Keesokan paginya, Celin terbangun tanpa Evan di sampingnya. Ia gegas menuju kamar mandi lalu bersiap-siap untuk bekerja. Ia keluar setelah rapi dengan penampilannya, ternyata ada Evan di ruang makan sedang bersama Jeni, sepertinya paginya akan sering disuguhi pemandangan yang tidak menyenangkan ini, Evan tengah menyuapi Jeni ketika Celin lewat, Evan juga mengecup kening Jeni dengan penuh cinta, hal yang tidak pernah ia dapatkan di sepanjang pernikahannya. Celin hanya bisa pura-pura tidak melihat. Tapi Evan sudah terlanjur menyadarinya dan merasa sangat tidak nyaman dengan itu, ia pun berinisiatif mendekati Celin.
"Ada apa? Aku harus pergi kerja," ucap Celin dengan acuh tak acuh, dulu Celin tidak seperti ini, dulu ia selalu bersemangat menanggapi Evan. Matanya selalu berbinar saat Evan melakukan hal sekecil apapun untuknya, walaupun hanya pertanyaan 'mau kemana?' karena bahkan pernyataan sesimpel itu pun sangat jarang didengarnya dari seorang Evan. "Tunggu sebentar saja," ucap Evan santai. "Ya sudah cepat katakan kamu mau apa? Aku tidak punya banyak waktu, " Celin terdengar tidak sabar. "Tetap di tempatmu," pinta Evan. "Katakan saja, cep..." Celin berhenti begitu kecupan Evan mendarat di keningnya, hal yang belum pernah ia dapatkan selama pernikahannya, mengecup atau dikecup sebelum bepergian. Hati Celin menghangat untuk sesaat, tapi ia tahu, Evan melakukan itu untuk menyenangkannya saja atau mungkin agar melepaskan rasa bersalah karena ia memergokinya mencium Jeni ataukah agar ia tidak lari dari sisi Evan yang masih membutuhkan peran dan tubuhnya. "Kau sungguh sangat berusaha, Pak Evan. Tapi aku benar-benar tidak mengharapkannya," Celin terdengar ketus. Ia sudah terlalu kecewa sampai hal yang seistimewa ini pun sudah tidak membuatnya senang. "Aku hanya belajar memperlakukanmu seperti aku memperlakukan Jeni, aku sedang berusaha berbuat adil," "Aku benar-benar tidak membutuhkannya, tidak apa-apa kalau seluruh perhatianmu tetap fokus untuk Jeni seperti biasanya, lagi pula perlakuanmu padaku tidak akan pernah sama, kau pasti sangat berusaha untukku karena aku bukan orang yang kamu cintai, berbeda dengan Jeni, semua akan terjadi begitu saja untuknya, berhenti saja! Jangan khawatir, kalau kamu butuh peran dan tubuhku aku akan memberikannya," "Apa maksudmu?" Evan mengerutkan kening. Ia tidak suka mendengar ucapan Celin. "Kau cukup paham, aku akan melakukan semua yang dia tidak bisa lakukan, bukankah karena itu kau menikahiku sebagai laki-laki normal, kau butuh peranku sebagai istri dan kau butuh tububku sebagai pelampiasan nafsumu," "Kau keterlaluan, Celin." Evan ingin mengatakan sesuatu tapi dipotong oleh Celin dengan cepat. "Aku pergi dulu," Celin langsung pergi begitu saja. "Argh... Kenapa semua yang aku lakukan menjadi sebuah kesalahan?" Evan benar-benar merasa frustasi. Ia juga sangat bingung dengan perubahan drastis Celin. Dulu Celin selalu ramah dan memperlakukannya sangat baik, selalu menerima apapun yang dia lakukan, Celin juga selalu melakukan hal-hal yang tidak perlu sebelum meninggalkannya, seperti merapikan lagi dasi dan jas yang sudah sangat rapi, misalnya atau menyiapkan sepatu yang disiapkan pelayan. Di tempat lain, Celin justru berpikir, seandainya Evan memperlakukannya seperti itu sebelum ada Jeni, ia pasti akan menjadi wanita paling bahagia di dunia ini. Apa harus ada Jeni dulu baru hal-hal itu bisa datang, lebih baik tidak usah untuk selamanya. **** Di kantor, para karyawan tampak semangat bekerja, ada yang bertanggung jawab di bagian menata ruangan, mengatur penjualan, dan sebagainya, sementara Celin tetap dengan tanggung jawabnya sebagai desainer dan sewaktu-waktu akan diberi tambahan pekerjaan sebagai pembicara juga. "Celin! Kurasa Pak Dev menyukaimu, " ucap salah seorang rekan kerja Celin, namanya Piya. Sungguh aneh kalau dia tidak bergosip saat bekerja. "Apaan sih Piya? Pikirannya mulai mengacau lagi 'kan?" "kemarin saat kau tidak ada dia tampak gelisah, mungkin berpikir kau akan pergi tanpa berkenalan terlebih dahulu, waktu kamu muncul dia tampak sangat lega," jelas Piya dengan tampang iri yang dibuat-buat. "Piya, kau harus tau ini," Celin menyuruh Piya mendekatkan telinganya lalu berkata, "Aku sudah menikah," "Masa sih," Piya kaget, ia tidak bisa percaya, namaun sedetik kemudian ia kembali seperti sedia kala. "Kenapa aku baru tahu? Wah, sayang sekali, padahal selain Pak Dev sepertinya Pak Evan juga cukup memperhatikanmu, ia terus menatapmu dari awal tampil sampai selesai, tapi ku akui kamu memang keren, sebenarnya Pak Yanto kalah telak olehmu," "Bukan memperhatikan aku, Piya. Tapi pidatoku," protes Celin. Sementara itu Pak Yanto melototi Piya disertai suara deheman keras. "Ekhem!!!" Suara Pak Yanto membuat Piya berhenti bicara. Celin tertawa melihatnya. Bersamaan dengan itu suara telepon Pak Yanto Berdering. Ia menjawab teleponnya lalu meminta Celin untuk ikut dengannya. "Kalau boleh tahu ada apa, Pak? " Celin merasa tidak siap sekaligus penasaran. "Ada rapat mendadak, harus ada perwakilan dari setiap departemen," "Yang lain saja, Pak." Tolak Celin. "Tidak, kemarin kau yang mempresentasikan, jadi sepatutnya kamu yang harus mewakili," "Bapak tau siapa saja yang akan menghadiri rapat?" "Beberapa CEO perusahaan dan beberapa investor, " "Siapa saja orangnya, Pak?" "Mana saya tau, ayo segera pergi dan lihatlah sendiri," "Baik, Pak! " Celin cepat-cepat mengikuti langkah besar Pak Yanto, meski lelaki itu sudah paruh baya, ia masih tampak segar dan tampan ditambah lagi tubuh atletisnya yang tampak menawan, beruntungnya dia tipe pria yang bucin pada istriinya. Celin merasa memiliki seorang kakak laki-laki sejak bertemu dengannya. Celin dan Pak Yanto masuk ke ruang rapat, mereka duduk paling pinggir di deretan kursi para karyawan, tiba-tiba ada yang menepuk pundaknya dengan pelan. "Senang bertemu denganmu lagi, Nona Celin," "Pak Dev? Senang bertemu dengan anda juga," balas Celin dengan senyum. Beberapa saat kemudian, seorang pria tampan juga masuk, Celin mendongak untuk melihatnya dan pandangan mereka bertemu, Evan ternyata hadir juga. Tapi langsung berlalu ke deretan kursi para VIP. "Celin, cukup panggil aku Dev," "Mana bisa begitu?" "Kalau begitu saat di luar kantor, aku berharap kita akan sering bertemu, Oke!" Dev langsung pergi setelah mengatakan itu. Celin belum sempat menolak. "Kau dengar itu, dia pasti tertarik padamu, Celin," goda Pak Yanto yang duduk di samping Celin. "Aku sudah bersuami, Pak." "Oh yah? Kenapa aku baru tau? Siapa namanya? Apa pekerjaannya? Apa aku mengenalnya?" Rentetan pertanyaan Pak Yanto membuat Celin kewalahan. Celin memilih tidak menjawab dan malah mengalihkan pembicaraan, "Sepertinya rapat akan dimulia, Pak. CEO kita sudah datang," "Oh iya, kamu benar,""Ya, kamu pantas menertawakan kebodohanku," Evan merasa kesal dengan dirinya yang dulu. "Tidak apa-apa, semua sudah berlalu," Celine berucap sambil mendekati Evan. "Terimakasih," Evan menatapnya penuh perhatian. "Untuk?" "Untuk semuanya, kalau dipikir-pikir sebenarnya cintaku sangat besar untukmu," "Oh iya?" "Aku sudah ditahap hampir gila demi mempertahankan hubungan pernikahan yang kamu tidak inginkan lagi, sampai Danil yang jelas-jelas rival bisnisku, aku mintai tolong untuk mengawasimu dan sempat-sempatnya aku cemburu setiap kali kamu mengobrol dengannya," "Mengawasiku?" "Aku menjadi sepecundang itu karena cinta, aku takut kamu pergi jadi aku menyuruhnya memberimu pekerjaan agar kamu tetap berada di sekitarku," "Kamu melakukan itu?" "Iya," "Ternyata kamu berjuang untukku?" Celine merasa terharu. "Aku melakukannya, bodoh ya?" "Aku suka," Celine tiba-tiba mencium pipi Evan lalu bersikap malu-malu. "Kamu yang memancingku Celine," Evan langsung memeluk Celine
Evan dan Celine akhirnya pulang ke rumah, Evan terlihat begitu segar dan kembali mendapatkan aura berwibawa yang selalu menjadi ciri khasnya, sebelumnya ia seperti pria yang selalu takut kehilangan dan tidak pernah tenang. Sekarang apalagi yang ia takutkan? apa yang ia benar-benar inginkan sudah berada di tangannya, sementara Celine terkesan lebih pemalu dan mudah tersenyum tidak seperti sebelumnya, ia selalu memaksa dirinya untuk tegas dan terkesan dingin, ia sungguh memaksakan diri untuk menahan semua perasaannya. Bi Asih yang melihat keduanya datang bersama sambil bergandengan tangan sampai tersenyum-senyum sendiri, ia juga bisa menilai perubahan dari sikap dan ekspresi keduanya. "Ada apa ini?" goda Bu Asih. "Bi, bantu Celine mengangkat barang-barangnya ke kamar," ucap Evan, sebelumnya mereka sudah ke kost tempat tinggal Ciline untuk mengambil barang-barang Celine, tentu saja setelah perdebatan panjang dan negosiasi yang tidak ada habisnya. "Bu Celine kembali tinggal di
"Kamu bisa menomorsatukan aku, Van?" Celine ingin meyakinkan dirinya. Evan meraih tangan Celine dan menggenggamnya untuk membuatnya yakin, kemudian ia mulai bercerita, "Sekarang di hatiku cuma kamu, Celine. Jenny sudah menjadi kenangan, Mita hanya kesalahan. Kamu yang memenuhi hatiku sekarang, misiku tentang cinta saat ini dan seterusnya cuma ingin denganmu, aku ingin membalas semua kesalahan yang aku lakukan padamu. Oke dulu aku salah, dulu aku memanfaatkan perasaanmu, waktumu, tubuhmu bahkan menyebabkan anak kita meninggal, tolong biarkan aku memperbaikinya. Kalau perlu, kamu hukum aku, tapi jangan hukum aku dengan pergi meninggalkanku lagi, itu berat, rasanya sepi, saat Jenny pergi rasa sakit yang aku terima tidak begitu dalam, saat Mita mengatakan ingin ke luar negeri, aku juga tidak terlalu mempermasalahkannya, tapi saat kamu pergi, aku merasa sakit yang tidak bisa disembuhkan, aku merasa kosong sepanjang waktu, ternyata aku butuh kamu, aku cinta kamu, Celine." "Kamu terlal
Evan tidak menghubungi Celine seharian, sepertinya Celine juga tidak berniat melakukannya. Evan sudah merasakan perpisahan berkali-kali tapi kenapa kali ini cukup menyiksanya, jadi ia datang ke kantor Siregar, alasannya sudah jelas. "Apa yang kalian bicarakan?" suara itu membuat Danil yang baru saja ingin berbalik pergi dan juga Celine menoleh. "Kami membicarakanmu," Danil berlalu sambil menepuk pundak Evan. Sementara Celine langsung berpura-pura sibuk dengan pekerjaannya. Evan tidak mengatakan apapun, ia menarik sebuah kursi kosong lalu duduk di depan meja Celine sambil memperhatikannya. "Ayo pergi ke suatu tempat," "Aku sedang bekerja dan kamu seorang bos kamu tidak pantas duduk di sini," "Kalau Danil pantas?" "Dia bos aku, dia ke sini untuk bertanya pekerjaan dan dia tidak duduk sama sekali" "Aku tidak peduli, lagi pula aku sedang duduk di hadapan istriku." "Lakukan saja sesukamu, Evan." Celine tidak peduli lagi, ia kembali fokus dengan pekerjaannya. Evan memaj
Evan sangat senang bisa mendampingi Celine pergi ke rumah sakit, berbanding terbalik dengan sebelumnya, kali ini ia tidak ingin melewatkan waktu sedetik pun, ia menanti di depan pintu kamar rumah sakit karena Celin melarangnya ikut masuk, reflek mendekati Celine saat melihatnya keluar bersama seorang dokter obgyn. "Bagaimana hasilnya?" Evan bertanya penuh harap. Celine diam saja dengan wajah tanpa ekspresi. "Bu Celine hanya masuk angin, Pak Evan." Evan tampak kecewa, ia lalu berkata, "Yakin sudah memeriksanya dengan baik, Dok?" "Sudah, Pak. Yang sabar ya, Pak. Masih banyak kesempatan kok, kebetulan Bu Celine sedang di masa suburnya, semangat Pak Evan!" ucap dokter. Celine tampak santai sementara Evan diam saja, ia tahu kesempatan itu pasti akan sulit ia dapatkan. "Mohon maaf masih ada pasien, saya lanjut bekerja dulu," "Silahkan, Bu." ucap Celine lalu pergi mendahului Evan. Evan hanya memandangi punggung Celine yang semakin menjauh tapi ia segera menyusul dengan lang
Evan terbangun karena merasakan pegal di punggungnya, ia mencoba membuka pintu kamar Celine yang ternyata tidak di kunci, ia memandang punggung istrinya beberapa saat, ia melangkah begitu saja seolah suasana di dalam kamar itu mengundangnya untuk masuk. Ia naik ke tempat tidur lalu meringkuk di atasnya tanpa berani menyentuh Celine. Ia selalu berhati-hati semenjak menyukai Celine, tapi Celine bergerak dan membalikkan badan ke arahnya, Evan secara tiba-tiba meluruskan tubuhnya untuk menyambut uluran tangan Celine yang akan memeluknya, selain tangan, kakinya juga bertengger nyaman di atas paha Evan, seluruh tubuh mereka menempel satu sama lain. Celine membuka mata sambil mengigau, "Kamu tampan sekali, Evan," ia menatap wajah Evan sebentar lalu menutup matanya kembali. "Kalau kamu begini, aku bisa memangsamu kapan saja," gumam Evan yang merasakan sensasi aneh di tubuhnya dan ia sangat mengerti apa itu. Ia mencoba menarik tubuhnya untuk melepaskan diri, untungnya ia berhasil. Ia m