Share

Bagian 4

Author: Zizizaq
last update Huling Na-update: 2024-05-29 12:10:34

Evan duduk di samping Celin, ia mencoba bersahabat dengan keadaannya.

"Kau sedang apa? pergilah, Van!" Celin menunjukkan penolakannya, dulu ia selalu menginginkan Evan melakukan hal seperti ini barang sejenak saja, tapi sepertinya tidak pernah ada waktu untuknya.

"Baiklah, aku akan pergi tapi kamu ikut denganku." Evan berdiri dan langsung menggendong Celin, ia tidak memberi kesempatan pada Celin untuk menolak.

"Van, kamu sedang apa? turunkan aku!" Celin meronta agar dilepaskan, ia bahkan memukul dan mencubit tubuh Evan, tapi Evan masih tetap mempertahankan, tubuh kekar Evan mampu mengalahkan semua serangannya.

"Aku tidak mau pulang! " Celin belum menyerah, kakinya juga mulai beraksi dengan menghentak-hentakkannya dengan keras. Lagi-lagi Evan berhasil mengunci pergerakannya.

"Kita akan bicarakan di sini," Evan memasukkan Celin ke dalam mobilnya dan mengunci pintu.

"Aku tidak mau mendengar apapun," Celin menutup telinganya seperti orang bodoh.

"Aku tidak akan mengatakan hal-hal yang akan menyakitimu," Evan sangat mengerti apa yang membuat Celin tidak mau mendengarkannya, Celin hanya tidak ingin mendengar tentang Jeni. Evan pun mulai berbicara tanpa memperdulikan Celin yang menutupi telinga.

"Maaf, karena aku tidak memberitahumu sebelumnya, aku pikir tidak ada gunanya juga, dia koma dan divonis tidak akan pernah sadar lagi sampai mati," Evan melirik Celin untuk melihat ekspresinya, meskipun Celin menutup telinganya, Evan tau istri malangnya itu masih mendengarkan.

"Kami menikah tiga tahun yang lalu, tepat di hari pernikahanan itu kami kecelakaan dan mengakibatkan dirinya kehilangan segalanya, Jeni koma selama tiga tahun, dua bulan lalu aku mendengar kabar kalau dia sadar, tapi dia lumpuh total dan otaknya tidak akan berfungsi dengan baik bahkan berbicara pun tidak mampu, sewaktu-waktu ia bisa kehilangan nyawanya, dia terapi bukan agar sembuh tapi untuk tetap hidup, kurasa kau perlu tahu tentang ini," jelas Evan, ia tampak bernafas lega setelahnya.

Celin akhirnya mengerti sepenuhnya kenapa Jeni diam saja dengan tatapan yang kosong. Harusnya sebagai istri pertama ia pasti akan marah padanya karena menikah dengan suaminya.

"Biarkan dia tinggal di rumah kita, keluarganya terlalu putus asa menerima keadaannya, sementara keluargaku sudah menganggapnya mati saat dokter berkata kesempatan hidupnya tinggal lima persen, tapi bagiku meskipun hanya lima persen itu masih sebuah kehidupan, jadi aku memindahkannya ke luar negeri agar mendapatkan perawatan lebih baik,"

"Karena itu kau selalu pergi? " Celin akhirnya mau menanggapi.

"Iya, tapi aku tidak pernah berbohong tentang pekerjaan, di sana aku punya perusahaan mentereng juga," Evan coba menjelaskan.

"Kamu harus tau ini, hanya kamu yang bisa memenuhi kewajiban sebagai istri," lanjutnya terdengar menghibur.

"Tetap saja kau tidak pernah mencintaiku, lucu sekali." Celin terdengar sangat putus asa.

"Maaf tentang itu, aku tidak bisa memaksakan perasaanku,"

"Kau tidak perlu memperjelasnya," Celin menatapnya dengan tatapan menyedihkan. Evan langsung membuang muka.

Ia teringat untuk membawa Celin pulang, ia mulai menyalakan mobil, ia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang sudah ada digenggamannya.

"Ngomong-ngomong tadi penampilanmu sangat luar biasa," Evan tiba-tiba memuji.

"Terimakasih."

"Kau juga sangat berbeda dari biasanya, " Evan tampak berpikir akan melanjutkan atau tidak.

"Ehem, hari ini kau sangat cantik,"

"Kau tidak perlu memaksakan diri untuk mengatakan hal-hal yang tidak kamu inginkan," Celin terdengat acuh tak acuh.

"Aku hanya berkata jujur." Sepertinya Evan benar-benar tulus.

Celin membuang muka ke arah jendela, ia merasa semua sudah terlambat untuk melakukan hal-hal itu sekarang, ia tiba-tiba ingin bertanya lagi,

"Kenapa kau mau menikahiku?"

"Karena kamu mencintaiku,"

"Itu saja?"

Evan tampak berpikir.

"Tak apa jujur saja," tuntut Celin.

"Karena aku harus menikahi wanita lain untuk mengelabui keluarga besarku,"

"Kenapa harus aku?"

"Karena aku mengenalmu lebih baik dibanding wanita manapun,"

"Dan kau tau dengan jelas perasaanku, sudah pasti aku tidak akan menolak, ya 'kan? Alangkah bodohnya kamu Celin," gumam Celin terdengar putus asa, seolah ingin kembali ke masa lalu dan menghapus ingatannya tentang Evan. Sementara Evan diam saja, ia berpura-pura sibuk dengan stir mobil.

Celin dan Evan tiba di rumah, ada Jeni yang sedang disuapi oleh seorang suster. Celin hanya melirik sebentar kemudian berlalu ke kamarnya. Sementara Evan mengahmpiri Jeni. Beberapa saat kemudian Evan juga masuk kamar, tepat ketika Celin keluar dari kamar mandi dengan menggunakan handuk setinggi paha dan bagian dada dibiarkan terbuka. Evan secara otomatis mendekatinya.

"Kamu mau apa?" Celin tiba-tiba waspada.

"Mau apa lagi? Kau sudah tahu dengan jelas,"

"Aku ku tidak mau," Celin menolak terang-terangan.

"Kenapa? Memangnya kau bisa menolakku?"

"Ada Jeni di rumah ini, kau tidak merasa kalau kamu akan menyakitinya atau mengkhianatinya,"

"perasaan apa yang bisa dia rasakan, Celin? Bertahan hidup saja sudah cukup melegakan, dan siapa yang berkhianat kalian istriku yang berhak aku sentuh,"

"Kau menyentuh Jeni dalam keadaan seperti itu?" Celin memandang Evan dengan jijik.

"Apa yang kamu pikirkan? Aku tidak serendah itu, aku belum pernah menyentuh Jeni, aku hanya pernah menyentuhmu,"

"Dan itu cukup sering." Celin terdengar mengejek, seolah berkata 'Dasar buaya'

"Mau bagaimana lagi, cuma kamu yang halal untukku," Evan mulai memeluknya dari belakang. Ia selalu seperti itu pada Celin, sampai Celin terkadang salah paham kalau Evan mungkin mencintainya, tapi setelah ada Jeni semuanya menjadi jelas, Evan hanya ingin melampiaskan nafsunya.

"Kau membuatku merasa seperti wanita murahan saja,"

"Murahan dari mananya? Kamu itu istriku," Evan merasa sudah terlalu banyak menjelaskan, jadi langsung memulai saja.

Ia mencium ceruk leher Celin, seketika aroma wangi tubuh Celin menyeruak memenuhi rongga hidungnya, ia tidak bisa menahan diri lagi. Ia menggendong Celin dan membaringkannya di atas tempat tidur. Sepanjang Evan melakukan aktifitasnya, Celin terus berpikir apakah laki-laki memang bisa sekurang aja ini? Mereka bisa menggauli wanita meskipun tanpa cinta.

Selesai melakukan rutinitas yang menguras tenaga itu, Evan memeluk Celin seperti biasa, Celin mulai menghitung di dalam hati berapa lama Evan bisa bertahan di posisinya, satu menit? Dua menit? Oh tidak ini lebih lama dari biasanya. Kebiasaan Evan memeluk Celin sudah sejak lama, tapi Evan tidak pernah memeluknya dalam waktu yang lama, sepertinya Evan melakukan itu agar tidak terkesan kurang ajar saja, setelah memakai langsung ditinggalkan begitu saja. Tapi kali ini berbeda, Ini adalah kenyamanan dan kehangatan terlama yang pernah Celin terima di sepanjang dua tahun kehidupan pernikahannya.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Antara Mencintai dan Melupakan   Bagian 78

    "Ya, kamu pantas menertawakan kebodohanku," Evan merasa kesal dengan dirinya yang dulu. "Tidak apa-apa, semua sudah berlalu," Celine berucap sambil mendekati Evan. "Terimakasih," Evan menatapnya penuh perhatian. "Untuk?" "Untuk semuanya, kalau dipikir-pikir sebenarnya cintaku sangat besar untukmu," "Oh iya?" "Aku sudah ditahap hampir gila demi mempertahankan hubungan pernikahan yang kamu tidak inginkan lagi, sampai Danil yang jelas-jelas rival bisnisku, aku mintai tolong untuk mengawasimu dan sempat-sempatnya aku cemburu setiap kali kamu mengobrol dengannya," "Mengawasiku?" "Aku menjadi sepecundang itu karena cinta, aku takut kamu pergi jadi aku menyuruhnya memberimu pekerjaan agar kamu tetap berada di sekitarku," "Kamu melakukan itu?" "Iya," "Ternyata kamu berjuang untukku?" Celine merasa terharu. "Aku melakukannya, bodoh ya?" "Aku suka," Celine tiba-tiba mencium pipi Evan lalu bersikap malu-malu. "Kamu yang memancingku Celine," Evan langsung memeluk Celine

  • Antara Mencintai dan Melupakan   Bagian 77

    Evan dan Celine akhirnya pulang ke rumah, Evan terlihat begitu segar dan kembali mendapatkan aura berwibawa yang selalu menjadi ciri khasnya, sebelumnya ia seperti pria yang selalu takut kehilangan dan tidak pernah tenang. Sekarang apalagi yang ia takutkan? apa yang ia benar-benar inginkan sudah berada di tangannya, sementara Celine terkesan lebih pemalu dan mudah tersenyum tidak seperti sebelumnya, ia selalu memaksa dirinya untuk tegas dan terkesan dingin, ia sungguh memaksakan diri untuk menahan semua perasaannya. Bi Asih yang melihat keduanya datang bersama sambil bergandengan tangan sampai tersenyum-senyum sendiri, ia juga bisa menilai perubahan dari sikap dan ekspresi keduanya. "Ada apa ini?" goda Bu Asih. "Bi, bantu Celine mengangkat barang-barangnya ke kamar," ucap Evan, sebelumnya mereka sudah ke kost tempat tinggal Ciline untuk mengambil barang-barang Celine, tentu saja setelah perdebatan panjang dan negosiasi yang tidak ada habisnya. "Bu Celine kembali tinggal di

  • Antara Mencintai dan Melupakan   Bagian 76

    "Kamu bisa menomorsatukan aku, Van?" Celine ingin meyakinkan dirinya. Evan meraih tangan Celine dan menggenggamnya untuk membuatnya yakin, kemudian ia mulai bercerita, "Sekarang di hatiku cuma kamu, Celine. Jenny sudah menjadi kenangan, Mita hanya kesalahan. Kamu yang memenuhi hatiku sekarang, misiku tentang cinta saat ini dan seterusnya cuma ingin denganmu, aku ingin membalas semua kesalahan yang aku lakukan padamu. Oke dulu aku salah, dulu aku memanfaatkan perasaanmu, waktumu, tubuhmu bahkan menyebabkan anak kita meninggal, tolong biarkan aku memperbaikinya. Kalau perlu, kamu hukum aku, tapi jangan hukum aku dengan pergi meninggalkanku lagi, itu berat, rasanya sepi, saat Jenny pergi rasa sakit yang aku terima tidak begitu dalam, saat Mita mengatakan ingin ke luar negeri, aku juga tidak terlalu mempermasalahkannya, tapi saat kamu pergi, aku merasa sakit yang tidak bisa disembuhkan, aku merasa kosong sepanjang waktu, ternyata aku butuh kamu, aku cinta kamu, Celine." "Kamu terlal

  • Antara Mencintai dan Melupakan   Bagian 75

    Evan tidak menghubungi Celine seharian, sepertinya Celine juga tidak berniat melakukannya. Evan sudah merasakan perpisahan berkali-kali tapi kenapa kali ini cukup menyiksanya, jadi ia datang ke kantor Siregar, alasannya sudah jelas. "Apa yang kalian bicarakan?" suara itu membuat Danil yang baru saja ingin berbalik pergi dan juga Celine menoleh. "Kami membicarakanmu," Danil berlalu sambil menepuk pundak Evan. Sementara Celine langsung berpura-pura sibuk dengan pekerjaannya. Evan tidak mengatakan apapun, ia menarik sebuah kursi kosong lalu duduk di depan meja Celine sambil memperhatikannya. "Ayo pergi ke suatu tempat," "Aku sedang bekerja dan kamu seorang bos kamu tidak pantas duduk di sini," "Kalau Danil pantas?" "Dia bos aku, dia ke sini untuk bertanya pekerjaan dan dia tidak duduk sama sekali" "Aku tidak peduli, lagi pula aku sedang duduk di hadapan istriku." "Lakukan saja sesukamu, Evan." Celine tidak peduli lagi, ia kembali fokus dengan pekerjaannya. Evan memaj

  • Antara Mencintai dan Melupakan   Bagian 74

    Evan sangat senang bisa mendampingi Celine pergi ke rumah sakit, berbanding terbalik dengan sebelumnya, kali ini ia tidak ingin melewatkan waktu sedetik pun, ia menanti di depan pintu kamar rumah sakit karena Celin melarangnya ikut masuk, reflek mendekati Celine saat melihatnya keluar bersama seorang dokter obgyn. "Bagaimana hasilnya?" Evan bertanya penuh harap. Celine diam saja dengan wajah tanpa ekspresi. "Bu Celine hanya masuk angin, Pak Evan." Evan tampak kecewa, ia lalu berkata, "Yakin sudah memeriksanya dengan baik, Dok?" "Sudah, Pak. Yang sabar ya, Pak. Masih banyak kesempatan kok, kebetulan Bu Celine sedang di masa suburnya, semangat Pak Evan!" ucap dokter. Celine tampak santai sementara Evan diam saja, ia tahu kesempatan itu pasti akan sulit ia dapatkan. "Mohon maaf masih ada pasien, saya lanjut bekerja dulu," "Silahkan, Bu." ucap Celine lalu pergi mendahului Evan. Evan hanya memandangi punggung Celine yang semakin menjauh tapi ia segera menyusul dengan lang

  • Antara Mencintai dan Melupakan   Bagian 73

    Evan terbangun karena merasakan pegal di punggungnya, ia mencoba membuka pintu kamar Celine yang ternyata tidak di kunci, ia memandang punggung istrinya beberapa saat, ia melangkah begitu saja seolah suasana di dalam kamar itu mengundangnya untuk masuk. Ia naik ke tempat tidur lalu meringkuk di atasnya tanpa berani menyentuh Celine. Ia selalu berhati-hati semenjak menyukai Celine, tapi Celine bergerak dan membalikkan badan ke arahnya, Evan secara tiba-tiba meluruskan tubuhnya untuk menyambut uluran tangan Celine yang akan memeluknya, selain tangan, kakinya juga bertengger nyaman di atas paha Evan, seluruh tubuh mereka menempel satu sama lain. Celine membuka mata sambil mengigau, "Kamu tampan sekali, Evan," ia menatap wajah Evan sebentar lalu menutup matanya kembali. "Kalau kamu begini, aku bisa memangsamu kapan saja," gumam Evan yang merasakan sensasi aneh di tubuhnya dan ia sangat mengerti apa itu. Ia mencoba menarik tubuhnya untuk melepaskan diri, untungnya ia berhasil. Ia m

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status