Share

SEMINGGU LAGI

Nyanyian burung menandakan hari akan segera dimulai. Bella menggeliat, meregangkan otot tubuhnya yang sedikit kaku. Kenangan semalam masih teringat jelas di dalam ingatannya. Dia mengecek jari manisnya, takut semua itu hanya mimpi. Bella tersenyum saat mendapati cincin berlian itu masih melingkar di jari manisnya.

Semuanya terlalu manis untuk Bella lupakan. Sekarang Bella sudah didera rasa rindu pada Raffa. Bella baru sadar, semalam dia tidak meminta kontak lelaki itu. Bodoh! umpatnya dalam hati. Dia kemudian memutuskan untuk menelepon Sindi. Gadis itu harus menjelaskan semuanya pada Bella.

"Ada apa, Bell? Tumben pagi-pagi telpon aku."

Suara Sindi sedikit serak di ujung sana. Sepertinya dia baru saja bangun tidur.

"Hari ini ke rumah aku dong, mau curhat nih. Jelasin ke aku, siapa Raffa sebenarnya," ucap Bella tanpa basa-basi.

"Oke, siap. Aku mandi dulu ya." Sindi langsung menutup telpon dari Bella. Awas saja, nanti Bella akan memanah Sindi dengan banyak pertanyaan.

Bella sendiri bersiap menyambut kedatangan sahabatnya itu. Mandi dan menyiapkan camilan untuk menemani Mereka mengobrol nanti. Setengah jam kemudian Sindi sampai. Wajahnya tampak seperti biasa tanpa merasa bersalah sedikit pun.

"Duduk, Sin." Bella pura-pura jutek.

"Kenapa sih, Bell? Sukses kan kencannya sama Kak Raffa?" Sindi masih tampak biasa saja.

"Kenapa kamu nggak bilang dari awal kalau Raffa itu kembarannya kak Raffi?" tanya Bella dengan nada ketus. Sindi membuang muka sambil menahan tawa yang hampir meledak.

"Ya ... maaf Bell. Aku sama kak Raffi takut kamu nolak Kak Raffa kalau sampe tau dia kembaran Kak Raffi" ujar Sindi sangat hati-hati. Seperti takut salah bicara.

"Tapi aku malah seneng, tuh," ucap Bella kemudian masih dengan nada ketus. Setelah mencerna kalimat gadis itu, Sindi langsung memeluk sahabatnya erat.

"Se-ri-us?" Sindi belum percaya dengan perkataan Bella.

"Beneran, Sin. Lihat cincin di jari manisku ini. Ini pemberian Raffa semalem." Bella menunjukkan cincin pemberian Raffa. Sindi melihat dengan kagum. Memang cincin yang dia pakai ini sangat indah. Bella sangat suka dengan selera Raffa. 

"Waw! Aku nggak nyangka, semalem Kak Raffa ngelamar kamu. Selamat ya, Bell. Aku pasti bantu kamu untuk persiapan pernikahan kalian," Bella melihat Sindi sangat senang.

"Tapi aku takut, Sin."

"Takut kenapa?"

"Aku takut tidak bisa membahagiakan Raffa." Bella mencoba jujur. Meskipun dia telah menerima Raffa, Tapi Bella juga takut. Takut tidak bisa mencintai Raffa dengan tulus dan menganggap lelaki itu hanya bayangan dari Raffi.

"Aku yakin, kamu pasti bisa, Bell. Aku sudah bisa pastikan kalian jadi pasangan yang serasi. Ganteng dan cantik. Cocok," Sindi mencoba menyemangati Bella.

"Minggu depan kalian akan dinikahkan," sambung Sindi. Bella terbelalak. Kaget. Baru semalam dia bertemu Raffa, Seminggu lagi dia harus menghadapi pernikahannya dengan lelaki itu.

"Nggak bisa di undur, Sin? Aku belum ada persiapan apa-apa," 

"Mama udah siapin semuanya. Sejak sebulan yang lalu, aku, mama, papa dan Kak Raffi sudah mengatur semuanya. Kami yakin kamu pasti mau menerima Kak Raffa. Undangan pun sudah dicetak." Bella terharu. Keluarga Sindi sudah sangat baik padanya. Bella tidak menyangka akhirnya dia akan menjadi bagian dari keluarga Wijaya. Meskipun bukan dengan menikahi Raffi.

"Terima kasih, Sin. Kamu dan keluargamu sangat baik padaku. sampai-sampai menjadikan aku menantu."

"Sama-sama, Bel. Aku mau persahabatan kita terus berlanjut. Sebentar lagi kamu akan jadi kakakku. Aku sangat senang," Sindi memelukku lagi.

"Menurut kamu, gantengan mana? Kak Raffi atau kak Raffa?" celetuk Sindi. Harusnya pertanyaan ini jangan ditanyakan. Bella tidak bisa membedakan ketampanan mereka berdua.

"Mereka berdua sama-sama tampan. Tapi aku lebih ngevote Raffa satu angka dari kak Raffi."

"Huuu ... mentang-mentang calon suami dibelain nih, yee." Sindi mencubit pipi Bella gemas. Pipi gadis itu  memerah. Entah kenapa Bella mulai merasa perasaannya terhadap Raffa mulai tumbuh.

Sejak malam itu, Bella merasa Raffa adalah orang yang spesial. Dia sukses mendapatkan tempat di hati Bella. Padahal dulu saat masih pacaran dengan orang lain, Bella tidak pernah merasa orang itu sesepesial Raffa. Kalau diibaratkan nasi goreng sepesial, telurnya bukan hanya dua tapi empat.

"Aku minta tolong, Bell ... jaga kakakku dengan baik ya. Sayangi dia, cintai dia. Aku ingin kalian berdua bahagia." Tiba-tiba Sindi menangis tersedu-sedu.

"Insyaallah, Sin. Aku akan berusaha jadi yang terbaik untuk Raffa," Bellamenghapus air mata Sindi dengan tisu. Bella bisa merasakan kesedihan yang mendalam sedang dialami oleh gadis itu.

"Dari kecil, kak Raffa nggak pernah dapat kasih sayang dari papa dan mama. Dulu ekonomi keluarga kami tidak sebaik sekarang. Terpaksa orang tuaku menitipkan kak Raffa pada kakek dan nenek di Amerika. Sekarang kami semua ingin melihat kak Raffa bahagia. Saat dia bilang ingin menikah, satu-satunya gadis yang kami pikir cocok dengan kak  Raffa cuma kamu, Bell. Seperti sudah diatur oleh Tuhan, saat Kak Raffa buntutin kamu pertama kali dia langsung cocok. Dan Alhamdulillah, Kamu juga bersedia menikah dengan dia," cerita Sindi panjang lebar.

"Sebenarnya aku sempat curiga saat kamu ngotot banget pengen jodohin aku dengan seseorang yang kamu bilang temen kak Raffi itu. Setiap dekat dengan siapapun kamu pasti cerita. Kalau hanya teman, tidak mungkin kamu sampai setengah memaksa aku," 

Sejak awal kecurigaan Bella memang sudah benar. Tapi Bella sangat bersyukur memiliki calon suami seperti Raffa. Dia sangat menghargai Bella sebagai wanita dan juga dia mampu membuat gadis itu merasa nyaman.

Mungkin ini adalah sebuah kesempatan baik yang Tuhan berikan pada Bella. Tuhan mengirimkan sosok Raffa untuk menjaganya sekaligus memberi dia kesempatan untuk belajar menjadi istri yang baik.

"Untuk semuanya, aku minta maaf. Eh, Bell ... kak Raffa udah siapin rumah buat kalian tinggal nanti,  loh. Begitu menikah, kamu akan diajak tinggal di sana, aku yakin, kamu pasti suka dengan rumahnya,"

"Ru-mah?" ujarku sedikit terbata. Bella pikir aku akan tetap tinggal di rumah ini meskipun sudah menikah.

"Iya, rumah baru kalian nanti," jelas Sindi. Dia menatap Bella heran.

"Memangnya harus langsung tinggal bersama ya?" Pertanyaan konyol muncul dari mulut Bella. Sindi langsung tertawa geli.

"Jelas dong, Sil. Setelah menikah kan kalian sudah sah menjadi pasangan suami-istri, jadi ya harus tinggal bareng," jelas Sindi di sela tawanya.

"Iya sih, Sil. tapi aku belum siap ... ."

"Hayoo belum siap apa? Belum nikah udah mesum nih temenku," ledek Sindi.

"Bukan itu yang aku maksud, Sindi! Iiiih, sepertinya kamu nih yang ngeres, " Bella balas meledek Sindi.

"Lama-lama juga terbiasa kok, Bell. Kakakku nggak suka gigit kok. Cukup dipuk-puk dia pasti nurut," kata Sindi asal.

"Ye elah, dikira Raffa kucing apa gimana? Pake dipuk-puk segala. " Bella tertawa lirih.

"Terserah kamu, marmut juga boleh." katanya lagi.

"Makan rumput dong ya?" Bella menimpali candaan calon iparnya.

Bella bahagia menghabiskan waktu hari ini bersama sahabat Sindi. Mereka terus membahas Raffa dan segala macam persiapan pernikahan Bella dan Raffa  nanti dengan. Kapanpun, Bella sudah siap.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status