Suara langkah sepatu hak tinggi memecah keheningan lorong. Para pelayan menunduk dengan gugup saat Putri Nayla, putri dari Menteri Militer tertinggi, melangkah cepat dengan wajah menegang. Kabar pernikahan diam-diam Mayor Satya telah sampai ke telinganya. Dan Nayla—yang pernah menjadi tunangannya—tak akan membiarkan harga dirinya diinjak begitu saja. Ia mendorong pintu paviliun tanpa mengetuk, hingga dua penjaga di luar bereaksi kaget. Satya berdiri di dalam, baru saja melepaskan sarung tangan kulit dan menaruhnya di atas meja. Tatapannya langsung bertemu dengan mata Nayla yang berkobar emosi. “Kau sudah menikah?” Suaranya tegas namun bergetar. “Tanpa izin, tanpa pengumuman, tanpa... penjelasan apa pun?” Satya tidak bergeming. “Pertunanganku denganmu telah dibatalkan sejak dewan kerajaan memilih calon pengantin dari Negeri Malaca. Bukankah kau sendiri yang mundur dari perjanjian itu?” Nayla tertawa getir. “Aku mundur karena aku tahu ini demi rakyat! Tapi bukan berarti aku bisa
Sudah seminggu sejak Satya pergi tanpa kabar, dan Reina merasa ada sesuatu yang aneh. Meskipun pernikahan mereka hanya pernikahan kontrak, namun di mata hukum dan agama, mereka sah sebagai suami istri. Tapi yang lebih mengejutkan adalah perasaan yang tumbuh di dalam dirinya, sesuatu yang lebih dari sekadar kewajiban. Kadang-kadang, Reina akan tersenyum sendiri, merasa aneh dengan dirinya yang semakin terikat pada Satya, meskipun mereka hanya sepasang suami istri di atas kertas.Saat itu, di atas ranjang, Malik tampak sedang tidur terbalik dengan kepala di bawah, benar-benar tampak seperti tidak tahu arah. Reina hanya memandangi tubuh Malik yang tergantung terbalik, agak gelisah. Dia tahu, selama seminggu ini, mereka sudah cukup dekat dalam hal percakapan, meskipun terkadang Malik bisa membuat suasana jadi canggung.Tiba-tiba, tanpa diduga, kepala Malik melongok dari atas ranjang, seperti kelinci keluar dari lubang. Reina yang sedang melamun langsung terkejut dan ha
Kereta telah tiba di stasiun Kota Ghana, dan suasana stasiun yang ramai dengan pedagang dan penumpang yang berlalu-lalang sedikit banyak menghilangkan kecanggungan Reina. Namun, dia tetap merasa ada sesuatu yang berbeda, terutama dengan keberadaan Ditto yang selalu mengawasi setiap gerakan mereka.Setelah turun dari kereta, mereka berjalan menuju area parkir, dan Malik, yang berada di samping Reina, segera memberi hormat kepada Letnan Ditto, yang lebih dulu berdiri tegak di depan mereka. Sikap Malik yang sungkan menunjukkan bahwa ia tahu betul posisi Ditto."Kalian mau ke mana, biar saya antar. Saya sendiri liburan sendiri di sini terasa jenuh!" "Terima kasih, Letnan," ujar Malik, mencoba bersikap ramah. "Tapi kami bisa naik taksi ke tempat tujuan."Ditto, dengan sikap yang tenang namun penuh kewaspadaan, tidak langsung menjawab. Ia menatap Malik sejenak, lalu dengan nada yang cukup santai namun penuh perhatian. Malik tampak sedikit ter
Suara langkah para pengawal menggema di sepanjang lorong marmer istana, membawa hawa kegelisahan yang menyeruak ke seisi ruangan. Di dalam ruang kerja sang raja, Raja Mahesa duduk dengan mata tajam menatap selembar foto yang baru saja dilemparkan ke atas meja. Foto itu buram, hanya menampilkan sisi wajah seorang perempuan muda yang tersenyum samar, mengenakan gaun pengantin sederhana. Di sisi lain meja, Pangeran Arvid berdiri kaku. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi, namun jemarinya yang saling menggenggam di balik punggungnya memperlihatkan kegelisahan yang tak bisa ia sembunyikan. Raja Mahesa tiba-tiba bangkit dari duduknya. Suara kayu kursi yang bergesek dengan lantai bergema tajam, disusul oleh suara benda berat yang dilemparkannya ke dinding. Sebuah hiasan logam pecah menghantam lantai, serpihannya memantulkan cahaya lampu gantung yang gemetar. "Apa yang Satya pikirkan?!" suara Raja Mahesa meledak. "Berani-beraninya dia menikah secara sembunyi-sembunyi?! Menyembunyikan istri
Satya membuka pintu dengan satu tarikan pelan. Lampu temaram menyinari sudut ruangan, dan Reina duduk di ujung ranjang—mata waspada, tubuh pun kaku. Satya menarik napas. Bau antiseptik bercampur aroma lembut rambut Reina menyambutnya.Ia duduk tanpa suara di sebelahnya. Jarak itu cukup dekat untuk merasakan panas tubuh Reina, tapi cukup jauh untuk menyembunyikan detak jantungnya sendiri.“Lama banget, baru nongol,” suara Reina menyentak, tajam. Tapi Satya tahu—di balik sinisme itu, ada harap yang tak terucap.“Jangan terlalu dramatis,” jawabnya datar. “Aku tidak pernah menjanjikan apa-apa.”Reina mengangkat alis. “Oh, maaf komandan, aku lupa aku ini cuma figuran di sandiwara agungmu.”Satya menoleh perlahan, mengamati sorot matanya. “Tepat. Dan sebagai figuran, kau seharusnya tahu diri.”Wajah Reina memerah. Ia menggigit bibirnya, lalu menggerutu, “Baru juga kukira kau bakal datang bawa oleh-oleh... ternyata datang-datang langsung ngegas. Gak salah kamar, Mayor?”Satya berdiri. Melepa
Satya berdiri tegak di depan peta besar yang terpampang di dinding markas. Suasana di ruang briefing terasa dingin, hampir sunyi, hanya terdengar suara langkah kaki para perwira yang berkeliling dengan wajah serius. Satu tangan Satya menyentuh dagunya, sementara matanya mengikuti pergerakan pasukan yang terencana. Tapi pikirannya tidak sepenuhnya di sini. Di balik setiap keputusan yang ia buat—setiap arahan yang ia beri—ada Reina. Pesan samar yang disampaikan pagi tadi… "Mendaki gunung, gak ada sinyal"—kata-kata itu berputar-putar dalam kepalanya, tak bisa ia pahami sepenuhnya. Perasaan tidak tenang menggigitnya, sesuatu yang jarang ia rasakan dalam situasi perang atau medan tugas. Namun, ini bukan waktunya untuk melibatkan perasaan pribadi. Dia seorang prajurit, pemimpin, bukan suami yang tengah terluka karena ketidakpastian. Satya menarik napas panjang dan menatap peta di depannya lagi. "Komandan Satya," suara Mayor Irwan mengalihkan fokusnya. "Rencana serangan di sektor timur su
Langkah-langkah sepatu bot berdenting di atas lantai marmer putih. Reina mengikuti Malik masuk ke ruang rapat istana. Interiornya megah, tapi tidak ada waktu untuk mengagumi detail. Semua orang di ruangan itu adalah perwira tinggi, dan tidak satu pun dari mereka terlihat santai.Ia mengambil tempat di barisan belakang. Malik duduk di sebelah kiri, dua prajurit senior yang tidak dikenalnya ada di kanan. Reina tidak menunjukkan apa-apa di wajahnya, tapi tetap saja—ini aneh. Seorang lulusan baru dipanggil ke rapat rahasia di lingkungan istana?Kolonel Bram membuka rapat dengan nada berat.“Mandat langsung dari kerajaan. Pangeran Satya akan dijodohkan dengan Putri Salima dari Kerajaan Malaca. Pengamanan akan ditingkatkan secara besar-besaran.”Reina nyaris tak bereaksi, tapi nama itu... Satya. Terlalu familiar. Otaknya mulai bekerja. Tak mungkin. Mayor Satya? Nama itu tidak pernah disebut dengan gelar.“Kendala utama,” Bram melanjutkan, “Putri Salima menolak dikawal oleh tentara pria. Sed
Reina berdiri tegak di depan gerbang belakang istana. Udara pagi masih basah oleh embun, tapi keringat dingin sudah merembes di pelipisnya. Di balik gerbang itu, identitas lamanya akan dikubur. Di dalamnya, bukan Reina, bukan Serda Reihardi, tapi seseorang yang harus ia mainkan dengan sempurna, Putri Alliya—darah bangsawan Ghana yang sudah lama dikabarkan wafat. "Gerbang akan dibuka. Identifikasi," suara datar penjaga menghentikan pikirannya. Reina menunjukkan kartu kode merah yang tadi pagi diberikan kapten Jian. Sidik jarinya dipindai. Sepuluh detik menegangkan sebelum lampu indikator berubah hijau. Pintu besi terbuka pelan. Sambutan pertama bukan karpet merah, tapi lorong batu sunyi dan kamera tersembunyi di setiap sudut. Di ujung lorong, seorang wanita berusia sekitar empat puluhan menunggunya. Tegas. Dingin. Mengenakan seragam pelatih istana berwarna hitam. “Namaku, Marise. Mulai detik ini, kau adalah Alliya. Bukan Reihardi. Kau bukan siapa-siapa selain dia. Lupakan semua k
Pintu terbuka cepat. Ditto masuk tanpa diizinkan.Satya, yang sedang mengikat sarung pedangnya, menoleh tajam. “Berani sekali masuk tanpa laporan," ucap Satya tersenyum bercanda .”“Maaf, Yang Mulia. Ini darurat,” kata Ditto cepat, napasnya masih belum teratur.Satya diam sejenak, lalu menaruh pedangnya ke meja. “Bicara.”Ditto menelan ludah. “Ada kemungkinan penyamaran Nyonya terbongkar.”Satya berhenti sejenak. “Sejak kapan?”“Tiga bulan lalu. Keluarga aslinya menghilang dari wilayah perbatasan. Rumah mereka dibakar habis. Tapi baru kemarin laporan lengkapnya sampai ke tangan saya.”Suara Satya turun dua oktaf. “Kenapa baru sekarang kau laporkan?”“Saya baru temukan salinan catatan pengungsi dari distrik timur. Sebelumnya... data itu disembunyikan oleh petugas lokal.”Satya mengepalkan tangan. Napasnya berat.“Dia tahu?”Ditto menggeleng. “Sepertinya tidak, Mayor. Dia terus jalankan tugas. Tidak ada tanda dia curiga.”Satya membalik badan, mengambil mantel, lalu melangkah cepat ke a
Suara tongkat kerajaan menjejak marmer, memantulkan gema yang membuat ruang balairung terasa makin hening. Raja Mahesa berdiri tegak di hadapan para penasihat dan bangsawan istana."Sudah cukup waktu kita beri pada Pangeran Satya," katanya dengan suara yang dalam dan tenang, tapi menyiratkan ultimatum. "Musim perjanjian akan datang. Tanpa pernikahan kerajaan, persekutuan dengan Malaca terancam."Beberapa penasihat saling pandang, tapi tak ada yang berani menyela."Ayahanda," suara tegas menyela dari sisi ruangan.Satya melangkah masuk. Rambutnya masih agak basah, jelas ia datang terburu-buru. Setengah wajahnya masih tertutup topeng perak."Apa maksud Ayahanda ingin menikahkan saya tanpa persetujuan saya?" tanyanya dingin, tapi sopan. "Tidakkah itu melanggar hak saya sebagai putra mahkota?"Raja Mahesa menatapnya tajam. “Kau telah menolak Salima. Kau tidak memberi pilihan pada kami. Jika kau tidak bertunangan dengan Salima dalam tiga hari, maka aku yang akan menentukan pernikahan tanpa
Angin malam berembus lembut di puncak Bukit Aeloria. Lampu lentera bergoyang pelan menggantung di dahan-dahan pohon, menerangi jalan setapak menuju sebuah tempat duduk kayu beratapkan bunga anggrek liar. Di kejauhan, danau tampak berkilau tertimpa cahaya bulan. Tempat itu sunyi, damai, dan nyaris seperti lukisan.Reina berdiri dengan jubah panjang, gugup. Ia melirik ke kiri dan ke kanan. "Kenapa Salima belum datang juga..." gumamnya. Ia menyiapkan semuanya agar Salima bisa berbicara dari hati ke hati dengan Pangeran Satya. Tapi sudah hampir satu jam berlalu.Langkah kaki terdengar dari arah belakang.Reina buru-buru berdiri. "Salima?" tanyanya.Yang muncul... bukan Putri Salima.Melainkan sosok tinggi menjulang dengan mantel gelap dan topeng separuh wajah yang hanya bisa dimiliki oleh satu orang.Pangeran Satya.Reina langsung menunduk sopan. “Yang Mulia… mohon maaf, seharusnya ini—”"Tempat yang sangat romantis untuk pertemuan rahasia," potong Satya dengan nada rendah namun menggoda.
Ketika Reina mengetuk pintu kamar Putri Salima, ia tidak menyangka akan mendengar suara lemari dibanting dan koper terbuka.“Putri Salima?” Reina memanggil hati-hati.Pintu terbuka dengan cepat, menampilkan wajah Putri Salima yang memerah, bukan karena bedak, tapi amarah.“Aku sedang sibuk! Kalau kau mau bergosip tentang pangeran sialan itu, lebih baik—”“Aku hanya ingin tahu apa yang terjadi,” potong Reina cepat, mencoba tetap tenang.Matanya terarah pada beberapa koper besar di ranjang. Gaun-gaun, sepatu, kotak perhiasan, dan semuanya berantakan. Jelas bukan sekadar ingin ganti baju.“Kamu mau pergi?” tanya Reina, menutup pintu perlahan.Salima menoleh, matanya basah. “Apa gunanya aku di sini kalau hanya dijadikan bahan lelucon?”Reina mendekat hati-hati. “Apa yang dia katakan?”Salima langsung duduk, napasnya berat. “Kemarin malam... dia datang ke kamarku. Setelah semua orang menyuruhku memilih dia, dia malah—” suara Salima tercekat, lalu berkata dengan penuh rasa sakit, “dia bilan
Angin malam berembus lembut lewat jendela yang terbuka separuh. Reina duduk di kursi dekat meja rias, menatap kosong bayangan dirinya di cermin. Matanya kosong, pikirannya kacau.Apa yang kulihat tadi...? Mereka sedekat itu... Ia mendesah pelan, lalu menggigit bibir bawahnya. Kenapa aku peduli...?Pintu kamar mengeluarkan bunyi halus—nyaris tak terdengar. Tapi langkah kaki itu... Reina terlalu tenggelam dalam pikirannya untuk menyadari.Satya masuk diam-diam, mengenakan pakaian malam biasa berlengan panjang, wajahnya tak tertutup topeng. Kali ini bukan Pangeran Satya yang masuk ke kamar itu. Tapi seorang suami.Matanya menemukan Reina. Duduk diam. Membisu.Dan Satya mengira... istrinya sedang cemburu.Ia mendekat perlahan, langkahnya tenang, lalu berhenti tepat di belakang Reina.“Reina,” bisiknya rendah.Tak ada jawaban.Satya tersenyum samar. Ia menyentuhkan tangannya perlahan ke bahu Reina. Lalu—tanpa aba-aba—ia memeluknya dari belakang. “Aku minta maaf.”Tubuh Reina menegang seke
Langit siang cerah di balik jendela kaca patri, tapi suasana meja makan istana jauh dari hangat. Pembicaraan diplomatik berlangsung tegang, tapi perhatian Reina terpusat pada satu hal—satu orang. Pangeran Satya. Pria itu duduk di ujung meja panjang, mengenakan topeng perak yang menutup sisi kiri wajahnya. Tegap, diam, penuh aura gelap. Dari tadi tak banyak bicara. Suaranya berat, datar, nyaris tanpa emosi. Dan itu membuat Reina... penasaran setengah mati. “Katanya dia diserang, Beruang” bisik Salima pelan. “Atau semacam kutukan. Lihat saja topengnya. Mereka bilang, wajahnya setengah hancur.” Reina menoleh, nyaris tersedak anggur. “Beruang? Yang benar saja…” “Dan konon,” Salima menambahkan dramatis, “wajah buruknya mencerminkan hatinya. Dingin. Kejam. Sempurna untuk jadi suamiku, kalau aku mau bunuh diri.” Reina hampir meledak tertawa, tapi buru-buru mengatup mulut. Wajah buruk. Dingin. Kejam. Jangan-jangan... dia cemburuan juga? Hah. Mirip seseorang... Matanya kembali m
Cahaya mentari menyelinap masuk melalui tirai tipis kamar Putri Alliya. Udara pagi membawa aroma bunga lavender dari taman istana, namun ketenangan itu tidak mampu menenangkan hati Reina yang duduk di tepi ranjang, memandangi jendela dengan mata kosong.Ia masih memikirkan kejadian semalam—kehadiran Satya yang tiba-tiba muncul di kamarnya dengan penyamaran dan ekspresi yang tak biasa. Dingin. Mencurigai. Dan diam-diam melindungi.Reina menggigit bibirnya. Ia tahu Satya menahan banyak hal—pertanyaan, rasa penasaran, dan mungkin… kekhawatiran. Tapi ia tidak bisa menjelaskan apapun. Misinya sebagai Putri Alliya adalah perintah langsung dari raja dan Kolonel Bram. Rahasia negara. Bahkan kepada suaminya sendiri, ia tak boleh membocorkannya.Suara ketukan di pintu menyentaknya dari lamunan.“Putri Alliya,” suara Malik dari luar, “Putri Salima meminta Anda menemaninya sarapan pagi.”Reina menutup mata sejenak, menghela napas panjang. Sudah dimulai lagi, pikirnya.Dengan cepat, ia mengenakan
Suasana hening saat Satya berdiri di hadapan Raja Mahesa. Pilar-pilar marmer menjulang, sementara tirai berat warna emas bergoyang perlahan tertiup angin dari balkon. Mata Raja Mahesa tajam menatap putranya.“Kau sudah terlalu lama bersembunyi di balik status perwira, Satya.”Nada suaranya tenang, tapi mengandung tekanan yang tak bisa ditawar.“Besok malam, kau akan hadir sebagai pangeran Ghana dalam jamuan makan malam kenegaraan. Aku sudah muak menunggu. Ini perintah."Satya menunduk hormat, tapi rahangnya mengeras."Pa, jika boleh saya—"“Tidak ada jika. Satya, ini bukan tentangmu lagi. Ini tentang kerajaan. Tentang perdamaian dengan Malaca. Hadiri jamuan itu. Duduk di samping Putri Salima. Dan tunjukkan bahwa Ghana tidak bermain-main.”Raja Mahesa berdiri. Suaranya turun satu oktaf.“Atau… kau lepaskan gelar pangeranmu.”Satya menggertakkan gigi. Ia tahu, ini bukan sekadar tekanan. Ini ultimatum. Sebenarnya dia ingin melepas gelar itu, namun urusannya belum selesai. Satya duduk di
Dari balik balkon lantai dua gedung sayap timur istana, Satya berdiri membelakangi cahaya. Seragam militernya rapi, tanpa tanda pangkat. Hanya mata elangnya yang mengintai pesta kecil di taman.Satu langkah ke depan, ia memicingkan mata.Di bawah, kerumunan bangsawan tertawa sopan. Musik biola mengalun tenang. Tapi Satya tak mendengar apa pun. Matanya terkunci pada satu titik.Alliya.Bukan Alliya. Reina.Gaun putih sederhana itu tak membodohinya. Cara Reina berdiri. Cara dia mengangkat dagunya sedikit saat berbicara. Dingin, tenang, tapi matanya selalu awas.Dia kenal itu.“Kau pikir aku nggak bisa kenal istri sendiri hanya karena dia ganti rambut dan pakai gaun?” gumam Satya pelan, nyaris mencibir.Tapi ia diam. Karena sekarang bukan saatnya.“Mayor,” suara Ditto di belakangnya. “Raja ingin Anda hadir di pesta."Satya tak menoleh. “Aku tahu.Ditto mengangguk, tapi tetap gelisah. “Tapi... dia... Putri Salima sudah di sini. Dan kalau dia tahu siapa Anda sebenarnya—”“—Maka Ghana akan