Ren mencondongkan tubuhnya, membiarkan ujung penisnya yang tegang dan besar menggesek lembut bibir vagina Elena yang masih basah dan berdenyut setelah orgasmenya. Sentuhan pertama itu mengirimkan aliran listrik ke seluruh tubuh Elena, membuatnya kembali mendesah lirih, menantikan penyatuan yang lebih dalam dan memuaskan. “Ugh... Ren...cepatlah.” Tuntut Elena dengan berani. Mendengar tuntutan Elena yang penuh hasrat, seringai liar terukir di bibir Ren. Tanpa menunggu lebih lama, pria itu meraih pinggul Elena, mengangkatnya sedikit, dan dengan satu gerakan mantap, menusukkan kejantanannya yang keras dan berdenyut ke dalam vagina Elena yang sudah basah dan siap menerimanya. “Aaakh…” Elena kembali menjerit, kali ini bercampur antara rasa penuh dan nikmat yang luar biasa. Ia merasakan kejantanan Ren yang besar mengisi seluruh rongga vaginanya, meregangkan dinding-dindingnya dengan sempurna. Ren terdiam sejenak, membiarkan Elena menyesuaikan diri dengan kehadirannya. Dia bisa merasa
Ren mengangkat tubuh Elena dengan sigap, mendudukkannya di atas batu yang lebih tinggi hingga kedua pahanya terbuka lebar. Gerakan tiba-tiba itu membuat Elena sedikit terkejut, namun ia dengan cepat menyadari maksud Ren yang ingin kembali memanjakannya dengan sentuhan intim pria itu. Namun, sebelum Ren dapat mencondongkan tubuhnya dan menghisap area sensitif di antara paha dalam Elena, ia dengan cepat menahan kepala Ren dengan kedua tangannya. “Tunggu!” sergah Elena, meskipun napasnya masih tersengal-sengal akibat gejolak hasrat yang belum sepenuhnya mereda. Ren mengerutkan kening, tampak bingung dengan penolakan tiba-tiba itu. “Kenapa? Apa ada yang salah?” tanyanya dengan suara serak, matanya menatap Elena penuh tanya. Elena menelan ludah, merasakan sedikit gugup sekaligus berdebar-debar. Selama ini, dalam setiap momen keintiman mereka, Ren selalu menjadi pihak yang memberikan kenikmatan padanya. Ia selalu dimanja dengan sentuhan, ciuman, dan penetrasi yang membuatnya mencapa
Ren memeluknya dari belakang, hangat tubuh mereka menyatu dengan hangatnya air kolam alami. Elena bersandar di dadanya, matanya terpejam sesaat, menikmati sentuhan lembut angin dan suara dedaunan yang berbisik di atas mereka. Air hangat meredakan lelah dan ketegangan, sementara keheningan di antara mereka terasa lebih dalam dari sekadar diam, ia merasa seperti penuh pemahaman yang tak butuh kata-kata.Ren menunduk, membisikkan sesuatu di telinga Elena. “Aku senang bisa berbagi momen seperti ini denganmu, Elena.”Elena tersenyum kecil, membuka matanya dan menatap pantulan cahaya yang menari di permukaan air. “Aku juga.”Ren mencium pelan punggung bahunya. “Aku harap kita bisa terus menikmati momen lain bersama-sama, selamanya.”Elena membalikkan tubuh perlahan, kini menghadap Ren. Wajah mereka begitu dekat, hanya dipisahkan oleh uap tipis yang mengambang. Tatapan mereka bertemu, tenang, tapi dalam, penuh arti yang tak perlu dijelaskan.“Jangan hanya pandai bicara,” bisik Elena,
“Tadaa!” seru Elena ceria, melangkah keluar dari pintu kabin sambil memamerkan bikininya. “Bagaimana?”Cahaya matahari siang hari memantul di kulitnya yang bersinar, menambah pesona pada senyumnya yang percaya diri. Ren, yang sedang bersantai di kursi malas sambil memegang segelas minuman, mengangkat alis dan tersenyum geli melihat penampilan Elena yang penuh semangat.Elena mengenakan bikini berwarna merah tua yang menonjol sempurna di kulitnya yang putih porselen. Warna itu bukan hanya cocok, tapi itu juga memperkuat aura percaya diri Elena, seolah menyatu dengan rambut merahnya yang tergerai lembut di bahunya.“Kombinasi yang sangat cocok, sangat cantik.” Ren mengangguk setuju. “Aku siap bermain seharian!” seru Elena dengan semangat yang meluap-luap, matanya berbinar seperti anak kecil yang baru saja tiba di taman bermain.Hari ini, rencananya mereka tak hanya akan berenang, tetapi juga menaiki kayak dan jetski milik Ren yang sudah diparkir rapi di tepi dermaga kayu. Danau di
Napasnya tersengal-sengal, tubuhnya terkulai lemas. Ia menyandarkan diri, memeluk erat tubuh Ren yang juga terengah, mencari kekuatan setelah klimaksnya yang begitu menguras tenaga. “Ah! Ren?” serunya kaget bercampur bingung. Tiba-tiba merasakan tubuhnya yang lunglai terangkat. Penis pria itu, sialnya, masih keras dan tegak sempurna, kini menusuk semakin dalam saat ia berada dalam gendongan Ren. Kepala penisnya yang besar kembali menggesek titik sensitifnya, mengirimkan kejutan-kejutan kecil yang membangkitkan sisa-sisa hasratnya yang belum sepenuhnya padam. Ren menatapnya dengan mata membara, seringai tipis menghiasi bibirnya. “Kamu pikir sudah selesai?” bisiknya serak, membuat bulu kuduk Elena meremang. “Sekarang giliranku, bersiaplah.” Ren membawa Elena keluar dari bak mandi, air menetes dari tubuh mereka yang basah dan saling menempel. Tanpa melepaskan Elena dari gendongannya, pria itu menurunkannya dan membalikkan badannya ke arah wastafel membuka kedua pantatnya lebar. Ele
Napas Elena masih tersengal-sengal saat Ren dengan lembut menarik tubuhnya yang lemas kembali ke dalam bak air panas. Tanpa melepaskan pandangan penuh gairah dari mata Elena, Ren mendudukkan wanita itu tepat di atas pangkuannya. Elena merasakan dengan jelas penis Ren yang sudah mengeras sempurna menusuk lembut di antara lipatan pahanya yang sudah basah dan berdenyut nikmat. Kepala penisnya yang besar menggesek-gesek bibir vaginanya yang membengkak, mengirimkan sengatan-sengatan kecil yang kembali membangkitkan hasratnya yang baru saja mereda. “Kali ini coba masukkan sendiri dengan perlahan, “ bisik Ren serak di telinga Elena, tangannya menuntun pinggul wanita itu agar lebih dekat. “Lakukan sendiri sesuai kemauanmu.” Elena menghela napasnya sebentar, dengan tangan gemetar, Elena meraih penis Ren yang terasa begitu panas dan berdenyut di telapak tangannya. Ia merasakan urat-uratnya yang menegang dan kepala penisnya yang licin oleh cairan pre-cum. Ia menggosokkan kepala penisnya ke l