Share

Chapter 2

Author: Suzy Wiryanty
last update Last Updated: 2021-07-20 11:59:56

Kata-kata Kanaya membuat Jihan bungkam. Jihan sadar kalau ia memang tidak boleh menyerang Diana. Negara ini negara hukum. Hukum di negara ini akan melindungi setiap warga negaranya dari tindak pidana. Tetapi hukum tidak akan melindungi seorang istri dari tindak keji seorang pelakor. Maka jika ia menyerang Diana, Diana bisa membuat laporan pada pihak kepolisian, kalau dirinya adalah korban serangan brutal. Tetapi ia tidak bisa membela diri dengan mengatakan bahwa dirinya adalah korban perselingkuhan. Hukum memang tidak mengatur urusan dalam rumah tangga warganya. Kecuali ada laporan KDRT, yang dilengkapi dengan visum dari rumah sakit dan saksi-saksi. Ia akan kalah telak dalam hal ini.

Namun Jihan tidak puas sebelum ia menangkap basah kecurangan Tommy dan Diana. Ia akan mengkonfrotasikan kecurigaannya secara langsung. Enam tahun berumah tangga membuat Jihan khatam dengan tindak tanduk Tommy. Jadi sebelum menuduh, Jihan ingin melihat sikap Tommy. Dan apabila kecurigaannya terbukti, barulah ia akan mengambil sikap.

Ia bukanlah type perempuan yang akan memohon-mohon untuk dipertahankan apabila ia memang sudah tidak diinginkan. Ia tidak mau bernasib seperti ibunya, yang hanya bisa menangis dan meratap setiap kali ayahnya berulah. Ia muak melihat perempuan diperlakukan begitu tidak adil hanya karena takut ditinggalkan. Ia tidak menyalahkan ibunya atau wanita mana pun yang pasrah menerima perlakuan seperti itu. Tiap orang punya pemikiran sendiri-sendiri. Entah karena takut tidak punya pasangan atau takut tidak bisa makan. Ia menghargai pilihan mereka. Apapun keputusan mereka, pasti telah mereka pikirkan baik buruknya. Tapi kalau dirinya, sungguh ia tidak akan mau. Karena menurutnya dirinya bukan pilihan. Lagi pula untuk apa lagi ia meminta Tommy untuk memilih? Tommy sudah jelas memilih Diana. Karena kalau memang benar Tommy mencintainya, Tommy tidak akan menyelingkuhinya. Titik. Ia tidak mau menghibur diri sendiri dengan kalimat mungkin Tommy sedang khilaf. Karena khilaf itu perbuatan yang tidak sengaja. Sementara Tommy sangat lancar berucap saat membohonginya. Khilafnya Tommy memang sudah diniatkan. Artinya simple saja. Tommy memang menginginkan Diana. End of story.

"Kamu mau menemani Mbak ketemu dengan mereka, Nay?"

Pertanyaannya membuat Kanaya terdiam sejenak. Jihan mengerti, pasti Kanaya takut kalau ia akan membuat kericuhan di dalam sana.

"Apa tujuan Mbak ke sana? Mbak ingin melabrak Diana?" Benar 'kan dugaannya? Kanaya takut kalau ia membuat huru hara. Pertanyaan Kanaya pun ia jawab dengan gelengan tegas.

"Tidak, Nay. Mbak sudah kehilangan amarah sekarang. Seperti yang kamu katakan tadi, tepuk tangan tidak akan bersuara kalau hanya satu tangan saja. Mbak hanya ingin mengucapkan beberapa patah kata, dengan menatap mata mereka berdua. Mbak janji. Mbak hanya akan berbicara, Nay. Mbak tidak akan merendahkan diri Mbak sendiri dengan bersikap seperti orang tidak waras di sana. Yang diselingkuhi itu, Mbak. Masa iya Mbak mau mempermalukan diri Mbak di sana? Sudah dihianati, masuk penjara pula. Mbak masih punya akal sehat, Nay." Jihan berusaha meyakinkan Kanaya. 

"Kuatkan Mbak ya, Nay?" pintanya lagi. Kanaya mengangguk. Kanaya bahkan meremas jemarinya. Jihan mengerti kalau Kanaya mencoba memberikan dukungan padanya sebagai sesama perempuan. Setelah membaca bissmillah dan menarik napas panjang beberapa kali, Jihan masuk ke dalam kafe dengan menggandeng Niko.

Seperti yang sudah ia prediksi, kedatangannya dan Kanaya membuat suasana seketika hening. Tommy tampak langsung melepaskan rangkulannya  pada bahu Diana. Sementara Diana sendiri tidak berani memandang wajahnya. Air muka Diana dan Tommy sama-sama memucat. Jihan paham sekali kalau Diana dan Tommy merasa malu karena terciduk. Makanya mereka berdua tidak berani mengangkat wajahnya. Dalam keheningan itu Tommy lebih dulu sadar.

"Ji--Jihan. Kamu jangan salah sangka. Mas--Mas akan menjelaskan semuanya." Tommy akhirnya bersuara juga. Tommy berdiri dari kursi tergesa. Tommy bahkan tidak menyadari kalau kursinya telah terjatuh. Rasa gugup telah mengambil alih kewaspadaannya. Sementara Diana tetap dalam posisi duduk. Hanya saja air mukanya tampak serba salah. Diana memandang ke segala arah, tetapi tidak berani menatapnya. Begitu sikap para penghianat apabila tertangkap basah.

"Baik. Jihan siap mendengarkan. Silahkan jelaskan Mas," sahut Jihan tenang. Saat ini ia dan Niko berdiri tepat di hadapan Tommy. Jihan bahkan tersenyum kecil. Mungkin bagi Tommy dan Diana, sikapnya terlihat tenang. Tidak ada riak yang berarti di air mukanya. Hanya saja tidak ada yang tau, bahwa tangan kanannya mengepal begitu erat dibalik kantong celana kulot lebarnya. Jihan berusaha semampunya menahan emosi dan kepedihan hatinya.

"Mas--Mas--" Tommy tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Ia tidak tau harus mengatakan apa. Kedatangan istri dan anaknya secara tiba-tiba membuat otaknya ngeblank. Ia tidak tau harus mengarang cerita apa. Jihan bukan anak kecil yang bisa ia bohongi. Jihan telah melihak bukti kecurangannya. Ya, dirinya sudah tertangkap basah.

"Karena Mas tidak bisa menjelaskan, biar Jihan saja yang bertanya ya, Mas? Supaya tidak buang-buang waktu," tukas Jihan datar.

Tommy menelan salivanya sendiri. Sungguh ia tidak mengenal Jihan yang dingin seperti ini. Biasanya Jihan itu pengalah dan penyabar. Namun kali ini tatapannya begitu berbeda.

"Tadi Mas bilang reuni ini khusus untuk laki-laki semua. Makanya Mas tidak mengajak Jihan. Pertanyaannya Jihan, apakah Diana sekarang telah melakukan operasi kelamin?

Satu lagi, apa laki-laki di sini biasa memakai lipstick dan highheels ya, Mas? Coba jawab pertanyaan Jihan yang itu saja dulu,"

Hening. Tidak ada satu pun dari peserta reuni yang bisa menjawab pertanyaan Jihan. Para wanita hanya diam tertunduk. Sementara yang laki-laki berdeham rikuh atau berpura-pura bermain ponsel. Beberapa pengunjung di meja lain, memperlihatkan reaksi beragam. Ada yang mencuri-curi pandang. Ada yang berbisik-bisik dengan teman-temannya. Sampai ada yang terang-terangan menonton sambil memvideokan. Para peserta reuni mudah resah. Mungkin mereka takut kalau kehadiran mereka di sini, terlihat oleh pasangan resmi mereka masing-masing di media sosial. Wajah-wajah cemas mereka saling memandang satu sama lain. Kegelisahan terbias dari raut wajah mereka.

"Dan kamu Dian. Kamu ingat tidak, siapa yang menemanimu siang malam saat kamu terpuruk enam bulan lalu? Siapa yang membawamu ke rumah sakit tengah malam buta, saat kamu mencoba bunuh diri? Siapa juga yang mengatakan kalau seharusnya para pelakor di dunia ini ditembak mati? Siapa, Dian?" cetus Jihan sinis. Seperti yang tadi ia katakan pada Kanaya, saat ini ia menatap Diana tepat di matanya.

Kalimatnya sukses membuat para pesera reuni terperangah. Mereka pasti tidak tau betapa tidak tau berterima kasihnya Diana. Sudah dianggap seperti saudara. Namun dengan tega terus menusuk punggungnya dari belakang.

"Karena sekarang kamu sudah menjadi bagian dari para pelakor itu, maka pertanyaannya aku ubah. Kapan kamu mau menembak dirimu sendiri?"

Diana menundukkan wajahnya kian dalam. Diana tidak kuasa menjawab sesuku kata pun pertanyaan-pertanyaannya.

"Kalau sekarang aku ingin bunuh diri karena depresi sepertimu enam bulan lalu, apa kamu bersedia membawaku ke rumah sakit? Atau kamu malah bertepuk tangan dan menari-nari kegirangan dan membiarkan aku mati? Coba jawab, Dian?"

"Aku minta maaf, Jihan. Aku salah," jawab Diana dengan suara tersendat. Wajahnya kian merah sampai ke telinga-telinganya. Diana pasti malu karena banyaknya pengunjung Starbuck* yang memandangnya dengan tatapan geram. Beberapa orang yang merekam ada yang memakinya pelakor tidak tau diri.

"Dan kamu, Mas Tommy. Ingat tidak janji Mas, enam tahun lalu, saat Mas melamar Jihan. Mas bilang, Mas akan setia dan mencintai Jihan sampai maut memisahkan. Ingat tidak, Mas?"

Kali ini pertahanan Jihan goyah. Teringat pada masa-masa indah di waktu lalu, dan membandingkannya dengan keadaan sekarang, hatinya serasa diiris kecil-kecil. Pedihnya tidak terucapkan. Air matanya mengalir perlahan. Merembes keluar dari sudut-sudut matanya. Menetes satu demi satu dalam tangis tanpa suara. Perut buncitnya tiba-tiba bergerak-gerak. Jihan refleks mengaduh dan mengelus-elus perutnya perlahan. Ketegangannya mungkin membuat bayinya tidak nyaman.

Tommy refleks maju dan bermaksud memeluk Jihan. Melihat Jihan menangis tanpa suara saat hamil besar seperti ini, membuat nuraninya bergetar. Istimewa melihat Niko, ikut menjebi-jebi. Putranya itu tampak kebingungannya melihat Jihan menangis.

Sementara Jihan yang melihat Tommy ingin memeluknya, mundur beberapa langkah. Hingga pinggulnya membentur kursi di belakangnya. Ia tidak sudi lagi disentuh oleh tangan suaminya yang baru saja merangkul wanita lain. Tommy gentar. Enam tahun menjadi suami Jihan, ia sangat memahami karakter istrinya. Jihan ini walau lembut dan pengalah, tetapi sangat keras hati. Jika ia sudah mengatakan tidak, sangat sulit untuk membuatnya berubah pikiran. Tommy berkeringat dingin. Sepertinya rumah tangganya akan hancur hanya karena sensasi sesaat.

"Maafkan Mas ya, Jihan? Mas bersumpah, Mas tidak pernah berbuat hal yang dilarang agama dengan Dian. Kami hanya beberapa kali bertemu saja. Mas terjebak perasaan di masa lalu. Hanya itu, Sayang. Percayalah pada, Mas." Tommy kembali berusaha menyentuh Jihan. Biasanya jika Jihan sedang marah, sebuah elusan lembut di ubun-ubun serta ucapan maaf tulus, akan meredakan amarahnya. Namun kali ini, Jihan bahkan menepis lengannya kasar. Saat ia memaksa mencengkram pergelangan tangan Jihan, istrinya membentak marah. Kuatnya suara Jihan, membuat Niko sekarang menangis kencang. Niko pasti merasa ketakutan melihat mereka bertengkar. Jihan segera membujuk Niko dengan kalimat-kalimat menenangkan. Jihan sadar kalau nada suaranya yang tidak biasa, telah mengejutkan putranya.

"Mas, selingkuh itu tidak harus berhubungan badan. Dengan Mas saling berbalas chat mesra, dan langsung menghapusnya karena takut dilihat oleh Jihan saja, itu artinya sudah selingkuh Mas. Sudahlah Mas, Jihan tidak ingin lagi berpanjang kata. Dengar baik-baik, Mas. Mulai hari ini dan seterusnya, Jihan tidak akan lagi pulang ke rumah kita. Karena Jihan akan kembali ke rumah orang tua Jihan. Masalah selanjutnya biar ayah dan ibu saja yang akan membahasnya dengan, Mas. Jihan permisi dulu," Jihan membalikkan tubuh dan bermaksud berlalu dari hadapan Tommy. Ia ingin menenangkan Niko terlebih dahulu. Selain itu perutnya juga terasa kram. Mungkin karena sedari rumah tadi perasaannya sudah tidak karuan. Hingga mempengaruhi janin dalam kandungannya.

"Nay, Mbak pulang dulu ya? Mbak mau istirahat. Terima kasih karena kamu telah menemani, Mbak," pamit Jihan seraya berlalu. Jihan meninggalkan Starbuck* dalam keadaan sama-sama berlinang air mata dengan putranya.

Usai sudah. Jangan menangis, Jihan. Kamu harus kuat. Di dunia ini semua bisa berakhir. Orang bisa berubah. Satu hal yang pasti, hidup akan terus berjalan!

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
emang bener² womem power banget ini cerita²mu kak author
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Asa diujung Sajadah#book2   Extra Part

    Enam tahun kemudian.Seorang pria berusia awal empat puluhan, duduk termenung di atas kursi rodanya. Sesekali ia mengucek-ucek dan mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia berharap kabut yang membayangi pandangannya segera berlalu.Tatkala semua usahanya tidak berhasil, sosok itu menghembuskan napas kasar sambil memaki-maki. Ia kesal karena tidak bisa memandangi ikan-ikan hias kesayangannya di kolam dengan jelas. Akhir-akhir ini pandangannya semakin lama semakin buram. Jika biasanya ia bisa menonton televisi dengan jelas, kini tidak lagi. Dan sekarang melihat ikan-ikan kesayangannya pun semakin lama semakin kabur."Ah sial!" Sosok itu kembali marah-marah. Tingkah laki-laki ringkih yang duduk di kursi roda itu, diamati dalam diam oleh seorang anak laki-laki. Kesal karena keinginannya tidak terpenuhi, sosok itu kemudian menggerakkan kursi roda elektriknya. Namun sepertinya rodanya tersangkut sesuatu. Makanya kursi roda elektriknya t

  • Asa diujung Sajadah#book2   Chapter 52 (end)

    "Tidak disangka ya, Han. Ternyata ayah meninggalkan seluruh warisannya hanya pada kita berdua. Lebih tidak disangka lagi, ternyata Johan bukan saudara kita."Nihan baru bersuara setelah Pak Bahtiar dan rekan-rekannya kembali ke kantor. Ibunya sudah lebih dulu permisi kembali ke kamar untuk beristirahat. Nihan tahu sebenarnya ibunya bukan ingin beristirahat. Melainkan ibunya sedih karena teringat kembali dengan almarhum ayahnya."Iya, Mbak. Jihan juga tidak menyangka. Karena biasanya Ayah sangat dingin terhadap kita," imbuh Jihan takjub. Kalau terhadap Nihan, ayahnya memang sedikit lunak. Tetapi terhadap dirinya, jangan harap. Ayahnya selalu bersikap antipati padanya dalam hal apapun. Intinya, apapun yang ia lakukan tidak pernah benar di mata ayahnya."Surat wasiat ayahmu tadinya bukan seperti ini." Kali ini Om Syahril yang bersuara. Jihan dan Nihan mengalihkan pandangan pada kakak tertua ayahnya itu.&

  • Asa diujung Sajadah#book2   Chapter 51

    Suasana di tempat pemakaman telah sepi. Para kerabat, handai tolan, maupun relasi-relasi yang ikut mengantarkan ayahnya ke peristirahatan terakhir, telah kembali ke kediaman mereka masing-masing. Yang tersisa hanya dirinya, Azzam, ibu, kakaknya Nihan, dan suaminya, Bram. Kedua anak Nihan, tidak ikut pulang ke tanah air. Mereka tengah mengikuti ujian nasional.Sementara ketiga istri siri ayahnya, berikut Johan sudah pulang lebih dulu. Ibunya benar. Ia melihat perubahan sikap Johan begitu signifikan. Biasanya Johan sangat betah mencari muka. Bersikap seolah-olah ia adalah orang yang paling penting dalam kehidupan ayahnya, karena berjenis kelamin laki-laki. Begitu juga dengan Rania, istrinya. Namun kali ini mereka hanya datang sebentar saja. Setelah ayahnya dimakamkan, mereka berdua langsung menghilang. Masih mendingan sikap ibunya, Tante Rahmah. Ia sempat meraung-raung pilu terlebih dahulu sebelum berlalu. Ada apa ini sebenarnya? Namun Jihan tidak sempat ber

  • Asa diujung Sajadah#book2   Chapter 50

    Dan di sinilah dirinya berada. Di meja makan besar keluarga, di mana ia menghabiskan masa kecil, remaja hingga dewasa mudanya. Di meja besar ini ada dua belas kursi. Tujuh di antara kursi ini kosong. Hanya lima yang terisi. Dan kelima orang yang menduduki kursi-kursi itu adalah dirinya, Azzam, Niko, ayah dan juga ibunya. Sementara Niki tengah bermain di taman belakang yang luas bersama Bu Marni. Anak yang sedang belajar berjalan seperti Niki memang tidak bisa duduk diam dalam waktu lama. Setiap ada kesempatan, Niki akan merengek ingin berjalan.Suasana di meja makan sangat hening. Masing-masing orang yang duduk mengelilingi meja, menyantap makanan dalam diam. Benak mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Sedari tadi hanya denting peralatan makan yang terdengar. Walaupun Jihan tahu, masing-masing penghuni meja sesungguhnya juga tidak menikmati cita rasa makanan, kecuali Niko. Begitulah anak kecil dengan kepolosannya.Jihan mena

  • Asa diujung Sajadah#book2   Chapter 49

    Empat bulan kemudian.Jihan merasakan laju mobil yang ia tumpangi semakin memelan dan akhirnya berhenti. Saat ini ia berada di dalam mobil bersama dengan Azzam dan kedua buah hatinya. Azzam ingin memberinya dan anak-anak kejutan. Untuk itulah Azzam menutup matanya dengan sehelai kain. Niko yang duduk di baby care seat belakang bersama dengan Niki tertawa geli. Ia lucu melihat mata bunda ditutup katanya."Kita ada di mana ini, Mas?" tanya Jihan penasaran. Sedari matanya ditutup oleh Azzam pikirannya telah mengembara ke mana-mana. Memikirkan kejutan apa yang akan suaminya berikan padanya. Ya, Suaminya. Ia telah menikah dengan Azzam dua bulan yang lalu.Dan selama dua bulan ini ia dan kedua buah hatinya tinggal bersama dengan keluarga besar Azzam. Bu Sahila, ibu mertuanya memang memintanya sementara tinggal di sana. Bu Sahila kesepian katanya. Selain itu Bu Sahila sangat menyukai Niki yang kini sudah semakin besar. Ni

  • Asa diujung Sajadah#book2   Chapter 48

    Jihan memasuki ruang IGD dengan jantung berdebar. Bukan hal mudah baginya melihat keadaan seseorang dalam tubuh penuh selang dan luka. Bagaimanapun Tommy pernah tujuh tahun lebih menjadi suaminya. Ia pernah sedekat nadi dengan Tommy dan berbagi hal paling rahasia dengannya. Ada rasa kasihan berbalut prihatin di hatinya.Yang pertama ia lihat dalam ruangan IGD ini adalah berbagai peralatan-peralatan medis khusus untuk pasien-pasien yang kritis. Dan di atas bed pasien, terlihat Tommy terbaring diam. Ia dikelilingi olehbed site monitor, blood gas analysis on site, oxygen, dan entah apa lagi sebutan untuk berbagai alat-alat penunjang hidupnya.Jihan menghampiri bed. Berdiri dan memandangi Tommy dari balik selang-selang dan cairan infus di lengannya. Kepala Tommy diperban besar. Seperti yang dikatakan oleh dokter tadi, yang terluka cukup parah adalah bagian kepalanya. Tubuh Tommy hanya mengalami luka-luka kecil yang tidak bera

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status