Peristiwa kemarin benar-benar mengguncangku. Dalam sekejap aku menjadi pengangguran di usia produktif. Semua karena si Abram tua. Kemudian aku menemukan lelaki dengan warna hati putih murni yang tidak lain adalah Richard.
Pagi ini aku terbangun tapi seolah masih bermimpi. Kalau bisa sih aku belum ingin bangun terlalu pagi. Aku menatap langit-langit kamar sambil menghela nafas berkali-kali. Hari pertama sebagai pengangguran. Apa jadinya hidupku nanti? Lagi-lagi aku menghela nafas. Apa yang harus kulakukan dengan Richard? Kenyataannya meskipun dia adalah jodohku, tapi di belakangnya ada rintangan besar yang bernama Abram. Dua hal yang bertolak belakang inilah yang membuatku pening. Sedang asyik-asyiknya meratap tiba-tiba handphoneku berbunyi. Argh. Richard. "Pagi," sapaku. "Pagi, Hazel." Suara Richard terdengar gembira. "Belum masuk kerja yBayangkan coba. Makan siang saja membuatku resah gelisah, bayangkan bagaimana perasaanku ketika Richard mampir lagi di sore hari? Sulit memang, tapi coba saja dibayangkan dulu. Lagi-lagi Richard berada di apartemenku. Dia tampak ganteng dengan hanya memakai kaos dan jeans. Kami duduk bersama di sofa sambil mengobrol santai. "Kamu nggak takut ketahuan ayahmu?" tanyaku penasaran. "Akan kupikirkan nanti." "Kalau mendadak dia telepon, gimana?" "Lihat situasi apakah aku akan menjawabnya atau nggak." "Kalau dia mengancam?" desakku. "Aku belum bisa ngomong karena belum terjadi." Aku mengangguk. Betul juga sih. "Mau jalan sebentar?" tanya Richard. "Hmmm...." Aku merenungkan ajakan Richard. "Kamu nggak pernah lepas kacamata ya? Waktu pesta tempo hari kamu juga tetap memaka
Insiden semalam membuatku tidak bisa tidur. Pikiranku penuh dengan berbagai hal dimana sebagian besarnya adalah Richard dan Abram. Posisiku makin sulit karena Abram bertindak lebih jauh. Untung semalam ada Richard, kalau tidak bukan kacamataku saja yang hancur, ada kemungkinan aku akan jadi perkedel. Aku sering kesal dengan orang-orang berduit yang berbuat seenaknya. Mereka menganggap diri berada di atas hukum sehingga bisa main hakim sendiri. Memangnya dipikir ini negara rimba alias negara tanpa hukum? Kalau mau bertindak seenaknya kembali saja ke negara leluhur sana! Belum tentu diterima juga! Eit, hampir lupa. Leluhurku juga bukan asli negara ini, tapi dari Fu Jian nun jauh di Daratan China sana. Iseng-iseng, saking tidak ada kerjaannya, aku mengirimkan pesan singkat pada Richard. Dia langsung meneleponku. "Lagi ngapain?" Suara Richard terdengar lembut menggoda. Kalau saja
Pagi-pagi sekali handphoneku sudah berbunyi. Aku meraba-raba meja kecil di kepala tempat tidur sambil menggerutu. Kenapa harus mengganggu orang yang sedang tidur nyenyak begini sih? Ini baru jam berapa? Maling-maling juga baru pulang beroperasi! Nomor tidak dikenal. Aku malas mengangkatnya. Kujejalkan handphone itu di bawah bantal dan berusaha untuk kembali tidur. Sesaat kemudian handphone kukeluarkan lagi. Takutnya ada telepon penting yang kuabaikan. Ih, orang ini pantang menyerah rupanya. Tidak berhenti menelepon meskipun aku tidak menjawab. "Siapa ini?" jawabku galak. "Nona Hazel? Tuan Besar mau bicara empat mata denganmu," kata suara di ujung sana. "Siapa Tuan Besar kalian? Tuhan? Bukan? Maaf saja, selain Tuhan saya tidak terima panggilan!" bentakku. Tidak usah ditanyakan aku sudah tahu, ini pasti bawahan Abram. "Kamu! Tuan Besar baik-baik mengajakmu be
Handphoneku terkena tendangan hingga terpental ke lantai beton. Aku tahu sudah tidak bisa mengharapkan gawai satu itu selamat. Sekarang kedua tanganku bebas. Aku melancarkan deol chagi yang efektif untuk memberikan impact lebih keras di kepala lawan, kalau pun mengelak minimal mengenai bahu atau dada. Sama seperti rekannya terdahulu aku menyarangkan lutut di wajahnya, kali ini kutambah dengan sikutan di belakang kepala. Empat lelaki lain berdatangan. Aku berlari ke foodcourt. Jantungku berdebar disko. Aku bersembunyi di sebuah pilar besar. Kudengar suara langkah kaki mereka yang ramai semakin mendekat. Aku meraih kursi kayu milik kios terdekat. Begitu sosok menyebalkan itu muncul di sisi pilar aku menghantam wajahnya, tidak terlalu keras, tapi cukup untuk membuat shock. "Sialan! Cari mati lo!" maki lelaki yang terkena kursi. "Lo yang mati!" balasku. "Buruan tangkap dia!"  
"Kamu cari model kayak apa sih? Jangan-jangan yang belum dilaunching?" gerutu Richard. Aku meringis. Tidak heran dia menggerutu, kami sudah berkeliling pusat jual beli barang elektronik ini selama dua jam tanpa hasil. Aku punya standard tinggi terhadap gawai. Prosesornya harus yang terbaru, memori besar, internal hardisk besar, resolusi layar tinggi, resolusi kamera juga tinggi, ditambah lagi daya tahan baterai harus lama. "Belum ketemu yang cocok," ujarku. Padahal selain pusing melihat banyaknya jenis handphone yang ditawarkan, aku juga pusing melihat terlalu banyak warna hati. Kacamataku tidak ada cadangan jadi terima nasib saja deh. "Makanya kamu belum punya pacar sampai sekarang. Proses seleksinya benar-benar ketat," goda Richard. Aku memukulnya main-main, "Kurang asem, lo sendiri? Sama-sama pemilih dilarang saling mendahului!" "Aku tahu apa yang cocok buat kamu." Tanpa i
Saat ini aku memasuki penthouse Richard dengan perasaan yang berbeda. Posisi kami kini sudah berada di 'saling menyukai' meskipun belum jadi pacar. Apa aku bisa menghadapinya seperti biasa? Apakah dia akan menghadapiku seperti biasa? "Ini, tangkap." Richard melempar sepasang sarung tangan kepadaku. "Thanks." Aku mengenakannya dengan baik. Tidak boleh longgar atau tanganku akan cedera saat memukul. "Perlu istirahat dulu nggak? Tadi kamu baru menghadapi--" "Nggak usah. Ayo!" "Kali ini apa taruhannya?" "Taruhan?" Aku melongo. "Biar lebih seru. Kalau aku menang kamu mau kasih apa?" Richard menyeringai. Aku tidak suka gagasan ini. "Kalau kamu menang, boleh minta apa aja," kata Richard. "Serius nih?" "Serius banget." "Kalau kamu yang menang?" Ak
Aku duduk bersila di sofa sambil sibuk memindahkan data dari handphone lama ke handphone baru. Konsentrasiku sedikit terganggu karena Richard tidak putus memandangiku. Sesekali aku melirik dengan keki. "Hari apa kamu pergi ke rumah ibumu?" tanya Richard. "Lusa," jawabku singkat. "Nggak mau kuantar? Lusa kan hari Sabtu, sekalian malam Mingguan." Aku menatap Richard, "Nggak usah, aku pingin naik kereta." Richard menarik lepas sanggul rambutku. Seketika rambut terurai menutupi wajahku. Aku berseru kesal. "Begitu lebih cantik," puji Richard. "Aduhhh iseng banget sih! Kalau dilepas gampang kusut, makanya aku jarang gerai rambut." Aku menyisiri rambut dengan jari-jariku. "Eh, mau diapain? Biarin aja." Richard protes saat melihat aku mulai menggelung rambut. Aku menghela nafas, "Penyiksaan...." &
Aku duduk termenung menatap jendela kereta. Sebentar lagi aku akan tiba di stasiun kota B, kota tempat Elisabet tinggal. Barang bawaanku yang lumayan banyak kujejalkan dalam satu ransel gunung dan satu duffel bag. Kereta berhenti. Aku pun berbaur dengan penumpang lain menuju gerbang. Angkutan umum aneka warna sudah berjejer manis. Kernet dan sopir berteriak sahut-sahutan untuk menarik penumpang. Aku memilih untuk naik angkutan umum di deretan terdepan. Seperti biasa angkutan umum mungil ini kebut-kebutan di jalan raya tanpa peduli keadaan lalu-lintas sedang ramai. Aku duduk sambil memasang kuda-kuda supaya tidak terjungkal. Tidak sampai sepuluh menit aku sudah tiba di komplek perumahan tujuanku. "Ma, aku pulang!" seruku saat sudah masuk gerbang. Elisabet tergopoh-gopoh keluar. Tangannya masih menggenggam kuas dan palet. "Ayo masuk, Nak!" Elisabet tersenyum cerah. "Kok nggak d