Share

Chapter 2

Kata-kata Kanaya membuat Jihan bungkam. Jihan sadar kalau ia memang tidak boleh menyerang Diana. Negara ini negara hukum. Hukum di negara ini akan melindungi setiap warga negaranya dari tindak pidana. Tetapi hukum tidak akan melindungi seorang istri dari tindak keji seorang pelakor. Maka jika ia menyerang Diana, Diana bisa membuat laporan pada pihak kepolisian, kalau dirinya adalah korban serangan brutal. Tetapi ia tidak bisa membela diri dengan mengatakan bahwa dirinya adalah korban perselingkuhan. Hukum memang tidak mengatur urusan dalam rumah tangga warganya. Kecuali ada laporan KDRT, yang dilengkapi dengan visum dari rumah sakit dan saksi-saksi. Ia akan kalah telak dalam hal ini.

Namun Jihan tidak puas sebelum ia menangkap basah kecurangan Tommy dan Diana. Ia akan mengkonfrotasikan kecurigaannya secara langsung. Enam tahun berumah tangga membuat Jihan khatam dengan tindak tanduk Tommy. Jadi sebelum menuduh, Jihan ingin melihat sikap Tommy. Dan apabila kecurigaannya terbukti, barulah ia akan mengambil sikap.

Ia bukanlah type perempuan yang akan memohon-mohon untuk dipertahankan apabila ia memang sudah tidak diinginkan. Ia tidak mau bernasib seperti ibunya, yang hanya bisa menangis dan meratap setiap kali ayahnya berulah. Ia muak melihat perempuan diperlakukan begitu tidak adil hanya karena takut ditinggalkan. Ia tidak menyalahkan ibunya atau wanita mana pun yang pasrah menerima perlakuan seperti itu. Tiap orang punya pemikiran sendiri-sendiri. Entah karena takut tidak punya pasangan atau takut tidak bisa makan. Ia menghargai pilihan mereka. Apapun keputusan mereka, pasti telah mereka pikirkan baik buruknya. Tapi kalau dirinya, sungguh ia tidak akan mau. Karena menurutnya dirinya bukan pilihan. Lagi pula untuk apa lagi ia meminta Tommy untuk memilih? Tommy sudah jelas memilih Diana. Karena kalau memang benar Tommy mencintainya, Tommy tidak akan menyelingkuhinya. Titik. Ia tidak mau menghibur diri sendiri dengan kalimat mungkin Tommy sedang khilaf. Karena khilaf itu perbuatan yang tidak sengaja. Sementara Tommy sangat lancar berucap saat membohonginya. Khilafnya Tommy memang sudah diniatkan. Artinya simple saja. Tommy memang menginginkan Diana. End of story.

"Kamu mau menemani Mbak ketemu dengan mereka, Nay?"

Pertanyaannya membuat Kanaya terdiam sejenak. Jihan mengerti, pasti Kanaya takut kalau ia akan membuat kericuhan di dalam sana.

"Apa tujuan Mbak ke sana? Mbak ingin melabrak Diana?" Benar 'kan dugaannya? Kanaya takut kalau ia membuat huru hara. Pertanyaan Kanaya pun ia jawab dengan gelengan tegas.

"Tidak, Nay. Mbak sudah kehilangan amarah sekarang. Seperti yang kamu katakan tadi, tepuk tangan tidak akan bersuara kalau hanya satu tangan saja. Mbak hanya ingin mengucapkan beberapa patah kata, dengan menatap mata mereka berdua. Mbak janji. Mbak hanya akan berbicara, Nay. Mbak tidak akan merendahkan diri Mbak sendiri dengan bersikap seperti orang tidak waras di sana. Yang diselingkuhi itu, Mbak. Masa iya Mbak mau mempermalukan diri Mbak di sana? Sudah dihianati, masuk penjara pula. Mbak masih punya akal sehat, Nay." Jihan berusaha meyakinkan Kanaya. 

"Kuatkan Mbak ya, Nay?" pintanya lagi. Kanaya mengangguk. Kanaya bahkan meremas jemarinya. Jihan mengerti kalau Kanaya mencoba memberikan dukungan padanya sebagai sesama perempuan. Setelah membaca bissmillah dan menarik napas panjang beberapa kali, Jihan masuk ke dalam kafe dengan menggandeng Niko.

Seperti yang sudah ia prediksi, kedatangannya dan Kanaya membuat suasana seketika hening. Tommy tampak langsung melepaskan rangkulannya  pada bahu Diana. Sementara Diana sendiri tidak berani memandang wajahnya. Air muka Diana dan Tommy sama-sama memucat. Jihan paham sekali kalau Diana dan Tommy merasa malu karena terciduk. Makanya mereka berdua tidak berani mengangkat wajahnya. Dalam keheningan itu Tommy lebih dulu sadar.

"Ji--Jihan. Kamu jangan salah sangka. Mas--Mas akan menjelaskan semuanya." Tommy akhirnya bersuara juga. Tommy berdiri dari kursi tergesa. Tommy bahkan tidak menyadari kalau kursinya telah terjatuh. Rasa gugup telah mengambil alih kewaspadaannya. Sementara Diana tetap dalam posisi duduk. Hanya saja air mukanya tampak serba salah. Diana memandang ke segala arah, tetapi tidak berani menatapnya. Begitu sikap para penghianat apabila tertangkap basah.

"Baik. Jihan siap mendengarkan. Silahkan jelaskan Mas," sahut Jihan tenang. Saat ini ia dan Niko berdiri tepat di hadapan Tommy. Jihan bahkan tersenyum kecil. Mungkin bagi Tommy dan Diana, sikapnya terlihat tenang. Tidak ada riak yang berarti di air mukanya. Hanya saja tidak ada yang tau, bahwa tangan kanannya mengepal begitu erat dibalik kantong celana kulot lebarnya. Jihan berusaha semampunya menahan emosi dan kepedihan hatinya.

"Mas--Mas--" Tommy tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Ia tidak tau harus mengatakan apa. Kedatangan istri dan anaknya secara tiba-tiba membuat otaknya ngeblank. Ia tidak tau harus mengarang cerita apa. Jihan bukan anak kecil yang bisa ia bohongi. Jihan telah melihak bukti kecurangannya. Ya, dirinya sudah tertangkap basah.

"Karena Mas tidak bisa menjelaskan, biar Jihan saja yang bertanya ya, Mas? Supaya tidak buang-buang waktu," tukas Jihan datar.

Tommy menelan salivanya sendiri. Sungguh ia tidak mengenal Jihan yang dingin seperti ini. Biasanya Jihan itu pengalah dan penyabar. Namun kali ini tatapannya begitu berbeda.

"Tadi Mas bilang reuni ini khusus untuk laki-laki semua. Makanya Mas tidak mengajak Jihan. Pertanyaannya Jihan, apakah Diana sekarang telah melakukan operasi kelamin?

Satu lagi, apa laki-laki di sini biasa memakai lipstick dan highheels ya, Mas? Coba jawab pertanyaan Jihan yang itu saja dulu,"

Hening. Tidak ada satu pun dari peserta reuni yang bisa menjawab pertanyaan Jihan. Para wanita hanya diam tertunduk. Sementara yang laki-laki berdeham rikuh atau berpura-pura bermain ponsel. Beberapa pengunjung di meja lain, memperlihatkan reaksi beragam. Ada yang mencuri-curi pandang. Ada yang berbisik-bisik dengan teman-temannya. Sampai ada yang terang-terangan menonton sambil memvideokan. Para peserta reuni mudah resah. Mungkin mereka takut kalau kehadiran mereka di sini, terlihat oleh pasangan resmi mereka masing-masing di media sosial. Wajah-wajah cemas mereka saling memandang satu sama lain. Kegelisahan terbias dari raut wajah mereka.

"Dan kamu Dian. Kamu ingat tidak, siapa yang menemanimu siang malam saat kamu terpuruk enam bulan lalu? Siapa yang membawamu ke rumah sakit tengah malam buta, saat kamu mencoba bunuh diri? Siapa juga yang mengatakan kalau seharusnya para pelakor di dunia ini ditembak mati? Siapa, Dian?" cetus Jihan sinis. Seperti yang tadi ia katakan pada Kanaya, saat ini ia menatap Diana tepat di matanya.

Kalimatnya sukses membuat para pesera reuni terperangah. Mereka pasti tidak tau betapa tidak tau berterima kasihnya Diana. Sudah dianggap seperti saudara. Namun dengan tega terus menusuk punggungnya dari belakang.

"Karena sekarang kamu sudah menjadi bagian dari para pelakor itu, maka pertanyaannya aku ubah. Kapan kamu mau menembak dirimu sendiri?"

Diana menundukkan wajahnya kian dalam. Diana tidak kuasa menjawab sesuku kata pun pertanyaan-pertanyaannya.

"Kalau sekarang aku ingin bunuh diri karena depresi sepertimu enam bulan lalu, apa kamu bersedia membawaku ke rumah sakit? Atau kamu malah bertepuk tangan dan menari-nari kegirangan dan membiarkan aku mati? Coba jawab, Dian?"

"Aku minta maaf, Jihan. Aku salah," jawab Diana dengan suara tersendat. Wajahnya kian merah sampai ke telinga-telinganya. Diana pasti malu karena banyaknya pengunjung Starbuck* yang memandangnya dengan tatapan geram. Beberapa orang yang merekam ada yang memakinya pelakor tidak tau diri.

"Dan kamu, Mas Tommy. Ingat tidak janji Mas, enam tahun lalu, saat Mas melamar Jihan. Mas bilang, Mas akan setia dan mencintai Jihan sampai maut memisahkan. Ingat tidak, Mas?"

Kali ini pertahanan Jihan goyah. Teringat pada masa-masa indah di waktu lalu, dan membandingkannya dengan keadaan sekarang, hatinya serasa diiris kecil-kecil. Pedihnya tidak terucapkan. Air matanya mengalir perlahan. Merembes keluar dari sudut-sudut matanya. Menetes satu demi satu dalam tangis tanpa suara. Perut buncitnya tiba-tiba bergerak-gerak. Jihan refleks mengaduh dan mengelus-elus perutnya perlahan. Ketegangannya mungkin membuat bayinya tidak nyaman.

Tommy refleks maju dan bermaksud memeluk Jihan. Melihat Jihan menangis tanpa suara saat hamil besar seperti ini, membuat nuraninya bergetar. Istimewa melihat Niko, ikut menjebi-jebi. Putranya itu tampak kebingungannya melihat Jihan menangis.

Sementara Jihan yang melihat Tommy ingin memeluknya, mundur beberapa langkah. Hingga pinggulnya membentur kursi di belakangnya. Ia tidak sudi lagi disentuh oleh tangan suaminya yang baru saja merangkul wanita lain. Tommy gentar. Enam tahun menjadi suami Jihan, ia sangat memahami karakter istrinya. Jihan ini walau lembut dan pengalah, tetapi sangat keras hati. Jika ia sudah mengatakan tidak, sangat sulit untuk membuatnya berubah pikiran. Tommy berkeringat dingin. Sepertinya rumah tangganya akan hancur hanya karena sensasi sesaat.

"Maafkan Mas ya, Jihan? Mas bersumpah, Mas tidak pernah berbuat hal yang dilarang agama dengan Dian. Kami hanya beberapa kali bertemu saja. Mas terjebak perasaan di masa lalu. Hanya itu, Sayang. Percayalah pada, Mas." Tommy kembali berusaha menyentuh Jihan. Biasanya jika Jihan sedang marah, sebuah elusan lembut di ubun-ubun serta ucapan maaf tulus, akan meredakan amarahnya. Namun kali ini, Jihan bahkan menepis lengannya kasar. Saat ia memaksa mencengkram pergelangan tangan Jihan, istrinya membentak marah. Kuatnya suara Jihan, membuat Niko sekarang menangis kencang. Niko pasti merasa ketakutan melihat mereka bertengkar. Jihan segera membujuk Niko dengan kalimat-kalimat menenangkan. Jihan sadar kalau nada suaranya yang tidak biasa, telah mengejutkan putranya.

"Mas, selingkuh itu tidak harus berhubungan badan. Dengan Mas saling berbalas chat mesra, dan langsung menghapusnya karena takut dilihat oleh Jihan saja, itu artinya sudah selingkuh Mas. Sudahlah Mas, Jihan tidak ingin lagi berpanjang kata. Dengar baik-baik, Mas. Mulai hari ini dan seterusnya, Jihan tidak akan lagi pulang ke rumah kita. Karena Jihan akan kembali ke rumah orang tua Jihan. Masalah selanjutnya biar ayah dan ibu saja yang akan membahasnya dengan, Mas. Jihan permisi dulu," Jihan membalikkan tubuh dan bermaksud berlalu dari hadapan Tommy. Ia ingin menenangkan Niko terlebih dahulu. Selain itu perutnya juga terasa kram. Mungkin karena sedari rumah tadi perasaannya sudah tidak karuan. Hingga mempengaruhi janin dalam kandungannya.

"Nay, Mbak pulang dulu ya? Mbak mau istirahat. Terima kasih karena kamu telah menemani, Mbak," pamit Jihan seraya berlalu. Jihan meninggalkan Starbuck* dalam keadaan sama-sama berlinang air mata dengan putranya.

Usai sudah. Jangan menangis, Jihan. Kamu harus kuat. Di dunia ini semua bisa berakhir. Orang bisa berubah. Satu hal yang pasti, hidup akan terus berjalan!

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
emang bener² womem power banget ini cerita²mu kak author
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status