Rekan-rekan kerjaku menangis sedih saat Sharon menyampaikan bahwa aku tidak akan bekerja lagi di tempat ini mulai dari keesokan hari. Hari ini adalah hari terakhirku bekerja. Mereka bingung mengapa aku mengundurkan diri. Pekerjaanku baik, perusahaan juga puas dengan semua prestasiku. Hal yang tidak bisa aku beritahukan.
Urusanku di kota ini sudah selesai, untuk apa lagi aku masih bekerja di perusahaan ini? Direktur utama juga tahu bahwa penempatan aku di sini hanya sementara. Semua rencana selesai dalam waktu kurang dari satu bulan adalah hal yang sangat mengejutkan aku. Padahal ini misi yang berat.
“Seharusnya kamu beri kami waktu. Jangan pergi mendadak begini,” ucap rekan kerja yang duduk di depanku. “Aku tidak menyiapkan apa pun yang bisa aku berikan kepadamu.”
“Iya. Masa kamu pergi begitu saja? Kami juga mau memberi kamu kenang-kenangan,” timpal yang lain dengan nada sedih.
“Kalian ini bagaimana? Kita bisa keluar bersama sore nanti untuk membeli k
Dahulu Papa dan Mama sering bertengkar entah meributkan apa. Mereka selalu berhenti bicara saat aku berada di dekat mereka. Hal yang selalu mereka lakukan karena mereka tidak mau menambah bebanku. Apalagi sejak keluarga para penjahat itu menawarkan damai dan kami menolak. Serangan demi serangan aku alami di kampus, di tengah keluarga, tetangga, bahkan orang-orang yang ada di gereja. Aku dipandang hina, dicemooh, dan dijauhi orang karena telah memberikan diri kepada para pemuda itu. Kondisi fisikku yang menunjukkan dengan jelas bahwa aku telah diperkosa dan diperlakukan kasar, mereka abaikan. Ada apa dengan isi kepala orang-orang ini, aku tidak tahu. Hanya segelintir orang yang berpihak kepadaku, tetapi mereka memilih diam. Tidak ada yang membela aku dan orang tuaku saat ada yang menghina kami. Dan Papa menyerah. Dia pergi dari rumah saat aku dan Mama terbang ke Medan. Lama tidak bertemu atau mendengar kabarnya, aku pikir Papa sudah meninggal dunia karena duka
Tujuanku membalas perbuatan mereka bukanlah untuk mempermalukan mereka di depan umum. Aku hanya ingin memberi rasa sakit dengan membiarkan mereka mengalami kehilangan orang dan hal yang mereka sayangi, lebih dari mereka sendiri. Jadi, mustahil ada orang yang tahu mengenai rencanaku selain aku dan Ishana. Bagaimana bisa Papa juga mengetahuinya? Lalu mengapa aku tidak tahu bahwa Papa mengawasi aku selama ini? Aku tidak merasakan ada orang yang aku kenal berada di dekatku setiap kali melakukan misiku. “Aku membuka bengkel dan sopir keenam pria itu sering membawa mobil mereka ke bengkelku. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa sopir mereka mengenal aku. Hanya Damian yang tidak menggunakan jasa sopir, jadi aku tidak tahu apa-apa mengenai dia,” kata Papa menjelaskan. “Papa membuka bengkel? Bukankah itu pekerjaan yang melelahkan?” tanyaku khawatir. “Aku hanya mengurus administrasi, sedangkan yang berurusan dengan kendaraan adalah pekerja. Kamu tidak perlu khaw
Aku kembali lebih dahulu ke Jakarta, sedangkan Papa tidak mau menyebut di mana dia tinggal. Aku juga tidak diizinkan untuk menemuinya sampai Papa sendiri yang datang menemui aku nanti. Entah apa yang dia sembunyikan dariku, tetapi aku menghormati permintaannya. Berat rasanya bagiku untuk melepaskan Papa di bandara. Panggilan untuk memasuki kabin sudah terdengar dua kali, namun aku belum mau berpisah dengannya. Aku menangis seperti anak kecil yang akan dipisahkan dari orang tuanya untuk pertama kalinya. “Brie, Boru, ini hanya sementara. Satu atau dua minggu itu tidak lama. Aku akan usahakan urusanku sudah selesai tidak lewat dari dua minggu.” Papa mengusap-usap punggungku. Tetapi aku tidak bisa menghentikan tangisanku. “Ayo, ayo, sudah cukup. Kamu bisa ketinggalan pesawat, sedangkan temanmu sudah membayar tiketmu dengan mahal.” “Papa pasti akan menghubungi aku saat urusan Papa di bengkel sudah selesai, ‘kan? Papa tidak akan pergi jauh lagi dariku, ‘kan?” tanya
Agar urusanku dengan Damian selesai dan tidak ada hal yang masih perlu aku bereskan dengannya lagi, aku setuju untuk menemuinya di salah satu restoran yang ada di gedung apartemennya. Sangat aneh mengetahui bahwa para pemrotes memenuhi kantor dan rumahnya, tetapi tidak dengan apartemennya. Apa mereka tidak tahu bahwa dia tinggal di sini sekarang? Melihat keadaan sekitar gedung yang tenang, sepertinya memang tidak ada dari mereka yang tahu bahwa dia tidak tinggal bersama orang tuanya lagi. Walaupun aku kasihan kepada orang tuanya, mereka pantas untuk mendapatkannya. Lagi pula bukan aku yang menyebarkan tentang rencana Damian menikah denganku. Pria itu sendiri yang menemui orang-orang pemuka marga kami demi mencari jalan agar kami bisa menikah meskipun ditentang oleh adat. Kini mereka menyatakan protes dengan pilihannya tersebut, aku tidak bisa apa-apa. Keadaan sudah di luar kendali. Satu-satunya cara adalah menunggu sampai situasi tenang kembali. Akan selalu a
“Apa kamu sudah gila?” kataku sambil mendorong tubuhnya menjauh dariku. Kali ini dia tidak melawan dan membiarkan aku menjaga jarak di antara kami. “Kita satu marga dan pernikahan kita tidak akan direstui siapa pun. Sampai kapan kamu berpura-pura tidak memahami keadaan ini?” “Aku sudah katakan, biar aku yang mencari jalan keluarnya. Percayalah kepadaku. Apa yang kita jalani ini memang tidak mudah, tetapi pasti ada solusinya. Brie, aku mohon kepadamu. Beri aku kesempatan. Beri kita kesempatan untuk bahagia lagi,” pintanya. Bahagia lagi? Aku tidak yakin aku akan bisa bahagia lebih dari yang sudah aku capai sampai hari ini. Setelah seluruh rencanaku membalas perbuatan mereka berhasil, aku sudah tidak menginginkan apa pun lagi dalam hidupku. Aku hanya ingin hidup damai bersama Ishana, jauh dari semua orang. “Aku sudah menemukan kebahagiaanku. Aku tidak membutuhkan kamu untuk merasakan itu.” Aku melihat ke belakangku begitu mendengar bunyi mesin mobil mendekat. “A
~Damian~ Keadaan di tempat kerja sedang kacau dan aku tahu bahwa cepat atau lambat, aku akan didepak dari tempat ini. Pemrotes yang datang ke studio sudah terlalu banyak dan sangat meresahkan pimpinan. Dampak terburuknya adalah statistik program yang aku bawakan menurun secara drastis hampir menyentuh titik di mana mereka tidak mungkin lagi mempertahankan aku. Hal yang mudah saja untuk aku tangani. Mereka hanya perlu tahu bahwa aku dan Brie sudah putus hubungan, kenyataannya memang begitu, tetapi aku tidak mau melakukannya. Aku masih berharap bahwa kami masih bisa bersama. Katakan saja aku gila, aku tidak peduli. Aku hanya mau dia. Penantianku terjawab saat melihat Gerald masuk ke ruanganku bersama gadis pujaan hatiku itu. Dia menatapku dengan marah sekaligus bingung. Dia terlalu mudah dibaca. Mulutnya sering sekali tidak sejalan dengan hati dan pikirannya. Dia bilang benci, tetapi dia membalas ciumanku semalam. Hari ini dia datang ke sini, aku yakin dia ingi
Aku tersenyum saat dia melingkarkan kedua tangannya di leherku dan bibir kami bertemu. Aku memeluk tubuhnya dan rasanya tidak ingin aku lepaskan lagi. Demi wanita ini, aku rela kehilangan segalanya. Karena dia adalah segalanya bagiku. Saat dia menjauhkan dirinya dariku, aku benar-benar tidak melepaskannya. Dia pergi beberapa hari tanpa memberi kabar, tidak membalas pesan atau menjawab panggilan telepon dariku, jadi ini adalah hukuman untuknya. Aku merasakan bibirnya tersenyum ketika membalas ciumanku. “Ian, aku—” Tiba-tiba saja pintu ruanganku terbuka dan seseorang masuk tanpa mengetuk lebih dahulu. Aku berdiri membelakangi pintu, jadi aku tidak bisa melihat siapa yang datang, tetapi aku mengenal suara itu. Mengapa dia harus melakukan ini sekarang? Brie menahan kepalaku dengan tangannya sehingga aku tidak bisa mengakhiri ciumanku. Dia sengaja membunyikan bibirnya setiap kali mencium bibirku. Aku tertawa kecil. Wanita yang sedang bertemu dengan rivalnya dan in
Untung saja aku memesan hamburger lengkap dengan selada dan kentang goreng, jadi makananku bisa dibungkus dan aku bawa. Aku mengendarai mobil sambil menyantap makanan itu. Keadaan lalu lintas yang sedang padat tidak membuat aku senewen karena aku tidak dalam keadaan lapar lagi. Tiba di rumah sakit, aku segera menanyakan arah menuju ICU. Koridor rumah sakit menuju bagian itu tidak ramai, jadi aku bisa berjalan dengan cepat. Untuk memastikan bahwa aku berjalan menuju arah yang benar, aku bertanya sekali lagi kepada petugas medis yang berpapasan denganku. Aku berbelok ke koridor yang ditunjuk oleh tanda panah yang yang ada pada papan di langit-langit rumah sakit. Melihat keluargaku ada di sana sedang duduk di kursi yang disediakan, aku mendesah pelan. Kami pasti akan bertengkar lagi, tetapi aku tidak mungkin mengabaikan keadaan Mama dan tidak datang ke sini. Aku tidak melihat Bapak, mungkin dia ada di dalam menemani Mama. “Aku pikir kamu tidak akan datang,” ejek