Home / Romansa / Antara Misi Dan Hati / Pertemuan tak Terduga

Share

Pertemuan tak Terduga

Author: Fei Adhista
last update Last Updated: 2025-03-05 16:14:56

Asap mesiu masih menguar di udara saat suara derap kaki terdengar dari segala penjuru. Kapten Satya Yudha Pratama berdiri di tengah reruntuhan desa kecil, dikepung puluhan pemberontak bersenjata lengkap.

Di sekelilingnya, para prajuritnya telah gugur atau tertangkap. Hanya dia seorang yang tersisa.

Seorang pemberontak bertubuh besar melangkah mendekat, menyeringai puas. “Kapten besar dari Ghana jatuh ke perangkap kami seperti tikus bodoh.”

Tawa mencemooh bergema.

“Katanya kau legenda di medan perang. Nyatanya? Kau hanya manusia biasa.”

Satya tetap diam, ekspresinya tak berubah. Matanya menyapu medan reruntuhan, mayat bergelimpangan, senjata yang berserakan.

Seorang pemberontak lain menodongkan senapan ke arahnya. “Menyerahlah. Pangeran Ardian pasti akan membayarmu mahal jika kami menyerahkanmu hidup-hidup.”

Alih-alih takut, Satya tersenyum tipis. “Kalian pikir aku masuk perangkap?”

Para pemberontak mengernyit. Saat itu juga Satya bergerak.

Dengan kecepatan luar biasa, ia merunduk, meraih pistol dari pinggangnya, dan—

Dor! Dor! Dor!

Tiga pemberontak tumbang sebelum mereka sempat bereaksi. Satya berputar, meraih granat asap dari saku rompinya, lalu melemparkannya ke tanah.

Boom!

Asap putih memenuhi udara, menciptakan kekacauan. Satya menerjang ke depan, melumpuhkan dua orang dengan serangan tangan kosong, merampas senjata mereka, lalu menghilang di balik reruntuhan.

“Tangkap dia! Jangan biarkan dia kabur!”

Namun, saat pemberontak mulai menembak secara membabi buta, Satya sudah melesat ke dalam kegelapan.

Setelah berlari menerobos hutan dan medan berbatu, Satya akhirnya berhenti. Dadanya naik turun, keringat membasahi pelipisnya.

Di depannya, hanya ada jurang terjal dengan sungai deras mengalir di bawahnya.

Satya menyeringai pahit. “Sial.”

Tak ada jalan lain. Pemberontak mulai muncul dari balik pepohonan.

“Sudahlah, Kapten. Akui saja kekalahanmu!”

Satya menoleh, memberikan senyum menantang. “Lebih baik mati sebagai pejuang daripada hidup sebagai tawanan.”

Tanpa ragu, ia melompat.

Tubuhnya melayang di udara sebelum akhirnya menghantam permukaan air yang dingin dan deras.

Arus sungai menggulung tubuh Satya tanpa ampun. Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhnya akibat benturan dengan bebatuan tajam. Napasnya pendek, kesadarannya mulai mengabur.

Hingga akhirnya, tubuhnya tersangkut di batang pohon tumbang di tepian sungai.

Di bawah rindangnya pepohonan, Letnan Satu Reina Wardhani sedang membersihkan lukanya dengan kain dari sobekan pakaiannya yang dibasahi air sungai.

Awalnya, ia mengira hanya kayu atau hewan yang terjebak arus. Namun, saat mendekati tepian, matanya membelalak.

Seorang pria tergeletak di sana berlumuran darah, dengan luka-luka di tubuhnya.

Naluri militernya langsung bekerja. Dengan sigap, Reina meraih pistol dan mendekati sosok itu dengan waspada.

Begitu melihat wajah pria itu, matanya membesar.

“Kamu siapa?”

Ia berlutut, memeriksa denyut nadi di leher pria itu. Napasnya berat dan tidak teratur, tapi masih ada.

Mata Reina beralih ke luka-lukanya, luka tembak di lengan yang sudah mengering tapi berbahaya, dahi sobek, lebam di mana-mana.

“Sial, kau hampir mati.”

Dengan cepat, Reina merobek kain dari pakaiannya, membalut luka di lengan Satya.

Pria itu bergerak lemah, mengerang pelan. Reina menampar pipinya pelan, mencoba membangunkannya. “Jangan mati di sini.”

Namun, Satya tetap tak memberi respons selain desahan pelan.

Reina menggigit bibirnya, berpikir cepat. Mereka ada di tengah hutan, yang dia sendiri tidak tahu di mana. Tak ada alat komunikasi, tak ada tim medis. Satu-satunya pilihan adalah membawanya ke tempat yang lebih aman.

Ia menarik napas dalam. “Sial, kau berat.”

Dengan susah payah, Reina menarik tubuh Satya ke punggungnya.

Kress… Kress…

Suara langkah kaki di kejauhan membuat Reina membeku.

“Lapor! Tidak ada jejak di sebelah barat!”

Reina menahan napas. Musuh masih mencari.

Tak ada pilihan lain. Dengan langkah cepat tapi senyap, Reina menyelinap di antara pepohonan.

Di punggungnya, Satya bergerak sedikit, mengerang pelan.

“K-kamu... siapa?”

“Diam.”

“K-kenapa... aku di sini?”

“Kau hampir mati,” sahut Reina tajam. “Jangan banyak bicara.”

Satya ingin protes, tapi tubuhnya terlalu lemah. Ia hanya bisa pasrah.

Setelah perjalanan panjang, Reina akhirnya melihat sesuatu, sebuah perkampungan kecil yang tampak ditinggalkan.

Tanpa pikir panjang, ia memasuki kampung itu, memastikan tidak ada ancaman sebelum membawa Satya masuk ke rumah kosong.

Rumah itu berantakan, seperti sudah lama ditinggalkan. Reina membaringkan Satya di atas lantai kayu yang berdebu, lalu bergegas mencari sesuatu yang bisa digunakan.

Ia menemukan beberapa pakaian tua di lemari yang setengah terbuka.

“Lumayan.”

Dengan cepat, Reina mengganti pakaiannya yang basah dan kotor. Kemudian, ia kembali ke Satya yang mulai sadar dan mengganti pakaiannya.

Mata pria itu samar-samar menatapnya. “Kamu... siapa?”

Reina tak menjawab. Alih-alih, ia berlutut, menatapnya tajam dan mengganti pakaiannya.

“Dengar, di luar sana sepertinya mereka masih mencarimu. Aku tidak tahu kamu siapa dan ini di mana, tapi kamu terhanyut di hadapanku dan aku harus menolongmu. Sekarang aku harus mengecoh mereka.”

Satya berusaha berbicara, tapi Reina menekan bahunya lembut.

“Jangan khawatir. Aku pasti kembali.”

Tanpa sadar, liontin milik Reina terjatuh.

Satya, yang masih lemah, melihat benda itu berkilau di lantai. Ia mencoba mengangkat tangannya, tapi kekuatannya belum kembali.

Reina tak menyadari liontin itu jatuh. Ia sudah menyelinap keluar, meninggalkan Satya seorang diri di rumah itu.

Di luar, bayangan Reina menghilang di antara rumah-rumah kosong.

Satya hanya bisa berbaring, menatap langit-langit rumah yang mulai retak.

Di pikirannya, hanya satu pertanyaan yang mengganggu. Siapa sebenarnya wanita itu?

Di tengah hutan, Reina bergerak cepat di antara pepohonan. Dia sengaja menimbulkan sedikit suara, membuat jejak yang bisa menarik perhatian musuh.

“Lapor, ada jejak di timur!” teriak salah satu pemberontak.

Senyum tipis terukir di bibir Reina. Mereka terpancing. Ia terus bergerak, menembakkan satu peluru ke udara untuk memastikan perhatian mereka tetap tertuju padanya.

“Kejar dia!”

Reina berlari lebih dalam ke hutan, menghindari tembakan yang mulai dilepaskan ke arahnya. Dia menahan napas, menekan tubuhnya ke tanah saat sebuah peluru hampir mengenainya.

Pemberontak semakin mendekat. Reina harus berpikir cepat. Ia melihat sebuah batu besar di dekatnya dan segera bersembunyi. Saat seorang pemberontak melewatinya, Reina menyergap, menjatuhkan pria itu dengan cekatan sebelum melumpuhkannya.

Namun, peluru di senjatanya semakin menipis. Jika dia tetap di sini terlalu lama, dia bisa mati sebelum berhasil kembali ke desa.

Maka, dengan strategi terakhirnya, ia menembakkan peluru terakhirnya ke arah yang berlawanan, membuat seolah-olah dia bergerak ke arah lain, lalu menyelinap ke jalur lain yang lebih aman.

Saat suara langkah kaki musuh menjauh, Reina tahu ia berhasil. Tanpa menunggu lebih lama, ia segera bergegas kembali ke desa.

Namun, begitu ia tiba, dunia seakan berhenti berputar.

Asap hitam membubung tinggi, menyelimuti langit dengan warna kelam. Api masih menyala, melalap sisa-sisa rumah yang kini hanya tinggal puing-puing.

Desa itu... sudah hancur.

Reina berdiri mematung, matanya membelalak. Ia menelan ludah, lalu berlari ke arah rumah tempat ia meninggalkan pria yang belum sempat ia tanya namanya.

Langkahnya terhenti begitu melihat mayat-mayat bergelimpangan, hangus terbakar.

Dan di bawah reruntuhan rumah yang telah ambruk, ia melihat sesuatu.

Sebuah tangan menjulur dari bawah kayu yang terbakar. Tangannya bergetar saat ia mendekat.

Tidak...

Reina menarik puing-puing yang menutupi tubuh itu.

Wajahnya membeku. Dadanya terasa sesak.

.

Di sana, tergeletak tubuh pria tak bernyawa, hangus terbakar.

Reina tersentak mundur, napasnya memburu. Pikirannya menolak untuk menerima kenyataan.

“Tidak... ini tidak mungkin...”

Tangannya terangkat, gemetar, saat menyentuh wajah pria yang kini tak lagi bernyawa dan sudah tak bisa dikenali lagi.

“Aku...”

Suaranya tercekat. Air matanya jatuh, menetes di pipinya yang berdebu.

“Aku yang meninggalkanmu...”

Tangisnya pecah. Ia menutup wajah dengan tangannya, bahunya bergetar hebat.

Jika saja ia tidak pergi. Jika saja ia bertahan sedikit lebih lama... Ini salahnya. Semuanya... salahnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Antara Misi Dan Hati    Langkah Terakhir

    Ghana, dua bulan setelah peralihan tahta.Hari itu, aula istana tak lagi menjadi ruang untuk pertumpahan darah, tapi ruang upacara pelantikan yang damai. Kursi rakyat kembali terisi. Bendera tua yang sempat dibakar, kini dijahit ulang dan berkibar di atas menara istana.Rakyat berkumpul, bukan karena takut… tapi karena harapan.Di tengah barisan para bangsawan, mantan prajurit, dan wakil rakyat, seorang bocah berdiri di atas podium kecil. Di belakangnya berdiri dua sosok yang kini tak lagi dianggap buronan, melainkan pelindung bangsa: Satya dan Ardian.Maydiasta menatap ke arah rakyat yang memadati pelataran. Nafasnya bergetar, tapi tangan Satya menyentuh pundaknya.“Kau tidak sendiri,” bisik Satya.Dan Ardian menambahkan, “Kau akan jadi raja… bukan karena tahta. Tapi karena kau mencintai mereka.”Maydiasta pun melangkah maju, membuka mulut kecilnya dengan suara yang masih jernih:“Aku bukan pangeran yang hebat. Tapi aku adalah anak Ghana. Dan aku berjanji akan belajar, memimpin, dan

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 112 Akhir Peperangan

    Satya berdiri tegap. Seragam gelap yang ia kenakan tak memuat satu pun lencana. Bukan karena tak layak, tapi karena hari ini bukan soal pangkat. Di sampingnya, Ardian bersandar di meja, lengannya masih diperban. Wajahnya tenang, tetapi mata menyimpan bara. “Rakyat Ghana…” suara Satya menggema dari mikrofon kecil yang terhubung ke jaringan siaran bawah tanah. “Hari ini, kalian berhak tahu kebenaran.” Kamera menyorot wajahnya. Tidak ada keraguan. Tidak ada kebohongan. Hanya keyakinan. “Selama ini, kalian dibohongi. Kami disebut pengkhianat. Kami dikurung. Difitnah. Tapi siapa dalangnya?” Ardian mengangkat sebuah dokumen dan menyodorkannya ke arah kamera. “Ini… bukti asli dari Kolonel Indra, yang disembunyikan sebelum ia tewas. Bima ingin menjadikan keponakannya anak dari adik perempuannya, sebagai pewaris takhta. Dia membunuh Arvid, memfitnahku, dan menjadikan Satya kambing hitam.” Layar di belakang mereka menampilkan wajah Tuan Halim, rekaman suara, dan data penyadapan. Semua dir

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 111 Akar yang tak Pernah Mati

    Dua tahun lalu, di Distrik Riven yang suram dan dilupakan, seorang pria tua bernama Letkol Anwar, pensiunan militer yang dulunya menjaga gerbang istana, tinggal di balik rak-rak jam rusak. Dari luar, tempat itu tampak seperti toko barang antik yang tak penting. Tapi di balik lantai kayu reyotnya, terhampar jaringan lorong rahasia yang membentang ke segala arah, tempat di mana sisa-sisa kekuatan yang disingkirkan oleh istana masih bernapas.Mereka menyebut diri mereka 'Tulang Akar'.Bagi Anwar dan para mantan prajurit yang setia pada kerajaan, tapi bukan pada kekuasaan, akar yang tersembunyi jauh lebih penting daripada cabang yang menjulang tinggi.Pada suatu malam yang dingin dan sunyi, seorang pangeran berdarah, dengan tatapan kosong dan napas berat, muncul di ambang lorong itu. Pangeran Ardian yang dituduh pemberontak, yang dibuang dari darah biru, duduk di lantai batu dengan lutut penuh lumpur.Letkol Anwar mendekatinya tanpa ragu.“Kau bukan pengkhianat, Pangeran,” katanya sambil

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 110

    Lokasi: Barak tua di batas utara Ghana, jam 20.11TV kecil berdebu itu masih menyala di sudut ruangan. Gambarnya tak stabil, tapi suara penyiar itu terdengar jelas.“…pemerintah kerajaan menetapkan dua buronan negara Pangeran Ardian dan Pangeran Satya. Dituduh menghasut pemberontakan, membunuh Pangeran Arvid, serta bekerja sama dengan militer asing…”Ditto menjatuhkan botol air di tangannya. Suara dentingnya memantul tajam.“Apa… ini bercanda?”“Ini…” Malik terdiam. Rahangnya mengeras. Matanya menyapu layar seperti menolak percaya.“Satya?” Ditto mengulang, lebih ke dirinya sendiri.Malik bangkit. Langkahnya berat, tapi tegas. Ia mematikan TV.“Mereka memutar balik semuanya. Raja tidak bicara sepatah kata. Ini suara dewan.”“Tuan Halim,” gumam Ditto. “Itu dia... sialan itu...”Keduanya saling pandang. Dalam diam mereka mengerti Ini bukan sekadar pengkhianatan... ini pemusnahan karakter.“Kita harus cari Pangeran Satya,” ujar Ditto.“Dan Pangeran Ardian,” Malik menambahkan.“Bagaimana

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 109 Kota Yang Tertidur

    Istana Ghana, Ruang Rapat DalamRaja Mahesa duduk di kursi takhta kecil, matanya sembab. Tangannya memegang laporan kematian Arvid. Di sekitarnya duduk para menteri dalam negeri, penasihat senior, dan seorang pria berambut putih mengenakan jubah biru tua: Tuan Halim.“Yang Mulia,” ujar Tuan Halim, suaranya pelan namun berisi racun. “Kami telah menyelidiki lebih dalam... dan menemukan indikasi bahwa Ardian dan Satya tengah merancang pemberontakan.”Raja Mahesa mengerutkan kening. “Laporan itu tak cukup. Ardian terluka parah, Satya dalam pemulihan.”Tuan Halim melangkah maju. Ia meletakkan dua dokumen di meja raja.Satu berupa rekaman audio.Satu lagi foto-foto hasil pengawasan drone.“Mereka pernah bertemu dengan utusan Malaca di perbatasan. Dan ini...” Ia menekan tombol kecil.Dari alat pemutar suara, terdengar percakapanArdian (suara hasil suntingan). “Jika raja tak menyerahkan tahta, kita akan ambil dengan pak

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 108 Surat yang Tak Pernah Sampai

    Malam di Ghana begitu senyap. Lampu-lampu istana telah dipadamkan, dan gerbang utama dijaga dua kali lebih ketat dari biasanya. Namun di sebuah kediaman tua milik mantan penasihat militer yang sudah pensiun, Ardian duduk di bawah cahaya redup lentera minyak, membuka sepucuk surat dengan segel lilin yang tak ia kenali. Surat itu dikirim dengan tangan, tanpa nama, dan diselipkan ke dalam laporan logistik yang dibawa oleh salah satu pasukan cadangan dari selatan. Isinya singkat tapi mencabik. “Pangeran Arvid bukan satu-satunya calon pewaris. Di luar sana, Raja Mahesa telah menyembunyikan seorang anak dari darahnya sendiri, lahir dari saudara perempuan Kolonel Bima. Kau dan Satya hanya bagian dari permainan lebih besar. Jaga dirimu. – E” Ardian mengerutkan kening. Surat itu tidak membawa jawaban—justru menambah pertanyaan. Ia segera membakar surat itu setelah membacanya tiga kali. Tapi kata-kata terakhir masih terngiang dalam benaknya: “Kau dan Satya hanya bagian dari permainan leb

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status