Share

BAB 11

last update Last Updated: 2025-04-19 10:06:14

Elena tersenyum lega saat membuka matanya dan menyadari bahwa kali ini ia tidak mengalami mimpi apa pun. Tidak ada bayangan pria asing, tidak ada ciuman panas yang membuatnya terbangun dengan debaran jantung yang tak terkendali. Hanya tidur yang nyenyak dan pagi yang tenang.

"Akhirnya," gumamnya pelan sambil meregangkan tubuh di atas ranjang. Ia benar-benar bersyukur karena doa-doanya terkabul. Ia tak perlu lagi mengalami mimpi aneh yang membuatnya gelisah sepanjang hari.

Dengan perasaan lebih ringan, Elena beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan menuju kamar mandi. Pancuran air dingin yang menyentuh kulitnya memberikan sensasi segar, menghapus sisa-sisa kantuk yang masih tersisa. Setelah selesai mandi dan mengenakan pakaian santai, ia melangkah ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Seperti biasa, ia membuat roti panggang dengan selai favoritnya dan secangkir kopi hitam. Aroma kopi yang kuat memenuhi ruangan, memberinya ketenangan sebelum memulai hari.

Rutinitas paginya selalu sama: bangun tidur, sarapan, sesekali berolahraga, lalu berangkat kerja. Hidupnya berjalan lurus tanpa banyak perubahan. Bahkan dalam hal asmara, ia tidak pernah terlalu memikirkannya. Ia tahu betul bahwa teman-temannya mungkin akan terkejut jika mengetahui riwayat percintaannya yang begitu minim. Selama 29 tahun hidup, ia hanya pernah memiliki satu hubungan, itupun ketika masih remaja—cinta monyet yang tak berlangsung lama.

Mungkin, itu yang menjadi alasan kenapa ia mengalami mimpi panas dengan pria asing. Fakta bahwa ia belum memiliki pengalaman seksual dengan siapa pun membuat pikirannya menciptakan sesuatu yang selama ini tidak pernah ia alami. Bisa jadi, ini adalah caranya untuk mengatasi frustrasi yang tak ia sadari.

Sambil menyeruput kopinya, Elena memikirkan satu hal lain yang mengganggunya.

‘Apa aku memiliki fetish tertentu terhadap pria?’ pikirnya sambil mengernyitkan dahi. Ia memang tidak pernah benar-benar menilai pria dari segi fisik tertentu. Namun, satu hal yang pasti: ia menyukai pria yang rapi, bersih, dan wangi.

Jika ia mengingat kembali pria dalam mimpinya, pria itu memiliki janggut tipis di sekitar rahangnya, sebuah detail yang entah kenapa kini begitu menempel dalam benaknya. Ia bahkan bisa membayangkan betapa maskulin dan memikatnya pria itu, hanya dari aroma dan sosok samar yang ia ingat.

Elena menghela napas, merasa kesal pada dirinya sendiri. "Sudah cukup. Aku tidak mau memikirkan ini lagi," katanya tegas, mencoba mengusir segala spekulasi liar dari pikirannya.

Ia meneguk sisa kopinya, lalu beranjak untuk bersiap-siap pergi ke kantor. Hari ini adalah hari baru, dan ia tidak ingin pikirannya terus terganggu oleh sesuatu yang seharusnya hanya sebatas mimpi.

❀❀❀❀❀

Pagi itu, udara dingin menyelimuti kota dengan angin yang bertiup cukup kencang, membuat Elena harus mengeratkan syal di lehernya dan menyesuaikan jaketnya agar lebih rapat. Hari ini, ia terpaksa menggunakan transportasi umum karena mobilnya sedang dalam perbaikan di bengkel. Ia menghela napas pelan, melihat bus yang penuh sesak dengan orang-orang yang berdesakan di pagi hari. Suasana pagi yang sibuk seperti ini sudah biasa baginya, tetapi hari ini terasa lebih melelahkan karena cuaca yang menusuk kulit.

Sesampainya di depan gedung kantor, langkahnya sedikit melambat saat mencoba mengatur napasnya yang terengah-engah akibat berjalan cepat dari halte. Namun, tiba-tiba suara klakson mobil berbunyi nyaring dari arah belakang, membuatnya sedikit terkejut. Suara berat yang begitu familiar langsung terdengar di antara hiruk-pikuk para pejalan kaki.

“Miss Hadley!”

Elena menoleh dengan kaget. Di sana, di dalam mobil hitam yang elegan, terlihat sosok Mr. Caiden yang menatapnya dengan ekspresi serius dari balik kaca mobil yang sedikit terbuka.

“Oh, Mr. Caiden?” ucapnya dengan bingung, tidak menyangka akan dipanggil oleh bosnya sendiri di tengah keramaian seperti ini.

“Masuk!” perintahnya dengan nada yang tidak memberi ruang untuk penolakan.

Elena sempat ragu, matanya melirik ke sekitar, takut jika ada rekan kerja yang melihat dan mulai bergosip aneh tentang dirinya dan Mr. Caiden. Namun, melihat ekspresi serius pria itu, ia tidak memiliki banyak pilihan. Dengan cepat, ia membuka pintu dan duduk di kursi penumpang, memasang sabuk pengaman tanpa banyak bertanya.

Begitu berada di dalam mobil, aroma khas yang selalu ia kenali dari Mr. Caiden langsung menyapa penciumannya. Aroma perpaduan Woody dan spice yang kaya, dengan hint musk lembut, menciptakan kesan maskulin yang kuat. Aroma ini selalu mengingatkannya pada profesionalisme dan aura misterius yang dimiliki oleh bosnya itu.

“Kita harus segera pergi ke Grasse sekarang,” suara berat pria itu memecah keheningan, sementara tangannya dengan cekatan memutar setir, mengarahkan mobil untuk menjauh dari gedung kantor.

Elena mengerutkan kening, hatinya sedikit berdebar mendengar keputusan mendadak tersebut. “Grasse?” ulangnya pelan, memastikan bahwa ia tidak salah dengar.

“Evaluasi akhir telah dikacaukan oleh kesalahan formula yang dibuat oleh tim laboratorium di sana,” lanjut Mr. Caiden dengan nada tegas. “Kesalahan itu terjadi pada proyek parfum musim semi mendatang. Untungnya, mereka belum masuk ke tahap produksi besar.”

Elena terdiam sesaat, mencoba mencerna semua informasi yang datang begitu cepat. Ia tidak menerima laporan tentang hal ini kemarin, dan sekarang tiba-tiba ia harus berangkat ke Grasse?

“Beritanya datang pagi ini,” tambah pria itu, seakan memahami ekspresi kebingungan di wajah Elena.

Pikiran Elena langsung dipenuhi oleh kemungkinan-kemungkinan buruk. Peluncuran perdana parfum musim semi hanya tinggal dua minggu lagi, dan sekarang mereka menghadapi kesalahan formula? Ini bisa menjadi bencana besar bagi perusahaan jika tidak segera diperbaiki. Ia menghela napas panjang, merasa sedikit cemas. Namun, ada satu hal yang masih menjadi pertanyaan di benaknya.

“Tapi... perjalanan ke sana membutuhkan waktu sekitar sembilan jam jika menggunakan mobil,” ucapnya, mencoba berpikir lebih rasional. “Dan saya juga harus mengemas pakaian serta mengambil beberapa dokumen saya.”

“Aku sudah memesan tiket pesawat. Penerbangan kita jam dua belas siang,” sahut Mr. Caiden tanpa sedikit pun keraguan dalam suaranya. “Sekarang kita akan menuju ke rumah Miss Hadley untuk mengambil semua yang Anda butuhkan. Tolong beri tahu alamatnya.”

Elena menatapnya dengan mata membesar. Betapa sigapnya pria ini dalam merencanakan segalanya. Bahkan sebelum ia sempat memprotes atau mempertanyakan lebih lanjut, semuanya sudah dipersiapkan. Ia akhirnya menyerah dan menghela napas pelan sebelum menyebutkan alamat apartemennya.

Mobil melaju dengan kecepatan stabil, menyusuri jalanan kota yang mulai padat oleh kendaraan. Elena hanya bisa duduk diam, sesekali melirik ke arah Mr. Caiden yang tetap fokus pada jalanan di depan mereka. Ia merasa sedikit aneh dengan situasi ini—tidak pernah sekalipun ia membayangkan akan duduk di dalam mobil bersama bosnya dalam perjalanan mendadak seperti ini.

Begitu mobil berhenti di depan gedung apartemen, Elena masih belum sepenuhnya percaya dengan apa yang sedang terjadi. Baru saja satu jam yang lalu ia berpikir bahwa hari ini akan berjalan seperti biasa—masuk kantor, mengerjakan laporan, dan mungkin menikmati secangkir kopi hangat di sela-sela pekerjaannya. Namun sekarang, ia malah berada di dalam mobil bosnya, bersiap untuk terbang ke Prancis dalam beberapa jam ke depan.

“Kita tidak punya banyak waktu, Miss Hadley. Silakan ambil barang-barang yang diperlukan secepatnya,” suara Mr. Caiden yang tenang namun tegas membuyarkan lamunannya.

Elena menoleh ke arah pria itu, yang masih duduk dengan tenang di balik kemudi. Matanya yang tajam dan ekspresi wajahnya yang serius membuat Elena tak ingin membuang waktu lebih lama. Ia segera membuka pintu mobil dan keluar dengan langkah tergesa-gesa, hampir berlari menuju apartemennya.

Begitu masuk, ia segera membuka lemari dan menarik koper berukuran sedang. Jari-jarinya bergerak cepat memilih beberapa pakaian yang cukup untuk perjalanan bisnis selama beberapa hari. Blus, blazer, celana bahan, gaun formal, dan beberapa potong pakaian kasual dimasukkannya dengan tergesa. Ia juga mengambil perlengkapan mandi, alat kosmetik, serta dokumen penting yang tersimpan di dalam laci meja riasnya.

Setelah memastikan bahwa ia sudah membawa semua yang diperlukan, Elena menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya. Jantungnya masih berdebar cepat akibat ketergesaan dan juga karena fakta bahwa ia akan melakukan perjalanan bisnis mendadak dengan bosnya—pria yang selama ini begitu dingin dan profesional.

Ia segera menarik koper keluar dari apartemen dan kembali menuju mobil yang masih menunggu di depan gedung. Begitu sampai, Mr. Caiden langsung keluar dari mobil dan dengan sigap membantunya memasukkan koper ke dalam bagasi.

“Sudah siap?” tanyanya singkat sambil menutup bagasi dengan gerakan cepat dan efisien.

Elena mengangguk, masih sedikit terkejut dengan betapa cepatnya semua ini terjadi. “Ya, saya sudah membawa semua yang diperlukan.”

“Bagus,” balasnya sebelum kembali masuk ke dalam mobil.

Elena mengikutinya, duduk kembali di kursi penumpang sementara mobil melaju menuju bandara. Selama perjalanan, ia berusaha memproses semuanya. Sejak kapan Mr. Caiden begitu sigap dalam mengurus segala sesuatu? Ia bahkan sudah menyiapkan tiket pesawat sebelum Elena tahu bahwa mereka akan melakukan perjalanan ini.

“Mr. Caiden,” panggilnya akhirnya, memberanikan diri untuk bertanya. “Sejujurnya, saya masih terkejut dengan betapa cepatnya Anda mengatur semua ini. Kapan tepatnya Anda tahu tentang masalah di Grasse?”

Pria itu meliriknya sekilas sebelum kembali fokus ke jalan. “Dini hari. Aku mendapat laporan dari tim di sana sekitar pukul lima pagi. Begitu membaca detail masalahnya, aku tahu bahwa ini bukan sesuatu yang bisa ditangani dari jauh. Kita harus ada di sana secara langsung untuk menyelesaikannya.”

Elena mengangguk paham. Wajar jika Mr. Caiden segera mengambil tindakan, mengingat betapa pentingnya peluncuran parfum musim semi bagi perusahaan dan juga bagi Elena.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 111

    Bulan madu. Pulau Bora-bora. Bora Bora menyambut mereka seperti lukisan hidup yang baru selesai diwarnai. Langit biru kobalt, laut laguna berlapis-lapis warna biru pirus, hijau zamrud, dan nila, mengelilingi gunung vulkanik Otemanu yang menjulang megah dengan puncak tersapu awan. Udara hangat dan lembab, beraroma asin segar bercampur harum bunga Tiare Tahiti yang menghiasi sambutan bandara kecil Motu Mute. Mereka menuju resort mewah dengan perahu bermotor yang melaju di atas laguna yang begitu jernih sehingga dasar laut dengan karang dan ikan warna-warni terlihat jelas. Elena memegang erat tangan Ren, matanya takjub menatap sekeliling. Perasaan yang berbeda menyelimutinya: bukan lagi ketegangan atau pencarian, melainkan kedamaian yang mendalam dan kebahagiaan tanpa syarat. “Seperti mimpi,” bisik Elena, menatap Ren. Cahaya matahari sore memantul di wajahnya yang berseri. Ren mencium keningnya. “Apa kamu menyukainya?” Vila mereka adalah sebuah overwater bungalow mewah.

  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 110

    SATU TAHUN KEMUDIAN OTTAWA, KANADA Musim semi baru saja menyapa kota, menyapu sisa-sisa dingin dari trotoar, mengganti salju dengan kuntum-kuntum bunga sakura yang perlahan mekar di tepi Sungai Rideau. Di sebuah vila kayu elegan di pinggir danau Gatineau, Elena berdiri di depan cermin besar, mengenakan gaun putih gading dengan detail renda halus di bahu dan lengan. Rambutnya disanggul longgar, beberapa helai dibiarkan jatuh alami membingkai wajahnya. Di lehernya tergantung liontin kecil berbentuk bulan sabit, warisan dari neneknya yangdk dengan makna baru: bukan lagi simbol kutukan, tapi pelindung ikatan cinta yang kini telah bebas. Suara langkah pelan terdengar dari belakang. Shannon masuk, mengenakan gaun hijau daun zaitun yang menonjolkan warna matanya. “Kau... terlihat seperti sesuatu yang keluar dari puisi musim semi,” katanya sambil tersenyum. Elena membalas senyum itu, wajahnya tenang tapi matanya berkilau. “Terima kasih...” Shannon menyentuh bahunya dengan lembut.

  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 109

    Malam semakin pekat, desiran angin berbisik melalui celah-celah jendela tua seolah membawa pesan dari masa silam. Cahaya bulan purnama yang semula menggantung berat kini merayap perlahan, menyentuh lantai kayu vila, menciptakan kolam perak yang dingin. Waktunya semakin dekat. Elena dan Ren berdiri di tengah ruang utama, perapian dan lilin-lilin menjadi saksi bisu. Mereka telah menyapu lantai, menyingkirkan perabot, membuat ruang kosong di bawah jendela besar. Di lantai, mereka menggambar lingkaran besar dengan garam kasar, di dalamnya simbol-simbol aneh yang mereka salin ragu-ragu dari catatan tua Marylin yang terselip di balik rak buku, garis-garis berpotongan, setengah lingkaran, dan titik-titik yang menyerupai konstelasi. Di pusat lingkaran, di atas sehelai kain hitam, belati itu terbaring. Logamnya kini memancarkan cahaya biru pucat yang lebih terang, berdenyut lembut selaras dengan detak jantung Elena. “Siap?” tanya Ren, suaranya serak. Elena mengangguk, napasnya pendek. “K

  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 108

    Matahari baru saja mulai terlihat, menebar cahaya lembut ke apartemen Elena yang masih berantakan setelah pergumulan semalam. Ren sudah berdiri di dekat jendela, mengenakan kaus hitam dan celana kargo yang baru saja di belinya, wajahnya serius saat dia mengemas ransel kecil dengan efisien. Jejak-jejak keintiman di lantai kayu. Elena muncul dari kamar mandi, rambutnya masih lembap, membungkus tubuhnya dengan jubah mandi. Matanya langsung tertuju pada Ren dan ranselnya. “Sudah siap?” tanyanya, suaranya sedikit serak. Ren mengangguk, tidak berhenti mengemas. “Sudah. Semakin jauh dari keramaian kota, semakin baik. Tempat yang sunyi... Aku telah menyewa sebuah vila di desa.” Dia melemparkan pandangannya ke belati kuno yang kini terbaring di atas meja kecil antik itu, terbungkus kembali dalam beludru pudar. Logamnya menyerap cahaya pagi, terlihat dingin dan penuh janji berbahaya. Elena berharap semuanya akan berjalan lancar, meski jauh di dalam hatinya, ada ketegangan yang tidak bisa

  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 107

    “Di sini,” geram Ren tiba-tiba, tangannya yang besar menekan perut bawah Elena dan mengubah sudutnya sedikit. Dorongan berikutnya-“Ah! REN!” Elena menjerit, matanya membelalak. Ren telah menemukan titik itu, titik rahasia dalamnya yang langsung menyulut api liar. Setiap dorongan berikutnya dengan sengaja menghantam titik G-spotnya, mengikis akal sehatnya. “Lihatlah bagaimana bagian dalamnya mencengkeramku dengan erat,” bisik Ren dengan nafsu, matanya gelap menatap tempat mereka bersatu, menyaksikan bagaimana tubuh Elena menyambutnya, mencengkeram penisnya setiap kali dia menarik. “Sepertinya kau sangat merindukanku.” Tangannya merayap naik, mencubit puting Elena yang sudah keras dan sensitif. Sensasi ganda itu-dorongan dalam yang tepat dan cubitan yang menyengat, membuat Elena menggelepar tak karuan. Batang keras tersebut terus mengenai titik kenikmatannya, seperti kilat panas yang menyambar-nyambar di kegelapan, menghanguskan setiap sisa akal sehat yang masih bertahan. Setiap d

  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 106

    Suasana kamar Elena disinari remang-remang lampu jalan Paris yang menyelinap lewat tirai. Ren menurunkannya perlahan di atas ranjang, tubuhnya membayangi Elena seperti perlindungan sekaligus penaklukan. Gaun sutra itu sudah tergelincir hingga pinggang, menyingkapkan bahu dan lekuk tulang selangka yang memikat. Napas Ren memburu saat jemarinya menyusuri garis bahu itu, panas dan gemetar. “Kau sempurna,” gumamnya, suara serak penuh kekaguman yang membuat Elena merinding. Bibirnya menyusuri kembali jejak yang baru saja disentuhnya dimulai dari puncak bahu, turun perlahan ke lekuk leher, lalu berhenti di titik nadi yang berdebar kencang. Setiap ciuman terasa seperti pengakuan, seperti doa. Elena mengerang lemah saat tangan Ren merambat ke punggungnya, menyelesaikan apa yang dimulai resleting itu. Gaun itu akhirnya menyerah, melorot sepenuhnya dan menumpuk di pinggangnya seperti kembang yang layu. Ren menarik napas tajam, memandangi tubuh yang tersingkap dalam cahaya temaram. Lekuk pa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status