I love Monday! Terutama karena tidak ada gangguan dari Bryan! Dari info yang diberikan Bernard, lelaki itu sedang ke luar kota untuk urusan pekerjaan. Syukurlah. Aku bisa mencurahkan perhatianku sepenuhnya pada pekerjaan, dan juga mencuri waktu bermalas-malasan.
Saat mengalami desainer's block aku membaca buku. Richard tidak terlalu mempermasalahkan, baginya yang penting adalah hasil akhir. Aku senang punya bos yang result oriented, tidak mementingkan proses dan detil kerja. "Hazel, kamu nggak makan siang?" Richard melongok dari pintu. Aku mengangkat wajah, "Udah jam duabelas??" "Ayo ikut, kalau nggak kamu terkunci di dalam loh. Aku dan Bernard mau makan siang bersama." "Yes, ikut!" Setelah memastikan semua pekerjaan sudah tersimpan, aku menyambar handphone dan dompet. "Wah, Hazel penuh semangat hari ini. Mungkin aku juga perlu cuti panjang sekali-sekali."Mana ada sekretaris yang memakai celana jeans dan sepatu kets? Aku terus menggerutu dalam hati sejak berangkat dari kantor menuju tempat meeting di sebuah hotel bintang lima. Richard sih berkata aku cukup duduk manis dan mencatat, biar dia yang berbicara. Ya iyalah! Masa job desc-ku mau ditambah lagi jadi CEO?? Tidak lucu deh. Aku yang jarang-jarang masuk ke hotel bintang lima tertakjub melihat interiornya. Chandelier yang menjuntai dari langit-langit setinggi limabelas meter itu pastinya lebih besar dari kamar tidurku. Wajahku menengadah, membuatku tidak menyadari Richard berhenti mendadak. Jadilah aku menubruknya. Richard melotot. Aku meringis. Salahku? Bukan! Jelas-jelas salah interior hotel yang terlalu wah. Kami masuk ke sebuah ruang meeting mewah. Pencahayaannya saja menggunakan lampu 40 Watt. Bagaimana mataku tidak kesilauan? Tunggu dulu, aku harus jaga image. Aku bertindak sebagai sekre
Aku mengeluh karena pagi ini Richard menyeretku ke meeting yang tidak ingin kuhadiri. Padahal aku sedang asyik membuat tagline untuk perusahaan F&B, food and beverage kepunyaannya. Sebelum tiba di hotel tempat meeting Richard masih sempat-sempatnya membelikanku blazer. Aku masih mengeluh seperti orang sakit gigi padahal blazer berwarna putih gading ini membuat penampilanku keren habis! "Ingat, jaga ekspresi meskipun kamu ngantuk setengah mati," ujar Richard saat kami berada dalam lift. "Iyaaa," sahutku seenaknya. "Hazel. Serius." "Serius? Gue udah serius dari tadiiiii." Aku keceplosan prokem. Tanganku langsung mendekap mulut untuk mencegah kerusakan lebih lanjut. Richard geleng-geleng kepala. "Sorry," cetusku tanpa merasa bersalah sama sekali. "Ingat. Beraktinglah sebagai seorang sekretaris yang baik." Richard mengi
Sepanjang makan siang sampai perjalanan kembali ke kantor aku memilih untuk diam seribu bahasa. Bukan karena sedang sariawan, tapi malu! Richard menyeretku masuk ke lift eksklusif. Aku tidak kuasa melawan karena tenaga kami tidak sebanding. Sedetik sebelum pintu lift tertutup aku berhasil melarikan diri. Aku rela berjejalan dengan rombongan karyawan segedung daripada berduaan dengan Richard dalam lift. Dia pasti mau meledekku habis-habisan tanpa ada saksi mata. Ketika pintu lift terbuka di lantai duapuluh Richard terlihat menungguku di meja Bernard. Aku pura-pura tidak melihat dan berjalan lurus masuk ke ruanganku. "Hazel," panggil Richard. "Ya?" Aku tersenyum gelisah. Mau apa dia membuntutiku? "Entah kenapa aku sering mengalami masalah komunikasi denganmu. Ada apa sebenarnya?" "Nggak ada apa-apa." Aku mempertahankan senyum sampai pipiku pegal.
Aku semakin mengagumi Richard. Dia masih bertahan menghadapiku yang seperti ini. Beberapa kali aku berusaha melancarkan serangan ke titik vital, dia mementahkannya tanpa terbawa emosi. Katanya mau melakukan sesuatu yang gila? Ini sih tidak gila. "Mikir apa kamu??" Richard menyerang dengan pukulan ke arah wajah. Aku menepisnya dengan dua tangan, karena aku tahu satu tangan tidak akan cukup untuk beradu tenaga dengan Richard. Secepat kilat aku menyilangkan kaki kiri ke belakang dan menyodokkan tumit kananku ke perutnya. Richard terdorong mundur selangkah. Aku mengejar dengan pukulan menggunakan telapak tapi Richard mundur selangkah lagi sehingga seranganku mengenai udara. "Sial," cetusku. "Kenapa? Capek?" tantang Richard. "Enak aja!" Kami bertukar serangan dengan tempo cepat. Lenganku mulai ngilu karena terlalu banyak beradu dengan Richard. Besok pasti muncul
Benar kan. Beberapa lebam muncul di lenganku. Hari ini aku terpaksa memakai kaos turtle neck lengan panjang berwarna hitam. Saat melihat penampilanku di cermin aku senang juga. Sedikit mirip dengan gaya berpakaian almarhum Steve Jobs. "Pagi, Bernard," sapaku riang. "Pagi, Hazel. Wah, kamu terlihat keren sekali hari ini? Ada meeting?" sapa Bernard. "Richard nggak bilang sih, mungkin nggak ada." "Oke. Baguslah. Terlalu banyak meeting membuat pekerjaan tertunda." Bernard tersenyum. Aku langsung menuju ruanganku. Dari jendela kulihat awan mendung bergelayut di ufuk langit. Pertanda mau turun hujan. Semoga aku tidak kehujanan saat pulang nanti. "Pagi, Hazel." Richard masuk ke ruanganku. Matanya memperhatikan lengan bajuku. "Tanganmu nggak apa?" "Nggak, cuma lebam aja." Aku menyeringai. "Coba kulihat." Richard mendekati dan h
Aku heran saat telepon di mejaku berbunyi. Langka sekali. Tanpa banyak berpikir aku mengangkatnya. "Halo?" sapaku. "Masih ingat dengan saya?" tanya sebuah suara berat nan berwibawa. Mana bisa kulupa? Suara itu baru saja berceramah di depanku kemarin sore, berbicara panjang lebar tentang analisanya terhadap perasaanku dan Richard. Abram. "Tentu saja ingat, Pak Abram. Ada keperluan apa dengan saya?" Aku berbicara sesopan jiwa pemberontakku mengijinkan. "Saya mau mengundangmu makan malam bersama, di restoran Diamond." Abram menyebutkan nama sebuah restoran bintang lima. "Baiklah. Jam berapa saya harus tiba?" "Jam lima saya kirim sopir menjemputmu." "Baik, Pak." "Richard tidak tahu masalah ini." Nada suara Abram memberi peringatan. "Oke, saya mengerti." Abram memutus
Richard menungguiku dengan setia. Ekspresinya lumayan keruh sejak tadi siang karena akhirnya aku memberitahu tentang ajakan makan malam Abram. Aku khawatir Richard akan memaksa ikut, atau lebih buruk lagi mengurungku di penthouse. "Kamu nggak berniat aneh-aneh kan?" Aku memastikan. Richard menggeram tidak jelas. "Apa sih? Bicara bahasa manusia dong?" "Kalau mau pergi, ya pergi saja. Aku nggak mencegah." "Benar?" "Besok ceritakan semua obrolan kalian padaku. Atau kalau bisa kamu rekam diam-diam deh." Aku tercengang, memangnya aku ini anggota tim Mission Impossible yang punya peralatan penyadap canggih? "Udah ah. Ngomong melulu nggak kelar-kelar...," gerutuku. Waktunya hampir tiba dan aku merapikan meja. "Oke." Richard masih terlihat suram. Bukannya aku tega tapi janji dengan bos besa
Hari ini aku berusaha fokus pada pekerjaan, yang sangat sulit kulakukan dengan kehadiran Richard di ruanganku. Dia bersikeras duduk di mejaku dengan laptopnya. Aku kesal karena merasa dipojokkan. Aku menggerakkan mouse-ku dengan ribut. "Hazel, tenang sedikit, please? Kepalaku seperti mau pecah mendengar keributanmu. Aku sedang berusaha kerja," keluh Richard. "Di ruangan sendiri pasti lebih tenang," gerutuku. "Aku mau di sini." Richard menunjukkan sisi kepala batunya. "Ya udah, dibiasakan aja." Aku melengos. Ruanganku tidak sempit, peredaran udara pun sangat bagus. Jadi kenapa aku merasa sulit bernafas? Ini pasti gara-gara Richard memepetku. Kenapa sih ini orang? Tidak bisa baca situasi? Kalau seorang wanita bersikap ketus itu tandanya dia minta ditinggalkan sendiri! Dasar lelaki tidak peka! Bagaimana bisa jadi pasangan yang baik? Aku nyaris menampar diriku