Home / Romansa / Antara Misi Dan Hati / Kejutan Tak Terduga

Share

Antara Misi Dan Hati
Antara Misi Dan Hati
Author: Fei Adhista

Kejutan Tak Terduga

Author: Fei Adhista
last update Last Updated: 2025-03-05 16:13:45

Reina melangkah ringan di lorong rumah sakit, senyumnya tak bisa ditahan. Hari ini adalah hari yang sudah lama ia nantikan. Setelah berbulan-bulan bertugas di luar pulau akhirnya ia mendapat cuti, setelah tiga hari bertemu keluarga kini dia bisa bertemu dengan Vino, kekasihnya.

 

Ia membayangkan ekspresi terkejut Vino saat melihatnya tiba-tiba muncul di ruangannya. Mungkin pria itu akan memeluknya erat atau sekadar tersenyum lebar seperti biasa.

 

Namun, senyumnya perlahan pudar saat mendapati ruangan dokter itu kosong. Tak ada tanda-tanda keberadaan Vino. Rasa cemas mulai merayap di benaknya.

 

“Permisi, Dokter Vino ada?” tanya Reina pada seorang perawat yang kebetulan lewat.

 

Perawat itu tampak ragu sejenak, lalu menjawab dengan nada hati-hati, “Dokter Vino sudah tidak bertugas di sini lagi, Mbak.”

 

Reina mengernyit. “Maksudnya?”

 

Perawat itu menghela napas. “Dokter Vino sudah pergi ke Amerika minggu lalu. Dia melanjutkan pendidikannya di sana.”

 

Dunia Reina seketika terasa hampa. Suara-suara di sekelilingnya seperti menghilang, menyisakan keheningan menyakitkan yang menggerogoti dadanya. Ia menelan ludah, mencoba mencerna kata-kata perawat itu.

 

“Amerika?” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri. “Dia pergi... tanpa memberitahuku?”

 

Tangannya mengepal. Perasaan sedih, kecewa, dan marah bercampur menjadi satu. Ia rela menempuh perjalanan jauh, berharap mendapat momen berharga dengan Vino, tapi yang ia temukan justru kehampaan.

 

Sebelum air matanya jatuh, bunyi getaran dari ponselnya mengembalikannya ke realitas. Dengan tangan sedikit gemetar, ia mengangkat panggilan itu.

 

“Letnan Reina.”

 

Suara tegas dari komandannya membuat Reina langsung berdiri tegap. “Siap, Komandan.”

 

“Ada perintah darurat. Kami membutuhkanmu segera. Kembali ke markas secepatnya.”

 

Tidak ada waktu untuk larut dalam kesedihan. Sebagai seorang prajurit, tugasnya adalah prioritas utama. Ia menutup telepon dengan tatapan kosong, lalu menarik napas dalam-dalam. Sekuat tenaga, ia menekan perasaan kecewa yang menyelimuti hatinya.

 

Vino mungkin telah pergi, meninggalkannya tanpa penjelasan. Tapi Reina tak bisa berhenti di sini. Ada tugas yang harus ia jalankan. Ada negara yang membutuhkan pengabdiannya.

 

Tanpa menoleh lagi ke ruangan kosong itu, Reina berbalik dan melangkah pergi, kembali ke dunia yang selalu menerimanya tanpa syarat—dunia militer.

***

Reina berdiri di landasan udara dengan tas di pundaknya, menatap pesawat militer yang akan membawanya ke Negeri Malaca. Perasaan campur aduk memenuhi dadanya—bukan hanya karena tugas mendadak ini, tetapi juga karena Vino. 

 

Begitu pesawat mendarat di pangkalan militer Malaca, ia langsung diarahkan ke ruang pertemuan. Di dalam, empat orang prajurit pilihan lainnya sudah menunggunya. Mereka semua tampak tegas dan berwibawa, masing-masing membawa aura kepercayaan diri yang khas seorang prajurit berpengalaman.

 

Kapten Arian, pemimpin tim ini, bersandar di meja dengan tangan terlipat di dada. Tubuhnya tegap, matanya tajam menilai siapa pun yang baru masuk ke ruangan.

 

Saat Reina melangkah masuk dan memberi hormat, ruangan langsung sunyi. Keempat pria itu saling bertukar pandang, jelas terkejut.

 

“Apa ini semacam lelucon?” tanya Sersan Bayu, menaikkan alisnya.

 

“Aku tidak tahu kita akan bertugas dengan seorang wanita,” Kopral Jaka menambahkan, matanya menyipit curiga.

 

Reina tidak terpengaruh. Ia menatap mereka dengan tajam dan menjawab tegas, “Aku bukan sekadar wanita. Aku adalah Letnan Satu Reina Wardhani, dan aku ditugaskan sebagai bagian dari misi ini. Jika ada masalah dengan itu, bicaralah pada atasan.”

 

Sersan Bayu bersiul pelan, sementara Letnan  Faiz hanya mengangguk kecil, tampak menilai Reina lebih dalam.

 

Namun, ada satu orang yang tidak berbicara sama sekali—Kapten Arian. Sejak Reina masuk, pria itu hanya diam, menatapnya tanpa berkedip. Mata tajamnya menyapu wajah Reina seolah ingin menghafalnya. Baru setelah beberapa detik berlalu, sudut bibirnya terangkat tipis, menunjukkan ekspresi yang sulit diartikan.

 

“Saya Kapten Arian,” katanya akhirnya, suaranya dalam dan berwibawa. “Dan mulai sekarang, kita satu tim.”

 

Reina membalas tatapan Arian, tak menyadari bahwa detik itu juga, pria itu telah jatuh cinta pada pandangan pertama.

 

Misi perdamaian di Negeri Malaca bukanlah tugas yang mudah bagi Reina dan timnya. Malam-malam mereka dipenuhi ketegangan, suara tembakan, dan ledakan yang menggema dari kejauhan. Perseteruan antara pemerintah Negeri Malaca dan Ghana semakin memanas akibat perebutan sebuah pulau kecil yang kaya akan tambang emas. Selain itu, perang saudara di Ghana semakin memperkeruh keadaan, menyebabkan banyak korban  yang tak bersalah.

 

Kapten Arian dan Reina menyusup ke daerah konflik dengan menyamar sebagai pasangan suami istri bersama beberapa tentara dari Negera lain yang tergabung dalam misi perdamaian, demi mengevakuasi warga  yang terjebak ketika terjadi  baku tembak. Mereka memasuki desa yang sudah porak-poranda akibat serangan.

 

Ketika mereka hampir selesai mengevakuasi warga yang tersisa, Reina menemukan seorang wanita muda yang terbaring di tanah, darah mengalir deras dari luka tembak di perutnya. Matanya yang sayu menyiratkan keputusasaan, namun ada sesuatu dalam sorotannya yang membuat Reina terkejut. Wanita itu menggenggam tangan Reina, menyelipkan sebuah benda dari marmer berukiran Bunga Teratai.

 

“Aku…  Naira….” Napasnya tersengal. “Temui… Adiya… Katakan… aku…” Tubuhnya melemah, dan dalam hitungan detik—ia meninggal.

 

“Reina, masih ada korbankah?” tanya Arian yang tiba-tiba menghampiri. Ia berjongkok dan melihat kondisi wanita itu. “Dia sudah meninggal ayo kita pergi.”

 

“Hei! Itu mereka!” Beberapa pemberontak berlari dengan senjata teracung.

 

“Reina, lari!”

 

Dor! Dor!

 

Peluru berdesingan, menghantam dinding kayu yang hampir roboh. Arian menarik tangan Reina, menyeretnya ke belakang sebuah meja besar yang sudah lapuk.

 

“Kita terkepung!” seru Arian sambil mengintip dari celah kayu. “Mereka terlalu banyak.”

 

Reina mengeratkan genggamannya pada benda milik Naira, lalu memasukkannya ke dalam celana panjangnya.

 

Matanya berkeliling, mencari cara untuk melarikan diri—dan di sudut ruangan, ia melihat sesuatu. Sebuah lorong kecil yang sebagian tertutup reruntuhan.

 

“Ada jalan keluar,” bisiknya. “Tapi kita harus mengalihkan perhatian mereka.”

 

Arian menatap Reina tajam. “Jangan bilang kau punya rencana nekat lagi.”

 

Reina hanya menyeringai. Ia mengambil benda kecil dari kantong bajunya dan melemparkannya ke tengah ruangan.

 

Praaang!

 

Suara pecahan kaca diikuti asap tebal memenuhi udara. Suara batuk dan teriakan membaur dalam kekacauan.

 

“Ikut aku!” Reina menarik Arian ke lorong. Mereka merayap masuk, gelap dan sempit, napas mereka berkejaran dengan detak jantung yang menggila.

 

Di ujung lorong, mereka menemukan sebuah ruangan bawah tanah yang penuh dengan tawanan—wanita, anak-anak, dan orang tua. Wajah-wajah pucat mereka dipenuhi ketakutan.

 

“Kami akan membawa kalian keluar,” kata Reina tegas.

 

Salah satu pria tua mendekat. “Tidak ada jalan keluar. Mereka berjaga di mana-mana.”

 

Dengan cepat, Reina dan Arian membantu para tawanan mengotori wajah mereka dengan debu dan lumpur. Mereka menutupi tubuh dengan kain kumal, sementara Reina dan Arian berpura-pura menjadi pengawal yang membawa “korban” keluar.

 

Ketika mereka berjalan keluar dari reruntuhan, para penjaga hanya melirik sekilas. “Cepat bawa mereka ke tempat aman,” perintah seseorang.

 

Namun, saat mereka hampir sampai di titik aman, seorang penjaga memicingkan mata, menatap Reina dengan curiga. “Hei, aku kenal wajahmu…”

 

Sial.

 

Tanpa pikir panjang, Reina menendang lutut pria itu dan merampas tongkat kayunya.

 

Bruuk!

 

Suara keras menggema saat Reina menjatuhkan benda berat ke tanah, menciptakan kepanikan. Para tawanan berhamburan ke berbagai arah, mencari perlindungan.

Arian berusaha menarik Reina, tapi ia justru berlari ke arah berlawanan.

 

“Reina! Kau mau ke mana?!”

 

“Aku harus mengalihkan perhatian mereka!” teriaknya.

 

Ia menarik perhatian penjaga lain dengan berlari ke arah hutan, memastikan semua mata tertuju padanya. Lalu ia bersembunyi ke dalam sungai yang merupakan menjadi pembatas antara Negeri Malaca dan juga Negara Ghana.

 

Setelah suasana sepi Reina mentas dan segera berlari  berlari tanpa henti, Reina akhirnya tumbang di tepi sungai yang lain. Napasnya berat, tubuhnya penuh luka gores akibat ranting dan duri.

 

 

“Aku… di mana?” gumamnya, menatap sekeliling. “Hutan ini berbeda. Terlalu sunyi, terlalu asing.” Reina tersadar jika dia tersesat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 71 Laki laki Yang kupilih dalam diam

    Mentari baru saja menyelusup malu-malu di balik tirai kain tipis, mewarnai langit barak dengan semburat jingga pucat. Satya membuka mata perlahan, lengannya masih terulur ke sisi ranjang yang biasanya hangat… tapi kini kosong.“Rei?” gumamnya parau, mencari kehangatan itu yang seharusnya masih bersandar di dadanya.Ia bangkit duduk. Selimut terjatuh ke bawah, dingin menyergap kulitnya, tapi jauh lebih dingin adalah kenyataan bahwa ranjang itu terlalu rapi untuk seseorang yang baru saja tidur bersamanya semalaman.“Rei…” suaranya lebih lantang, kini disertai langkah cepat menuju pintu.Tak ada jejak. Tak ada suara air di kamar mandi. Tak ada piring sarapan di meja. Hanya keheningan yang memekakkan.Dan di atas meja kerja—tepat di bawah cahaya matahari pagi—terletak sepucuk surat, dilipat rapi, dengan lipstik samar yang menandai tepi kertasnya. Satya menatapnya sejenak. Ada sesuatu dalam dada yang mengeras seketika. Tangannya gemetar saat mengambilnya.Ia buka perlahan. Matanya membaca

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 70

    Raja Mahesa menatap Reina dari balik tirai emas, sosoknya berdiri dengan kekuasaan yang tak terbantahkan. Di tangannya, selembar surat perjanjian telah ditandatangani oleh Reina—berisi janji bahwa ia akan meninggalkan Satya dan memutus pernikahan mereka secara diam-diam.“Keluar sekarang,” ucap Raja kepada ajudannya.Reina masih berdiri mematung di hadapan sang raja, hingga akhirnya Raja Mahesa berkata tanpa menoleh, “Mereka akan bebas… mulai besok pagi.”Reina menunduk dalam-dalam. “Terima kasih, Yang Mulia.”Tapi saat ia hendak pergi…Pintu terbuka cepat.Salima melangkah masuk, dengan ponsel di tangannya dan wajah yang gelisah.“Yang Mulia,” katanya sambil melirik sekilas ke arah Reina, “Saya baru saja mendapat pesan dari Ardian.”Raja mengerutkan dahi. “Apa maksudmu?”Salima mendekat, menaruh ponsel di meja, dan memutar layar ke arah raja."Tawanan ini... keluarganya punya hubungan dengan seseorang yang kalian lindungi. Jika Ghana ingin mereka kembali hidup, kirim seseorang yang c

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 69 Nyala Yang Tersembunyi

    Putri Naila masih berdiri di ambang lorong, angkuh dan penuh ejekan. Kedua pengawalnya mempersempit ruang gerak Reina. Lorong marmer istana berubah jadi arena tekanan. Tapi Reina... sudah cukup menahan. “Aku bertanya, apa kau yakin bisa berdiri di sisi Satya tanpa membuka semuanya?” ulang Naila dengan suara menekan. Reina menunduk sejenak. Napasnya berat. Tapi ketika ia angkat kepala, matanya bukan lagi mata seorang putri penyamar, melainkan mata prajurit. Mata yang dulu menembus kabut hutan, mata yang bertahan di bawah tembakan musuh. Satu tarikan napas. Satu langkah cepat. BRAK! Tangan Reina menyambar ke depan dan mendorong salah satu pengawal ke dinding, keras, membuat tubuhnya terpelanting dan terengah. Satu lagi mencoba menarik lengannya, tapi Reina berputar, menekuk siku lawannya dan menjatuhkannya dengan gerakan cepat, khas pasukan elite. Putri Naila mundur dua langkah dengan kaget. “Apa... kau—?!” Reina maju satu langkah, rambutnya berantakan, napasnya memburu. “Aku tid

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 68 Diam Yang Menggores

    Lorong istana terasa lebih panjang dari biasanya. Satya berjalan cepat di belakang Reina yang terus melangkah tanpa menoleh, gaunnya menyapu lantai dengan gerakan terburu. Para pelayan yang mereka lewati langsung membungkuk, namun keheningan tajam menyelimuti mereka. “Reina, tunggu dulu,” Satya akhirnya bersuara, menyentuh lengan istrinya dengan lembut. Tapi Reina hanya diam. Ia menepis tangan Satya dan melangkah masuk ke dalam kamarnya. Satya menyusul, namun pintu dibanting tepat di depan wajahnya dan Satya hanya bisa menggertakkan gigi. Tak menyerah, ia memutar kenop pintu dan masuk begitu saja. Reina berdiri di dekat jendela, membelakangi suaminya. Bahunya naik-turun. Entah karena marah, atau karena menahan tangis. “Kenapa kamu diam? Katakan sesuatu,” desak Satya. “Aku tidak ingin bicara sekarang,” suaranya lirih, namun tajam seperti pisau. Satya melangkah mendekat. “Apa ini karena Salima?” Reina menoleh cepat, matanya merah. “Bukan hanya karena Salima! Tapi karena semua in

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 67 Bisik Yang Mengiris

    Matahari belum sepenuhnya naik ketika suara derit pintu kamar itu memecah kesunyian lorong utama sayap timur istana. Seorang pria bertubuh tegap keluar dengan langkah pasti, rambutnya masih sedikit acak, dan seragam militernya belum sepenuhnya rapi. Tapi siapa pun bisa mengenalinya—Mayor Satya, adik Pangeran Arvid. Atau, bagi sebagian kecil dari mereka yang tahu, satu-satunya pangeran yang masih memiliki hak pewaris yang sah.Tiga pelayan wanita yang baru saja membawa nampan sarapan untuk tamu-tamu bangsawan sontak menghentikan langkah. Mata mereka membelalak. Satu di antaranya terperangah melihat dari kamar mana sang Mayor keluar. Bukan dari ruang dinas. Bukan dari ruang sidang militer. Tapi dari kamar... Putri Aliya.“Y-Yang Mulia Satya... keluar dari kamar itu?” bisik salah satu pelayan dengan napas tercekat.“Dia menginap di situ? Atau… jangan-jangan…?” gumam yang lain, menatap dua temannya dengan mata penuh spekulasi.Satya melirik sekilas ke arah mereka, namun tak berkata apa-ap

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 66 Racun Dalam Cinta

    Istana terasa sunyi malam itu. Jamuan makan malam yang digelar secara pribadi oleh Putri Salima untuk Satya tampak mewah. Anggur merah dalam gelas kristal, lilin beraroma rempah menyala lembut, dan musik klasik mengalun pelan. “Terima kasih sudah datang,” kata Salima lembut, mengenakan gaun merah anggun yang menonjolkan lekuk tubuhnya. “Aku hanya ingin kita bicara… sebagai dua calon pasangan masa depan Ghana.” Satya diam. Tatapannya dingin. Tapi ia tetap duduk, menjaga sopan di hadapan utusan kerajaan asing. Salima menuangkan minuman untuknya, matanya penuh rencana. “Cobalah ini. Anggur spesial dari tanah Malaka. Konon bisa meredakan beban dan luka,” katanya. Satya menyesap sedikit. Rasanya manis, lebih manis dari biasanya. Tapi ia terlalu lelah untuk curiga… hingga kepalanya mulai berat. Napasnya melambat. Dunia berputar pelan. Ia sadar, ada yang tidak beres. “Apa yang kau—” gumamnya, setengah bangkit dari duduk. Salima mendekat. Tangannya menyentuh dada Satya. “Tenang saja...

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status