Kajaliran adalah sebutan bagi tempat prostitusi di masa lampau. Perempuan penjaja cintanya disebut sebagai jalir. Adapun Juru Jalir adalah pejabat kerajaan yang bertugas mengawasi dan menarik pajak dari kajaliran. Ada beberapa prasasti yang mengabadikan jabatan juru jalir. Yang tertua adalah Prasasti Waharu I (795 Saka), lalu Prasasti Sangguran (904 Saka), juga Prasasti Garaman (975 Saka).
DALAM keadaan berbaring telentang di atas tilam, sepasang mata Citrakara jadi menatap ke atap. Pada saat itulah pandangannya menangkap satu sosok hitam di langit-langit kamar.Seolah melihat hantu, setengah melompat Citrakara kembali bangkit dan duduk di tepi pembaringan. Sementara sosok hitam yang berpegangan pada kayu-kayu atap melenting turun.Tap! Tap!Sepasang kaki bayangan hitam itu mendarat tepat di hadapan Citrakara. Membuat jalir itu menjerit sekali lagi, lalu meringkuk ketakutan di sudut pembaringan. Kedua tangannya menutupi wajah rapat-rapat."Sssh! Kara, ini aku!" Sosok tersebut berkata setengah berbisik, sembari mendekati Citrakara.Mendengar suara itu jantung Citrakar
CITRAKARA tak mau membiarkan orang berlama-lama menunggu. Terlebih ia hafal betul suara itu. Pastilah Ki Juru Jalir yang membawa para prajurit tersebut naik ke atas. Dugaan Citrakara tidak salah. Ketika pintu kamar ia buka, wajah Ki Juru Jalir langsung tersembul masuk. Meski sudah menduga, tak urung Citrakara kaget juga dibuatnya. "Oh! Kau membuatku kaget, Ki," seru Citrakara, seraya tersurut mundur satu langkah. Ki Juru Jalir menggerendeng, entah mengucapkan apa tidak jelas di telinga Citrakara. Tatapan mata lelaki paruh baya tersebut penuh selidik. Memandangi seisi kamar dengan saksama. Di depan kamar, tidak kurang dari sepuluh prajurit bersenjata lengkap berdiri. Sikap mereka tampak waspada, dengan beberapa di antaranya mengamati sepanjang lorong dan sekitar kamar Citrakara. "Ada apa, Ki? Kenapa banyak sekali prajurit kemari?" tanya Citrakara lagi. Tentu saja perempuan itu hanya berpura-pura tidak mengerti apa yang terjadi. Wajahnya menampakkan air muka keheranan. Dengan kedua
SUARA berisik itu sampai ke telinga Tumanggala di dalam tempat persembunyiannya. Dalam diam ia coba membaca keadaan berdasarkan langkah-langkah kaki tersebut. Manakala didengarnya suara langkah-langkah kaki tadi semakin lama semakin jauh, legalah perasaan Tumanggala. Mereka telah pergi, desis sang prajurit dalam hati. Sementara itu, Ki Juru Jalir langsung tarik lengan Citrakara begitu punggung para prajurit tadi menghilang di ujung tangga. Sekali sentak saja ia balikkan tubuh Citrakara sehingga membuat si jalir berhadap-hadapan dengannya. Citrakara terpekik karena kaget. "Kau ini apa-apaan, Ki?" sentak Citrakara dengan ketus, seraya menarik lepas tangannya yang dipegang Ki Juru Jalir dengan gerakan kasar. "Kara, kau jangan coba-coba mengelabuiku. Orang yang tengah dicari itu adalah prajurit yang kau impi-impikan selama ini. Prajurit penolongmu waktu itu. Aku yakin dia memang bersembunyi di sini, di kamarmu ini," ujar Ki Juru Jalir tanpa tedeng aling-aling. Wajah Citrakara mengern
SANG surya masih malu-malu menampakkan diri di kaki langit sebelah timur. Embun masih menempel di ujung-ujung dedaunan, bersama kabut yang belum sepenuhnya sirna dari udara pagi. Suasana yang masih cocok untuk tidur berselimut tebal. Namun Kridapala justru belum memicingkan mata sejak tadi malam. Selepas menerima perintah dari Rakryan Tumenggung, bekel tersebut langsung sibuk mempersiapkan pasukannya. Ini jadi kali pertama Kridapala mendapat penugasan sejak rencana busuk Senopati Arya Agreswara terungkap. Bahkan kali pertama pula ia kembali menginjakkan kaki ke jeron beteng istana. Kridapala sungguh beruntung sekali. Tak satupun yang mengendus keterlibatan dirinya dalam persekongkolan jahat rancangan Agreswara. Jika tidak, tentulah ia sudah dipancung di alun-alun sebagaimana anggota komplotan lain. "Ke mana kita akan mulai melakukan pencarian, Ki Bekel?" tanya Widarpa kepada Kridapala yang tampak termenung memandangi barisan prajurit di hadapannya. Widarpa adalah salah satu lurah
KRIDAPALA memungut seragam prajurit di balik semak-semak. Dengan kening masih mengernyit, dia memerhatikan benda tersebut dengan seksama. Sementara berbagai dugaan berkelebatan di kepala. "Seragam siapa ini?" desis Kridapala, seraya menjembreng pakaian di tangannya. Ada setidaknya tiga lubang pada seragam prajurit tersebut. Satu di bagian samping dan dua lagi di punggung. Ukuran ketiga lubang sama persis. Sepertinya ketiga lubang itu bekas tusukan anak panah, sebab di sekelilingnya terdapat noda darah yang telah mengering. Artinya, prajurit pemilik seragam itu terkena lesatan anak panah dan terluka. Jika menilik letak lubang pada bagian punggung seragam, itu artinya si prajurit dibokong dari belakang. Bisa dipastikan luka yang diterima prajurit tersebut sangat parah, bahkan boleh jadi menyebabkannya tewas di tempat. "Apa maksudnya ini? Mengapa ada pengawal Gusti Puteri yang merasa perlu melepas seragamnya dan meninggalkannya di sini?" gumam Kridapala, masih dengan kening berkerut.
DARI dua orang di dalam ruang tahanan, Senopati Arya Lembana yang paling kaget. Parasnya sontak berubah begitu sosok yang berucap tadi muncul. Benar, dialah Rakryan Tumenggung."G-Gusti Tumenggung?" ucap Arya Lembana tergagap, sembari cepat-cepat berdiri.Sedangkan Kridapala menyeringai lebar. Kini sang bekel berada di atas angin. Jika saat menemukan seragam prajurit di balik semak-semak tadi dia sekadar menaruh dugaan, kini niat jahatnya muncul.Sejak peristiwa perampasan upeti dari Wurawan beberapa purnama lampau, Kridapala memang menaruh dendam pada Arya Lembana. Dia selalu mencari-cari kesempatan untuk membuat celaka atasannya sendiri.Itu sebab Kridapala menerima ajakan Arya Agreswara untuk merong-rong wibawa kerajaan. Namun ternyata rencana busuk itu dibongkar oleh Tumanggala. Melihat kesempatan kini datang padanya, tentu Kridapala tak mau melepasnya begitu saja."Di mana kau temukan seragam itu?" tanya Rakryan Tumenggung yang sudah berdiri menjajari Kridapala. Telunjuknya terar
TAHU rencananya berhasil dan Rakryan Tumenggung termakan hasutan, Kridapala semakin berani saja. Tepat saat mereka tiba di ujung tangga, bekel tersebut menghentikan langkah sang panglima. "Mohon ampunkan jika dianggap bersikap lancang, Gusti Tumenggung," ujar Kridapala, sembari memberi sembah, "tetapi saya tengah bertanya-tanya, siapa kiranya yang akan Gusti Tumenggung perintahkan untuk mencari dan mengejar Tumanggala?" Rakryan Tumenggung langsung menatap tajam pada Kridapala. "Mengapa kau ingin tahu, Ki Bekel?" "Sekali lagi saya mohon ampun, Gusti ..." Kridapala kembali memberi sembah hormat. "Jika Gusti Tumenggung belum menentukan, saya bermaksud mengajukan diri untuk tugas itu." "Hmm...." Rakryan Tumenggung mengusap-usap dagu dengan tangan kiri, sementara tangan satunya bersedekap di depan dada. Sepasang matanya masih menatap tajam pada Kridapala. Seolah bermaksud menyelidiki apa sebenarnya niatan bekel tersebut. Melihat Rakryan Tumenggung seperti ragu-ragu, buru-buru Kridapal
SANG surya baru setinggi galah. Langit biru cerah, meski beberapa gumpal besar mega putih menggantung di angkasa. Angin semilir bertiup dari selatan, mengantar angin laut yang lembab dari pesisir nun jauh. Di jalan tanah sepanjang sisi selatan Bengawan Sigarada, sepasang anak muda berboncengan menunggang seekor kuda. Langkah hewan yang mereka tunggangi tidak terlalu kencang juga tidak terlalu lamban. Penunggang kuda laki-laki berwajah cakap dengan tubuh tegap lagi kekar. Sedangkan yang perempuan berwajah bulat telur nan ayu dengan rambut sehitam jelaga, terjuntai lurus hingga ke pinggang. "Kau tidak sadar jika sedari tadi kita jadi pusat perhatian orang-orang, Kakang?" ucap penunggang kuda perempuan yang duduk di depan. Sambil berkata demikian, perempuan itu menoleh ke belakang untuk menatap lawan bicara. Rambut panjangnya seketika terlempar, ujungnya mengenai wajah dan dada penunggang kuda laki-laki. "Abaikan saja, Kara," sahut penunggung kuda laki-laki. Dadanya yang terkena kele