Duduk di dalam pesawat dengan tenang, setelah kejadian yang begitu kilat sebelumnya. Ini adalah sebuah perjalanan yang begitu mendadak yang pernah terjadi dalam sepanjang hidupnya ini. Tapi ia tidak menyangka akan duduk di business class alih-alih ekonomi. Mr. Caiden memang terkenal perfeksionis orangnya, dengan perjalanan bisnis yang begitu tiba-tiba tapi dia masih bisa memesan business class.
Elena melihat di sampingnya, Mr. Caiden telah tertidur. Pesawat belum lepas landas dikarenakan delay setelah boarding akibat cuaca buruk. Melihat begitu tenangnya Mr. Caiden tertidur, sepertinya dia belum tidur sama sekali. Elena juga merasakan kantuk yang berat, karena ia belum bisa beristirahat dengan nyenyak setelah pulang dari Kanada. “Hari ini sibuk sekali rasanya.” Saat ia bersandar di kursinya, mencoba untuk rileks, pikirannya kembali melayang pada perjalanan yang tidak terduga ini. Pekerjaannya memang menuntutnya untuk selalu siap dalam kondisi apapun, tapi kali ini, segalanya terasa terlalu cepat. Dari pagi yang dimulai dengan rutinitas biasa, hingga sekarang ia duduk di dalam pesawat menuju Prancis bersama bosnya yang nyaris tak pernah menunjukkan ekspresi selain ketegasan. Elena melirik ke luar jendela pesawat. Awan kelabu masih menggantung di langit, memberi tanda bahwa cuaca belum membaik sepenuhnya. Suasana kabin terasa tenang, hanya ada suara lirih dari awak kabin yang tengah memberikan informasi kepada penumpang. Ia kembali mengalihkan perhatiannya ke Mr. Caiden. Pria itu tampak lelah, tetapi bahkan dalam tidurnya, ada ketenangan dan kendali yang luar biasa. Elena menghela napas dan memejamkan matanya, mencoba mengikuti jejak bosnya untuk beristirahat, berharap ia bisa tidur sejenak sebelum mereka tiba di tujuan. ❀❀❀❀❀ Elena mengerjapkan matanya beberapa kali, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya terang yang masuk melalui jendela besar di ruangan itu. Perlahan-lahan, kesadarannya mulai pulih, dan sebuah perasaan familiar menyelinap ke dalam pikirannya. Ini bukan kabin pesawat yang ia naiki bersama Mr. Caiden, bukan pula apartemennya. Ruangan ini... terasa seperti sesuatu yang ia kenal, tetapi tak seharusnya ada dalam kenyataan. 'Apa aku kembali terjebak dalam mimpi ini lagi?' Pandangannya menyapu seluruh ruangan yang luas dan mewah. Dinding putih beraksen kayu klasik, lampu gantung kristal yang berkilauan di langit-langit tinggi, dan jendela besar dengan gorden tipis yang berkibar perlahan diterpa angin. Sinar matahari siang menyelinap masuk, menciptakan bayangan lembut di permukaan lantai marmer yang mengkilap. Refleks, Elena meraba tubuhnya, memastikan sesuatu. Ia menarik napas lega saat menyadari bahwa kali ini ia tidak terbangun dalam keadaan telanjang seperti sebelumnya. Namun, pakaian yang dikenakannya tetap saja asing—gaun satin tipis berwarna gading yang terasa begitu halus di kulitnya. Saat ia hendak mengumpulkan pikirannya, suara klik terdengar dari arah pintu. Ceklek! Elena menoleh cepat ke arah sumber suara. Seorang pria bertelanjang dada melangkah masuk dengan santai. Tubuhnya tegap, ototnya terlihat jelas di bawah cahaya yang jatuh dari jendela. Rambutnya sedikit berantakan seolah baru saja bangun tidur, tetapi ekspresinya penuh ketenangan. Elena menahan napas. Ada sesuatu tentang pria ini yang terasa sangat familiar, namun begitu samar. Ia bisa mengingat fitur wajahnya—rahang yang tegas, mata tajam dengan sorot misterius—tetapi setiap kali ia mencoba mengingat lebih jauh, bayangan pria itu seakan memudar saat terbangun dari mimpinya. “Kita terbangun bersamaan,” suara pria itu terdengar serak, seolah baru saja bangun dari tidur yang dalam. Elena tidak menjawab, pikirannya masih mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Pria itu melangkah lebih dekat, duduk di tepi ranjang, lalu dengan lembut menyentuh pipinya. Sentuhan hangatnya membuat Elena tersentak sedikit, tetapi pria itu tidak menunjukkan niat untuk menjauh. “Kenapa kau menatapku seperti itu?” tanyanya dengan nada heran, sembari menelusuri wajah Elena dengan tatapan lembut. “Seolah-olah kau baru pertama kali melihatku.” Elena dengan hati-hati menarik diri dari sentuhannya, merasa gugup dengan kedekatan mereka. Ia masih ingat betul mimpi sebelumnya, bagaimana tubuhnya dengan mudah tergoda oleh pria ini. Ia tidak ingin kehilangan kendali lagi. “Apa kau tahu ini mimpi?” Elena akhirnya memberanikan diri bertanya. “Aku... aku sudah pernah melihatmu dalam mimpiku sebelumnya.” Pria itu tidak langsung menjawab. Bibirnya melengkung dalam senyum kecil, matanya berbinar seolah menganggap pertanyaan itu menggelikan. “Lucunya,” katanya sembari menelusuri pipi Elena dengan jari-jarinya yang panjang dan hangat, “justru aku yang seharusnya bertanya... apa kau yakin ini hanya dunia mimpimu?” Elena menahan napas. Jantungnya berdetak lebih cepat. ‘Apa maksudnya?’ Pria itu tampaknya tidak memedulikan kebingungan yang menguasai Elena, ia justru semakin mendekat dengan gerakan yang begitu cepat dan lancar, seolah tubuhnya telah terbiasa melakukan hal ini berkali-kali. Kepalanya menunduk dengan sedikit kemiringan yang mengisyaratkan keinginan, sementara matanya menatap Elena dengan sorot yang tajam dan penuh intensitas, membuat jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya. Tangan pria itu, yang semula ia pikir akan tetap berada di luar batas, kini dengan berani menyelinap ke dalam selimut yang membungkus tubuhnya. Jari-jarinya yang panjang dan kokoh merayap perlahan, menyentuh permukaan kulit pahanya yang halus dengan gerakan yang begitu lembut tetapi juga memiliki ketegasan yang tidak bisa diabaikan. Sentuhan itu terasa begitu nyata, begitu hidup, hingga Elena nyaris lupa bahwa semua ini mungkin hanyalah bagian dari mimpinya. Sebuah helaan napas berat lolos dari bibirnya tanpa bisa ia tahan, dan tanpa sadar, erangan kecil meluncur dari tenggorokannya, mengisi keheningan ruangan yang sebelumnya hanya dihiasi oleh suara embusan angin dari balik jendela. Sensasi panas yang menjalar dari sentuhan itu membuatnya tersentak, kesadarannya berusaha untuk tetap berpegang pada logika, tetapi tubuhnya merespons dengan cara yang berbeda. “Hei, tunggu...” Suaranya bergetar, hampir seperti bisikan yang tidak terlalu meyakinkan. Ia mencoba mengangkat tangan untuk menghentikan gerakan pria itu, namun sebelum ia sempat melakukan apa pun, suara berat dan penuh kelembutan menyela ucapannya. “Ren,” pria itu berbisik tepat di dekat telinganya, suaranya terdengar serak tetapi juga begitu mesra, menciptakan sensasi dingin yang menjalar di sepanjang tulang belakangnya. “Panggil aku seperti itu.” Elena menelan ludah, mencoba mengumpulkan kembali pikirannya yang tercerai-berai akibat kehadiran pria ini yang begitu mendominasi ruang dan pikirannya. Napasnya masih sedikit tersengal saat ia akhirnya membuka mulutnya untuk berbicara, meskipun suaranya tidak setegas yang ia harapkan. “Oke... Ren,” ucapnya pelan, mencoba membiasakan nama itu di bibirnya, meskipun terdengar begitu asing namun juga familiar di saat yang bersamaan. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya memberanikan diri mengajukan pertanyaan yang sejak tadi mengganggu pikirannya. “Apa kau tahu sesuatu tentang semua ini? Tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi kepada kita?” Matanya mencari jawaban di wajah pria itu, berharap menemukan secercah penjelasan yang bisa membantunya memahami situasi yang aneh dan di luar nalar ini. Namun, alih-alih menjawab dengan segera, pria itu justru tersenyum tipis, senyum yang penuh misteri, sebelum akhirnya mengangkat tangannya dan menyentuh wajah Elena dengan kelembutan yang bertolak belakang dengan intensitas yang ia tunjukkan sebelumnya. Bibir pria itu bergerak perlahan, mendekat ke lehernya, menyentuh kulitnya dengan kelembutan yang bertolak belakang dengan intensitas kehadirannya. Elena bisa merasakan napasnya yang hangat menyapu kulitnya sebelum akhirnya bibir itu menempel di sana, menciptakan sensasi yang membuat tubuhnya menegang seketika. Sebuah desahan kecil lolos tanpa bisa ia kendalikan ketika pria itu menghisap kulit lehernya dengan gerakan yang lembut namun juga begitu menuntut, meninggalkan jejak kehangatan yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Elena berusaha mengangkat tangannya, mencoba mendorong Ren menjauh, namun kekuatan di tubuhnya seakan mengkhianatinya, membuatnya hanya mampu menggenggam bahunya dengan lemah. “Tunggu... jawab dulu,” suaranya terdengar lirih, hampir seperti bisikan yang tersangkut di tenggorokannya, bercampur dengan napas yang sedikit tersengal. Namun pria itu tidak menunjukkan tanda-tanda ingin menghentikan apa yang sedang ia lakukan. Bibirnya terus menelusuri jalannya ke bawah, menyentuh tulang selangka Elena sebelum turun lebih jauh, menekan ciuman kecil di sepanjang kulitnya hingga akhirnya mencapai gundukan payudaranya yang naik-turun mengikuti irama napasnya yang semakin tidak teratur. Elena menegang, merasakan bagaimana tangan Ren kini ikut bergerak, menyelinap dengan santai di sepanjang lengannya sebelum akhirnya berhenti di buah dadanya. Sebelum ia sempat memproses semuanya, jari-jari pria itu telah meremasnya dengan gerakan yang tidak bisa dikategorikan sebagai kasar, tetapi juga tidak bisa disebut lembut. Sensasi itu begitu asing, begitu nyata, hingga Elena merasa pikirannya mulai kehilangan fokus. “Tunggu... Ren, jawab dulu,” kali ini suaranya sedikit lebih kuat, meskipun masih terdengar ada nada memohon di dalamnya. Tali tipis pakaiannya melorot dengan sendirinya, seolah menyerah di bawah sentuhan pria itu, memperlihatkan kulitnya yang kini terbuka untuk tatapan yang begitu intens. Elena mengangkat tangannya dengan cepat, menutupi dirinya sebisa mungkin, tetapi pria itu hanya menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan—campuran antara kesenangan, kepemilikan, dan sesuatu yang lebih dalam yang tidak bisa ia pahami. “Yang aku tahu...” Ren berbicara dengan suara yang lebih dalam, hampir seperti gumaman yang begitu dekat dengan telinganya, membuat bulu kuduknya meremang, “adalah kau yang datang dalam mimpiku terlebih dahulu dan menggodaku seperti ini.” Elena terdiam sejenak, menatap wajahnya dengan mata yang melebar karena keterkejutan. “Apa?” suaranya hampir tidak keluar, karena otaknya masih mencoba mencerna kata-kata itu.Bulan madu. Pulau Bora-bora. Bora Bora menyambut mereka seperti lukisan hidup yang baru selesai diwarnai. Langit biru kobalt, laut laguna berlapis-lapis warna biru pirus, hijau zamrud, dan nila, mengelilingi gunung vulkanik Otemanu yang menjulang megah dengan puncak tersapu awan. Udara hangat dan lembab, beraroma asin segar bercampur harum bunga Tiare Tahiti yang menghiasi sambutan bandara kecil Motu Mute. Mereka menuju resort mewah dengan perahu bermotor yang melaju di atas laguna yang begitu jernih sehingga dasar laut dengan karang dan ikan warna-warni terlihat jelas. Elena memegang erat tangan Ren, matanya takjub menatap sekeliling. Perasaan yang berbeda menyelimutinya: bukan lagi ketegangan atau pencarian, melainkan kedamaian yang mendalam dan kebahagiaan tanpa syarat. “Seperti mimpi,” bisik Elena, menatap Ren. Cahaya matahari sore memantul di wajahnya yang berseri. Ren mencium keningnya. “Apa kamu menyukainya?” Vila mereka adalah sebuah overwater bungalow mewah.
SATU TAHUN KEMUDIAN OTTAWA, KANADA Musim semi baru saja menyapa kota, menyapu sisa-sisa dingin dari trotoar, mengganti salju dengan kuntum-kuntum bunga sakura yang perlahan mekar di tepi Sungai Rideau. Di sebuah vila kayu elegan di pinggir danau Gatineau, Elena berdiri di depan cermin besar, mengenakan gaun putih gading dengan detail renda halus di bahu dan lengan. Rambutnya disanggul longgar, beberapa helai dibiarkan jatuh alami membingkai wajahnya. Di lehernya tergantung liontin kecil berbentuk bulan sabit, warisan dari neneknya yangdk dengan makna baru: bukan lagi simbol kutukan, tapi pelindung ikatan cinta yang kini telah bebas. Suara langkah pelan terdengar dari belakang. Shannon masuk, mengenakan gaun hijau daun zaitun yang menonjolkan warna matanya. “Kau... terlihat seperti sesuatu yang keluar dari puisi musim semi,” katanya sambil tersenyum. Elena membalas senyum itu, wajahnya tenang tapi matanya berkilau. “Terima kasih...” Shannon menyentuh bahunya dengan lembut.
Malam semakin pekat, desiran angin berbisik melalui celah-celah jendela tua seolah membawa pesan dari masa silam. Cahaya bulan purnama yang semula menggantung berat kini merayap perlahan, menyentuh lantai kayu vila, menciptakan kolam perak yang dingin. Waktunya semakin dekat. Elena dan Ren berdiri di tengah ruang utama, perapian dan lilin-lilin menjadi saksi bisu. Mereka telah menyapu lantai, menyingkirkan perabot, membuat ruang kosong di bawah jendela besar. Di lantai, mereka menggambar lingkaran besar dengan garam kasar, di dalamnya simbol-simbol aneh yang mereka salin ragu-ragu dari catatan tua Marylin yang terselip di balik rak buku, garis-garis berpotongan, setengah lingkaran, dan titik-titik yang menyerupai konstelasi. Di pusat lingkaran, di atas sehelai kain hitam, belati itu terbaring. Logamnya kini memancarkan cahaya biru pucat yang lebih terang, berdenyut lembut selaras dengan detak jantung Elena. “Siap?” tanya Ren, suaranya serak. Elena mengangguk, napasnya pendek. “K
Matahari baru saja mulai terlihat, menebar cahaya lembut ke apartemen Elena yang masih berantakan setelah pergumulan semalam. Ren sudah berdiri di dekat jendela, mengenakan kaus hitam dan celana kargo yang baru saja di belinya, wajahnya serius saat dia mengemas ransel kecil dengan efisien. Jejak-jejak keintiman di lantai kayu. Elena muncul dari kamar mandi, rambutnya masih lembap, membungkus tubuhnya dengan jubah mandi. Matanya langsung tertuju pada Ren dan ranselnya. “Sudah siap?” tanyanya, suaranya sedikit serak. Ren mengangguk, tidak berhenti mengemas. “Sudah. Semakin jauh dari keramaian kota, semakin baik. Tempat yang sunyi... Aku telah menyewa sebuah vila di desa.” Dia melemparkan pandangannya ke belati kuno yang kini terbaring di atas meja kecil antik itu, terbungkus kembali dalam beludru pudar. Logamnya menyerap cahaya pagi, terlihat dingin dan penuh janji berbahaya. Elena berharap semuanya akan berjalan lancar, meski jauh di dalam hatinya, ada ketegangan yang tidak bisa
“Di sini,” geram Ren tiba-tiba, tangannya yang besar menekan perut bawah Elena dan mengubah sudutnya sedikit. Dorongan berikutnya-“Ah! REN!” Elena menjerit, matanya membelalak. Ren telah menemukan titik itu, titik rahasia dalamnya yang langsung menyulut api liar. Setiap dorongan berikutnya dengan sengaja menghantam titik G-spotnya, mengikis akal sehatnya. “Lihatlah bagaimana bagian dalamnya mencengkeramku dengan erat,” bisik Ren dengan nafsu, matanya gelap menatap tempat mereka bersatu, menyaksikan bagaimana tubuh Elena menyambutnya, mencengkeram penisnya setiap kali dia menarik. “Sepertinya kau sangat merindukanku.” Tangannya merayap naik, mencubit puting Elena yang sudah keras dan sensitif. Sensasi ganda itu-dorongan dalam yang tepat dan cubitan yang menyengat, membuat Elena menggelepar tak karuan. Batang keras tersebut terus mengenai titik kenikmatannya, seperti kilat panas yang menyambar-nyambar di kegelapan, menghanguskan setiap sisa akal sehat yang masih bertahan. Setiap d
Suasana kamar Elena disinari remang-remang lampu jalan Paris yang menyelinap lewat tirai. Ren menurunkannya perlahan di atas ranjang, tubuhnya membayangi Elena seperti perlindungan sekaligus penaklukan. Gaun sutra itu sudah tergelincir hingga pinggang, menyingkapkan bahu dan lekuk tulang selangka yang memikat. Napas Ren memburu saat jemarinya menyusuri garis bahu itu, panas dan gemetar. “Kau sempurna,” gumamnya, suara serak penuh kekaguman yang membuat Elena merinding. Bibirnya menyusuri kembali jejak yang baru saja disentuhnya dimulai dari puncak bahu, turun perlahan ke lekuk leher, lalu berhenti di titik nadi yang berdebar kencang. Setiap ciuman terasa seperti pengakuan, seperti doa. Elena mengerang lemah saat tangan Ren merambat ke punggungnya, menyelesaikan apa yang dimulai resleting itu. Gaun itu akhirnya menyerah, melorot sepenuhnya dan menumpuk di pinggangnya seperti kembang yang layu. Ren menarik napas tajam, memandangi tubuh yang tersingkap dalam cahaya temaram. Lekuk pa