Duduk di dalam pesawat dengan tenang, setelah kejadian yang begitu kilat sebelumnya. Ini adalah sebuah perjalanan yang begitu mendadak yang pernah terjadi dalam sepanjang hidupnya ini. Tapi ia tidak menyangka akan duduk di business class alih-alih ekonomi. Mr. Caiden memang terkenal perfeksionis orangnya, dengan perjalanan bisnis yang begitu tiba-tiba tapi dia masih bisa memesan business class.Elena melihat di sampingnya, Mr. Caiden telah tertidur. Pesawat belum lepas landas dikarenakan delay setelah boarding akibat cuaca buruk. Melihat begitu tenangnya Mr. Caiden tertidur, sepertinya dia belum tidur sama sekali. Elena juga merasakan kantuk yang berat, karena ia belum bisa beristirahat dengan nyenyak setelah pulang dari Kanada.“Hari ini sibuk sekali rasanya.”Saat ia bersandar di kursinya, mencoba untuk rileks, pikirannya kembali melayang pada perjalanan yang tidak terduga ini. Pekerjaannya memang menuntutnya untuk selalu siap dalam kondisi apapun, tapi kali ini, segalanya terasa
Ren sama sekali tidak memedulikan keterkejutan yang terpancar jelas dari wajah Elena. Dengan gerakan kasar namun penuh hasrat, pria itu meremas payudara Elena, sementara bibirnya melumat bibir Elena dengan ciuman yang dalam dan menuntut. Akibat jawaban Elena yang membuatnya kehilangan kendali, Ren menjatuhkan diri ke atas kasur, menarik Elena bersamanya dalam pelukan erat. Sentuhan Ren terus menjelajahi tubuh Elena, membangkitkan gelombang gairah yang melanda wanita itu hingga ia terbuai dalam kenikmatan. Tangannya perlahan turun, menyibak kain pakaian dalam Elena yang tipis, dan dengan lembut menyentuh puncak kelembutan di antara kedua pahanya. Gerakan jari-jarinya yang lihai terus menggosok klitoris Elena, menciptakan gesekan yang membakar. “Ah... Hmm...” Erangan tertahan keluar dari bibir Elena yang sedang dilumat dalam ciuman yang panas. Ia ingin berteriak, melepaskan segala hasrat yang membuncah, namun bibir pria itu terus membungkamnya, menenggelamkannya dalam gelombang keni
"Miss Hadley, bangun," suara berat Mr. Caiden memasuki pendengarannya bertimpangan dengan suara kru kabin yang sedang mengumumkan sesuatu. Elena terperanjat dari tidurnya yang nyenyak, matanya terbuka lebar dengan wajah terkejut bercampur bingung. Ia mendapati Mr. Caiden berdiri di sampingnya , sosoknya yang tinggi dan tegap tampak begitu dekat. Jantung Elena berdegup kencang, ia berusaha menenangkan diri dan memahami apa yang sedang terjadi, namun sisa-sisa mimpi itu masih berputar-putar di benaknya, membuatnya sulit membedakan antara khayalan dan kenyataan. Tiba-tiba, suara lain terdengar, memecah keheningan yang menyesakkan. "Kencangkan sabuk pengamannya, pesawat segera take off." Elena yang masih setengah sadar akibat mimpinya, tanpa pikir panjang mengikuti instruksi pramugari. Tangannya yang gemetar meraih sabuk pengaman dan mengencangkannya. Seakan ia masih berada dalam mimpi tadi. Ia menoleh ke jendela, melihat lampu-lampu bandara yang berkelap-kelip. Baru saat itu ia
Saat pesawat akhirnya mendarat di kota Grasse, Elena menghela napas lega. Perjalanan yang seharusnya hanya memakan waktu singkat menjadi lebih lama akibat delay, membuatnya merasa lelah dan sedikit jenuh. Ia melirik ke arah Mr. Caiden yang tampak tetap tenang dan fokus, seolah waktu tambahan di udara tadi bukanlah masalah besar baginya. Begitu mereka keluar dari bandara, Elena segera merasakan perbedaan suasana dibandingkan dengan Paris. Udara di Grasse terasa lebih hangat dan segar, membawa aroma samar bunga yang khas. Kota ini memang terkenal sebagai pusat parfum dunia, dan kini Elena bisa merasakan sendiri keistimewaannya. Jalanan tidak sepadat di Paris, dan suasana di sekelilingnya jauh lebih santai dan tradisional. Mr. Caiden melirik arlojinya sebelum menatap Elena. “Kita langsung ke hotel, pertemuannya di lakukan besok pagi.” Elena mengangguk, merasa lega bahwa mereka punya waktu untuk beristirahat sebelum pertemuan penting esok hari. Perjalanan yang lebih panjang dari
Keesokan paginya, Elena bangun dengan perasaan lebih segar daripada malam sebelumnya. Cahaya matahari pagi masuk melalui celah tirai, menyinari kamar hotelnya dan menciptakan suasana tenang. Ia melihat ke luar jendela dan terpaku pada taman bunga yang indah di bawah. Bunga-bunga berwarna-warni tampak kontras dengan dedaunan hijau. Elena menghirup udara pagi yang segar dan merasa lebih tenang. Ia menggeleng pelan untuk mengusir bayangan mimpi semalam, lalu bangkit dari tempat tidur. Dengan langkah ringan, ia masuk ke kamar mandi dan menikmati mandi air hangat sambil menyiapkan diri untuk hari penting ini. Setelah selesai, ia mengenakan blus putih elegan dan rok pensil krem, lalu menata rambutnya dengan gaya sederhana tapi tetap rapi. Ketika sudah siap, Elena mengambil tas tangan dan keluar kamar, menuju lobi hotel untuk sarapan. Di restoran hotel, matanya langsung melihat Mr. Caiden yang sudah duduk di dekat jendela. Pria itu tampak rapi, memakai setelan abu-abu tua dan dasi biru t
Setelah meninggalkan restoran hotel, Elena dan Mr. Caiden langsung berangkat menuju laboratorium parfum yang terletak di pusat kota Grasse. Bangunan itu tampak klasik dengan arsitektur khas Prancis, dinding batu berwarna krem, dan jendela besar yang memungkinkan cahaya alami masuk dengan leluasa. Aroma bunga dan rempah menguar begitu ia melangkah ke dalam, menciptakan suasana yang khas dan menenangkan. Seorang wanita paruh baya dengan rambut pendek rapi dan jas laboratorium putih menyambutnya di pintu. “Selamat pagi, Miss Hadley,” sapanya ramah dengan aksen Prancis yang kental. “Saya Marianne, kepala analis di laboratorium ini. Mr. Caiden memberi tahu saya bahwa Anda akan datang untuk mengevaluasi masalah di batch terbaru.” Elena tersenyum sopan dan menjabat tangannya. “Terima kasih, Mrs. Marianne. Saya ingin melihat langsung formula yang bermasalah dan mencium sampelnya.” Mrs. Marianne mengangguk dan segera mengajak Elena masuk lebih dalam ke laboratorium. Ruangan itu dipenu
Lucien Durand sedang berada di ruangan uji sensorik, sebuah ruangan dengan pencahayaan lembut dan dinding berlapis kayu, tempat para perfumer menguji berbagai aroma untuk memastikan keseimbangan yang sempurna. Pria itu, berusia sekitar awal empat puluhan, tampak tenang saat mencium secarik kertas blotter yang telah disemprot dengan salah satu sampel parfum. Ketika Elena dan Mrs. Marianne masuk, ia mengangkat alisnya sedikit. “Apa ada yang bisa saya bantu?” tanyanya dengan nada sopan, meskipun ada sedikit kewaspadaan dalam sorot matanya. Elena langsung ke inti pembicaraan. “Kami menemukan ketidaksesuaian dalam takaran neroli pada batch terakhir. Data menunjukkan ada perbedaan antara sistem digital dan catatan manual. Dan Anda adalah satu-satunya yang bertanggung jawab dalam tahap pencampuran.” Mr. Lucien meletakkan blotter di atas meja dan menghela napas, lalu melipat tangannya di depan dada. “Saya tidak pernah mengubah takaran bahan tanpa alasan yang jelas,” ujarnya. “Jika ada p
André menunduk, tubuhnya sedikit gemetar. Keringat mulai membasahi pelipisnya, dan napasnya terdengar berat. Tatapan tajam dari Elena, Mrs. Marianne, dan Mr. Caiden membuatnya merasa seolah-olah dinding di sekelilingnya semakin menyempit. Lalu, seakan tak sanggup lagi menahan beban yang mengimpitnya, André jatuh berlutut. Tangannya mengepal di lantai, dan suaranya terdengar bergetar ketika akhirnya ia berbicara. “Saya… saya mengaku bersalah,” katanya dengan suara serak. “Saya minta maaf telah mencampurkan zat itu ke dalam botol neroli. Tapi saya terpaksa melakukannya.” Elena menegang, sementara Mr. Caiden menatapnya tajam. “Terpaksa?” André menelan ludah, matanya berkabut oleh rasa malu dan ketakutan. “Saya mempunyai… hutang judi. Jumlahnya terlalu besar. Saya tidak tahu harus bagaimana lagi. Lalu seseorang menawari sebuah jalan keluar—bayaranku akan lunas jika saya melakukan ini.” Mrs. Marianne bersedekap, ekspresinya dingin. “Siapa yang menyuruhmu?” André menggeleng pela
ELENA POV Selepas pulang dari makan bersama dengan Ren, ia melanjutkan dengan berbelanja kebutuhan pribadinya. Sesampainya di rumah, Elena meletakkan tas belanjaannya di meja dapur, lalu melepaskan mantelnya dengan gerakan malas. Malam di Ottawa terasa sejuk, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang terasa lebih hangat—mungkin karena percakapannya dengan Ren tadi. Ia membuka salah satu kantong belanjaan dan mengeluarkan sebotol parfum yang baru saja ia beli di toko milik Ren. Bukan sesuatu yang mahal atau rumit, hanya wewangian sederhana dengan aroma citrus dan kayu ringan, ia memilih yang ini karena aromanya sedikit mendekati dengan konsep yang ia bicarakan dengan Ren. Elena menyemprotkan sedikit ke pergelangan tangannya, lalu menghirupnya perlahan. Aroma segar bercampur dengan sesuatu yang lebih dalam, sedikit nostalgia, sedikit kerinduan. Ia tidak tahu kenapa, tapi ada sesuatu tentang aroma ini yang mengingatkannya pada sesuatu yang belum bisa ia rangkai dengan jelas. Ia ber
REN POV Ren terus memotong steaknya sambil mendengarkan perkataan Elena. Nada suaranya terdengar serius, namun juga menyiratkan ketertarikan yang mendalam. Ia bisa melihat bagaimana mata perempuan itu sedikit berbinar ketika berbicara tentang parfum dan konsep musim panas yang sedang dikembangkannya. Menarik. Ren meletakkan pisaunya dengan perlahan, kemudian menyandarkan punggung ke kursi. "Aroma yang kita bahas tadi?" ulangnya, memastikan ia tidak salah dengar. "Jadi, kau ingin menjadikannya sebagai referensi utama untuk proyek parfummu?" Elena mengangguk mantap. "Ya, aku ingin menciptakan parfum edisi musim panas yang memiliki aroma yang mampu menangkap esensi kebebasan dan petualangan, sesuatu yang segar namun tetap elegan.” Ren menyipitkan mata sedikit, seolah membayangkan wangi yang Elena maksud. “Kebebasan dan petualangan…” gumamnya. “Itu bisa berarti banyak hal. Laut, udara pegunungan, atau bahkan aroma jalanan kota di sore hari setelah hujan.” Elena tersenyum tipis
ELENA POV Elena menelan kembali kata-katanya, merasa ragu untuk melanjutkan. Sebenarnya, ada begitu banyak hal yang ingin ia katakan, begitu banyak pertanyaan yang berputar di kepalanya—terutama tentang aroma wewangian yang baru saja mereka bahas. Namun, sesuatu menahannya. Apakah itu rasa takut? Ataukah hanya kebingungan yang terlalu mendalam? Tangannya secara refleks menggenggam pisau dan garpu di hadapannya, mencoba mencari ketenangan dalam dinginnya dari pegangan besi garpu dan pisau yang merambat ke ujung jari-jarinya. Ia sangat ingin menanyakan sesuatu yang selama ini mengusiknya—tentang mimpinya. Tentang bagaimana setiap kali ia tertidur, fragmen-fragmen aneh selalu muncul dalam benaknya, membawanya ke tempat-tempat yang terasa familiar tetapi tidak bisa ia ingat kapan atau di mana pernah mengalaminya. Karena aroma parfum yang tadi ia cium adalah menjadi pemicu awal mulai semuanya. Elena terus mengiris potongan daging steaknya, supaya lebih mudah untuk dimakan. “Ah, b
REN POV Sesuai dengan dugaannya, wanita yang kini berdiri di hadapannya ternyata benar-benar sosok yang selama ini muncul dalam mimpi-mimpinya. Ia semakin yakin setelah melihat adanya titik tahi lalat kecil di belakang leher wanita itu, yang persis seperti yang selalu ia bayangkan. Pengakuannya tentang tanda lahir di pinggang kanannya pun semakin memperkuat keyakinannya bahwa semua ciri-ciri fisik yang ada pada wanita itu benar-benar sesuai dengan gambaran yang selama ini menghantui pikirannya di alam bawah sadar. Ren merasakan detak jantungnya semakin cepat, seolah tubuhnya bereaksi sebelum pikirannya sempat memproses semuanya dengan logis. Perasaan yang aneh, campuran antara kelegaan, kebingungan, dan sesuatu yang sulit ia definisikan, mengalir dalam dirinya. Bagaimana mungkin seseorang yang hanya ia kenal dalam mimpi kini benar-benar berdiri di hadapannya? Apakah ini kebetulan semata, atau ada sesuatu yang lebih besar yang menghubungkan mereka? Matanya terpaku pada wanita itu
Pegawai toko itu tersenyum ramah, menunggu Elena mengutarakan maksud kedatangannya. Dengan cepat, ia mengingat kembali alasan utamanya berada di sini—mengirimkan proposal dari Shannon. Namun, rasa penasarannya terhadap aroma yang begitu familiar masih mengganggu pikirannya. “Ah, maaf,” Elena akhirnya berbicara setelah menarik napas pelan. “Sebenarnya, saya ke sini untuk mengantarkan sesuatu.” Ia membuka tasnya dan mengeluarkan proposal yang telah dipersiapkannya sejak pagi. Pria muda itu mengernyitkan dahi sebentar sebelum menerima dokumen tersebut. “Oh, ini untuk siapa, ya?” tanyanya sambil melirik sampul proposal itu. Elena tersenyum kecil. “Untuk, Mr. Rain? Apa benar alamatnya berada di sini?” Pegawai itu mengangguk paham. “Ah, benar. Karena alasan privasi. Saya yang akan menyampaikan ini.” Elena mengangguk, “Tolong sampaikan juga, segera menghubungi nomor yang tertera, atau balas melalui e-mail.” “Baik, akan saya sampaikan.” “Terima kasih.” Sebelum pergi, Elena yang
Keesokan harinya, Elena masuk ke dalam mobil dengan perasaan cukup bersemangat. Hari ini, ia memiliki beberapa agenda penting yang harus diselesaikan. Pertama, ia harus mengirimkan proposal dari Shannon, sebuah tugas yang membutuhkan ketelitian karena menyangkut proyek yang sedang mereka kerjakan. Setelah itu, ia berencana untuk mampir ke supermarket guna berbelanja berbagai kebutuhan sehari-hari, memastikan bahwa persediaan di rumahnya cukup untuk beberapa minggu ke depan. Di balik semua aktivitasnya, Elena juga berusaha untuk semakin beradaptasi dengan lingkungan barunya. Ia ingin membiasakan diri dengan ritme kehidupan di kota ini, mulai dari memahami rute jalan hingga mengenali tempat-tempat yang akan sering ia kunjungi. Meskipun hanya akan tinggal di sini selama sebulan, ia ingin memastikan bahwa hari-harinya berjalan dengan nyaman dan efisien. Ia mencari alamat di navigasi. “Oh! Ini berada di dekat sini?” Elena tidak menyangka bahwa alamat yang di berikan oleh Shannon te
Elena yang telah mengumpulkan keberanian sejak semalam, kini berdiri di depan cermin, memastikan bahwa dirinya terlihat rapi dan siap untuk menjalankan niatnya. Setelah melalui perjalanan panjang dan adaptasi dengan lingkungan barunya, ia merasa sudah saatnya untuk memperkenalkan diri kepada tetangganya. Baginya, ini bukan sekadar formalitas—ia ingin membangun hubungan yang baik, meski hanya akan tinggal di tempat ini selama sebulan. Dengan tekad yang mantap, ia meraih bingkisan yang telah ia persiapkan sejak kemarin. Botol wine berkelas yang ia bawa langsung dari Paris menjadi pilihannya sebagai hadiah kecil. Bukan hanya karena kualitasnya yang istimewa, tetapi juga sebagai bentuk penghormatan dan keramahan. Ia berharap tetangganya akan menghargainya. Langkahnya mantap saat ia berjalan keluar rumah, udara pagi yang sejuk menyambutnya. Dengan napas yang diatur agar tetap tenang, ia mendekati pintu rumah tetangganya, lalu mengulurkan tangan untuk menekan bel. Sejenak, ia berdiri m
Ren memarkirkan mobilnya dengan hati-hati di depan rumah, matanya tanpa sadar melirik ke arah rumah di sebelahnya. Lampu-lampu di dalamnya menyala terang, menerangi hampir setiap sudut rumah, menciptakan kesan bahwa penghuninya tengah sibuk dengan sesuatu. Ia langsung teringat pada perkataan Rose kemarin tentang adanya tamu yang akan datang, atau lebih tepatnya—tetangga baru. Dengan cepat, ia menyelesaikan proses parkir, memastikan mobilnya berada di posisi yang benar sebelum mematikan mesin. Dalam hati, ia hanya bisa berharap bahwa orang yang akan tinggal di sana bukan tipe yang terlalu ramah atau suka berbasa-basi secara berlebihan. Ia tidak ingin terlibat dalam percakapan panjang yang melelahkan, terutama dengan seseorang yang baru saja pindah ke lingkungan ini. Tanpa membuang waktu, Ren keluar dari mobil dan berjalan menuju pintu rumahnya dengan langkah cepat. Sejak kemarin, setelah mendengar informasi dari Rose bahwa ia akan segera memiliki tetangga baru, ia memilih untuk me
Lima bulan yang lalu, Ren mulai memimpikan sosok seorang wanita berambut merah yang selalu muncul dalam tidurnya, seorang wanita dengan aroma bunga lavender yang lembut namun memabukkan, seakan-akan wangi itu sengaja diciptakan hanya untuknya, menguar dari setiap helai rambut dan kulitnya yang tampak halus bagai sutra, sementara pakaian tidurnya yang tipis membalut tubuhnya dengan sempurna, memperlihatkan lekuk-lekuk menggoda yang seolah menantangnya untuk mendekat, untuk menyentuh, untuk tenggelam lebih dalam dalam godaan yang ia sendiri tak mampu tolak, membuatnya terjebak dalam pusaran hasrat dan misteri yang semakin lama semakin sulit ia bedakan antara kenyataan dan mimpi. Ren mulai menyadari bahwa wanita itu menunjukkan interaksi yang tidak seperti biasanya, sesuatu yang berbeda dari kebiasaan yang selama ini terjadi dalam mimpinya. Biasanya, begitu ia terbangun di dalam alam bawah sadarnya, wanita berambut merah itu akan langsung menggodanya tanpa banyak kata, menjeratnya dala