"Kita mau jalan ke mana nih? Nggak mungkin kan seharian di rumah aja?" tanya Wahyu.
"Di rumah juga bagus. Lo bisa belajar melukis untuk menenangkan jiwa," ledekku. "NO WAY! Ayo ke mal! Kaki gue udah gatal mau jalan!" Wahyu berseru penuh semangat. Berhubung Wahyu adalah tamu di rumahku, maka aku menurutinya. Kami pergi ke sebuah pusat perbelanjaan yang bersebelahan dengan pusat kuliner dan taman raksasa. Hal pertama yang dicari Wahyu adalah junk food, makanan cepat saji. Aku ikut saja. Tidak ada salahnya makan kenyang sebelum bermain. Selesai makan Wahyu menyeretku mengelilingi mal. Dia adalah wanita muda yang senang belanja. Meskipun lemari pakaian di kostnya sudah penuh sesak tetap saja Wahyu senang membeli baju baru. "Bro, istirahat dulu dong," gerutuku. "Apa? Istirahat? Belum semua toko gue jelajahin, lo udah minta istirahat? Lemah amat kaki lo?" Wahyu mLangit sudah gelap ketika aku dan Wahyu kembali ke rumah. Untung lampu jalanan di sekitar komplek terang benderang sehingga kami melangkah dapat melangkah gagah berani. Kalau tidak dijamin kami pasti terbirit-birit melewati pohon karet yang berjejer di depan komplek. "Kayaknya gue harus sering-sering nginap di rumah lo, Bro. Enak banget bisa jalan berdua tanpa beban," celetuk Wahyu. "Sial. Kata-kata lo ambigu banget sih?? Cari pacar deh buruan!" Aku menyikut Wahyu. "Pangeran berkuda putih gue belum muncul, Bro!" seru Wahyu. "Heh, berisik! Pelanin suara! Lo pikir ini rumah kost elo yang penghuninya nggak pernah tidur?" Wahyu tertawa, "Kapan-kapan lo nginap di kost gue lagi, Bro. Ada yang nanyain elo tuh." "Cih, gue kan udah punya pacar." "Sombongnyaaa tuan putri satu ini. Coba gue jadian sama Bryan, seru kan? Bisa tukaran pasangan." Wahyu
"Gue nggak percaya akhirnya bisa dapat nomor si Bima." Wahyu berbaring terlentang sambil memainkan handphone dengan sayang. "Gue ngakak lihat mukanya, Bro! Elo sih nekat. Di tengah medan perang bisa-bisanya gaet cowok!" Aku tertawa. "Cowok ganteng nggak boleh disia-siakan Bro. Lagian orangnya nggak jahat kan?" "Nggak sih. Lempeng banget malah. Sayang dia ada di pihak lawan." "Yah, siapa tau berjodoh sama gue." Handphoneku berbunyi nyaring. Richard menelepon. Aku memberi kode pada Wahyu untuk hening sejenak. "Kasih tau Richard kalau elo didatangi utusan bapaknya!" seru Wahyu. "Nggak usah. Urusannya udah banyak. Kasihan kalau ditambah pusing hal kecil kayak gini." Wahyu mengangkat bahu. Aku menjawab panggilan video call tersebut... "Hai," sapaku dengan senyum manis di wajah.&nbs
Minggu menjelang siang setelah berpamitan dengan Elisabet, aku dan Wahyu melakukan perjalanan ke ibukota. Aku sengaja tidak memberitahu Richard. Sementara pagi-pagi Wahyu sudah mencoba berkirim pesan singkat dengan Bima. Hasilnya? Diabaikan! "Makanya, Bro, baru kenal jangan kelewat agresif. Gue aja ngeri baca sms lo." Aku mencibir. "Habisnya mau gimana lagi? Gue takut keburu diserobot orang, Bro!" Wahyu menyeringai. "Pakai jurus wanita lemah lembut dong. Cowok mana yang nggak bakal luluh kalau diperlakukan lemah lembut?" "Loh, emang selama lo lemah lembut sama Richard? Bukannya sikap lo nggak ada cewek-ceweknya?" ledek Wahyu. "Kurang asem lo! Jangan dibandingin! Richard tuh jodoh gue, mau diapain pun nggak bakal pergi." Aku merengut keki. "Ups, gue lupa. Sorry Bro. Gimana kemajuan kalian berdua? Udah begitu belum?" Wahyu berkedip genit. "
"Kamu yakin?" tanya Richard. Aku mengangguk, "Cuma menginap semalam. Kan nggak berbuat apa-apa juga." "Baiklah." Richard tersenyum bahagia. Setelah sekian lama aku tidak bertemu Bu Ani, mendengar celoteh dan kelatahannya, sikap yang nyeleneh. Ternyata aku merindukan Bu Ani. Mudah-mudahan hari ini Bu Ani berjualan. "Aku tau kamu kangen ngobrol sama Bu Ani," celetuk Richard. Aku menoleh dengan tatapan heran, "Kok tau?" "Untuk apa ke pantai kalau bukan sekalian cari dia?" Richard melirikku sekilas. "Aduh, tebakanmu tepat banget! Aku sampai mikir jangan-jangan sekarang kamu bisa baca pikiran orang!" Aku tertawa lega. "Kamu gampang ditebak, Sayang." "Ih, sebal." Aku merajuk. "Jangan lama-lama ngobrolnya ya? Aku belum kebagian waktu berduaan nih," pinta Richard. "Iya, n
Tidak ada yang menyangka bahwa Bryan akan datang ke penthouse di hari Minggu. Karena Richard tidak mengunci pintu lift Bryan dapat masuk dengan mudah. Dia bahkan memergoki kami sedang bermesraan di dalam kamar. Pada akhirnya kami bertiga duduk berhadap-hadapan di sofa. Posisiku disembunyikan di belakang Richard. "Lo nggak perlu sebrutal itu kan?" Bryan duduk di sofa sambil menggosok wajahnya yang memar karena terkena pukulan Richard. Aku menahan tawa. "Ini tempat tinggal gue, suka-suka gue mau berbuat apa terhadap orang yang menerobos masuk," ketus Richard. Dia benar-benar kesal karena waktu bermesraannya diganggu oleh Bryan. "Brother! Siapa yang bisa tau kalau lo lagi berduaan sama Hazel? Lo pikir gue bisa meramal?" protes Bryan. "Apa gunanya telepon?" balas Richard. "Jangan bilang handphone lo nggak di-silent!" "Coba
Sepeninggal Bryan suasana di penthouse menjadi hening. Pandanganku terhadap kedua bersaudara ini pun berubah. Mereka bukan lagi putra konglomerat yang manja, tapi para pejuang hak asasi manusia. Aku memandangi Richard yang duduk di sebelahku. Pantas saja akhir-akhir ini wajahnya terlihat lelah. "Richard...," panggilku. "Hmm?" Richard menoleh. "Istirahatlah lebih cepat. Kamu terlihat lelah," bujukku. "Temani aku." Aku mengangguk. "Aku pasti tidur nyenyak malam ini." Richard mengecup bibirku. Aku tidak membiarkan Richard pergi. Aku bergerak maju, menggigit lembut bibir bawahnya. Richard terpaku. Sedetik kemudian dia melumat bibirku dengan penuh semangat. "Seperti ini mana bisa tidur?" keluh Richard. Aku tertawa, "Sorry, terbawa suasana." "Nggak apa-apa. Aku selalu senang kalau kamu be
"Kalau seperti ini aku teringat waktu tinggal di rumahmu," celetuk Richard. "Oh ya? Emang seperti apa?" "Berbaring berhadapan, ngobrol, saling menatap." Richard mencolek hidungku. "Hmm...." Aku pura-pura mengingat. "Aku menikmati saat-saat itu. Seolah-olah hidup cuma ada kita berdua," desah Richard. "Aku juga. Sayangnya itu cuma ilusi." Richard terdiam sesaat. Sayap putihnya bergetar lembut. Kok hatiku berdebar? "Kamu mikirin apa?" tanyaku. "Cara melamar." Richard tersenyum. Aku tertegun. "Aku tau kamu butuh waktu, tapi pikiran itu nggak bisa kusingkirkan." "Richard, kamu yakin mau bersamaku seumur hidup?" Begitulah, rasa tidak percaya diriku meluap ke permukaan. "Aku yakin, Hazel. Aku belum pernah seyakin ini dalam hal apa pun." &nb
Kopi membuat kami berdua terjaga sampai pagi. Untuk berjaga-jaga pagi-pagi sebelum kami terlelap Richard mengunci pintu lift supaya tidak ada orang yang mendadak masuk. Alhasil hingga matahari tinggi kami belum terjaga. Dering handphone yang kelewatan nyaring membuatku terbangun. Aku melihat sekeliling dengan bingung. Handphone Richard? "Richard, handphonemu bunyi." Aku mengguncang Richard untuk membangunkannya. "Hmmm...." Richard meraih dan menjatuhkanku ke dalam pelukannya. Aku terbengong sesaat. "Bangun dong, ada yang telepon tuh," bujukku. "Hmm...." Richard hanya menggumam. Aku berusaha meraih handphone yang tergeletak di nakas tapi Richard tidak mengendurkan pelukannya. Orang ini sudah bangun! Aku menggeliat seperti cacing kepanasan. "Lepasin, bangun woi," gerutuku. "Sebentar lagi...." guma