Reina terbatuk, asap tebal masih membekas di tenggorokannya saat dia berjalan tertatih di antara pepohonan. Panas dari kebakaran semalam masih terasa di kulitnya, meski kini hanya ada kegelapan dan hawa lembab hutan yang menyelimutinya. Kakinya yang terluka berusaha melangkah stabil di atas tanah berlumpur. Tak ada tanda-tanda kehidupan, hanya suara serangga dan sesekali lolongan binatang buas yang menggema dari kejauhan.
Dia tak tahu sudah berapa lama berjalan, mungkin berjam-jam, mungkin lebih. Yang dia tahu, dia harus terus bergerak. Berhenti berarti kematian, dan Reina bukan tipe orang yang menyerah begitu saja. Ketika sinar matahari mulai menembus celah dedaunan, Reina melihat sesuatu di kejauhan—gubuk-gubuk kayu yang berdiri di sepanjang sungai. Matanya menyipit, memperhatikan lebih jauh. Ada orang-orang di sana, sebagian berpakaian lusuh, sebagian bersenjata. Jantungnya berdegup lebih cepat saat dia menyadari bahwa dia telah tersesat di wilayah Ghana. Ini adalah daerah konflik. Dia tak bisa kembali, tak ada jalan keluar yang aman. Jika dia tertangkap, dia bisa dianggap mata-mata dan dibunuh di tempat. Reina meraba kantongnya, mencari sesuatu yang bisa membantunya bertahan. Tak ada senjata, tak ada alat komunikasi—Dia pun mendesah kesal karena liontin pemberian ibunya juga menghilang. Matanya menangkap sekelompok orang berkumpul di sudut jalanan tanah. Mereka berpakaian compang-camping, beberapa di antaranya duduk dengan tangan terulur, meminta belas kasihan dari orang yang lewat. Para pengemis. Sebuah ide muncul di kepalanya. Jika dia tak bisa lari, maka dia harus bersembunyi. Dan cara terbaik untuk bersembunyi adalah menjadi bagian dari mereka. Dengan cepat, Reina merobek bagian bawah bajunya yang sudah kotor, mengacak-acak rambutnya agar terlihat lebih berantakan. Dia melumuri wajah dan lengannya dengan debu dan lumpur, menyamarkan kulitnya yang terlalu bersih untuk seorang pengemis. Dengan langkah tertatih, dia mendekati kelompok itu. Seorang wanita tua menatapnya dengan curiga. “Kau dari mana?” tanyanya dalam bahasa setempat. Reina menundukkan kepalanya, berusaha menampilkan ekspresi lelah dan putus asa. “Perang... rumahku terbakar...” ucapnya pelan dalam bahasa yang sedikit terbata hingga tak terdengar. Wanita itu mengamati Reina sejenak sebelum menghela napas. “Kau bisa duduk di sini. Tak banyak yang bisa kita dapat, tapi lebih baik daripada mati kelaparan.” Reina mengangguk dan duduk di antara mereka. Sekarang, dia hanyalah seorang pengemis di tanah asing. Saat ia duduk di sudut jalan bersama pengemis lain, tiba-tiba rentetan tembakan menggema, membuat orang-orang berlarian menyelamatkan diri. Reina segera bergerak, matanya menangkap seorang wanita paruh baya yang terjatuh di tengah kepanikan. Tanpa ragu, Reina menerjang ke arahnya, melindunginya dari tembakan yang hampir mengenainya. Dengan sigap, Reina membawa wanita paruh baya itu ke tempat aman, bertarung dengan pemberontak yang menghalangi jalan. Setelah keadaan mereda, Reina membantu wanita itu kembali ke rumahnya. Tak disangka, wanita itu adalah istri Hardi, pemilik Warung Hardi, di kota kecil dekat perbatasan kota. Terharu atas keberanian Reina, wanita itu mengangkatnya sebagai anak, menggantikan putrinya yang telah meninggal beberapa bulan lalu. Waktu berlalu, dan Pak Hardi mulai menganggap Reina yang mengganti namanya menjadi Naira sebagai bagian dari keluarganya. Ia bahkan sudah sepeti kakak untuk putranya, Reihardi. Namun, kebersamaan mereka tak berlangsung lama. Pemerintah mengumumkan wajib militer, dan nama Reihardi ada dalam daftar yang dipanggil. Melihat wajah pucat istri Pak Hardi dan kesedihan di mata pria itu, Reina mengambil keputusan besar. Ia menghadap Pak Hardi dan berkata dengan suara mantap, "Biarkan aku yang menggantikan Reihardi." Pak Hardi menatapnya tajam. "Apa kau sadar apa yang kau katakan, Nak?" Reina mengangguk. "Aku tidak punya siapa-siapa. Jika aku bisa melakukan sesuatu untuk keluarga ini, maka biarkan aku pergi sebagai Reihardi." Setelah keheningan panjang, Pak Hardi akhirnya menghela napas berat. "Jika itu yang kau pilih... aku tidak akan menghalangimu." Maka, dengan identitas baru sebagai Reihardi, Reina mengikuti wajib militer. Reina berdiri tegak di antara puluhan calon bintara lain di gerbang Akademi Militer Ghana. Bangunan besar dengan bendera berkibar di puncaknya berdiri megah di depan mereka, seakan menegaskan bahwa tempat ini bukan untuk orang lemah. Di sebelahnya, seorang pria berambut cepak dengan tubuh kekar menatap sekeliling dengan ekspresi bosan. "Hei, kau dari mana?" tanyanya. "Desa Wiru," jawab Reina singkat, berusaha menjaga suaranya tetap berat agar tidak mencurigakan. Pria itu mengangkat alis. "Nama?" "Reihardi." "Saya Daniel. Selamat datang di neraka," katanya sambil tertawa kecil. Reina hanya menyeringai tipis. Dia sudah mengalami lebih banyak neraka daripada ini. Tiba-tiba, seorang perwira senior berjalan ke arah mereka dengan langkah cepat. "Dengar baik-baik!" Semua siswa langsung berdiri tegak. "Mulai hari ini, kalian bukan siapa-siapa! Tidak ada yang peduli kalian anak siapa, dari mana asal kalian, atau seberapa hebat kalian di luar sana. Di sini, kalian adalah siswa Bintara!” "Siap, mengerti!" teriak mereka serempak. Mereka bergegas menuju barak. Begitu pintu terbuka, aroma khas asrama menyeruak—bau deterjen bercampur dengan keringat. "Silakan pilih ranjang kalian. Lima menit lagi, kalian harus siap berkumpul di lapangan!" Tanpa membuang waktu, Reina melempar tasnya ke ranjang bawah dan duduk. Namun, baru saja ia ingin menarik napas, seorang siswa lain menjatuhkan tas di ranjang atasnya dan mengintip ke bawah. "Heh, kau tinggi, tapi berotot juga, ya," katanya dengan seringai iseng. Reina menoleh dengan tatapan tajam. "Aku cukup kuat untuk meninju wajahmu kalau kau merebut ranjangku." Pria itu tergelak. "Suka gayamu, bro! Namaku Malik." "Reihardi." "Rei, ya? Oke, gue bakal ingat. Namun, sebelum mereka sempat merapikan tempat tidur, tiba-tiba suara lantang menggema. "BARIS!!!" Mereka langsung bergegas menuju lapangan. Reina berdiri tegak, berusaha tidak menarik perhatian. Namun, harapannya segera pupus. "Hoi! Kamu yang kurus kayak ranting pohon itu! Maju!" Mata Reina membesar. Sial. Dengan jantung berdebar, ia melangkah ke depan. Instruktur bertubuh kekar dengan kepala botak menatapnya dari atas ke bawah seperti harimau menilai mangsanya. "Nama?" "Reihardi, Pak!" jawab Reina lantang. "Aku nggak peduli anak siapa kalian. Di sini, semua orang sama!" lanjut Sersan Hendra. Reina menekan keinginan untuk menjawab sarkastik. "Siap, Pak! Saya akan bertahan!" Sersan Hendra menyipitkan mata. "Baiklah. Kita lihat sejauh mana kalian bisa bertahan." Saat berlari, Malik nyaris jatuh berkali-kali. Ketika seorang siswa di sebelahnya menyeringai mengejek, Reina balas tersenyum tipis dan langsung menendang lumpur ke arah wajah pria itu. Plok! "Argh, siapa yang melempar lumpur?!" Reina pura-pura tak tahu. "Wah, kasihan sekali. Kayaknya lumpur suka sama wajahmu." Tawa kecil terdengar dari beberapa siswa lain. Hari berikutnya, suara dentingan sendok dan garpu memenuhi kantin akademi. Para siswa duduk di meja panjang, menikmati makanan mereka—jika bisa disebut menikmati. Nasi keras, lauk hambar, dan sup yang lebih mirip air rendaman sayur bukanlah sesuatu yang menggugah selera. "Dengar-dengar, kita bakal dapat instruktur baru..." Pria itu menelan ludah. "Menurut senior, dia pernah memimpin operasi di perbatasan Ghana-Malaca. Banyak pasukan pemberontak tumbang di tangannya.” Tiba-tiba, suara terompet berbunyi nyaring. Semua siswa langsung berdiri tegak. Seorang perwira masuk ke kantin dengan ekspresi dingin. "Semua siswa! Selesaikan makanan kalian dalam waktu dua menit! Setelah itu keluar dan berbaris di lapangan! Instruktur baru akan memimpin latihan!" Malik hampir tersedak. "Dua menit! Gimana caranya?!" Daniel langsung menyendok nasi dan lauknya sekaligus, wajahnya penuh perjuangan. "Kalau gak mau dihukum, telan aja semua!" Reina menghela napas, mengambil suapan terakhirnya dengan tenang. Di luar, angin bertiup kencang. Langit sedikit mendung, menambah kesan mencekam. Mereka belum tahu siapa instruktur baru mereka. Tapi satu hal pasti—hari ini akan menjadi hari yang panjang.Putri Naila masih berdiri di ambang lorong, angkuh dan penuh ejekan. Kedua pengawalnya mempersempit ruang gerak Reina. Lorong marmer istana berubah jadi arena tekanan. Tapi Reina... sudah cukup menahan. “Aku bertanya, apa kau yakin bisa berdiri di sisi Satya tanpa membuka semuanya?” ulang Naila dengan suara menekan. Reina menunduk sejenak. Napasnya berat. Tapi ketika ia angkat kepala, matanya bukan lagi mata seorang putri penyamar, melainkan mata prajurit. Mata yang dulu menembus kabut hutan, mata yang bertahan di bawah tembakan musuh. Satu tarikan napas. Satu langkah cepat. BRAK! Tangan Reina menyambar ke depan dan mendorong salah satu pengawal ke dinding, keras, membuat tubuhnya terpelanting dan terengah. Satu lagi mencoba menarik lengannya, tapi Reina berputar, menekuk siku lawannya dan menjatuhkannya dengan gerakan cepat, khas pasukan elite. Putri Naila mundur dua langkah dengan kaget. “Apa... kau—?!” Reina maju satu langkah, rambutnya berantakan, napasnya memburu. “Aku tid
Lorong istana terasa lebih panjang dari biasanya. Satya berjalan cepat di belakang Reina yang terus melangkah tanpa menoleh, gaunnya menyapu lantai dengan gerakan terburu. Para pelayan yang mereka lewati langsung membungkuk, namun keheningan tajam menyelimuti mereka. “Reina, tunggu dulu,” Satya akhirnya bersuara, menyentuh lengan istrinya dengan lembut. Tapi Reina hanya diam. Ia menepis tangan Satya dan melangkah masuk ke dalam kamarnya. Satya menyusul, namun pintu dibanting tepat di depan wajahnya dan Satya hanya bisa menggertakkan gigi. Tak menyerah, ia memutar kenop pintu dan masuk begitu saja. Reina berdiri di dekat jendela, membelakangi suaminya. Bahunya naik-turun. Entah karena marah, atau karena menahan tangis. “Kenapa kamu diam? Katakan sesuatu,” desak Satya. “Aku tidak ingin bicara sekarang,” suaranya lirih, namun tajam seperti pisau. Satya melangkah mendekat. “Apa ini karena Salima?” Reina menoleh cepat, matanya merah. “Bukan hanya karena Salima! Tapi karena semua in
Matahari belum sepenuhnya naik ketika suara derit pintu kamar itu memecah kesunyian lorong utama sayap timur istana. Seorang pria bertubuh tegap keluar dengan langkah pasti, rambutnya masih sedikit acak, dan seragam militernya belum sepenuhnya rapi. Tapi siapa pun bisa mengenalinya—Mayor Satya, adik Pangeran Arvid. Atau, bagi sebagian kecil dari mereka yang tahu, satu-satunya pangeran yang masih memiliki hak pewaris yang sah.Tiga pelayan wanita yang baru saja membawa nampan sarapan untuk tamu-tamu bangsawan sontak menghentikan langkah. Mata mereka membelalak. Satu di antaranya terperangah melihat dari kamar mana sang Mayor keluar. Bukan dari ruang dinas. Bukan dari ruang sidang militer. Tapi dari kamar... Putri Aliya.“Y-Yang Mulia Satya... keluar dari kamar itu?” bisik salah satu pelayan dengan napas tercekat.“Dia menginap di situ? Atau… jangan-jangan…?” gumam yang lain, menatap dua temannya dengan mata penuh spekulasi.Satya melirik sekilas ke arah mereka, namun tak berkata apa-ap
Istana terasa sunyi malam itu. Jamuan makan malam yang digelar secara pribadi oleh Putri Salima untuk Satya tampak mewah. Anggur merah dalam gelas kristal, lilin beraroma rempah menyala lembut, dan musik klasik mengalun pelan. “Terima kasih sudah datang,” kata Salima lembut, mengenakan gaun merah anggun yang menonjolkan lekuk tubuhnya. “Aku hanya ingin kita bicara… sebagai dua calon pasangan masa depan Ghana.” Satya diam. Tatapannya dingin. Tapi ia tetap duduk, menjaga sopan di hadapan utusan kerajaan asing. Salima menuangkan minuman untuknya, matanya penuh rencana. “Cobalah ini. Anggur spesial dari tanah Malaka. Konon bisa meredakan beban dan luka,” katanya. Satya menyesap sedikit. Rasanya manis, lebih manis dari biasanya. Tapi ia terlalu lelah untuk curiga… hingga kepalanya mulai berat. Napasnya melambat. Dunia berputar pelan. Ia sadar, ada yang tidak beres. “Apa yang kau—” gumamnya, setengah bangkit dari duduk. Salima mendekat. Tangannya menyentuh dada Satya. “Tenang saja...
Aula pertemuan pribadi itu dibuka paksa. Satya baru saja melangkah masuk ketika suara sepatu hak tinggi menghantam lantai marmer. “Bagus. Akhirnya kau datang juga.” Putri Salima berdiri di tengah ruangan, tubuhnya tegang. Gaun resmi diplomatiknya yang penuh lencana kebangsawanan Malaka berkilau saat ia berputar cepat menatap Satya. Satya menghentikan langkah, berdiri lurus. Raja Mahesa ada di belakangnya, duduk di kursi pengamat. Tidak bicara, tidak memberi aba-aba. Ini jelas ujian. “Kau mempermalukan kerajaanku,” ucap Salima tanpa basa-basi. Suara tamparannya menyusul satu detik setelah kata-katanya habis. Satya tidak bergerak. Tidak melawan. Tidak mundur. “Kau pikir aku boneka politik yang bisa disingkirkan hanya karena kau tergila-gila pada wanita berkasta rendah itu?” Salima maju dua langkah, tangan kanannya kembali terangkat. Satya menangkap pergelangan tangannya kali ini. Cengkramannya dingin. “Cukup.” “Seluruh Malaka sudah tau, Foto kita terpajang di med
Gerbang istana terbuka perlahan di bawah cahaya lampu sorot yang menusuk malam. Hujan masih turun gerimis, menetes dari ujung helm para penjaga yang berdiri berjajar. Setiap langkah kendaraan lapis baja yang mengangkut Reina dan Satya diiringi tatapan tajam para petinggi, bangsawan, dan pasukan elit istana yang berkumpul di halaman utama.Pintu belakang terbuka.“Turun!” bentak seorang penjaga, menarik borgol di pergelangan Reina.Ia terhuyung turun, mengenakan pakaian sederhana berlumur lumpur, wajahnya basah dan kusut. Namun di balik kelelahan itu, matanya tetap tegak, menyimpan harga diri yang tak bisa dipatahkan oleh borgol logam.Di sisi lain, Satya turun dari kendaraan kedua. Tubuh tegapnya sedikit tertunduk. Bajunya basah kuyup, rambutnya menempel di dahi. Tapi matanya, tajam seperti elang yang enggan tunduk.Tatapan mereka bertemu.Tak ada kata.Hanya diam yang panjang... dan dalam.Beberapa bangsawan mulai berbisik-bisik. Nama Satya disebut pelan di antara mulut-mulut yang ta