Share

Aruna Putra Api
Aruna Putra Api
Author: A.R. Ubaidillah

1. Kendali

last update Huling Na-update: 2022-11-19 13:29:34

“Aruna! Apa yang kau lakukan?” hardik Kertajaya setelah mendapati cucu kesayangannya, Rara Sati mendapatkan sebuah luka di wajah sebelah kiri. Sudah tak ia gunakan lagi gelar pangeran yang selalu disematkan di depan nama pemuda itu.

Pemuda 16 tahun tak bergeming dari tempatnya berdiri. Putra Arya dan Jenar yang menyandang status Putra Mahkota Astagina itu tampak mengepalkan kedua tinjunya. Kulit di sekujur tubuhnya memerah. Matanya menyalang ke arah ayundanya yang bersembunyi di balik tubuh kakeknya. Tepat setelah sekali berkedip, Aruna melesat menyerang dengan kecepatan tinggi.

“Aruna!” pekik pria renta itu sembari mendorong tubuh Rara Sati menjauh. Sedang dirinya tak mampu lagi menghindari serangan cepat Aruna.

“Kakek!”

Mulut Rara Sati menganga, manik matanya melebar maksimal. Dalam jatuhnya ia dapat melihat dengan jelas adik tirinya itu menusuk dada kiri kakeknya menggunakan tangan kanan yang sudah diselimuti api. Kertajaya tak sempat lagi mengaduh. Ia hanya terbelalak setelah memuntahkan banyak darah. Remaja di hadapannya seolah bukan lagi Pangeran Aruna, ia lebih menyerupai makhluk berselubung api yang haus darah.

Seketika api yang menyelimuti seluruh tubuh Aruna meredup. Meninggalkan asap putih tipis yang amat terasa pedih di mata. Tubuh Kertajaya melemah dan mulai luruh ke tanah. Seiring dengan aroma darah yang menguap di dada kiri.

“Ka ... Kakek!” lirih Aruna setelah menyadari hanya lengan kanannya lah yang membuat pria tua itu tetap berdiri dengan lemah. Ia menarik tangan kanannya yang basah oleh darah dan seketika tubuh Kertajaya ambruk ke tanah.

Angin Gunung Payoda berhembus lembut membawa aroma asap dan darah ke timur desa Girijajar. Rara Sati menangis histeris menyaksikan kakeknya tewas di tangan adik tirinya sendiri. Gadis itu tak menghiraukan luka bakar di wajah yang kemungkinan besar akan membekas dan merusak kecantikannya. Ia lebih hirau dengan tubuh kakeknya yang lemah dan masih mengeluarkan asap tipis dari luka menganga di dada kiri.

Belasan prajurit Astagina dan Astakencana sudah berdatangan namun tak berani melakukan satu hal pun. Seorang mantan Adipati terkapar tak berdaya di hadapan Pangeran Astagina dan Putri Astakencana. Mereka tak mau bertindak lancang yang berpotensi membahayakan diri mereka sendiri.

“Kakek!” isak Rara Sati. Gadis itu bersimpuh di sisi jasad kakeknya. Tak ada lelehan darah, semuanya menguap terkena api yang mulanya menyelimuti seluruh tubuh Aruna.

Sementara Aruna sang pelaku masih tak tahu harus berbuat apa. Ia tak lekang-lekang memperhatikan tangan kanannya yang dipenuhi bercak darah. Lengannya bergetar, juga dengan kedua kakinya. Ia sungguh membenci diri dan kekuatan warisan ayahandanya itu. Dirinya yang tak cakap, dan kekuatan api yang hanya bisa memusnahkan.

“Ayunda ... aku tak ber....”

“Diam kau, Pembunuh!” potong Rara Sati dengan kemarahan memenuhi dirinya. Gadis itu bangkit meninggalkan tubuh kakeknya yang ia ratapi. Ia berjalan begitu tegas menghampiri adiknya.

“Ayunda, aku tak bermaksud membunuh kakek, kau tahu aku tak bisa mengendalikan kekuatan api ini!” kilah Aruna. Pemuda itu mundur mencoba memberi jarak pada gadis yang dirundung murka itu.

“Bukan kekuatan itu masalahnya! Tapi kau yang tak mampu mengendalikan dirimu sendiri!” tandas Rara Sati. Gadis itu sudah mengunuskan pedang yang juga menghardik Pangeran Astagina. Sekilas ia melirik pada para prajurit yang tak berani melakukan apa pun selain bersiaga memegang tangkai senjata masing-masing.

“Ayunda, maafkan aku! Aku sungguh tak ingin semua ini terjadi!” Aruna mengatupkan kedua telapak tangannya sembari terus mundur memberi jarak dengan ayundanya.

“Lantas kau pikir dengan meminta maaf kakekku bisa kembali? Hah?” Belum pernah Rara Sati semarah dan semenakutkan seperti ini. Ditambah luka di sisi kiri wajahnya benar-benar membuatnya begitu mengerikan.

“Ayunda, aku mohon....”

“Sudah, diam kau, Pembunuh! Aku akan memaafkanmu asal nyawamu berpisah dari raga kotormu itu!” tandas Rara Sati seraya mulai menyerang adiknya di akhir kalimat.

Tusukan dan sayatan pedang dari Rara Sati hanya menghantam udara. Aruna sepenuhnya dapat menghindari tiap serangan ayundanya. Meski selama ini tak pernah sekali pun Rara Sati menang dalam latih tanding, tetap saja Aruna harus waspada menghadapi orang yang hilang kendali. Berkaca dari dirinya yang mampu mengeluarkan kekuatan sehebat tadi.

Sebuah gerakan cepat dari Aruna mampu menghindar sekaligus memukul pergelangan tangan ayundanya hingga pedang itu terlepas. Sebenarnya ia bisa saja melumpuhkan gadis itu sekarang. Namun rasa bersalahnya lebih besar dari pada keinginan untuk mengalahkan. Aruna mundur demi membujuk Rara Sati agar mengerti keadaannya. Meski hal itu nyaris mustahil.

“Ayunda, maafkan aku! Aku akan bertanggung jawab atas kematian kakek. Aku bersedia menjadi tahanan Astakencana!” bujuk Aruna. Sebuah tawaran buruk untuk situasi yang tak kalah buruknya.

“Kau tahu itu tak mungkin terjadi! Seorang Pangeran Astagina tak mungkin menjadi tawanan Kadipaten di bawahnya! Omong kosong! Satu-satunya caramu bertanggung jawab adalah mati di tanganku, Pembunuh!” sangkal Rara Sati tegas.

Kembali Putri Astakencana itu melakukan serangan membabi buta terhadap pemuda di hadapannya. Ukuran tubuh yang tak sama, ditambah dengan kekuatan serangan yang rendah membuat setiap gerakan Rara Sati seperti tak berarti. Lagi pula kemarahannya justru menghabiskan banyak energi yang harusnya bisa ia gunakan dengan bijak.

“Baik lah kalau itu yang Ayunda mau. Aku tak akan melawan!” lirih Aruna sembari mengendurkan kuda-kuda. Ia hembuskan napasnya kuat-kuat. Mungkin ia memang harus mati agar dosanya terampuni.

Pemuda itu berdiri tegak dan merentangkan tangannya. Tak lagi ia pikirkan tentang kedudukan dan juga keluarga yang mungkin akan sangat terpukul bila ia akhirnya mati muda. Apa lagi Astagina, sebuah kerajaan besar dengan ibundanya sebagai raja. Persetan dengan kerajaan itu.

“Aruna....”

“Lakukan lah, Ayunda. Bukan kah aku ini Pembunuh?” ucap Aruna meyakinkan ayundanya bahwa ia benar-benar ingin menebus kesalahannya. Kali ini ia bahkan sudah memejamkan mata. Bagaimana pun bilah pedang itu tajam dan pasti akan terasa sakit.

Rara Sati melangkah perlahan menghampiri pedangnya yang tadi jatuh berjarak dua langkah di sisi Aruna. Gadis itu begitu waspada, bargantian menatap Aruna, pedang dan langkah kakinya sendiri. Ia curiga dan tak percaya pada Pangeran Astagina itu. Kakeknya yang mantan Adipati dan memiliki ilmu kanuragan tinggi pun dapat dikalahkan dengan sekali serangan.

Tak ada pergerakan dari Aruna. Hanya ada tarikan dan hembusan napas yang terlihat lebih cepat. Bukti bahwa pemuda itu juga merasakan takut dan cemas. Hingga Rara Sati meraih pedang dan memasang kuda-kuda, Aruna masih tetap diam merentangkan tangan dan memejamkan mata.

“Minta lah permohonan maaf pada kakek di alam baka, Pangeran Astagina!” seru Rara Sati sembari mengayunkan pedang penuh tenaga.

“Aaargh!”

Aruna jatuh bersimpuh dengan seringai lebar di bibir. Pakaiannya terasa basah dari pundak kiri hingga pinggang kanan. Setiap tarikan napas membuat rasa sakit itu seolah bertambah dua kali lipat. Pemuda itu membuka mata dan mendapati tubuh bagian depannya sudah memerah. Ia mengarahkan pandangan pada Rara Sati yang memegang pedang dengan tubuh gemetar.

“Kau bodoh, Ayunda,” lirih Aruna.

“Aruna, kau....” Rara Sati terbelalak menyaksikan luka di tubuh adik tirinya itu berdesis dan mengeluarkan asap tipis. Luka itu menutup perlahan disertai ekspresi Aruna yang menahan sakit dengan seringainya.

“Serangan seperti itu tak akan membunuhku. Kau hanya membuatku marah!” sambung Aruna. Kedua tangannya mengepal dan meninju tanah. Pemuda itu bangkit perlahan dan membiarkan amarah menguasai dirinya.

“Ah, tidak! Selubung api itu lagi!” rutuk Rara Sati dalam hati. “Sepertinya aku harus menyerang bagian vitalnya seperti yang ia lakukan pada kakek!”

Rara Sati menggenggam tangkai pedangnya kuat-kuat. Ia harus cepat bergerak sebelum selubung api yang mulai menjalari tubuh Aruna dari kaki itu sampai ke kepalanya. Atau Aruna akan tak terkendali dan mungkin justru ia yang menyusul kakeknya. Gadis itu mengarahkan tikaman ke arah jantung Aruna. Namun dengan cepat pemuda itu menangkap bilah pedang dengan tangan kiri berselubung api.

“Terlalu lambat!” ucap Aruna singkat disertai tatapan mata menyala dengan api sudah menutupi seluruh wajah.

“Sial!”

A.R. Ubaidillah

Untuk yang ingin mengetahu siapa Arya, Jenar, Rara Anjani, Suji Pati, dll, baca juga buku saya: Cundhamani (Panah Api) hanya di GoodNovel.

| Like
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
A.R. Ubaidillah
Baca juga Cundhamani (Panah Api) untuk mengetahu keterkaitan Aruna, Arya, Jenar, Ki Bayanaka, Sanggageni, dll. Happy reading ...
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Aruna Putra Api   133. Akhir Peperangan

    “Sendika, Tuanku!” sahut Lokawigna yang segera muncul dengan tampilan paling tampan. Makhluk itu tampak terkejut dengan keadaan di sekitarnya. Apa lagi setelah melihat Arya hanya memiliki satu tangan saja.“Lokawigna.”“Tuanku, apa yang terjadi dengan lengan Tuan?” tanya Lokawigna khawatir. Apa lagi terdapat banyak berkas darah di tubuh Arya.“Lupakan tentang aku. Aku butuh bantuanmu!” tandas Arya.“Sampaikan titahmu, Tuan,” ucap Lokawigna begitu patuh.“Kau lihat perempuan di atas kuda itu?” tanya Arya sambil menunjuk Rara Anjani.“Maksud Tuan, Gusti Rara Anjani?” tanya Lokawigna. Arya mengangguk cepat.“Pindahkan dia ke sini!” titah Arya.“Sendika, Tuan!”Lokawigna berkedip dan Rara Anjani beserta kudanya sudah berpindah tempat di belakang Arya. Perempuan itu tampak terkejut. Namun setelah melihat suaminya, ia paham bahwa lelaki itu lah yang telah memindahkannya, entah bagaimana caranya.“Apa ada lagi tugas untuk hamba, Tuan?” tanya Lokawigna. Selama ini Arya hanya meminta satu kali

  • Aruna Putra Api   132. Peperangan VI

    “Kaki kanannya itu palsu. Sedang kaki kirinya tak menyentuh air. Alas kaki Raja Astagina terbuat dari kulit berkualitas tinggi hingga ia tahan air!” terang Arya menyampaikan analisanya.“Dia cukup cerdik. Pantas saja ibunda terpedaya hingga bisa dikudeta,” gumam Aruna. Entah Perdana mendengarnya atau tidak.“Oh, jadi bocah itu lah penyebab pasukanku kesakitan meski sama sekali tak terluka. Dan air ini menjadi penghantarnya,” batin Danapati. “Artinya aku harus melumpuhkan bocah itu dulu!”Danapati mengangguk dalam riuh suara erangan pasukannya. Ia memahami bahwa Perdana adalah pemilik ajian yang mampu menyebabkan rasa sakit meski tak terluka. Keadaan kini berbalik. Danapati harus menghadapi empat orang, meski ia sudah memilih siapa yang harus ia kalahkan lebih dulu.Danapati melompat ke dataran yang lebih tinggi. Tujuannya untuk menghindari air beku yang diciptakan Rara Sati. Meski belum tentu Mandaraji milik Perdana masih berguna, ia tetap harus hati-hati. Empat kepala lebih baik dari

  • Aruna Putra Api   131. Peperangan V

    Arya mendekat, bisa ia pastikan bahwa pria yang menyerupai Danapati memang lah Sakuntala. Pria itu pengguna Wikararupa meski Arya tak bisa menemukan alasan mengapa ia tak mati dalam pertarungan di menara utama Astagina.“Jika dia hanya menyerupai Danapati, lantas dimana Danapati yang asli?” gumam Arya.Lelaki itu mencari kemungkinan posisi Danapati mengingat Brajawidya Jatiwungu sudah memberi batas antara dirinya dan pasukan Astagina. Arya mendongak ke atas, ke arah Jatiwungu terakhir kali terlihat. Namun senopati itu tak ada di sana.“Tunggu, Jatiwungu tak ada di sana. Lantas bagaimana dengan Brajawidya-nya?” batin Arya. “Jika tak ada lagi Brajawidya mengapa mereka tak menyerangku?”“Arya sang Ksatria Cundhamani yang kehilangan lengannya,” sapa seorang yang muncul dari balik pasukan berkuda Astagina. “Apa benar karena tertebas salah satu istrimu yang tengah berkelahi, hah?” ledeknya.“Danapati,” lirih Arya. “Dimana Jatiwungu?”“Siapa? Jati ... Ah, maaf aku tak bisa menyebutkan nama m

  • Aruna Putra Api   130. Danapati Tiruan

    “Aruna, urus jasad ibundamu!” titah Arya. Lelaki itu meraih tusuk konde emas dari genggaman lemah istrinya. Ia merasa sudah saatnya bertindak. Ia punya kepentingan dengan pelaku pembunuhan Jenar.“Apa yang akan kau lakukan, Ayahanda? Biar aku saja yang menghadapinya!” tolak Aruna.“Tidak, Aruna. Ayah yakin orang ini bukan Danapati. Biarkan Ayah menuntaskan dendam ini. Dia telah membunuh nenek dan ibundamu. Tak akan Ayah biarkan dia masih bernapas malam ini!” tandas Arya.Lelaki itu bangkit dan menghampiri Senopati Jatiwungu yang tertunduk lesu menyaksikan junjungannya tewas mengenaskan. Ia merasa gagal menyandang gelar Senopati. Tugasnya untuk melindungi Jenar kandas. Senopati macam apa yang tetap hidup sedang rajanya tewas.“Kuatkan hatimu, Jatiwungu. Sekarang tunjukkan padaku pelakunya!” pinta Arya sambil menepuk pundak Senopati Jatiwungu.“Sendika, Gusti!”Kedua lelaki itu melompat dan mendarat di atas dinding pagar istana. Mata Senopati Jatiwungu mengedar mencari keberadaan pria y

  • Aruna Putra Api   129. Gugurnya Jenar Candrakanti

    Tak ada yang lebih menggembirakan bagi Danapati selain melihat buruannya di depan mata. Jenar menggenggam tusuk konde emas yang berlumuran darah. Menatapnya penuh kebencian. Rambut hitamnya berkibar di tiup angin. Ia jauh lebih dingin dan kejam dari pada saat duduk di singgasana emasnya.Tak akan ada gerakan yang dilakukan Jenar selain berdiri di tempatnya. Selebihnya pun bila Suji Pati sudah dilepaskan, maka ia akan menari di atas dinding pagar istana. Ilmu jarak jauhnya itu akan sangat berisiko bila musuh cukup dekat. Sekali waktu ia pernah menggunakan Suji Pati di jarak dekat, itu pun dibantu dan dilindungi oleh mendiang Sanggageni dan Ki Bayanaka.“Ini sulit. Suji Pati membutuhkan jarak, sedang aku pasti akan kesulitan untuk didekati,” batin Danapati. Matanya terus mengedar mencari orang-orang yang berpotensi melindungi Jenar. Tak mungkin perempuan itu berdiri di atas dinding tanpa perlindungan.Danapati bergerak menjauh. Ia sendiri tak mengerti mengapa Jenar tak segera menyerang.

  • Aruna Putra Api   128. Peperangan IV

    Berakhir sudah hidup Putra Mahkota Astagina. Itu lah hal yang diyakini Danapati. Lelaki itu begitu gembira melebihi kejumawaannya. Ia bahkan sempat memperhatikan lagi jasad Aruna untuk membuatnya yakin putra Arya itu sudah benar-benar mati. Kini ia merasa lebih mudah untuk menghancurkan Dipa Kencana.“Mulai saat ini, aku yang memimpin peperangan! Maju dengan kekuatan penuh! Serang!” seru Danapati seraya mengacungkan sebilah pedang yang tadi menebas leher Aruna.Teriakan Raja Astagina itu disambut dengan teriakan serupa oleh pasukannya. Meski sudah berkurang banyak, dua ratus ribu adalah jumlah yang luar biasa. Dengan asumsi pasukan Duwana dan Andanu semuanya gugur saja, ia masih memiliki pasukan berkuda dan pasukan udara yang melebihi kekuatan Dipa Kencana.Pasukan berkuda dan sedikit pasukan Andanu maju serentak. Mayoritas pasukan Duwana sudah masuk lebih dulu dan kini sedang mendesak pasukan Dipa Kencana yang terus mundur hingga nyaris sampai di pagar istana. Pasukan udara Astagina

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status