, Rafka. Aku lagi bikin telor dadar, kamu bisa sarapan dulu sebelum pulang."

Rafka yang sedang membasuh rambutnya dengan handuk, seketika menghentikan aktivitasnya saat melihat Mone yang menyapanya dengan hangat, bahkan menyuruhnya untuk sarapan.

"Mon, kamu inget kejadian semalem?" tanya Rafka memastikan.

"Ehm, i … ya ... terus?" Mone menjawabnya sambil membalik telur dadarnya, hingga ucapannya harus berbagi fokus dengan aktivitas tangannya.

"Terus?" Rafka menaikan volume suaranya, mengulang ucapan Mone. Ia tidak mengerti dengan jawaban Mone. Mengapa Mone bisa sesantai itu jika dia mengingatnya?

Mone mengangkat telur dadarnya dan meletakkannya pada piring. Barulah ia memfokuskan perhatiannya pada Rafka, yang kini ekspresinya sangat terkejut setelah mendengar jawaban Mone.

"Ah, I got it!" Setelah beberapa detik terdiam, Mone seolah dapat memahami ekspresi Rafka. "Kamu gak usah khawatir, ini bukan masa subur aku kok, jadi aku gak akan hamil."

Bukan reda, ekspresi Rafka justru semakin mengeras saat wajah Mone masih terlihat santai.

Mone mengembuskan napasnya, saat menyadari Rafka masih tidak puas dengan ucapannya. "Oke. Aku ngerti. It's not my first time. Maksudku, kejadian semalem. Jadi, kamu gak perlu ngerasa bersalah."

Hati Rafka serasa hancur saat mendengar perkataan itu keluar dari mulut Mone. Dari Mone. Gadisnya yang dulu manis dan sering mengomel saat teman-temannya sering membahas hal-hal yang tabu, karena Mone cewek sendiri di antara mereka. Ucapan Mone barusan, seperti menamparnya dengan telak. Pertemuan semalam yang membutuhkan waktu delapan tahun lamanya, harus dihancurkan dengan kenyataan pahit yang ia ketahui pagi ini.

"Kenapa, Mon? Kenapa kamu sekarang kayak gini?" Akhirnya Rafka kembali bersuara, saat Mone sedang meminum susu vanilanya.

Mone meletakan gelas susunya, lalu menatap Rafka yang kini memancarkan tatapan kecewa. Akhirnya ia sadar, cara hidupnya dan Rafka sudah berbeda. Namun, ditanyai kenapa, emosi dalam dirinya berhasil tersulut.

Rafka bertanya kenapa?

Kenapa?

Kenapa?

Rafka menanyakan kenapa setelah delapan tahun kemudian.

Setelah delapan tahun Mone berjuang sendirian tanpa ada Rafka di sampingnya.

Setelah delapan tahun lalu Mone menyadari, bahwa Rafka tidak kunjung datang saat ia ingin sekali diselamatkan.

"Delapan tahun ya, Raf? Kamu baru nanya kenapa? Kamu gak berpikir selama delapan tahun itu apa aja yang udah aku laluin sampe bisa berdiri untuk hari ini? Kamu gak mikir, delapan tahun lalu, kamu ke mana? Kamu ke mana saat aku yang saat itu berpikir cuma punya kamu. KAMU GAK ADA!" Mone berteriak di akhir kalimatnya, wajahnya tidak lagi santai seperti sebelumnya. Kini matanya seolah menjelaskan penderitaannya sepanjang delapan tahun ini.

"Mone"

"Kamu terlalu sibuk sama perasaan dan ego kamu, dan milih buat ninggalin aku cuma karena aku gak ngikutin kemauan kamu!"

"Mon, kamu nyaris mati waktu itu! Kalo kamu mau denger aku sekali aja"

"Aku nyaris mati berkali-kali dan kamu gak pernah ada di sana ya, Rafka! Dan hari ini, kamu gak berhak nanya kenapa setelah kamu lebih milih buat gak mau tau apa-apa!" potong Mone.

Rafka berhasil terdiam saat Mone membentaknya dengan seluruh emosi yang dimilikinya. Mone yang kini di hadapannya, bukan Mone yang mampu tertawa hanya karena mendengar candaan teman-temannya. Bukan Mone yang menangis karena nilai ulangannya harus remedial padahal ia sudah belajar semalaman.

Dan yang Rafka tidak mengerti, apa yang membuat Mone hingga nyaris mati berkali-kali? Apa saja yang sudah Mone lalui dan Rafka tidak tahu tentang itu.

Mone benar. Rafka tidak tau apa-apa. Atau menurut Mone, Rafka memilih tidak tau apa-apa.

"Aku nyari kamu. Aku nyari kamu ke mana-mana dan aku gak nemuin kamu, Mon. Aku nanya sama semua orang yang kenal sama kamu, tapi gak ada satupun yang tau. Bertahun-tahun yang aku lakuin cuma nyari kamu. Gimana aku bisa tau kalo bahkan kamu ngilang gitu aja."

Mone menggeleng, ia tidak menerima ucapan Rafka yang seolah menyalahkannya. "Kamu baru nyari aku setelah aku gak ada. Kamu ke mana, pas aku tiap hari lewat di depan kamu dan kamu lebih milih buat pura-pura gak liat aku?"

Mone menarik napasnya, setiap detail kenangan kini seolah berputar di kepalanya. Tentang hari-hari sulit ia yang harus ia lalui sendirian, sementara Rafka sibuk bergelut dengan egonya.

"Apa pun yang terjadi sama aku saat ini, kamu cuma perlu tau, bahwa kamu turut andil dalam kehidupanku sekarang yang kamu anggep hancur."

Ringtone dari ponsel Rafka mengalihkan pertengkaran mereka. Rafka memutuskan untuk mengangkat ponselnya terlebih dulu. Saat membaca nama pemanggil, mata Rafka membesar beberapa saat, lalu mengangkatnya.

"Iyaa, Far."

"Aku di rumah kamu, tapi Mama kamu bilang semalem kamu gak pulang, kamu juga gak bilang nginep di mana."

Rafka menghela napas, ia melihat Mone yang kini sedang mencuci wajan yang tadi dipakai untuk menggoreng telur.

"Aku nginep di rumah temen, ini udah mau pulang. Kalo gak mau nunggu, nanti aku ke rumah kamu."

Mone mendengar pembicaraan Rafka yang sedang menelpon, itu pasti pacar Rafka yang semalam disebutkan. Mone tidak ingat siapa namanya. Dari nada bicara Rafka, ia dapat menebak, hubungan Rafka dan pacarnya pasti berjalan lancar dan wajar. Iya. Wajar. Seperti saat dulu Mone bersama Rafka.

Terlepas dari keegoisan Rafka saat itu, Rafka adalah cowok terbaik yang pernah ia temui. Sebelum berakhir dengan tangis perpisahan, Rafka seringkali menjadi alasannya tersenyum sampai tertawa terbahak-bahak.

Mungkin hal itu juga dirasakan pacarnya Rafka saat ini. Ia dapat membayangkan bagaimana hancurnya perasaan pacar Rafka jika tau semalam lelaki itu bersamanya. Melakukan sesuatu yang harusnya bersama wanita itu setelah menikah nanti, malah Mone yang merebutnya.

Mone tau. Dari ekspresi Rafka, itu jelas kali pertama Rafka melakukannya.

Rafka menyudahi sambungan telepon, lalu memakai jaketnya.

"Mon, aku harus pulang. Sorry, gak bisa sarapan, dan ... buat semuanya, aku minta maaf."

Permintaan maaf Rafka terdengar sangat tulus, meski Mone yakin, bahkan Rafka tidak tahu masalahnya apa.

"Kita harus bahas masalah yang tadi lagi next time. Dan, masalah semalem—"

"Masalah semalem lupain aja, Raf. Anggep aja gak pernah ada kejadian semalem. Aku gak akan ungkit apa-apa. Aku janji." Suara Mone kini sudah lebih tenang dan terkontrol.

Meskipun fakta yang Rafka ketahui hari ini sangat mengejutkan, bagaimana mungkin Rafka bisa melupakan begitu saja kejadian semalam? Alih-alih melupakan, justru Rafka akan mengingatnya seumur hidup. Meskipun kejadian semalam adalah sebuah kesalahan, tapi bolehkah Rafka menyimpannya bersama kenangan lain dalam kotak kenangannya tentang Mone?

Setelah Rafka menutup pintunya dengan rapat, menyisakan Mone kembali sendirian. Pertemuannya kembali dengan Rafka tentu jauh dari kata baik, belum lagi memikirkan masalahnya dengan Pandu.

Prang ....

Kepalang kesal dengan isi kepalanya tentang rentetan kejadian brengsek yang di alaminya, Mone melempar wajan yang tadi berniat ia gantung setelah di cuci.

***

8 Tahun Yang Lalu... 

Mata kuliah hari ini sudah berakhir, Mone merapikan diktat-diktat kuliahnya, memasukan alat-alat tulisnya ke dalam tas sampingnya. Beberapa teman sekelasnya menyapa Mone, untuk duluan keluar kelas, Mone hanya tersenyum mengangguk.

Mone memang tidak terlalu akrab dengan teman-temannya untuk mata kuliah ini, hanya sebatas mengenal nama dan bertegur sapa jika berpapasan.

"Mone! Lama amat, sih, makan bakso, yuk. Gue selama nunggu kelas lo kelar udah membayangkan bakso nih." Cewek berkucir satu dengan poni depan, memasuki kelas Mone yang sudah tidak ada dosen.

Mone menoleh ke asal suara, lalu berkata, "Emang lo gak ada kelas?" Mone memakai liptint terlebih dahulu sebelum keluar kelas. Bibirnya pasti sudah terlihat pucat, sejak tadi pagi Mone belum sempat touch up.

"Dosennya bolos. Mau dong, Mon." Decha menunjuk liptint yang digunakan Mone.

Mone memberikan liptintnya pada Decha.

Lalu keduanya berjalan beriringan menuju kedai bakso depan kampus. Sebenarnya Mone ingin langsung pulang, karena terlalu lelah beraktivitas. Akhir-akhir ini masalah keluarganya menyita perasaannya, tapi Mone seperti tidak di ijinkan untuk beristirahat sebentar untuk meratapi nasibnya yang menyedihkan, mengingat sudah masuk masa akhir semester.

Mone melewati area terbuka kampusnya, tempat anak-anak nongkrong sambil menikmati angin secara langsung. Kebanyakan yang berkumpul di sana anak cowok, sebab di area itu diizinkan untuk merokok, tidak seperti di kantin kampus atau koridor.

"Mone tuh lewat." Mone dapat mendengar suara kasak kusuk dari salah satu perkumpulan mahasiswa. Saat dilihatnya, Mone mengenal mereka karena beberapa kali pernah sekelas atau teman UKM nya.

"Mone sombong amat, sih, lewat doang," cetus salah satu mahasiswa, saat Mone hanya melintas tanpa menoleh.

"Ya terus gue musti dadah-dadah pas lewat, biar kayak Miss Indonesia?" Mone menghentikan langkahnya, untuk menoleh sebentar pada gerombolan itu.

"Sini gabung, dong, Mon. Gue usir deh si Rafka kalo lo gabung. Butek gue liat pemandangan muka-muka kucel nih orang." Bagas menunjuk teman-temannya, lalu melanjutkan, "Lagian, brengsek nih si Rafka! Dia yang putus jadi kita yang ikut didiemin Mone." Bagas mengelipak kepala Rafka yang berada di sebelahnya.

Mone melihatnya, Rafka yang tampak membalas Bagas dengan mengelipak balik, tapi enggan untuk menoleh pada Mone sedikitpun. Cowok itu hanya menyibukan diri dengan obrolan anak-anak lainnya, atau menoleh ke arah yang berlainan dengan Mone. Bahkan setelah disindir dengan teman-teman tongkrongannya, Rafka tampak tidak peduli.

"Decha, nanti pulang bareng yuk." Alvin berteriak saat Mone dan Decha sudah kembali berjalan.

Tampak surakan kompak dari teman-temannya karena ulah Alvin.

"Kalo gue ngajak Mone pulang bareng, boleh kan, Raf?"

Rafka yang sedang memainkan ponselnya, menoleh pada Hilman. "Tanya ke orangnya lah, jangan nanya gue."

Mone meremat tangannya, kesal dengan perilaku Rafka sebulan terakhir ini. Pasca kandasnya hubungan mereka dengan cara tidak baik-baik, Rafka benar-benar tidak menghubunginya atau peduli sama sekali. Rafka tampak sibuk dengan dunianya sendiri, sampai mengalihkan pandangannya setiap kali Mone melintas.

Mone mengeyahkan pikirannya tentang Rafka, di saat-saat seperti ini, saat Mone membutuhkan Rafka di sampingnya karena Mone nyaris tidak kuat untuk bertahan di tengah peliknya konflik keluarganya, Rafka justru malah memilih meninggalkannya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status