Share

4. Bertemu Dalam Gelap

"Why can't you hold me in the street? Why can't I kiss you on the dance floor? I wish that it could be like that. Why can't we be like that? 'Cause I'm yours ...." - Secret Love Song, Little Mix feat Jason Derulo

_____________

"Kalo lo pada, siapa yang udah nikah dan udah persiapan mau nikah?" Kini Mone menatap teman-temannya yang lain secara bergantian.

"Yaampun, Mon! Lo kayak tante gue pas lebaran, yang ditanyain kawin-kawin doang." Bagas menyahut dengan nada sewot.

"Jadi ini yang duluan nikah tuh Fando?" Mone kembali membahas soal nikah, melihat wajah teman-temannya, ia pun yakin dengan ucapannya. "Akhirnya terjawab sudah pertanyaan gue waktu itu, ya?" ucapnya dengan pertanyaan retoris.

Saat teman-temannya kembali bersahutan dengan Mone, Rafka justru terdiam. Pertanyaan Mone saat mereka berlibur untuk perpisahan SMA, yang saat itu dijawab Rafka dengan percaya dirinya.

Ucapan Mone berhasil menarik dirinya dalam pusaran kenangan yang kini sudah tersimpan rapi dalam sebuah kotak di sudut hatinya. Namun, kedatangan Mone seolah kembali membongkar paksa kotak itu.

Dan sang objek yang mengobrak-abrik perasaannya itu, kini malah sedang tertawa tanpa terlihat terbebani. Rafka bertanya-tanya, semudah itukah perpisahan mereka bagi Mone? Semudah itukah Mone melupakannya?

"Ke mana, Raf?" tanya Farel yang menyadari Rafka bangkit dari duduknya.

"Ke depan bentar, mau ngerokok sekalian cari sinyal. Fara nelpon tapi gak masuk nih kayaknya."

Ucapan Rafka menarik perhatian Mone, bukan kata Fara yang Mone yakini sebagai pacar Rafka, tapi merokok lah yang justru menjadi perhatian Mone.

"Sejak kapan Rafka ngerokok?" tanya Mone saat Rafka sudah menjauh.

"Sejak lo pergi, terus di ajarin deh sama Bagas," sahut Dika.

"Gak bener lo, Gas!"

"Gak bener tuh kalo gue ajarin ngeganja, Mon. Masa ngerokok doang dibilang gak bener."

Mone mengibaskan tangannya, pertanda ia tak lagi ingin membahasnya, lalu ia ikut berdiri. "Gue mau nyicipin makanan dulu. Mau nitip gak?"

"Ambilin ketoprak dong, Mon."

"Gak deh, gue udah nyobain semuanya."

"Yang laen?"

Setelah semuanya menggeleng, Mone pun berkeliling untuk mencari makanan. Dilihatnya stan siomay, bakso, soto, sampai sate mengelilingi setiap sudut aula ini. Mone jadi ingin mencicipi semuanya, maka ia memutuskan untuk ke stan sate terlebih dahulu, agar ia bisa menikmatinya selagi berjalan mengelilingi aula ini.

Namun, langkahnya terhenti saat matanya menangkap sosok yang dikenalnya, sedang mengobrol dengan beberapa koleganya. Mone melihat lelaki itu sesekali tertawa, dan menyahuti obrolan koleganya.

Mone mendengus, ia mengeluarkan ponselnya, menelpon lelaki itu.

Pada nada sambung ke dua, lelaki itu baru mengangkatnya. Kini Mone dapat melihat Pandu yang menjauh sedikit dari teman-temannya untuk menjawab panggian Mone.

"Kamu di mana?" tanyanya. Ia tidak mengalihkan perhatiannya sedetik pun dari Pandu yang kini membelakanginya.

"Aku kan udah bilang, lagi ada acara sama temen kantor."

"Kamu tau kalo acara yang kamu datengin itu sama kayak aku?"

Pertanyaan Mone membuat Pandu memperhatikan sekitarnya untuk mencari keberadaan Mone, namun Pandu tidak menemukan posisi Mone karena ramainya acara itu.

"Aku lagi jalan ke kamu."

"Mone, stop! Oke. Oke. Kita ketemu di depan."

Mone mendesah kencang. Tanpa menyahut, ia mematikan sambungannya. Ia tau apa yang di khawatirkan Pandu. Acara yang di katakan Pandu ternyata acara yang sama dengan Mone, padahal Mone mengajak lelaki itu untuk menemaninya menghadiri pernikahan Fando.

Mone bahkan menunjukan undangannya, harusnya Pandu tau jika acara mereka itu sama, tapi Pandu malah menolaknya dan justru datang sendirian ke tempat ini.

Mone mengikuti ucapan Pandu, untuk bertemu di depan aula acara ini. Mone berjalan ke sudut parkiran yang gelap dan sepi, di mana ia melihat Pandu sudah berdiri di sana.

Mone benci tempat itu. Ia benci setiap tempat yang berada di sudut dan sepi. Kenapa tempat-tempat seperti itu harus selalu menjadi tempat pertemuan mereka? Ia ingin berjalan dengan Pandu di tengah keramaian, di bawah gemerlap lampu, diantara reriuh suara yang membuat mereka harus saling berteriak agar bisa terdengar.

Saat Pandu menyadari kedatangannya, lelaki itu memeluk dan mencium keningnya. Mone memejamkan matanya sesaat, sebelum ia menatap Pandu dengan kilat amarah.

"Mon, please. Kamu ngerti, kan posisi aku?" Pandu yang melihat amarah Mone, menarik tangan wanita itu untuk digenggamnya.

Mone menepisnya. Selalu kalimat itu yang diucapkan Pandu, menuntut Mone untuk selalu memahaminya.

"Enggak! Aku gak ngerti. Kamu dateng sendirian dan aku juga sendirian. Kenapa kita gak dateng barengan aja? Aku udah ajak kamu, ya, bahkan sebelum aku tau kamu juga diundang." Mone melontarkan kekesalan yang sejak dalam aula dipendamnya.

"Nadira, mempelai wanita, temen kantor aku. Dia dan anak-anak kantor kenal Anggika karena pernah ikut family gathring. Kalo aku dateng sama kamu, apa yang akan mereka pikirin?"

Lagi, Mone mendesah. "Mas, kamu tuh ... selalu mikirin pendapat orang lain, tapi sedikit aja, kamu gak pernah dengerin pendapat aku!"

"Sayang, dengerin aku dulu. Kamu jangan kayak gini dong, aku jadi serba salah." Pandu mengusap lembut bahu Mone yang tampak berguncang, karena emosi yang mempengaruhinya.

Mone menggeleng. "Kamu gak salah. Aku harusnya sadar diri, kalo aku cuma kesalahan buat kamu. Kesalahan yang harus kamu tutupin dari semua orang."

Pandu memijat keningnya, ia tidak bisa lagi membantah ucapan Mone. Ingin sekali ia menyangkalnya, tapi ucapan Mone selalu menamparnya dengan telak.

Mone berbalik untuk segera pergi dari sana, tapi langkahnya terhenti saat Pandu menarik tangannya.

"Aku anter kamu pulang."

Mendengar itu Mone kembali menoleh pada Pandu. "Kamu mau aku pulang sekarang?"

Pandu tau. Pada akhirnya Mone lebih memilih bergelut dengan pikirannya dari pada mendengarkannya. Terbukti dengan cara wanita itu menarik kembali tangannya, dan berjalan cepat meninggalkannya.

Sambil berjalan, sesekali Mone menghapus air matanya. Ia benci keadaan seperti ini. Pertengkarannya dengan Pandu tidak akan memiliki ujung, dan dalam setiap pertengkarannya, ia selalu menangis karena menyadari betapa menyedihkan posisinya.

"Sorry." Mone menabrak orang di depannya karena berjalan menunduk hingga tidak memperhatikan jalan.

"Mone? Kamu gak papa?"

Mone mendongak, menyadari suara si penabrak. Rupanya Rafka. Dan Rafka melihatnya dengan jelas betapa keruh wajahnya dengan tangan yang berusaha menghapus air mata.

"Mone, tunggu!"

Rafka melihat lelaki yang tampak mengejar Mone, lalu memahami situasi ini. Mungkin lelaki itu pacar Mone, dan mereka baru saja bertengkar.

"Raf, kamu bawa kendaraan? Parkir di mana?" Mone tidak menyahuti lelaki itu, ia malah menanyai Rafka.

"Eh, bawa. Di situ!" Rafka menunjuk mobilnya yang parkir tidak jauh dari tempatnya berdiri.

"Aku ikut kamu, ya." Mone segera berjalan ke tempat mobil Rafka terparkir.

Rafka bingung, ketika dirinya terseret dalam masalah Mone. Namun, ia tetap mengikuti Mone ke arah mobilnya.

Sedangkan lelaki tadi terlihat pasrah dan tak lagi mengejar Mone, ia kembali memasuki aula acara.

"Sebelah sini, Mon." Rafka menunjuk mobilnya, saat Mone berdiri di sisi yang salah.

"Oh, sorry." Mone menarik pintu mobil Rafka yang ternyata belum terbuka.

"Loh, maksudnya mau balik sekarang?"

"Kamu masih lama?"

Sial. Rafka mana tega melihat Mone seperti itu. Terang saja kondisi Mone tidak memungkinkan wanita itu kembali ke dalam. Suasana hatinya sedang buruk, Mone terlihat lelah untuk memamerkan senyumnya lagi.

Rafka memencet kunci mobilnya, agar Mone bisa membuka pintu mobil. "Kamu tunggu dalem, aku pamit dulu sama Fando dan yang lain."

Mone mengangguk, lalu membuka pintu mobil Rafka dan menunggu di dalam.

Sekitar sepuluh menit Mone menunggu, akhirnya Rafka kembali.

Rafka sempat berbohong saat teman-temannya menanyakan, ia mengatakan bertemu Mone di depan dan katanya harus pulang cepat karena ada urusan mendadak. Padahal, Mone menunggu di mobilnya.

"Rumah kamu di mana?"

"Aku udah input di gps kamu, ikutin aja."

Rafka mengangguk, lalu mengikuti arahan gps yang mengarahkannya menuju rumah Mone.

Rupanya, Mone tinggal di apartemen.

"Kamu udah lama di Jakarta?" Rafka membuka obrolannya.

Ia yakin sekali selama ini Mone tidak tinggal di Jakarta. Sebab, Rafka pernah mencari Mone hampir di setiap sudut Jakarta dan tidak menemukannya sama sekali. Jika memang Mone tinggal di Jakarta, tidak mungkin selama delapan tahun mereka tidak pernah bertemu.

"Baru dua minggu ini, kerjaan aku dipindah ke kantor pusat. Tadinya aku di Surabaya."

"Jadi, sebelumnya kamu tinggal di Surabaya?"

"Kamu mau nanya selama delapan tahun aku ke mana aja kan, Raf?"

Pertanyaan Mone tepat sasaran. Rafka hanya tersenyum, menjawab bahwa tebakan Mone benar.

"Aku lanjut kuliah di Palembang, ikut tinggal di sana bareng bapak tiri aku. Terus pas lulus, aku dapet kerjaan di Jogja. Karena bosen, aku sempet kerja di Bali, terus pindah ke Malang sekalian lanjut S2, dan terakhir di Surabaya, kantor cabangnya tempat aku kerja sekarang. Dan sekarang aku di Jakarta."

Pantas saja Rafka tidak pernah menemukan Mone, rupanya petualangan Mone sepanjang itu. Sedangkan dirinya selama delapan tahun terakhir tetap di Jakarta.

Rafka tak lagi berbicara meski masih banyak yang ingin ia tanyakan pada Mone, karena saat ini Mone terlihat larut dalam lamunannya. Ia dapat menangkap aura kesedihan masih menyelimuti wanita itu. Ia tidak tau apa yang menjadi bahan pertengkaran mereka di parkiran tadi, yang ia tau, Mone sangat terpukul.

Satu pertanyaan Rafka terjawab saat melihat Mone di parkiran, tentu saja Mone punya pacar, atau tunangan, atau siapa lah itu. Mone tumbuh semakin baik dan menarik, lelaki mana yang akan membiarkan Mone sendirian?

Rafka mendengar sesekali ponsel Mone bergetar, tapi Mone tampak tidak ada niatan untuk mengeluarkan ponsel dari tas tangannya. Ia juga tidak repot-repot mengingatkan Mone untuk mengangkat panggilan itu.

Setelah menempuh perjalanan dua puluh menit, mobil Rafka tiba di komplek apartemen tempat Mone tinggal. Mone masih bergeming di tempatnya, tidak menyadari mobil Rafka sudah berhenti.

"Mon," panggilnya, sembari menyentuh pelan bahu Mone, hingga membuat wanita itu tersadar.

"Oh, iya? Udah sampe?" Mone sedikit terperanjat, lalu melihat sekelilingnya dan ternyata benar sudah sampai di komplek apartemennya.

Sebelum keluar Mone teringat sesuatu, sepertinya ia belum ingin berbaring di kasurnya, terlebih di komplek apartemennya memiliki kafe dan bar.

"Raf, kamu minum, gak? Aku kemarin liat ada kafe bar gitu di sini. Mau temenin aku nyobain? Aku traktir deh buat ucapan makasih karena udah dianter."

Rafka memikirkan ajakan Mone untuk beberapa detik, jika dulu Mone yang berumur dua puluh tahun sering mengajaknya ke kedai es krim, kini Mone yang berumur dua puluh sembilan tahun lebih memilih untuk minum di bar.

"Kadang si kalo acara kantor. Boleh deh, masih jam sembilan juga."

Mone mengarahkan mobil Rafka menuju parkiran terdekat dengan Kafe Bar yang dimaksudnya. Lalu mereka berjalan tak jauh untuk menuju kafe tersebut.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status