SENJA menjelang manakala kesunyian di sepanjang tepian Bengawan Sigarada pecah. Suara keteplak ladam dan ringkikan kuda seketika memenuhi udara. Burung-burung yang hinggap pada pucuk-pucuk perdu rendah kaget, lalu terbang berserabutan ke langit.
Serombongan prajurit berkuda tampak melaju di jalan tanah tak jauh dari tepi sungai. Diiringi kepulan debu tebal di belakang mereka.
"Heeyyaa! Heeyyaa!" teriak para prajurit menggebah kuda masing-masing.
Rombongan itu berderap dalam kecepatan sedang. Mereka mengiringkan satu kereta kuda berhias bagus. Dari bentuk ukiran serta hiasan-hiasan di sekujur badannya, mudah dikenali jika kendaraan tersebut merupakan kereta istana.
Artinya, siapa pun yang berada di dalam kereta pastilah kerabat dekat raja. Ini dapat terlihat pula dari banyaknya prajurit yang mengawal. Berjumlah tak kurang dari dua puluh orang. Dibagi dalam dua kelompok, masing-masing sepuluh di depan dan sepuluh di belakang.
Namun ada keanehan. Tak lama setelahnya terlihat pula sekelompok penunggang kuda lain. Tak ayal kemunculan mereka menimbulkan kecurigaan. Prajurit muda yang bertindak sebagai pemimpin kelompok pengawal bagian belakang menjadi tidak nyaman karenanya.
"Wyara, apakah kau juga memperhatikan ada rombongan berkuda yang membuntuti kita sejak melewati kelokan tajam tadi?" tanya prajurit muda tersebut pada prajurit lain di sebelahnya.
Prajurit yang dipanggil Wyara tak langsung menjawab. Ia putar kepalanya untuk memastikan ke arah belakang. Benar saja! Kira-kira seratus depa (kisaran 200 meter) di belakang mereka, terlihat segerombol lelaki berpakaian hitam-hitam.
Jumlah gerombolan berpakaian hitam-hitam itu tak kurang dari lima orang. Terlihat sekali mereka berusaha mengatur laju kuda sedemikian rupa. Sehingga jarak antara mereka dengan rombongan prajurit Panjalu tak terlalu jauh, tapi juga tidak terlalu dekat.
"Sial, kenapa aku baru tahu mereka sekarang?" umpat Wyara kemudian. Ia saling tatap dengan prajurit muda yang mengajaknya bicara tadi. Pelipisnya tampak bergerak-gerak.
"Bagaimana menurutmu? Apakah mereka sekadar kebetulan lewat bersamaan dengan kita, atau justru bermaksud menguntit?" Si prajurit muda kembali meminta pendapat.
"Aku bisa saja salah, tapi pada pendapatku gerak-gerik mereka mencurigakan," sahut Wyara cepat. "Lalu kalau aku tidak salah memperhatikan, mereka juga memakai cadar hitam selain caping lebar di atas kepala. Aku tidak yakin benda itu dikenakan agar hidung mereka tidak mengirup debu."
"Ya, aku juga merasa penampilan mereka sangat mencurigakan. Kalau tidak punya maksud buruk, mengapa mereka harus menutupi wajah dengan cadar begitu rupa?" timpal si prajurit muda. Tubuh bagian atasnya yang terbuka menampakkan satu bekas luka sayatan memanjang.
"Kalau begitu, sebaiknya kau segera memberi tahu Ki Bekel Wikutama mengenai keberadaan mereka, Tumanggala," ujar Wyara lagi.
Tak salah lagi. Prajurit muda yang bercakap-cakap dengan Wyara itu memang Tumanggala. Atau lebih tepatnya lagi Arya Tumanggala. Kesatria pemberani yang baru dua pekan lalu dianugerahi gelar kehormatan oleh Baginda Sri Prabu Sang Mapanji Jayabhaya, raja di raja Kerajaan Panjalu.
Gelar arya tersebut diberikan kepada Tumanggala atas jasa besarnya membongkar rencana jahat mendiang Senopati Arya Agreswara. Andai rencana senopati itu tak terbongkar, warga Kerajaan Panjalu masih terus dicekam ketakutan akibat maraknya perampokan demi perampokan.
Sebelum itu, Tumanggala juga telah mendapat penghargaan dan diangkat sebagai wira tamtama usai menggulung gerombolan Begal Alas Wengker. Komplotan perampok paling ditakuti di wilayah barat kerajaan. Ranasura, pemimpin gerombolan tersebut, ia penggal dan kepalanya dibawa ke Kotaraja.
Dua pekan setelah dirinya menjadi seorang arya, Tumanggala diminta menghadap Senopati Arya Lembana. Atasannya itu lantas memberi satu perintah. Ia diminta membantu Ki Bekel Wikutama mengawal sesosok penting menuju tempat pemujaan di kaki Gunung Pawinihan.
"Baiklah, Wyara. Aku akan ke depan untuk memberi tahu Ki Bekel Wikutama. Tolong kau awasi orang-orang itu selagi aku tidak di sini," sahut Tumanggala kemudian, menyetujui usulan sahabatnya.
Wyara anggukkan kepala. "Pergilah!" sahutnya.
Tumanggala langsung menggebah kuda tunggangannya agar berlari lebih kencang. Ia melewati sisi kanan kereta untuk menuju ke tempat Ki Bekel Wikutama berada. Yakni di urutan paling depan dalam rombongan.
Saat melewati jendela kereta, tanpa dapat dicegah kepala Tumanggala berpaling. Hatinya tergelitik, ingin melihat sekali lagi wajah menawan milik sosok yang dikawalnya.
Pada saat bersamaan tirai jendela kereta terbuka. Satu paras rupawan menyembul. Pandangan mata mereka beradu untuk beberapa saat. Tumanggala langsung memulas senyum dan anggukkan kepala. Sedangkan sepasang pipi milik gadis di balik tirai memerah dadu.
Senopati Arya Lembana tidak pernah memberi tahu siapa yang harus Tumanggala kawal hari itu. Barulah tadi pagi, sesaat sebelum mereka meninggalkan istana, sang kesatria muda melihat sosok tersebut.
Tak ayal Tumanggala dibuat kaget. Sebab yang harus ia kawal adalah Dyah Wedasri Kusumabuwana, puteri raja dari salah satu selir. Seorang puteri Panjalu yang kecantikan parasnya terkenal hingga ke kerajaan-kerajaan jauh di seberang pulau.
"Dia yang bernama Arya Tumanggala kan, Mbok? Wira tamtama baru itu?" tanya Dyah Wedasri, setelah tak lagi dapat melihat sosok Tumanggala yang sudah menghilang ke depan kereta.
Menemani sang puteri, di dalam kereta itu ada seorang wanita berusia awal empat puluhan tahun. Meski rambutnya mulai memutih, tetapi wajah dan kulit wanita itu masih halus kencang. Wajahnya pun tetap menawan, walau gurat-gurat ketuaan mulai membayangi.
"Ingatan Gusti Puteri sungguh tajam sekali. Saya tidak terlalu ingat nama-nama prajurit yang mengawal Gusti hari ini. Begitu pula dengan Arya Tumanggala, andai saja dia tidak punya bekas luka yang menjadikannya mudah dikenali," sahut simbok emban.
Wanita paruh baya itu mengira junjungannya tertarik pada sosok Tumanggala yang memang gagah lagi tampan. Sang kesatria muda Panjalu berperawakan kekar, dengan dada bidang dan perut rata berotot. Sedangkan wajahnya dihiasi kumis dan janggut lebat, tetapi dipotong rapi.
"Mengapa dia pindah ke depan, Mbok? Bukankah tadi dia diperintahkan oleh Ki Bekel Wikutama untuk memimpin di belakang? Jangan-jangan ... sesuatu tengah terjadi?" tanya Dyah Wedasri lagi. Ada nada kekhawatiran dalam suara sang puteri.
Pertanyaan tersebut menyentak simbok emban. Dugaan wanita yang telah mengasuh Dyah Wedasri sejak sang puteri masih bayi itu salah besar. Sontak ia pun palingkan kepala ke belakang. Mengintip dari balik celah panjang yang tertutup tirai keemasan.
Gerakan itu membuat Dyah Wedasri tambah penasaran. Ia pun turut berbalik badan dan mengintip ke belakang. "Apakah kau melihat sesuatu, Mbok?"
Tak ada jawaban. Tapi Dyah Wedasri dapat melihat paras simbok emban di sebelahnya berubah tegang. Pandangan mata wanita paruh baya itu tertuju ke satu titik. Rombongan lelaki berpakaian hitam-hitam di belakang sana.
"Semoga saja tidak terjadi sesuatu, Gusti Puteri. Kita percayakan semuanya pada Ki Bekel Wikutama dan Arya Tumanggala," sahut simbok emban setelah beberapa puluh embusan napas berlalu.
Jawaban yang tak banyak membantu. Dyah Wedasri tahu sesuatu akan segera terjadi. Rasa takut mulai merambati sang puteri.
Ketakutan itu segera terbukti. Hanya beberapa kejap kemudian terdengar bentakan-bentakan menggelegar dari arah depan. Setelahnya ada suara ringkikan kuda sangat nyaring. Disusul kereta yang tiba-tiba saja berhenti.
Dyah Wedasri menjerit kaget. Tubuhnya mencelat ke depan. Hampir saja sang puteri terjerembap andai pinggangnya tak cepat dipegangi oleh simbok emban.
"Apa yang terjadi, Mbok?" tanya Dyah Wedasri dengan wajah pias.
Lagi-lagi tak ada jawaban. Paras yang ditanyai tak kalah pucat pasi.
***
Akhirnya, inilah dia kelanjutan kisah Arya Tumanggala yang telah kita tunggu-tunggu bersama. Mohon doanya ya semoga Penulis selalu diberi kesehatan agar dapat update bab secara rutin. Selamat membaca, semoga cerita ini menghibur para pembaca sekalian. Salam rahayu ~ @keborawis
TUMANGGALA baru saja mencapai deretan kuda-kuda penarik kereta saat tiba-tiba saja telinganya mendengar satu bentakan keras dari arah depan. Disusul munculnya beberapa sosok tubuh dari balik semak-semak di kanan-kiri jalan. "Berhenti!" Seruan itu terdengar menggelegar, bak hantaman petir di siang bolong. Seluruh anggota rombongan pengawal Dyah Wedasri Kusumabuwana sontak kaget. Dari tempatnya berada Tumanggala dapat menyaksikan Ki Bekel Wikutama langsung menarik tali kekang kuda. Kusir tua yang mengendalikan kereta tak kalah kaget. Untung saja lelaki itu sudah berpengalaman. Dalam sekali gerak saja ia berhasil menghentikan empat ekor kuda penarik kendaraan yang membawa junjungannya. Jika tidak, pastilah hewan-hewan yang kaget tersebut bakal menyeruduk para prajurit di depan. Tumanggala mendengar jeritan perempuan dari dalam kereta. Naluri kelelakiannya mendorong agar ia mendekati kendaraan tersebut. Namun sang arya memilih terus menuju ke arah Ki Bekel Wikutama. "Jagad dewa bathar
TUMANGGALA sempat dibuat bingung melihat Ki Bekel Wikutama malah menyerang musuh. Bukankah tadi atasannya itu sudah membagi tugas? Dan menghadapi keempat lelaki bercadar di hadapan mereka menjadi tanggung jawab Tumanggala. Amarah yang membuncah agaknya membuat sang bekel lupa pada segala-galanya. Termasuk ucapannya sendiri. Alih-alih menunggu lawan melakukan serangan, lelaki tersebut justru terlebih dahulu menyerbu. Namun sudah terlanjur. Serangan Ki Bekel Wikutama sedikit lagi sampai. Maka Tumanggala cepat mengambil tindakan. Ia pun memberi isyarat tangan pada Wyara, meminta sahabatnya itu untuk mengamankan kereta. "Lindungi kereta! Mereka menginginkan yang kita bawa!" seru Tumanggala. Sengaja ia mengatakan ‘yang kita bawa’ agar tidak tegas-tegas menyebut nama Dyah Wedasri yang tengah diincar para pengadang. Wyara cepat mengangguk, lalu tampak memberi perintah pada beberapa prajurit lain. Mereka memusatkan kekuatan di sekitar pintu kereta. Sementara serangan Ki Bekel Wikutama k
SUARA-suara jeritan yang saling susul membuat suasana bertambah mencekam. Lebih-lebih bagi dua perempuan di dalam kereta. Pelukan Dyah Wedasri Kusumabuwana pada simbok emban semakin erat saja. Di kaki langit sebelah barat, matahari telah berubah menjadi bulatan jingga nan sempurna. Siap berlabuh di peraduannya. Gelap sebentar lagi datang. Sementara pertarungan berlangsung semakin tak seimbang. Para prajurit Panjalu boleh saja masih unggul dalam jumlah. Tapi kemampuan rata-rata mereka nyata sekali berada di bawah lelaki bercadar. Alhasil, dikeroyok dua-tiga pun tidak menyulitkan bagi komplotan pengadang. Crasss! Crasss! “Aaaaaaa!” Dua lagi prajurit Panjalu di sebelah belakang kereta roboh ke tanah. Luka lebar tampak menganga di dada dan perut mereka. Darah segera saja membasahi sekujur tubuh keduanya, lalu mengalir turun ke permukaan tanah. Kini jumlah pasukan pengawal kereta tinggal sepuluh orang. Empat di depan menghadapi tiga lawan, enam lagi di belakang menghadapi empat orang.
KAGET Tumanggala bukan alang kepalang. Pedangnya yang nyaris menghabisi lawan dibuat mental oleh sabetan sebilah golok. Diiringi suara berdentrang nyaring menusuk telinga. Belum usai kekagetan Tumanggala, dua sosok hitam sudah muncul di hadapannya. Lalu dua bilah golok terayun, mengancam dada dan lehernya sekaligus! “Mati kau, prajurit keparat!” bentak salah seorang dari dua lelaki bercadar sembari ayunkan golok. Tumanggala tak sempat berpikir lebih jauh. Tanpa senjata di tangan, ia memilih melompat menghindar. Namun lawan tak memberinya kesempatan. Belum lagi kakinya kembali menjejak tanah, dua lelaki di hadapannya sudah menyambut. Wuuuttt! Wuuttt! Suara menderu dahsyat mengiringi sambaran dua golok. Tumanggala menggeram marah. Ia tak mau kakinya buntung kena babat. Tapi keadaan dirinya tidak memungkinkan untuk bergerak menghindari serangan. “Bedebah!” Tumanggala hanya dapat memaki geram. Ia pasrah pada apa pun yang bakal menimpa. Tapi alih-alih merasakan tajamnya sambaran golo
DUA pekan berlalu sejak kematian Agreswara di tangan algojo istana. Pihak-pihak yang selama ini mencurigai niat busuk bekas senopati itu menyambut tindakan Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya dengan suka cita. Sebaliknya, orang-orang yang merasa dirinya terkait dengan rencana jahat senopati tersebut menjadi ketar-ketir. Salah satu di antaranya adalah Kridapala. Sejak Agreswara dipenggal di alun-alun, bekel paruh baya itu tak berani menampakkan diri. Ia lebih banyak mengurung diri di rumah. Belum sekali pun ia menginjakkan kaki ke istana lagi. Juga ke kediaman Senopati Arya Lembana, karena dalam dua pekan ini dirinya belum pernah mendapatkan penugasan. "Untung saja Wipaksa dan Ranajaya juga sudah modar di tangan Tumanggala. Jadi tak akan ada yang bisa memberi kesaksian kalau aku terlibat dalam rencana senopati gemuk sialan itu," desis Kridapala, lalu mendesah panjang. Saat itu si bekel tengah termangu-mangu di halaman belakang rumah. Kegiatan yang sejak dua pekan terakhir lebih seri
JANTUNG Kridapala serasa mau copot saking kagetnya. Kakinya yang semula hendak melangkah maju, sontak berbalik surut ke belakang beberapa tindak. Ia langsung bersiaga penuh, memasang kuda-kuda siap tempur. Seorang lelaki bertelanjang dada berdiri berkacak pinggang tepat di hadapan Kridapala. Wajah orang itu tertutup cadar hitam dari bawah mata hingga ke dagu. Sebuah luka lebar memanjang tampak melintang dari dada atas sebelah kiri, hingga ke pertengahan perut. Kridapala kernyitkan kening melihat luka tersebut. Ada dua orang dengan luka seperti itu yang ia kenal. Sayang, bekel paruh baya tersebut tak ingat persis apa perbedaan luka keduanya. "Keparat rendah! Siapa gerangan dirimu yang telah berani lancang masuk ke rumah orang tanpa permisi?" bentak Kridapala dengan wajah garang. "Ah, Ki Bekel. Kau rupanya sudah tidak lagi mengenali aku," sahut lelaki bercadar hitam, diiringi tawa mengekeh. "Bangsat! Wajahmu ditutupi cadar hitam, bagaimana mungkin aku dapat mengenalimu!" maki Kridap
KRIDAPALA tersentak. Benar-benar kaget mendengar penuturan Triguna barusan. Ia jadi berpikir Triguna agaknya sudah lupa siapa Dyah Wedasri, sampai-sampai berani menculik puteri Panjalu tersebut. "Kau sepertinya terkejut, Ki Bekel?" tanya Triguna sembari tersenyum lebar. Satu senyum puas karena berhasil mengagetkan Kridapala. "Kau sudah gila, Triguna!" desis Kridapala sembari geleng-gelengkan kepala. "Kau tentu tahu Dyah Wedasri salah satu putri kesayangan Gusti Prabu. Kau baru saja mencari mati karena telah berani-berani menculiknya!" Triguna malah tertawa mendengar ucapan bekas atasannya tersebut. "Singkirkan jauh-jauh kekhawatiranmu itu, Ki Bekel. Kalau memang ada yang bakal mati sebagai buntut dari penculikan Dyah Wedasri, aku yakinkan padamu orang itu bukanlah aku. Tapi Tumanggala!" sahut Triguna dengan penuh percaya diri. Kridapala masih geleng-gelengkan kepalanya. Benar-benar tak percaya ada seorang buronan kerajaan berani berlaku seneka
ISTANA Dahanapura dilanda kegemparan. Kabar mengenai penyerangan yang dialami rombongan Dyah Wedasri Kusumabuwana sampai di telinga para pembesar kerajaan petang itu juga.Adalah kusir kereta kencana yang membawa kabar buruk ke istana. Sebelumnya, lelaki tua tersebut langsung bersembunyi di balik semak-semak saat pertarungan pecah. Ia tak mau mendapat luka, apalagi sampai mati konyol terkena serangan nyasar.Begitu melihat komplotan lelaki bercadar yang mengadang berada di atas angin, tanpa berpikir panjang lagi si kusir melarikan diri ke Kotaraja. Beruntung para pengadang tidak mengetahui pelariannya. Jika tidak, bisa-bisa kusir itu sudah tewas dengan punggung tertancap anak panah.Si kusir tua benar-benar berlari menuju Kotaraja. Sampai akhirnya ia bertemu sebuah pedati yang berbaik hati mau mengantar hingga ke kediaman Senopati Arya Lembana."Apa yang terjadi?" tanya Arya Lembana begitu si kusir tua dihadapkan padanya. Rona kecemasan tampak jelas pada