Elena mengganti pakaiannya dengan sesuatu yang lebih nyaman, memakai dress kasual, supaya terlihat lebih rapi walaupun ini hanya makan malam di rumah. Setelah menyisir rambutnya dengan cepat, Elena menuju dapur dan membuka kulkas. Pie yang tadi pagi ia buat masih tertata rapi dalam loyang, bagian atasnya berwarna keemasan dan menggoda. Ia mengangkat loyang itu dengan hati-hati, lalu membungkusnya dengan plastik wrap. Tangannya berhenti sejenak di atas pie itu, memikirkan betapa aneh dan ajaibnya malam ini terasa. Seperti sesuatu yang tak pernah ia rencanakan, tapi kini sangat ia syukuri. Saat ia melangkah keluar dan melewati beberapa tangga kecil menuju ke rumah Ren, pintu depan sudah terbuka sedikit, untuk memudahkan Elena masuk. Dari dalam, aroma bawang putih dan rosemary menyeruak ke udara. Ia bisa mendengar bunyi halus dari panci yang dipanaskan, dan suara musik jazz lembut mengalun dari speaker kecil di sudut ruangan. Ren muncul di ambang pintu, mengenakan celemek sederhana de
Sejak kejadian ciuman semalam, Elena tak bisa memejamkan mata dengan tenang. Meskipun tubuhnya lelah, pikirannya terus berputar, memutar ulang setiap detik momen itu, tatapan mata Ren, bisikannya yang lembut, dan sentuhan bibir mereka yang masih terasa nyata di kulitnya. Jantungnya berdebar kencang semalaman, bukan karena rasa takut, tetapi karena gelombang emosi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Kini, di tempat kerja, rasa kantuk dan kelelahan mulai mengambil alih. Kelopak matanya terasa berat, dan kepalanya sedikit pening karena kurang tidur. Ia mencoba tetap fokus pada pekerjaannya. “Miss Hadley?” Suara seorang pria terdengar dari arah belakang, memanggilnya dengan nada sopan namun cukup tegas untuk menarik perhatian. “Ya?” Elena refleks menoleh, alisnya sedikit terangkat karena tidak mengenali suara itu. Di hadapannya berdiri seorang pria muda dengan wajah serius namun ramah. Dari pakaian outer putih yang dikenakannya, Elena langsung menyimpulkan bahwa pria itu ber
Elena masih menunduk, bahunya berguncang pelan oleh isak yang tak mampu lagi ia tahan. Tangis yang selama ini ia tekan, akhirnya pecah dalam diam yang penuh kelegaan. Perasaan bingung, takut, dan lega membaur menjadi satu, menyelimuti dirinya dalam kepedihan yang tak sepenuhnya ia mengerti. Tanpa banyak kata, Ren bergeser mendekat dan perlahan merentangkan lengannya, lalu melingkarkan pelukannya di sekitar tubuh Elena. Sentuhannya lembut, penuh kehati-hatian, seolah takut membuatnya semakin rapuh. Ia tak berkata apa-apa, hanya memeluk Elena dengan diam yang penuh pengertian, memberi ruang bagi tangis itu, tanpa menghakimi. Elena tak menolak. Ia membiarkan dirinya bersandar pada dada Ren, merasakan detak jantung pria itu yang stabil, seperti jangkar di tengah badai emosinya. Hangat tubuh Ren menyelimuti dirinya. Dalam pelukan itu, untuk pertama kalinya Elena merasa bahwa ia tidak harus memikul semua ini sendirian. Beban yang selama ini ia tanggung perlahan-lahan terasa lebih rin
Elena pulang dari kerja dengan langkah gontai, tubuhnya terasa letih setelah seharian penuh tenggelam dalam tumpukan pekerjaan yang tak kunjung habis. Sepatu haknya menjejak pelan di jalan setapak menuju rumah, sementara udara malam yang dingin menggigit kulitnya meski ia mengenakan mantel tebal. Cahaya lampu teras depan menyambutnya dengan temaram yang hangat, menawarkan sedikit kenyamanan setelah hari yang panjang. Saat ia menaiki anak tangga menuju teras, suara deru mesin mobil yang mendekat dari arah belakang membuatnya refleks menoleh. Lampu depan mobil menyapu bayangannya sendiri di tanah, dan hatinya langsung merosot saat mengenali kendaraan itu—mobil Ren. Detik itu juga, Elena memalingkan wajahnya, berpura-pura tidak melihat. Gerakan kecil yang spontan, tapi jelas berasal dari dorongan emosi yang belum siap untuk ia hadapi. Ia mempercepat langkah, berharap bisa masuk ke dalam rumah sebelum Ren sempat memanggil atau turun dari mobil. Sudah dua hari ia menghindari pria itu—d
“Miss Hadley!” Suara lantang seorang wanita memanggilnya, memecah lamunannya yang tengah melayang entah ke mana. Elena tersentak, matanya berkedip beberapa kali sebelum akhirnya merespons, “Ya?” suaranya sedikit ragu. Ia baru menyadari bahwa semua orang di dalam ruang rapat kini tengah menatapnya, sebagian dengan rasa ingin tahu, sementara yang lain tampak sedikit heran. Raut wajah mereka menunjukkan bahwa mereka menyadari ketidakhadirannya dalam diskusi yang tengah berlangsung. Elena menegakkan bahunya, mencoba mengembalikan fokusnya. Ia mengedarkan pandangan, mencari tahu siapa yang memanggilnya tadi, hingga akhirnya matanya bertemu dengan seorang wanita berambut pendek yang duduk di seberang meja—Shakira. “Miss Hadley, Anda baik-baik saja?” tanya Audrey dengan nada sedikit lebih lembut, meskipun ekspresinya tetap serius. Elena mengangguk cepat, merasa sedikit canggung dengan perhatian yang ia terima. “Maaf, aku hanya sedikit… kehilangan fokus,” ujarnya, berusaha memberika
Setelah selesai makan, Ren membantu membereskan meja, sementara Elena menyiapkan cokelat panas untuk mereka berdua. Aroma kakao yang pekat memenuhi udara, menciptakan suasana yang lebih akrab di antara mereka. Setelah cangkir cokelat panas siap, mereka membawa minuman itu ke teras halaman belakang, tempat suasana malam yang tenang menyelimuti mereka. Langit bertabur bintang, udara dingin malam hari terasa lembut di kulit, dan hanya suara gemerisik dedaunan yang menemani keheningan sesaat di antara mereka. Ren duduk di kursi kayu dengan nyaman, menghangatkan tangannya dengan cangkir cokelat panas, sementara Elena bersandar pada sandaran kursinya, menikmati suasana yang jarang ia nikmati sejak pindah ke Ottawa. “Tempat ini menyenangkan dan menenangkan,” ujar Ren, memecah keheningan. “Apa kau betah tinggal di sini?” Elena mengangguk pelan. “Ya, lebih dari yang kukira. Aku merasa nyaman, meskipun masih beradaptasi dengan beberapa lingkungan baru.” Ren menyesap minumannya sebelum b
Elena telah beradaptasi dengan baik selama seminggu berada di Ottawa, menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya serta ritme kerja yang semakin ia kuasai. Pekerjaannya berjalan dengan lancar, setiap tugas dapat ia selesaikan dengan efisien, dan ia mulai merasa lebih nyaman dalam menjalankan proyek parfum untuk edisi musim panas yang tengah dikembangkannya. Selama seminggu terakhir, setiap kali pulang kerja, Elena selalu secara refleks melirik ke arah pintu rumah di sampingnya, seolah berharap melihat tanda-tanda kehidupan di sana. Seperti saat ini, matanya kembali tertuju pada rumah tersebut yang tetap tampak gelap dan sunyi, tanpa sedikit pun cahaya yang menyala dari dalam. Terakhir kali ia bertemu dengan Ren adalah saat makan siang bersama—tepat seminggu yang lalu. Sejak saat itu, pria itu seolah menghilang tanpa kabar, meninggalkan Elena dengan rasa penasaran yang semakin hari semakin sulit diabaikan. “Apa dia begitu sibuk?” Gumamnya sambil memutar kenop pintu rumahnya. El
ELENA POV Selepas pulang dari makan bersama dengan Ren, ia melanjutkan dengan berbelanja kebutuhan pribadinya. Sesampainya di rumah, Elena meletakkan tas belanjaannya di meja dapur, lalu melepaskan mantelnya dengan gerakan malas. Malam di Ottawa terasa sejuk, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang terasa lebih hangat—mungkin karena percakapannya dengan Ren tadi. Ia membuka salah satu kantong belanjaan dan mengeluarkan sebotol parfum yang baru saja ia beli di toko milik Ren. Bukan sesuatu yang mahal atau rumit, hanya wewangian sederhana dengan aroma citrus dan kayu ringan, ia memilih yang ini karena aromanya sedikit mendekati dengan konsep yang ia bicarakan dengan Ren. Elena menyemprotkan sedikit ke pergelangan tangannya, lalu menghirupnya perlahan. Aroma segar bercampur dengan sesuatu yang lebih dalam, sedikit nostalgia, sedikit kerinduan. Ia tidak tahu kenapa, tapi ada sesuatu tentang aroma ini yang mengingatkannya pada sesuatu yang belum bisa ia rangkai dengan jelas. Ia ber
REN POV Ren terus memotong steaknya sambil mendengarkan perkataan Elena. Nada suaranya terdengar serius, namun juga menyiratkan ketertarikan yang mendalam. Ia bisa melihat bagaimana mata perempuan itu sedikit berbinar ketika berbicara tentang parfum dan konsep musim panas yang sedang dikembangkannya. Menarik. Ren meletakkan pisaunya dengan perlahan, kemudian menyandarkan punggung ke kursi. "Aroma yang kita bahas tadi?" ulangnya, memastikan ia tidak salah dengar. "Jadi, kau ingin menjadikannya sebagai referensi utama untuk proyek parfummu?" Elena mengangguk mantap. "Ya, aku ingin menciptakan parfum edisi musim panas yang memiliki aroma yang mampu menangkap esensi kebebasan dan petualangan, sesuatu yang segar namun tetap elegan.” Ren menyipitkan mata sedikit, seolah membayangkan wangi yang Elena maksud. “Kebebasan dan petualangan…” gumamnya. “Itu bisa berarti banyak hal. Laut, udara pegunungan, atau bahkan aroma jalanan kota di sore hari setelah hujan.” Elena tersenyum tipis