Home / Romansa / Antara Peran dan Perasaan / Bab 35 – Dokumen yang Terlupa

Share

Bab 35 – Dokumen yang Terlupa

Author: Ayla
last update Last Updated: 2025-06-01 23:28:54

Hujan turun perlahan saat Bayu menyerahkan satu map cokelat ke meja kerja Nara. Tak ada ekspresi di wajahnya, hanya sorot mata yang mengatakan: “kita harus bicara.”

“Dari mana ini?” tanya Nara.

“Dari arsip merger dua tahun lalu. Tim pengarsipan menemukannya waktu mereka memindahkan berkas ke server baru. Tidak pernah dipindai digital.”

Bayu membuka map itu perlahan.

Di dalamnya: laporan keuangan, memo komunikasi lintas divisi, dan satu lembar dokumen kerja sama pra-merger antara pihak Dirgantara dan lembaga penasihat luar.

Yang menarik perhatian bukan isi angkanya.

Tapi kolom tanda tangan.

Tertulis jelas:

Disahkan oleh: Renata Dirgantara.

Jabatan saat itu: Advisor Legal Eksternal (independen).

Nara membeku.

Renata.

Ibu Raydan.

Istri dari pendiri Dirgantara Lestari.

Dan selama ini… dianggap sudah tidak aktif sejak lima tahun terakhir.

“Dokumen ini legal?” tanya Nara.

Bayu mengangguk. “Ditandatangani di atas materai. Diarsipkan oleh tim merger lama, tapi tidak pernah muncul di tinja
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 50 – Rumah yang Tidak Dibangun dengan Bata

    Mobil off-road itu berhenti di tepi jalan tanah, dikelilingi ladang ilalang dan bau kayu bakar.Desa Sukajaya.Tiga jam dari pusat kota. Tak ada sinyal. Tak ada lampu jalan. Tapi ada sesuatu yang menyala di udara: ketenangan yang tak bisa diciptakan oleh modernitas.Nara turun lebih dulu. Rambutnya diikat longgar. Raydan membantunya membuka ransel. Mereka disambut oleh kepala dusun dan beberapa guru lokal.“Selamat datang, Bu Nara. Pak Raydan. Anak-anak sudah tak sabar nunggu,” ucap kepala dusun, tangannya kasar tapi hangat.Mereka dibawa ke balai kecil beratap seng. Di sana, dua puluh anak duduk melingkar, sebagian dengan baju sekolah pudar, sebagian tanpa alas kaki.Tapi semua mata… penuh cahaya.Hari pertama diisi dengan sesi mendengar. Bukan mereka yang berbicara. Tapi anak-anak yang menulis pertanyaan di kertas kecil:“Kenapa orang kota suka sibuk sendiri?”“Kalau kami belajar bicara, apakah kami bisa didengar juga di Jakarta?”“Apa bedanya suara dengan teriakan?”Nara membaca pe

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 49 – Empati yang Dikemas

    Awalnya hanya berita kecil di linimasa LinkedIn.“Arsaka Group meluncurkan program baru: ‘Voices Within’—platform internal yang mendorong karyawan bicara tanpa takut, dengan dukungan psikolog, audio-visual interaktif, dan pelatihan narasi personal.”Mira membaca duluan. Lalu menunjukkan ke Nara tanpa berkata apa-apa.Nara membaca pelan.Matanya berhenti di satu bagian deskripsi:“…setiap sesi dilengkapi rekaman suara anonim yang dikurasi, dan bisa dibagikan untuk membangun iklim komunikasi emosional berbasis budaya tim.”Bayu menambahkan, “Mereka juga pakai tagar ‘#BeraniBersuara’ dan mulai kolaborasi dengan agensi kreatif. Slogan mereka: Karena suaramu bisa dijual.”Kalimat itu membekas seperti luka terbuka.Dalam rapat evaluasi mingguan, beberapa direktur menyarankan hal yang membuat dada Nara sesak:“Kita perlu ikut perbarui visualisasi Rumah Bicara. Bisa kita buat video dokumenter mini? Atau berikan insentif bagi testimoni?”“Saya sarankan kita rebranding jadi Dirgantara Mendengar

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 48 – Suara-Suara yang Tak Lagi Sendirian

    Tiga minggu setelah kejadian malam itu, Raka kembali ke kantor. Masih pelan. Masih menyusun napas. Tapi lebih hadir dari sebelumnya.Nara menemuinya di taman belakang kantor. Di bangku kayu yang dulu sering kosong.“Aku tidak akan tanya apakah kamu sudah baik-baik saja,” ucap Nara. “Tapi aku akan tanya, apakah kamu ingin melakukan sesuatu yang mungkin bisa membuat hari-harimu sedikit lebih punya arah?”Raka tersenyum kecil. “Apa itu?”Nara menyerahkan satu map cokelat.Isinya: proposal bertajukUNIT SUARA SENYAP – Dirgantara Listening LabKonsepnya sederhana:Ruang privat tanpa jadwal resmi, di mana siapa pun boleh datang dan bicara.Tak ada form. Tak ada asesmen.Hanya ruang.Kursi.Telinga.Teh hangat.Dan… kehadiran.Raka membaca diam-diam.Kemudian Nara berkata:“Kamu tahu kenapa aku kasih map ini ke kamu duluan, bukan ke manajer HR?”Raka mengangguk pelan. “Karena aku pernah nyaris jadi suara terakhir itu.”Nara membalas, lembut, “Dan karena kamu tahu… bagaimana rasanya ingin bic

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 47 – Kutipan Tanpa Nama, Resonansi Tanpa Skenario

    Pada suatu malam hujan, Nara menyalin satu paragraf dari jurnalnya ke ponsel.Ia tak menandatangani nama. Tak mengedit susunan katanya. Ia hanya menyalin, lalu mengirimkannya ke tim editorial buletin internal perusahaan, disertai catatan kecil:“Tolong tayangkan ini sebagai ‘Suara Tanpa Nama’ di halaman terakhir.”Paragraf itu berbunyi:“Kadang aku hanya ingin seseorang duduk diam di sampingku. Tak usah menasihati. Tak usah menyuruh kuat. Cukup hadir. Karena hadir… adalah bahasa pertama dari cinta yang tak banyak diajarkan.”Keesokan harinya, buletin terbit.Tak ada yang bereaksi langsung. Tak ada email masuk. Tak ada komentar terbuka.Tapi satu jam setelahnya, Mira mengirim pesan:“Nara. Seseorang menempel kutipan itu di ruang pantri lantai 8. Lalu staf lain mulai menyalin ke papan pin staf mereka.”Siangnya, Bayu menyusul:“Kutipan itu muncul di grup WhatsApp divisi logistik. Di-caption-in sebagai ‘isi hati yang nggak sempat disuarakan.’”Dalam dua hari, paragraf itu menjadi fenomen

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 46 – Hal-Hal yang Tak Pernah Kukatakan

    Setelah dunia luar berkali-kali ia hadapi dengan kepala tegak, kini Nara mulai membuka ruang yang lebih dalam: dirinya sendiri. Sebuah buku catatan kecil mulai ia tulis. Bukan untuk dibaca publik. Tapi untuk ditinggalkan, jika suatu hari ia tak lagi bisa menjelaskan dirinya dengan kata-kata.Raydan menemukannya secara tak sengaja. Dan yang ia baca… mengubah caranya memandang perempuan yang selama ini ia cintai bukan hanya sebagai istri, tapi sebagai jiwa yang terus berperang diam-diam. Awal: Menulis Bukan Untuk DiterbitkanPukul tiga dini hari. Hujan turun samar di luar jendela kamar.Nara bangun pelan, mencoba tak membangunkan Raydan. Ia duduk di sudut ruang baca kecil di samping tempat tidur, menyalakan lampu meja, dan membuka jurnal kulit cokelat tua—yang sudah lama ia simpan, tapi baru sekarang mulai ia isi kembali.“Aku sudah bicara banyak. Di konferensi. Di rapat. Di media. Tapi tetap ada hal-hal yang tak pernah bisa keluar. Hal-hal yang tak bisa ditaruh di kalimat publik, kare

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 45 – Yang Lembut, Yang Dianggap Tak Menguntungkan

    Rapat hari itu berlangsung lebih lama dari biasanya.Topik utama: evaluasi kuartal dan realokasi anggaran.Nara tahu, cepat atau lambat, giliran Rumah Bicara akan masuk daftar sorotan.Dan tepat saat jam menunjukkan pukul 16.10, suara dari Direktur Keuangan—Pak Rinaldi—mengisi ruang:“Kita harus berbicara soal efisiensi.”“Program Rumah Bicara memang baik di atas kertas. Tapi angka tidak bisa dibohongi.”“Biaya pelatih komunikasi, pelatihan daring, alat bantu sesi rumah tangga, semua itu menyedot porsi anggaran CSR yang... tidak menghasilkan peningkatan langsung terhadap citra pasar.”Nara tak terkejut.Pak Elvino menimpali, lebih hati-hati.“Kami menghargai program ini secara ideologis, Nara. Tapi jika investor bertanya dampaknya terhadap brand equity, kita tak punya cukup data keras untuk menjawab.”Hening.Lalu satu suara yang menusuk—dari seorang anggota dewan baru:“Kebaikan tidak bisa dibuktikan dalam bentuk excel. Dan sayangnya... kami bekerja dengan excel.”Malam itu, Nara dud

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status