Home / Romansa / Antara Misi Dan Hati / Tersesat di Tanah Asing

Share

Tersesat di Tanah Asing

Author: Fei Adhista
last update Huling Na-update: 2025-03-05 16:31:21

Reina terbatuk, asap tebal masih membekas di tenggorokannya saat dia berjalan tertatih di antara pepohonan. Panas dari kebakaran semalam masih terasa di kulitnya, meski kini hanya ada kegelapan dan hawa lembab hutan yang menyelimutinya. Kakinya yang terluka berusaha melangkah stabil di atas tanah berlumpur. Tak ada tanda-tanda kehidupan, hanya suara serangga dan sesekali lolongan binatang buas yang menggema dari kejauhan.

 

Dia tak tahu sudah berapa lama berjalan, mungkin berjam-jam, mungkin lebih. Yang dia tahu, dia harus terus bergerak. Berhenti berarti kematian, dan Reina bukan tipe orang yang menyerah begitu saja.

 

Ketika sinar matahari mulai menembus celah dedaunan, Reina melihat sesuatu di kejauhan—gubuk-gubuk kayu yang berdiri di sepanjang sungai. Matanya menyipit, memperhatikan lebih jauh. Ada orang-orang di sana, sebagian berpakaian lusuh, sebagian bersenjata. Jantungnya berdegup lebih cepat saat dia menyadari bahwa dia telah tersesat di wilayah Ghana.

 

Ini adalah daerah konflik.

 

Dia tak bisa kembali, tak ada jalan keluar yang aman. Jika dia tertangkap, dia bisa dianggap mata-mata dan dibunuh di tempat. Reina meraba kantongnya, mencari sesuatu yang bisa membantunya bertahan. Tak ada senjata, tak ada alat komunikasi—Dia pun mendesah kesal karena liontin pemberian ibunya juga menghilang.

 

Matanya menangkap sekelompok orang berkumpul di sudut jalanan tanah. Mereka berpakaian compang-camping, beberapa di antaranya duduk dengan tangan terulur, meminta belas kasihan dari orang yang lewat. Para pengemis.

 

Sebuah ide muncul di kepalanya.

 

Jika dia tak bisa lari, maka dia harus bersembunyi. Dan cara terbaik untuk bersembunyi adalah menjadi bagian dari mereka.

 

Dengan cepat, Reina merobek bagian bawah bajunya yang sudah kotor, mengacak-acak rambutnya agar terlihat lebih berantakan. Dia melumuri wajah dan lengannya dengan debu dan lumpur, menyamarkan kulitnya yang terlalu bersih untuk seorang pengemis. Dengan langkah tertatih, dia mendekati kelompok itu.

 

Seorang wanita tua menatapnya dengan curiga. “Kau dari mana?” tanyanya dalam bahasa setempat.

 

Reina menundukkan kepalanya, berusaha menampilkan ekspresi lelah dan putus asa. “Perang... rumahku terbakar...” ucapnya pelan dalam bahasa yang sedikit terbata hingga tak terdengar.

 

Wanita itu mengamati Reina sejenak sebelum menghela napas. “Kau bisa duduk di sini. Tak banyak yang bisa kita dapat, tapi lebih baik daripada mati kelaparan.” Reina mengangguk dan duduk di antara mereka.

 

Sekarang, dia hanyalah seorang pengemis di tanah asing. Saat ia duduk di sudut jalan bersama pengemis lain, tiba-tiba rentetan tembakan menggema, membuat orang-orang berlarian menyelamatkan diri. Reina segera bergerak, matanya menangkap seorang wanita paruh baya yang terjatuh di tengah kepanikan.

 

Tanpa ragu, Reina menerjang ke arahnya, melindunginya dari tembakan yang hampir mengenainya. Dengan sigap, Reina membawa wanita paruh baya itu ke tempat aman, bertarung dengan pemberontak yang menghalangi jalan. Setelah keadaan mereda, Reina membantu wanita itu kembali ke rumahnya.

 

Tak disangka, wanita itu adalah istri Hardi, pemilik Warung Hardi, di kota kecil dekat perbatasan kota. Terharu atas keberanian Reina, wanita itu mengangkatnya sebagai anak, menggantikan putrinya yang telah meninggal beberapa bulan lalu.

 

Waktu berlalu, dan Pak Hardi mulai menganggap Reina yang mengganti namanya menjadi Naira sebagai bagian dari keluarganya. Ia bahkan sudah sepeti kakak untuk putranya, Reihardi.

 

Namun, kebersamaan mereka tak berlangsung lama. Pemerintah mengumumkan wajib militer, dan nama Reihardi ada dalam daftar yang dipanggil.

 

Melihat wajah pucat istri Pak Hardi dan kesedihan di mata pria itu, Reina mengambil keputusan besar. Ia menghadap Pak Hardi dan berkata dengan suara mantap, "Biarkan aku yang menggantikan Reihardi."

 

Pak Hardi menatapnya tajam. "Apa kau sadar apa yang kau katakan, Nak?"

 

Reina mengangguk. "Aku tidak punya siapa-siapa. Jika aku bisa melakukan sesuatu untuk keluarga ini, maka biarkan aku pergi sebagai Reihardi."

 

Setelah keheningan panjang, Pak Hardi akhirnya menghela napas berat. "Jika itu yang kau pilih... aku tidak akan menghalangimu."

 

Maka, dengan identitas baru sebagai Reihardi, Reina mengikuti  wajib militer.

 

Reina berdiri tegak di antara puluhan calon bintara lain di gerbang Akademi Militer Ghana. Bangunan besar dengan bendera berkibar di puncaknya berdiri megah di depan mereka, seakan menegaskan bahwa tempat ini bukan untuk orang lemah.

 

Di sebelahnya, seorang pria berambut cepak dengan tubuh kekar menatap sekeliling dengan ekspresi bosan. "Hei, kau dari mana?" tanyanya.

 

"Desa Wiru," jawab Reina singkat, berusaha menjaga suaranya tetap berat agar tidak mencurigakan.

 

Pria itu mengangkat alis. "Nama?"

"Reihardi."

 

"Saya Daniel. Selamat datang di neraka," katanya sambil tertawa kecil. Reina hanya menyeringai tipis. Dia sudah mengalami lebih banyak neraka daripada ini.

 

Tiba-tiba, seorang perwira senior berjalan ke arah mereka dengan langkah cepat. "Dengar baik-baik!" Semua siswa langsung berdiri tegak.

 

"Mulai hari ini, kalian bukan siapa-siapa! Tidak ada yang peduli kalian anak siapa, dari mana asal kalian, atau seberapa hebat kalian di luar sana. Di sini, kalian adalah siswa Bintara!”

 

"Siap, mengerti!" teriak mereka serempak.

 

Mereka bergegas menuju barak. Begitu pintu terbuka, aroma khas asrama menyeruak—bau deterjen bercampur dengan keringat.

 

"Silakan pilih ranjang kalian. Lima menit lagi, kalian harus siap berkumpul di lapangan!"

 

Tanpa membuang waktu, Reina melempar tasnya ke ranjang bawah dan duduk. Namun, baru saja ia ingin menarik napas, seorang siswa lain menjatuhkan tas di ranjang atasnya dan mengintip ke bawah.

 

"Heh, kau tinggi, tapi berotot juga, ya," katanya dengan seringai iseng.

 

Reina menoleh dengan tatapan tajam. "Aku cukup kuat untuk meninju wajahmu kalau kau merebut ranjangku."

 

Pria itu tergelak. "Suka gayamu, bro! Namaku Malik."

 

"Reihardi."

 

"Rei, ya? Oke, gue bakal ingat.

Namun, sebelum mereka sempat merapikan tempat tidur, tiba-tiba suara lantang menggema.

 

"BARIS!!!"

 

Mereka langsung bergegas menuju lapangan. Reina berdiri tegak, berusaha tidak menarik perhatian. Namun, harapannya segera pupus.

 

"Hoi! Kamu yang kurus kayak ranting pohon itu! Maju!"

 

Mata Reina membesar. Sial.

 

Dengan jantung berdebar, ia melangkah ke depan. Instruktur bertubuh kekar dengan kepala botak menatapnya dari atas ke bawah seperti harimau menilai mangsanya.

 

"Nama?"

 

"Reihardi, Pak!" jawab Reina lantang.

 

"Aku nggak peduli anak siapa kalian. Di sini, semua orang sama!" lanjut Sersan Hendra.

 

Reina menekan keinginan untuk menjawab sarkastik. "Siap, Pak! Saya akan bertahan!"

 

Sersan Hendra menyipitkan mata. "Baiklah. Kita lihat sejauh mana kalian bisa bertahan."

 

Saat berlari, Malik nyaris jatuh berkali-kali. Ketika seorang siswa di sebelahnya menyeringai mengejek, Reina balas tersenyum tipis dan langsung menendang lumpur ke arah wajah pria itu.

 

Plok!

"Argh, siapa yang melempar lumpur?!"

 

Reina pura-pura tak tahu. "Wah, kasihan sekali. Kayaknya lumpur suka sama wajahmu."

 

Tawa kecil terdengar dari beberapa siswa lain.

 

Hari berikutnya, suara dentingan sendok dan garpu memenuhi kantin akademi. Para siswa duduk di meja panjang, menikmati makanan mereka—jika bisa disebut menikmati. Nasi keras, lauk hambar, dan sup yang lebih mirip air rendaman sayur bukanlah sesuatu yang menggugah selera.

 

"Dengar-dengar, kita bakal dapat instruktur baru..."

 

Pria itu menelan ludah. "Menurut senior, dia pernah memimpin operasi di perbatasan Ghana-Malaca. Banyak pasukan pemberontak tumbang di tangannya.”

 

Tiba-tiba, suara terompet berbunyi nyaring. Semua siswa langsung berdiri tegak.

 

Seorang perwira masuk ke kantin dengan ekspresi dingin. "Semua siswa! Selesaikan makanan kalian dalam waktu dua menit! Setelah itu keluar dan berbaris di lapangan! Instruktur baru akan memimpin latihan!"

 

Malik hampir tersedak. "Dua menit! Gimana caranya?!"

 

Daniel langsung menyendok nasi dan lauknya sekaligus, wajahnya penuh perjuangan. "Kalau gak mau dihukum, telan aja semua!"

 

Reina menghela napas, mengambil suapan terakhirnya dengan tenang.

 

Di luar, angin bertiup kencang. Langit sedikit mendung, menambah kesan mencekam.

Mereka belum tahu siapa instruktur baru mereka.

 

Tapi satu hal pasti—hari ini akan menjadi hari yang panjang.

 

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Antara Misi Dan Hati    Langkah Terakhir

    Ghana, dua bulan setelah peralihan tahta.Hari itu, aula istana tak lagi menjadi ruang untuk pertumpahan darah, tapi ruang upacara pelantikan yang damai. Kursi rakyat kembali terisi. Bendera tua yang sempat dibakar, kini dijahit ulang dan berkibar di atas menara istana.Rakyat berkumpul, bukan karena takut… tapi karena harapan.Di tengah barisan para bangsawan, mantan prajurit, dan wakil rakyat, seorang bocah berdiri di atas podium kecil. Di belakangnya berdiri dua sosok yang kini tak lagi dianggap buronan, melainkan pelindung bangsa: Satya dan Ardian.Maydiasta menatap ke arah rakyat yang memadati pelataran. Nafasnya bergetar, tapi tangan Satya menyentuh pundaknya.“Kau tidak sendiri,” bisik Satya.Dan Ardian menambahkan, “Kau akan jadi raja… bukan karena tahta. Tapi karena kau mencintai mereka.”Maydiasta pun melangkah maju, membuka mulut kecilnya dengan suara yang masih jernih:“Aku bukan pangeran yang hebat. Tapi aku adalah anak Ghana. Dan aku berjanji akan belajar, memimpin, dan

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 112 Akhir Peperangan

    Satya berdiri tegap. Seragam gelap yang ia kenakan tak memuat satu pun lencana. Bukan karena tak layak, tapi karena hari ini bukan soal pangkat. Di sampingnya, Ardian bersandar di meja, lengannya masih diperban. Wajahnya tenang, tetapi mata menyimpan bara. “Rakyat Ghana…” suara Satya menggema dari mikrofon kecil yang terhubung ke jaringan siaran bawah tanah. “Hari ini, kalian berhak tahu kebenaran.” Kamera menyorot wajahnya. Tidak ada keraguan. Tidak ada kebohongan. Hanya keyakinan. “Selama ini, kalian dibohongi. Kami disebut pengkhianat. Kami dikurung. Difitnah. Tapi siapa dalangnya?” Ardian mengangkat sebuah dokumen dan menyodorkannya ke arah kamera. “Ini… bukti asli dari Kolonel Indra, yang disembunyikan sebelum ia tewas. Bima ingin menjadikan keponakannya anak dari adik perempuannya, sebagai pewaris takhta. Dia membunuh Arvid, memfitnahku, dan menjadikan Satya kambing hitam.” Layar di belakang mereka menampilkan wajah Tuan Halim, rekaman suara, dan data penyadapan. Semua dir

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 111 Akar yang tak Pernah Mati

    Dua tahun lalu, di Distrik Riven yang suram dan dilupakan, seorang pria tua bernama Letkol Anwar, pensiunan militer yang dulunya menjaga gerbang istana, tinggal di balik rak-rak jam rusak. Dari luar, tempat itu tampak seperti toko barang antik yang tak penting. Tapi di balik lantai kayu reyotnya, terhampar jaringan lorong rahasia yang membentang ke segala arah, tempat di mana sisa-sisa kekuatan yang disingkirkan oleh istana masih bernapas.Mereka menyebut diri mereka 'Tulang Akar'.Bagi Anwar dan para mantan prajurit yang setia pada kerajaan, tapi bukan pada kekuasaan, akar yang tersembunyi jauh lebih penting daripada cabang yang menjulang tinggi.Pada suatu malam yang dingin dan sunyi, seorang pangeran berdarah, dengan tatapan kosong dan napas berat, muncul di ambang lorong itu. Pangeran Ardian yang dituduh pemberontak, yang dibuang dari darah biru, duduk di lantai batu dengan lutut penuh lumpur.Letkol Anwar mendekatinya tanpa ragu.“Kau bukan pengkhianat, Pangeran,” katanya sambil

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 110

    Lokasi: Barak tua di batas utara Ghana, jam 20.11TV kecil berdebu itu masih menyala di sudut ruangan. Gambarnya tak stabil, tapi suara penyiar itu terdengar jelas.“…pemerintah kerajaan menetapkan dua buronan negara Pangeran Ardian dan Pangeran Satya. Dituduh menghasut pemberontakan, membunuh Pangeran Arvid, serta bekerja sama dengan militer asing…”Ditto menjatuhkan botol air di tangannya. Suara dentingnya memantul tajam.“Apa… ini bercanda?”“Ini…” Malik terdiam. Rahangnya mengeras. Matanya menyapu layar seperti menolak percaya.“Satya?” Ditto mengulang, lebih ke dirinya sendiri.Malik bangkit. Langkahnya berat, tapi tegas. Ia mematikan TV.“Mereka memutar balik semuanya. Raja tidak bicara sepatah kata. Ini suara dewan.”“Tuan Halim,” gumam Ditto. “Itu dia... sialan itu...”Keduanya saling pandang. Dalam diam mereka mengerti Ini bukan sekadar pengkhianatan... ini pemusnahan karakter.“Kita harus cari Pangeran Satya,” ujar Ditto.“Dan Pangeran Ardian,” Malik menambahkan.“Bagaimana

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 109 Kota Yang Tertidur

    Istana Ghana, Ruang Rapat DalamRaja Mahesa duduk di kursi takhta kecil, matanya sembab. Tangannya memegang laporan kematian Arvid. Di sekitarnya duduk para menteri dalam negeri, penasihat senior, dan seorang pria berambut putih mengenakan jubah biru tua: Tuan Halim.“Yang Mulia,” ujar Tuan Halim, suaranya pelan namun berisi racun. “Kami telah menyelidiki lebih dalam... dan menemukan indikasi bahwa Ardian dan Satya tengah merancang pemberontakan.”Raja Mahesa mengerutkan kening. “Laporan itu tak cukup. Ardian terluka parah, Satya dalam pemulihan.”Tuan Halim melangkah maju. Ia meletakkan dua dokumen di meja raja.Satu berupa rekaman audio.Satu lagi foto-foto hasil pengawasan drone.“Mereka pernah bertemu dengan utusan Malaca di perbatasan. Dan ini...” Ia menekan tombol kecil.Dari alat pemutar suara, terdengar percakapanArdian (suara hasil suntingan). “Jika raja tak menyerahkan tahta, kita akan ambil dengan pak

  • Antara Misi Dan Hati    Bab 108 Surat yang Tak Pernah Sampai

    Malam di Ghana begitu senyap. Lampu-lampu istana telah dipadamkan, dan gerbang utama dijaga dua kali lebih ketat dari biasanya. Namun di sebuah kediaman tua milik mantan penasihat militer yang sudah pensiun, Ardian duduk di bawah cahaya redup lentera minyak, membuka sepucuk surat dengan segel lilin yang tak ia kenali. Surat itu dikirim dengan tangan, tanpa nama, dan diselipkan ke dalam laporan logistik yang dibawa oleh salah satu pasukan cadangan dari selatan. Isinya singkat tapi mencabik. “Pangeran Arvid bukan satu-satunya calon pewaris. Di luar sana, Raja Mahesa telah menyembunyikan seorang anak dari darahnya sendiri, lahir dari saudara perempuan Kolonel Bima. Kau dan Satya hanya bagian dari permainan lebih besar. Jaga dirimu. – E” Ardian mengerutkan kening. Surat itu tidak membawa jawaban—justru menambah pertanyaan. Ia segera membakar surat itu setelah membacanya tiga kali. Tapi kata-kata terakhir masih terngiang dalam benaknya: “Kau dan Satya hanya bagian dari permainan leb

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status