Share

Aruna Putra Api
Aruna Putra Api
Author: A.R. Ubaidillah

1. Kendali

“Aruna! Apa yang kau lakukan?” hardik Kertajaya setelah mendapati cucu kesayangannya, Rara Sati mendapatkan sebuah luka di wajah sebelah kiri. Sudah tak ia gunakan lagi gelar pangeran yang selalu disematkan di depan nama pemuda itu.

Pemuda 16 tahun tak bergeming dari tempatnya berdiri. Putra Arya dan Jenar yang menyandang status Putra Mahkota Astagina itu tampak mengepalkan kedua tinjunya. Kulit di sekujur tubuhnya memerah. Matanya menyalang ke arah ayundanya yang bersembunyi di balik tubuh kakeknya. Tepat setelah sekali berkedip, Aruna melesat menyerang dengan kecepatan tinggi.

“Aruna!” pekik pria renta itu sembari mendorong tubuh Rara Sati menjauh. Sedang dirinya tak mampu lagi menghindari serangan cepat Aruna.

“Kakek!”

Mulut Rara Sati menganga, manik matanya melebar maksimal. Dalam jatuhnya ia dapat melihat dengan jelas adik tirinya itu menusuk dada kiri kakeknya menggunakan tangan kanan yang sudah diselimuti api. Kertajaya tak sempat lagi mengaduh. Ia hanya terbelalak setelah memuntahkan banyak darah. Remaja di hadapannya seolah bukan lagi Pangeran Aruna, ia lebih menyerupai makhluk berselubung api yang haus darah.

Seketika api yang menyelimuti seluruh tubuh Aruna meredup. Meninggalkan asap putih tipis yang amat terasa pedih di mata. Tubuh Kertajaya melemah dan mulai luruh ke tanah. Seiring dengan aroma darah yang menguap di dada kiri.

“Ka ... Kakek!” lirih Aruna setelah menyadari hanya lengan kanannya lah yang membuat pria tua itu tetap berdiri dengan lemah. Ia menarik tangan kanannya yang basah oleh darah dan seketika tubuh Kertajaya ambruk ke tanah.

Angin Gunung Payoda berhembus lembut membawa aroma asap dan darah ke timur desa Girijajar. Rara Sati menangis histeris menyaksikan kakeknya tewas di tangan adik tirinya sendiri. Gadis itu tak menghiraukan luka bakar di wajah yang kemungkinan besar akan membekas dan merusak kecantikannya. Ia lebih hirau dengan tubuh kakeknya yang lemah dan masih mengeluarkan asap tipis dari luka menganga di dada kiri.

Belasan prajurit Astagina dan Astakencana sudah berdatangan namun tak berani melakukan satu hal pun. Seorang mantan Adipati terkapar tak berdaya di hadapan Pangeran Astagina dan Putri Astakencana. Mereka tak mau bertindak lancang yang berpotensi membahayakan diri mereka sendiri.

“Kakek!” isak Rara Sati. Gadis itu bersimpuh di sisi jasad kakeknya. Tak ada lelehan darah, semuanya menguap terkena api yang mulanya menyelimuti seluruh tubuh Aruna.

Sementara Aruna sang pelaku masih tak tahu harus berbuat apa. Ia tak lekang-lekang memperhatikan tangan kanannya yang dipenuhi bercak darah. Lengannya bergetar, juga dengan kedua kakinya. Ia sungguh membenci diri dan kekuatan warisan ayahandanya itu. Dirinya yang tak cakap, dan kekuatan api yang hanya bisa memusnahkan.

“Ayunda ... aku tak ber....”

“Diam kau, Pembunuh!” potong Rara Sati dengan kemarahan memenuhi dirinya. Gadis itu bangkit meninggalkan tubuh kakeknya yang ia ratapi. Ia berjalan begitu tegas menghampiri adiknya.

“Ayunda, aku tak bermaksud membunuh kakek, kau tahu aku tak bisa mengendalikan kekuatan api ini!” kilah Aruna. Pemuda itu mundur mencoba memberi jarak pada gadis yang dirundung murka itu.

“Bukan kekuatan itu masalahnya! Tapi kau yang tak mampu mengendalikan dirimu sendiri!” tandas Rara Sati. Gadis itu sudah mengunuskan pedang yang juga menghardik Pangeran Astagina. Sekilas ia melirik pada para prajurit yang tak berani melakukan apa pun selain bersiaga memegang tangkai senjata masing-masing.

“Ayunda, maafkan aku! Aku sungguh tak ingin semua ini terjadi!” Aruna mengatupkan kedua telapak tangannya sembari terus mundur memberi jarak dengan ayundanya.

“Lantas kau pikir dengan meminta maaf kakekku bisa kembali? Hah?” Belum pernah Rara Sati semarah dan semenakutkan seperti ini. Ditambah luka di sisi kiri wajahnya benar-benar membuatnya begitu mengerikan.

“Ayunda, aku mohon....”

“Sudah, diam kau, Pembunuh! Aku akan memaafkanmu asal nyawamu berpisah dari raga kotormu itu!” tandas Rara Sati seraya mulai menyerang adiknya di akhir kalimat.

Tusukan dan sayatan pedang dari Rara Sati hanya menghantam udara. Aruna sepenuhnya dapat menghindari tiap serangan ayundanya. Meski selama ini tak pernah sekali pun Rara Sati menang dalam latih tanding, tetap saja Aruna harus waspada menghadapi orang yang hilang kendali. Berkaca dari dirinya yang mampu mengeluarkan kekuatan sehebat tadi.

Sebuah gerakan cepat dari Aruna mampu menghindar sekaligus memukul pergelangan tangan ayundanya hingga pedang itu terlepas. Sebenarnya ia bisa saja melumpuhkan gadis itu sekarang. Namun rasa bersalahnya lebih besar dari pada keinginan untuk mengalahkan. Aruna mundur demi membujuk Rara Sati agar mengerti keadaannya. Meski hal itu nyaris mustahil.

“Ayunda, maafkan aku! Aku akan bertanggung jawab atas kematian kakek. Aku bersedia menjadi tahanan Astakencana!” bujuk Aruna. Sebuah tawaran buruk untuk situasi yang tak kalah buruknya.

“Kau tahu itu tak mungkin terjadi! Seorang Pangeran Astagina tak mungkin menjadi tawanan Kadipaten di bawahnya! Omong kosong! Satu-satunya caramu bertanggung jawab adalah mati di tanganku, Pembunuh!” sangkal Rara Sati tegas.

Kembali Putri Astakencana itu melakukan serangan membabi buta terhadap pemuda di hadapannya. Ukuran tubuh yang tak sama, ditambah dengan kekuatan serangan yang rendah membuat setiap gerakan Rara Sati seperti tak berarti. Lagi pula kemarahannya justru menghabiskan banyak energi yang harusnya bisa ia gunakan dengan bijak.

“Baik lah kalau itu yang Ayunda mau. Aku tak akan melawan!” lirih Aruna sembari mengendurkan kuda-kuda. Ia hembuskan napasnya kuat-kuat. Mungkin ia memang harus mati agar dosanya terampuni.

Pemuda itu berdiri tegak dan merentangkan tangannya. Tak lagi ia pikirkan tentang kedudukan dan juga keluarga yang mungkin akan sangat terpukul bila ia akhirnya mati muda. Apa lagi Astagina, sebuah kerajaan besar dengan ibundanya sebagai raja. Persetan dengan kerajaan itu.

“Aruna....”

“Lakukan lah, Ayunda. Bukan kah aku ini Pembunuh?” ucap Aruna meyakinkan ayundanya bahwa ia benar-benar ingin menebus kesalahannya. Kali ini ia bahkan sudah memejamkan mata. Bagaimana pun bilah pedang itu tajam dan pasti akan terasa sakit.

Rara Sati melangkah perlahan menghampiri pedangnya yang tadi jatuh berjarak dua langkah di sisi Aruna. Gadis itu begitu waspada, bargantian menatap Aruna, pedang dan langkah kakinya sendiri. Ia curiga dan tak percaya pada Pangeran Astagina itu. Kakeknya yang mantan Adipati dan memiliki ilmu kanuragan tinggi pun dapat dikalahkan dengan sekali serangan.

Tak ada pergerakan dari Aruna. Hanya ada tarikan dan hembusan napas yang terlihat lebih cepat. Bukti bahwa pemuda itu juga merasakan takut dan cemas. Hingga Rara Sati meraih pedang dan memasang kuda-kuda, Aruna masih tetap diam merentangkan tangan dan memejamkan mata.

“Minta lah permohonan maaf pada kakek di alam baka, Pangeran Astagina!” seru Rara Sati sembari mengayunkan pedang penuh tenaga.

“Aaargh!”

Aruna jatuh bersimpuh dengan seringai lebar di bibir. Pakaiannya terasa basah dari pundak kiri hingga pinggang kanan. Setiap tarikan napas membuat rasa sakit itu seolah bertambah dua kali lipat. Pemuda itu membuka mata dan mendapati tubuh bagian depannya sudah memerah. Ia mengarahkan pandangan pada Rara Sati yang memegang pedang dengan tubuh gemetar.

“Kau bodoh, Ayunda,” lirih Aruna.

“Aruna, kau....” Rara Sati terbelalak menyaksikan luka di tubuh adik tirinya itu berdesis dan mengeluarkan asap tipis. Luka itu menutup perlahan disertai ekspresi Aruna yang menahan sakit dengan seringainya.

“Serangan seperti itu tak akan membunuhku. Kau hanya membuatku marah!” sambung Aruna. Kedua tangannya mengepal dan meninju tanah. Pemuda itu bangkit perlahan dan membiarkan amarah menguasai dirinya.

“Ah, tidak! Selubung api itu lagi!” rutuk Rara Sati dalam hati. “Sepertinya aku harus menyerang bagian vitalnya seperti yang ia lakukan pada kakek!”

Rara Sati menggenggam tangkai pedangnya kuat-kuat. Ia harus cepat bergerak sebelum selubung api yang mulai menjalari tubuh Aruna dari kaki itu sampai ke kepalanya. Atau Aruna akan tak terkendali dan mungkin justru ia yang menyusul kakeknya. Gadis itu mengarahkan tikaman ke arah jantung Aruna. Namun dengan cepat pemuda itu menangkap bilah pedang dengan tangan kiri berselubung api.

“Terlalu lambat!” ucap Aruna singkat disertai tatapan mata menyala dengan api sudah menutupi seluruh wajah.

“Sial!”

A.R. Ubaidillah

Untuk yang ingin mengetahu siapa Arya, Jenar, Rara Anjani, Suji Pati, dll, baca juga buku saya: Cundhamani (Panah Api) hanya di GoodNovel.

| Like
Comments (1)
goodnovel comment avatar
A.R. Ubaidillah
Baca juga Cundhamani (Panah Api) untuk mengetahu keterkaitan Aruna, Arya, Jenar, Ki Bayanaka, Sanggageni, dll. Happy reading ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status