Hanya ada satu meja kayu kecil, dua kursi, dan cahaya lampu minyak yang menggantung rendah. Di atas meja, semangkuk sup rebung dan roti kering yang Reina temukan di dapur tua itu.Satya duduk lebih dulu. Ia tidak berkata sepatah kata pun, hanya menatap Reina yang diam-diam menarik kursi di seberangnya.Reina tidak bisa makan. Tangannya pun dingin. Sementara Satya makan dengan pelan, tapi tidak mengalihkan pandangan darinya.“Kamu bilang kamu dari distrik utara,” Satya memulai, suaranya rendah tapi tegas. “Tapi caramu mengiris daging, caramu berjalan, cara kamu memandang orang... bukan cara rakyat jelata apalagi para pengemis."Reina menggenggam erat sendoknya “Aku belajar dari keluarga Reihardi.”Satya meletakkan sendoknya dengan bunyi pelan tapi menghantam.“Berhenti berbohong.”Reina mendongak. Tatapan mereka bertemu.Satya bersandar ke depan, menatapnya lekat. “Kau pikir aku tidak bisa membedakan wanita yang tumbuh dalam kekacauan, dengan wanita yang terlatih?”“Aku hanya hidup unt
Reina terbangun perlahan. Matanya sedikit kabur, dan perasaan pusing masih mengganggu. Sesaat ia merasa asing, namun saat memicingkan mata, ia menyadari bahwa ia tengah terbaring di atas ranjang kayu kasar. Namun, itu bukan yang paling mengejutkan.Di sampingnya, tubuh Satya terbaring, masih tertidur pulas.Kepala Reina terletak di dada Satya, dan tangan pria itu melingkar di tubuhnya. Bahkan napasnya yang dalam dan teratur terasa menenangkan. Itu membuat Reina merasa ada sesuatu yang sangat berbeda dalam dirinya.Kepalanya mendongak perlahan.Matanya bertemu dengan wajah Satya yang tampan, tampaknya tanpa beban meskipun situasi mereka cukup berbahaya. Pipi tebal dan rahang kokoh, dengan rambut hitam pekat yang tergerai ke depan, menambah pesona ketampanannya.Reina menyadari bahwa dia berada dalam pelukan Satya. Seketika, sebersit rasa marah muncul dalam dirinya. Bagaimana bisa Satya, suaminya, membawa dia ke tempat ini tanpa izin, bahkan tidur bersamanya?!Namun, saat matanya menyel
Reina membuka matanya dengan pelan. Pandangan pertama yang dilihatnya adalah langit-langit kayu yang retak-retak dan suara burung hutan yang nyaring. Tubuhnya terasa berat, tenggorokannya kering.Ia mendadak terduduk. Napasnya tersengal. Ruangan itu asing, sebuah kamar sederhana dengan jendela terbuka, aroma embun dan dedaunan menyusup dari luar.“Bangun juga akhirnya,” suara itu terdengar dari ambang pintu.Reina menoleh cepat. Ditto. Jubahnya lusuh, rambutnya basah oleh embun, dan ada luka lecet di pelipisnya.“Apa ini?” desis Reina. “Di mana kita?”“Rumah pelarian tua di sisi timur perbatasan. Kita butuh tempat aman sebelum bergerak lagi.”Reina bangkit berdiri, langkahnya goyah tapi penuh amarah. “Kau menculikku.”Ditto tidak menjawab.“Satya yang menyuruhmu?” suara Reina bergetar. “Dia memaksaku pergi, membuatku pingsan, dan kau... kau ikut-ikut membawaku kabur seperti aku tak punya kehendak sendiri?!”“Kau mau dibunuh di istana?” balas Ditto, matanya menyala. “Atau dipaksa menik
Langkah-langkah kaki terdengar lirih di lorong rahasia istana. Satya menahan napasnya, telinga tajam menangkap bunyi samar suara penjaga. Tangannya meraih belati kecil di ikat pinggang.Satu... dua... tiga...Ia bergerak cepat dari bayangan ke bayangan. Satu pengawal lewat. Satya menempel ke dinding, napas ditahan. Begitu bayangan berlalu, ia meneruskan jalan.Koridor menuju ruang intelijen.Dia harus tahu kenapa Raja memanggilnya kemarin lalu tiba-tiba membatalkan. Kenapa Arvid mendadak ditugaskan memimpin misi ke utara. Dan yang paling mengganggu... kenapa Reina belum dipindahkan dari ruang interogasi.Langkahnya terhenti di persimpangan. Tiga penjaga berdiri di depan ruang arsip.Satya membuka gelang logam di pergelangan kirinya. Menarik jarum kecil dari dalamnya obat bius singkat.Tiga detik. Tiga tusukan. Tiga tubuh ambruk diam-diam.Ia masuk.Ruangan gelap, hanya diterangi cahaya dari jendela tinggi. Rak penuh dokumen rahasia. Satya langsung ke laci berlabel: "Penyamaran - Kode:
Langit-langit batu berukir tampak muram, dan udara dingin menusuk. Di tengah ruangan, Putri Salima berdiri tegak mengenakan jubah formal kerajaan. Di hadapannya duduk Reina tampak tenang tapi tegang, tangannya dirapatkan di pangkuan. Salima memutar cincin di jarinya, menatap Alliya seolah hendak menelannya bulat-bulat. "Kau menyamar. Menipu semua orang. Termasuk aku." Alliya menatap lurus ke depan. Tidak menunduk. Tidak juga menghindar. "Aku hanya menjalankan perintah negara. Sama seperti yang dilakukan siapapun yang setia." "Tidak semua prajurit setia menyembunyikan identitasnya," balas Salima dingin. "Kau wanita. Dan lebih parah lagi... kau kabarnya istri dari Pangeran Satya." Reina tersentak kecil, tapi segera menyembunyikannya dengan menarik napas pelan. "Itu tidak benar." "Jadi kau menyangkal kabar itu?" "Aku tidak menikah," ujar Reina mantap. "Aku tidak pernah menikah dengan siapa pun, apalagi dengan seorang pangeran." Salima menyipitkan mata. Ia mendekat, membungkuk aga
Angin malam meniup lembut tirai sutra yang menggantung di jendela tinggi. Salima berdiri membelakangi pintu, mengenakan gaun malam berwarna pirus yang jatuh anggun di bahunya. Cangkir teh di tangannya telah lama dingin, tapi ia belum meminumnya.Pikirannya tak tenang.Satu per satu keping rahasia muncul ke permukaan, seperti abu yang tertiup dari bara. Ia tahu Satya menyembunyikan sesuatu. Ia juga tahu, “Putri Aliya” yang dikenalkannya sebagai wanita dari Ghana... bukanlah siapa yang dikatakan istana.“Kenapa aku terus merasa... aku pion dalam permainan mereka?” bisiknya pada diri sendiri.Pintu diketuk pelan. Pelayan masuk dan membungkuk.“Yang Mulia... Pangeran Arvid ingin berbicara.”“Jam segini?” Salima mengangkat alis. “Suruh dia masuk.”Arvid masuk dengan senyum lebar dan tangan di balik punggung. Seperti biasa, tampak manis—tapi terlalu manis hingga mengundang curiga.“Aku tahu ini larut malam, Salima,” ucapnya, suaranya lembut. “Tapi aku tak bisa tidur memikirkan keputusan Aya
Ditto tiba dengan napas berat. Jubah hitamnya basah oleh peluh, dan kakinya nyaris tak terasa setelah berlari dari ruang tahanan bawah istana. Satya menoleh cepat dari meja peta. Ia baru saja kembali dari penyusupan, belum sempat melepas sarung tangan. “Ada apa?” tanyanya tajam. Ditto langsung menjatuhkan diri ke lutut. “Reina sepertinya tahu semuanya. Dia... bilang jika kau tak muncul sebagai dirimu sendiri, dia yang akan buka semuanya ke Raja.” Satya membeku. Matanya sempat terpejam sepersekian detik. Lalu ia mengerutkan kening, berdiri, dan menghantam dinding di belakangnya dengan tinju keras. Batu bergetar. “Arvid,” desisnya. “Dia pasti yang memancing ini semua.” “Dia sudah menghadap Raja. Meminta izin menikahi Reina.” Satya menatap Ditto. Kali ini dingin. “Dan Ayahanda?” “Belum memutuskan. Tapi... beliau mulai goyah.” Satya melangkah cepat ke gantungan pedangnya. Ia mengenakannya kembali tanpa bicara. Gerakannya seperti prajurit yang hendak maju perang. “Mayor,
Langkah-langkah Reina menggema pelan di marmer panjang ruang balairung. Dua pengawal membukakan pintu besar, dan di ujung ruangan, ia melihat Raja Mahesa duduk tegak di singgasananya. Di sisi kiri berdiri Kolonel Bima, penuh catatan di tangan. Di kanan Pangeran Arvid, berdiri dengan tangan disilangkan dan wajah berpura-pura prihatin. Reina berdiri tegak di tengah ruangan. Napasnya ditahan. Sorot matanya lurus. Tak ada yang boleh runtuh dari penyamarannya. Raja Mahesa menatapnya tajam, penuh murka. “Kau,” suaranya berat, menahan amarah, “bukan Alliya ataupun Reihardi. Kau seorang wanita. Dan kau menipu istana ini, menyamar sebagai laki-laki. Jelaskan—siapa kau sebenarnya?” Reina menunduk singkat, lalu mendongak kembali. “Saya... Reika,” katanya tegas. “Kakak dari Reihardi.” Kolonel Bima langsung mencatat. Raja mempersempit matanya. “Kenapa kau menyamar sebagai adikmu?” desak Raja. “Karena adik saya hilang tiga bulan lalu. Saya tidak bisa diam, sementara tidak ada yang mencar
suasana di ruang Raja Mahesa sangat tegang. Peta-peta tergelar di meja panjang, dokumen tersebar, dan suara derit pena Kolonel Bima terhenti ketika Raja Mahesa melempar laporan ke dinding. “Jadi selama ini dia perempuan?” suara raja membentak tajam, matanya merah karena amarah. Kolonel Bima tetap berdiri tegak, meski pelipisnya berkeringat. “Kami baru mengonfirmasi tadi malam, Paduka. Dia menyamar sebagai Rei, menggantikan adiknya yang menghilang dari akademi. Ada keterlibatan Ditto juga dalam hal ini.” Raja mengepalkan tangan. “Satya tahu?” “Belum ada bukti. Tapi... besar kemungkinan dia tahu.” Mahesa menghantam tongkatnya ke lantai. “Dan kau biarkan ini terjadi di istanaku? Di bawah hidungku? Atau jangan-jangan dia wanita yang di nikahi Satya." “Paduka... penyamaran itu terlalu rapi. Bahkan data medis awal telah dimanipulasi. Kami menduga bantuan dari dalam, untuk mengenai Rei, sepertinya bukan istri pangeran, karena nama mereka berbeda” jawab Kolonel Bima cepat. Sebelum raja