Beranda / Romansa / Antara Peran dan Perasaan / Bab 113 – Belajar Mencintai Lagi

Share

Bab 113 – Belajar Mencintai Lagi

Penulis: Ayla
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-23 23:52:25

Hari itu, rumah mereka sunyi.

Bukan sunyi yang sepi, tapi sunyi yang telah terbiasa.

Seperti buku tua yang tak lagi dibaca keras-keras,

tapi cukup dibuka perlahan untuk mengingat halaman mana yang paling sering disentuh.

Nara sedang menyetrika.

Raydan menyiram tanaman.

Tak ada percakapan. Tapi keduanya tahu:

hari ini bukan hari biasa.

Hari ini, usia pernikahan mereka tepat 25 tahun.

Tapi tidak ada pesta.

Tidak ada kue.

Tidak ada bunga.

Hanya dua orang yang tetap memilih pulang satu sama lain—meski tahu betul:

mereka sudah bukan versi terbaiknya.

Malamnya, di meja makan, hanya ada dua piring sup ayam, dan satu obrolan pelan:

“Dan, kamu masih betah?” tanya Nara sambil menyeruput.

Raydan mengangkat alis.

“Betah sama siapa? Sama kamu?”

Nara mengangguk.

Wajahnya datar. Tapi matanya mencari sesuatu—mungkin candaan, mungkin kejujuran.

Raydan meletakkan sendoknya.

Menatap istrinya lama.

Lalu berkata:

“Aku masih pulang ke rumah ini bukan karena aku betah.

Tapi karena aku sudah tahu, di mana pu
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 120 – Tiga Nama di Atas Pasir Parangtritis

    Ketika kereta berhenti di Stasiun Tugu Yogyakarta,angin pagi menyambut mereka dengan aroma nostalgia dan rempah-rempah dari pedagang kaki lima.Raydan menarik koper besar dengan satu tangan, sementara tangan lainnya menggenggam tangan Alana.Nara berjalan di samping mereka, wajahnya menyimpan senyum tipis yang tak ia sadari tumbuh sejak turun dari kereta.Yogyakarta.Kota yang pernah mereka lewati dalam perjalanan masing-masing.Kali ini, mereka datang sebagai keluarga.Tujuan pertama: Malioboro.Alana terpukau oleh segala hal—kuda delman yang dihias pita warna-warni,pemusik jalanan dengan suara serak lembut,dan toko-toko kecil yang menjual kaus bertuliskan “Jogja Istimewa.”Nara memperhatikan putrinya seolah melihat dirinya sendiri saat masih remaja.Matanya berbinar.Langkahnya cepat.Dan tiap hal kecil menjadi cerita.Mereka makan gudeg di warung tua yang dindingnya dipenuhi foto presiden dan seniman lama.Raydan, seperti biasa, mengambil foto diam-diam saat Nara sedang tertawa

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 119 – Reuni yang Tak Pernah Benar-Benar Usai

    Nara menerima undangan itu dalam bentuk email yang nyaris terlewat.Judulnya sederhana:“REUNI ANGKATAN 2000 – SMA PELITA NUSANTARA”Subjudulnya: Saatnya Mengenang, Memaafkan, dan Melanjutkan.Ia membaca pelan-pelan, seperti sedang menelusuri kenangan—bukan sekadar baris informasi.SMA Pelita Nusantara.Tempat di mana dirinya pernah merasa menjadi versi yang tak pernah cukup.Raydan menemukan istrinya duduk di meja makan,sambil menatap layar ponsel yang tak kunjung disentuh.“Undangan reuni?”Raydan mengenali ekspresi itu—tatapan kosong ke masa lalu.Nara mengangguk.“Kenapa ya... rasanya seperti membuka kotak yang udah lama dikunci?Padahal itu cuma reuni.”Raydan duduk di sebelahnya.“Kotak itu kamu kunci, karena dulu kamu kira kamu harus berubah dulu buat bisa dilihat.”Ia diam sebentar, lalu menambahkan,“Tapi sekarang, kamu bisa datang sebagai dirimu yang utuh.”Tiga hari kemudian, Nara berdiri di depan cermin.Gaun semi-formal warna hijau sage membalut tubuhnya.Tidak terlalu

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 118 – Malam Sebelum Ijab Kabul

    Di ruang tamu rumah mereka yang sederhana,Alana duduk berhadapan dengan kedua orang tuanya.Ia membawa kamera kecil, tripod mungil, dan sebuah buku catatan.Hari itu, ia menyebut kegiatan ini:“Wawancara Keluarga: Cinta, Konflik, dan Cara Mereka Bertahan.”Nara dan Raydan sempat tertawa kecil mendengar judulnya,tapi begitu kamera menyala,senyap merayap perlahan.Pertanyaan pertama Alana cukup sederhana:“Apa yang paling kalian ingat dari malam sebelum pernikahan kalian?”Seketika, Nara terdiam.Raydan mengerutkan alis.Dan setelah beberapa detik, Nara berkata pelan,“Malam itu, aku ingin membatalkan semuanya.”Alana membelalakkan mata.“Serius?”Raydan menoleh pelan ke arah istrinya.Ekspresi di wajahnya seperti seseorang yang tahu cerita itu,tapi tak pernah mendengarnya sejelas ini.Nara menarik napas.“Waktu itu, sehari sebelum ijab kabul, aku duduk di depan cermin.Aku melihat wajahku sendiri,dan yang kulihat adalah seseorang yang terlalu muda,terlalu takut, dan tidak sepenuh

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 117 – Ruang yang Tidak Lagi Hanya Sunyi

    Hari itu, Nara bangun lebih awal dari biasanya.Jam lima pagi, langit masih remang.Tapi udara sudah menggendong aroma kayu dan embun.Ia berdiri di depan jendela,melihat kabut tipis menggantung di halaman belakang.Raydan belum bangun.Alana juga masih terlelap.Tapi Nara sudah merasa hari ini berbeda.Bukan karena ada sesuatu yang akan terjadi.Tapi karena ada sesuatu yang mulai berubah di dalam dirinya.Sudah lama sekali ia tidak merasa damai hanya karena pagi.Dulu, pagi selalu berarti daftar tugas,suara-suara dalam kepala,dan rutinitas yang berjalan tanpa henti.Tapi hari ini, pagi datang dengan tenang.Seperti pelukan yang tak menuntut.Dan Nara menuliskan satu kalimat di notes kecil di meja:“Aku tidak tahu kapan terakhir kali aku merasa cukup. Tapi hari ini, aku tidak merasa kekurangan.”Sore harinya, Raydan pulang membawa sesuatu.Bukan bunga. Bukan hadiah.Tapi satu papan nama kecil, dari kayu pinus bekas rak tua.Tulisannya:“Tempat Kita Pulang”— dengan font tangan Rayd

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 116 – Raydan dan Nara Belajar Mengucapkan Rindu Tanpa Kata

    Hari itu, hujan turun dengan irama tak tentu.Kadang deras. Kadang rintik. Kadang hening tiba-tiba.Seperti hubungan yang sudah lama berjalan: tidak lagi selalu jelas, tapi tetap terasa.Raydan sedang duduk di bengkel kecil miliknya, merakit lampu baca.Nara di dapur, mencoba resep baru yang ia temukan dari kliping majalah lama.Tak ada percakapan pagi itu.Tapi keduanya merasakan sesuatu yang sama:ada yang bergeser. Bukan dalam cinta. Tapi dalam cara mencintai.Beberapa waktu belakangan,mereka semakin sering diam bersamaan.Bukan karena tak punya yang dibicarakan,tapi karena kata-kata tak lagi perlu membuktikan apa-apa.Namun sore itu, Nara membuka suara terlebih dulu.“Dan, menurut kamu... kita masih romantis nggak sih?”Raydan tertawa pelan.Suaranya seperti kopi panas: tidak mengejutkan, tapi menenangkan.“Romantis? Hmm… romantisnya bentuk baru, mungkin.”Nara menoleh. “Bentuk baru gimana?”Raydan berpikir sebentar, lalu menjawab:“Dulu kita romantis karena saling bikin kejutan

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 115 – Surat untuk Seseorang yang Belum Ada

    Hari itu, cuaca abu-abu. Langit seperti enggan memberi hujan, tapi juga tak mau cerah. Di dalam “Pelan Saja”, Alana duduk di ruang tengah, sendiri. Tak ada pengunjung hari ini. Tak ada agenda.Hanya ada satu meja kayu, secangkir teh hangat, dan sebuah halaman kosong di jurnalnya. Ia membuka halaman baru. Menuliskan tanggal. Lalu menulis dengan tinta pelan, hampir seperti berbisik:Untuk Kamu yang Belum Ada, Tapi Mungkin Akan Datang“Aku tidak tahu kamu siapa. Tidak tahu kamu dari mana, atau bagaimana kamu akan menatapku untuk pertama kali.Tapi hari ini, aku menulis surat untukmu. Bukan karena aku menunggumu. Tapi karena aku ingin menyambutmu—jika nanti kita bertemu.Aku ingin kamu tahu, bahwa aku bukan orang yang mudah dicintai. Aku terbiasa menjadi rumah untuk orang lain. Tapi aku sendiri, masih belajar bagaimana membiarkan seseorang tinggal cukup lama tanpa takut dihancurkan.Aku kadang terlalu diam. Bukan karena tidak peduli. Tapi karena aku terbiasa mendengar bany

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status