Setelah beristirahat dan berbincang dengan Shannon, Elena kembali ke kantornya dengan langkah yang lebih ringan. Namun, saat masuk, ia menyadari ruangan masih sepi. Belum ada rekan kerja yang kembali dari istirahat. Suasana hening ini terasa agak asing baginya.
Satu-satunya yang terlihat hanyalah Mr. Caiden, tetap bekerja di dalam ruangannya meski jam istirahat. Pria itu memang dikenal sebagai bos yang sangat serius. Dari luar, ia bisa melihat Mr. Caiden duduk di belakang meja, fokus pada layar komputer, jari-jarinya mengetik cepat. Biasanya, bosnya memang tidak keluar saat makan siang, hanya menyantap sandwich dan jus yang dia bawa sendiri atau dibelikan asistennya. Kali ini, Elena membawa sendiri sebuah paper bag berisi sandwich dan jus segar. Bukan kebiasaannya, tapi ia ingin mengucapkan terima kasih. Meskipun hubungan mereka hanya profesional, Elena merasa perlu menunjukkan apresiasinya atas bantuan Mr. Caiden selama ini. Sebenarnya, Elena agak enggan bertemu langsung dengannya. Ada sesuatu dari pria itu yang membuatnya gugup dan takut—entah karena sikapnya yang dingin atau sorot matanya yang tajam. Tapi demi kesopanan, ia tetap memutuskan untuk memberanikan diri. Ia tahu Mr. Caiden tak pernah keluar saat makan siang, jadi ia membelikan makanan favoritnya. Dengan langkah mantap, meski ada sedikit ragu, Elena berdiri di depan pintu ruangannya. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengetuk pelan. Dari dalam, terdengar suara berat dan datar yang langsung membuat Elena merasakan sedikit ketegangan di pundaknya. “Masuk.” Elena menelan ludahnya, lalu membuka pintu dengan hati-hati, melangkah masuk ke dalam ruangan yang dipenuhi aroma kopi dan kertas dokumen yang tersusun rapi di meja kerja besar Mr. Caiden. Pria itu mengangkat kepalanya sebentar, menatap Elena dengan ekspresi datar, sebelum kembali fokus pada layar monitornya. Kini, Elena hanya perlu mengumpulkan keberanian untuk menyampaikan niatnya. “Maaf mengganggu Anda, Mr. Caiden,” ucap Elena dengan suara setenang mungkin. “Saya hanya ingin memberikan ini sebagai tanda terima kasih.” Ia mengangkat paper bag yang dibawanya dan meletakkannya di sudut meja Mr. Caiden. Pria itu melirik paper bag tersebut sekilas sebelum mengalihkan perhatiannya kembali pada dokumen yang sedang ia telaah. “Terima kasih, Miss Hadley. Sebenarnya, ini tidak perlu,” jawabnya dengan nada formal dan nyaris tanpa ekspresi. Elena menahan napas, tidak tahu apakah harus merasa lega atau justru semakin canggung. “Saya tahu, tapi saya tetap ingin memberikannya. Karena, saya memberikan ini sebagai rasa ucapan terima kasih saya kepada Anda.” Untuk pertama kalinya, Mr. Caiden mengangkat pandangannya sedikit lebih lama, menatap Elena dengan tatapan yang sulit diartikan. “Oh, jangan khawatir, Sir. Ini makanan yang Anda sukai.” Mr. Caiden akhirnya mengangguk kecil dan meraih paper bag itu. “Baiklah. Terima kasih, atas makanannya Miss Hadley ” ucapnya, kali ini dengan nada yang sedikit lebih lembut, meskipun tetap formal. Elena tersenyum kecil dan mengangguk. “Baik, kalau begitu saya tidak akan mengganggu lebih lama. Selamat kembali bekerja, Mr. Caiden.” Ia berbalik dan melangkah keluar dari ruangan, merasa anehnya lega meskipun percakapan mereka berlangsung singkat dan canggung. Saat pintu menutup di belakangnya. ❀❀❀❀❀ Di luar kantor, langit mulai mendung. Awan kelabu menggantung rendah, seolah memberi tanda hujan akan turun. Dari jendela, Elena memandangi jalanan yang mulai padat. Klakson bersahutan, menciptakan kebisingan khas kota besar. Waktu pulang kerja pun tiba. Elena merapikan meja, memasukkan barang ke dalam tas, lalu melangkah keluar kantor dengan sedikit lega. Udara sore yang sejuk menyentuh wajahnya, memberi kesegaran setelah seharian berada di ruangan kantor. Begitu tiba di apartemen, ia menjatuhkan tas di sofa dan mengganti pakaian dengan baju santai. Lampu-lampu kecil ia nyalakan, memberi cahaya hangat yang menenangkan. Dengan secangkir teh hangat di tangan, ia duduk di sofa, pikirannya kembali pada mimpi aneh semalam. Ia teringat cara pria dalam mimpi itu memanggil namanya, dengan suara lembut dan hangat, seolah mereka sudah lama saling mengenal. “Kenapa aku bisa merasa begitu dekat... padahal aku bahkan tidak tahu siapa dia?” bisiknya pelan. Yang paling membekas di benaknya adalah aroma pria itu—maskulin, hangat, dan entah kenapa, mengingatkannya pada musim panas di Kanada. “Apa mungkin... ini semua karena pria yang kutabrak waktu itu?” Elena mengernyit, menatap kosong ke arah cangkir tehnya. Ia menggeleng pelan. “Apa aku mulai gila sekarang?” gumamnya, nyaris tak terdengar. Untuk mengalihkan pikiran, ia menyalakan TV. Tayangan demi tayangan berlalu, tapi tak ada yang menarik. Ia meraih ponselnya, membuka galeri foto saat berada di Kanada. Lanskap kota, pepohonan, dan senyumnya sendiri muncul di layar. Tapi tak ada petunjuk. Tak ada wajah pria itu. Hanya aroma samar yang masih tinggal di ingatannya. Ia menghela napas. “Kenapa justru aroma yang paling jelas kuingat?” tanyanya pada dirinya sendiri. “Padahal... wajahnya buram.” Berbagai pertanyaan memenuhi pikirannya. “Benar, ini cuma fenomena mimpi karena otaknya telah kelebihan muatan.” Ia memeluk dirinya sendiri sambil menarik selimut. Tubuhnya lelah, matanya mulai berat. “Mungkin besok pikiranku lebih jernih,” bisiknya, sebelum memejamkan mata, membiarkan malam membawanya ke dunia mimpi sekali lagi.Bulan madu. Pulau Bora-bora. Bora Bora menyambut mereka seperti lukisan hidup yang baru selesai diwarnai. Langit biru kobalt, laut laguna berlapis-lapis warna biru pirus, hijau zamrud, dan nila, mengelilingi gunung vulkanik Otemanu yang menjulang megah dengan puncak tersapu awan. Udara hangat dan lembab, beraroma asin segar bercampur harum bunga Tiare Tahiti yang menghiasi sambutan bandara kecil Motu Mute. Mereka menuju resort mewah dengan perahu bermotor yang melaju di atas laguna yang begitu jernih sehingga dasar laut dengan karang dan ikan warna-warni terlihat jelas. Elena memegang erat tangan Ren, matanya takjub menatap sekeliling. Perasaan yang berbeda menyelimutinya: bukan lagi ketegangan atau pencarian, melainkan kedamaian yang mendalam dan kebahagiaan tanpa syarat. “Seperti mimpi,” bisik Elena, menatap Ren. Cahaya matahari sore memantul di wajahnya yang berseri. Ren mencium keningnya. “Apa kamu menyukainya?” Vila mereka adalah sebuah overwater bungalow mewah.
SATU TAHUN KEMUDIAN OTTAWA, KANADA Musim semi baru saja menyapa kota, menyapu sisa-sisa dingin dari trotoar, mengganti salju dengan kuntum-kuntum bunga sakura yang perlahan mekar di tepi Sungai Rideau. Di sebuah vila kayu elegan di pinggir danau Gatineau, Elena berdiri di depan cermin besar, mengenakan gaun putih gading dengan detail renda halus di bahu dan lengan. Rambutnya disanggul longgar, beberapa helai dibiarkan jatuh alami membingkai wajahnya. Di lehernya tergantung liontin kecil berbentuk bulan sabit, warisan dari neneknya yangdk dengan makna baru: bukan lagi simbol kutukan, tapi pelindung ikatan cinta yang kini telah bebas. Suara langkah pelan terdengar dari belakang. Shannon masuk, mengenakan gaun hijau daun zaitun yang menonjolkan warna matanya. “Kau... terlihat seperti sesuatu yang keluar dari puisi musim semi,” katanya sambil tersenyum. Elena membalas senyum itu, wajahnya tenang tapi matanya berkilau. “Terima kasih...” Shannon menyentuh bahunya dengan lembut.
Malam semakin pekat, desiran angin berbisik melalui celah-celah jendela tua seolah membawa pesan dari masa silam. Cahaya bulan purnama yang semula menggantung berat kini merayap perlahan, menyentuh lantai kayu vila, menciptakan kolam perak yang dingin. Waktunya semakin dekat. Elena dan Ren berdiri di tengah ruang utama, perapian dan lilin-lilin menjadi saksi bisu. Mereka telah menyapu lantai, menyingkirkan perabot, membuat ruang kosong di bawah jendela besar. Di lantai, mereka menggambar lingkaran besar dengan garam kasar, di dalamnya simbol-simbol aneh yang mereka salin ragu-ragu dari catatan tua Marylin yang terselip di balik rak buku, garis-garis berpotongan, setengah lingkaran, dan titik-titik yang menyerupai konstelasi. Di pusat lingkaran, di atas sehelai kain hitam, belati itu terbaring. Logamnya kini memancarkan cahaya biru pucat yang lebih terang, berdenyut lembut selaras dengan detak jantung Elena. “Siap?” tanya Ren, suaranya serak. Elena mengangguk, napasnya pendek. “K
Matahari baru saja mulai terlihat, menebar cahaya lembut ke apartemen Elena yang masih berantakan setelah pergumulan semalam. Ren sudah berdiri di dekat jendela, mengenakan kaus hitam dan celana kargo yang baru saja di belinya, wajahnya serius saat dia mengemas ransel kecil dengan efisien. Jejak-jejak keintiman di lantai kayu. Elena muncul dari kamar mandi, rambutnya masih lembap, membungkus tubuhnya dengan jubah mandi. Matanya langsung tertuju pada Ren dan ranselnya. “Sudah siap?” tanyanya, suaranya sedikit serak. Ren mengangguk, tidak berhenti mengemas. “Sudah. Semakin jauh dari keramaian kota, semakin baik. Tempat yang sunyi... Aku telah menyewa sebuah vila di desa.” Dia melemparkan pandangannya ke belati kuno yang kini terbaring di atas meja kecil antik itu, terbungkus kembali dalam beludru pudar. Logamnya menyerap cahaya pagi, terlihat dingin dan penuh janji berbahaya. Elena berharap semuanya akan berjalan lancar, meski jauh di dalam hatinya, ada ketegangan yang tidak bisa
“Di sini,” geram Ren tiba-tiba, tangannya yang besar menekan perut bawah Elena dan mengubah sudutnya sedikit. Dorongan berikutnya-“Ah! REN!” Elena menjerit, matanya membelalak. Ren telah menemukan titik itu, titik rahasia dalamnya yang langsung menyulut api liar. Setiap dorongan berikutnya dengan sengaja menghantam titik G-spotnya, mengikis akal sehatnya. “Lihatlah bagaimana bagian dalamnya mencengkeramku dengan erat,” bisik Ren dengan nafsu, matanya gelap menatap tempat mereka bersatu, menyaksikan bagaimana tubuh Elena menyambutnya, mencengkeram penisnya setiap kali dia menarik. “Sepertinya kau sangat merindukanku.” Tangannya merayap naik, mencubit puting Elena yang sudah keras dan sensitif. Sensasi ganda itu-dorongan dalam yang tepat dan cubitan yang menyengat, membuat Elena menggelepar tak karuan. Batang keras tersebut terus mengenai titik kenikmatannya, seperti kilat panas yang menyambar-nyambar di kegelapan, menghanguskan setiap sisa akal sehat yang masih bertahan. Setiap d
Suasana kamar Elena disinari remang-remang lampu jalan Paris yang menyelinap lewat tirai. Ren menurunkannya perlahan di atas ranjang, tubuhnya membayangi Elena seperti perlindungan sekaligus penaklukan. Gaun sutra itu sudah tergelincir hingga pinggang, menyingkapkan bahu dan lekuk tulang selangka yang memikat. Napas Ren memburu saat jemarinya menyusuri garis bahu itu, panas dan gemetar. “Kau sempurna,” gumamnya, suara serak penuh kekaguman yang membuat Elena merinding. Bibirnya menyusuri kembali jejak yang baru saja disentuhnya dimulai dari puncak bahu, turun perlahan ke lekuk leher, lalu berhenti di titik nadi yang berdebar kencang. Setiap ciuman terasa seperti pengakuan, seperti doa. Elena mengerang lemah saat tangan Ren merambat ke punggungnya, menyelesaikan apa yang dimulai resleting itu. Gaun itu akhirnya menyerah, melorot sepenuhnya dan menumpuk di pinggangnya seperti kembang yang layu. Ren menarik napas tajam, memandangi tubuh yang tersingkap dalam cahaya temaram. Lekuk pa