Share

Chapter 3

Author: Suzy Wiryanty
last update Last Updated: 2021-07-20 12:00:26

"Mengapa kamu belum pulang juga? Kamu bodoh sekali. Memberikan singgasana kamu begitu saja kepada orang lain yang cuma kebetulan singgah. Perempuan itu pasti bagaikan mendapatkan lotere sekarang. Pakai otakmu, Jihan!"

Syahnan yang bermaksud mengecek apakah Jihan sudah pulang ke rumahnya sendiri, naik pitam saat mendapati putrinya itu masih ada di rumahnya.  Jihan ini keras kepala sekali. Hanya karena memergoki suaminya bersama dengan wanita lain, anak perempuannya ini langsung patah arang. Putrinya ini naif sekali. Laki-laki sesekali mencari kesenangan di luar rumah itu biasa. Namanya juga laki-laki. Yang penting mereka tetap pulang ke rumah.

Syahnan yakin, Tommy tidak mencintai selingkuhannya itu. Tommy hanya iseng saja, seperti dirinya dan semua laki-laki kaya di muka bumi ini. Menantu laki-lakinya itu memiliki segalanya. Harta, karir, nama besar keluarga, dan juga pernikahan yang sempurna. Makanya Syahnan yakin, Tommy hanya sekedar iseng saja. Sudah menjadi rahasia umum kalau lagi-laki kelas premium itu mempunyai gaya hidup yang berbeda dengan laki-laki kebanyakan. Karena memiliki segalanya, mereka juga ingin menikmati semuanya. Mereka salah? Tidak juga. Jiwa seorang laki-laki memang seperti itu. Petualang dan pemburu. Mereka tidak akan pernah puas terhadap wanita, sama seperti wanita yang tidak pernah puas akan uang. Perkara ini memang sudah ada dari zaman dahulu. Bedanya dulu dilakukan dengan terang-terangan karena dilegalkan. Sementara sekarang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, karena banyaknya lembaga-lembaga yang membela kaum perempuan. Tetapi prakteknya toh sama saja. Laki-laki tetap memenuhi hasratnya dengan berbagai cara. Intinya apapun usaha yang dilakukan perempuan untuk mengekang kegemaran mereka, hasilnya tetap nihil. Jadi untuk apa ambek-ambekan bukan? Prinsipnya hanya satu. Yang penting suami tetap pulang dan menafkahi. Habis cerita.  Mau mencoba merubah insting dasar mereka itu, ibarat seperti mengharap matahari terbit dari barat dan tenggelam di timur. Alias tidak mungkin! Ada laki-laki yang ingin membantah? Berarti selain pembohong, ia juga munafik. Titik.

"Rumah tangga bukan perusahaan, Yah. Bisa dihitung untung dan ruginya secara signifikan. Tapi tentang cinta dan kepercayaan. Kalau dua hal itu sudah tidak dimiliki, jadi apa nantinya rumah tangga kami?"

Jihan berupaya memberi pengertian pada ayahnya. Sembari melipat selimut, ia menjawab pertanyaan ayahnya sekedarnya. Sedari belum menikah pun, ia memang tidak pernah sependapat dengan ayahnya. Pandangan mereka berdua jauh berbeda.

Sudah seminggu ini Jihan menginap di rumah kedua orang tuanya. Jihan memang tidak mau lagi pulang ke rumah, setelah memergoki perselingkuhan Tommy. Keputusannya sudah bulat untuk meninggalkan Tommy. Sebenarnya pada hari pertamanya minggat, ia masih mempunyai  pemikirannya untuk berbaikan pada Tommy. Apalagi saat ibunya mengingatkan tentang kandungannya. Bulan depan ia akan segera melahirkan. Jadi ia tidak boleh egois hanya memikirkan dirinya sendiri. Ada anak-anak yang juga harus diperjuangkan masa depannya. Menurut ibunya beri saja Tommy satu kesempatan lagi, dan ia pun setuju.

Tetapi setelah seminggu di sini dan Tommy tidak pernah menginjakkan kakinya untuk meminta maaf secara langsung, Jihan pun merubah semua rencana hidupnya. Jihan merasa tidak ada gunanya lagi untuk melanjutkan rumah tangganya. Karena Tommy tidak merasa apa yang dilakukannya adalah sesuatu hal yang salah. Tommy menyebutnya dengan kata khilaf. Klarifikasi Tommy pun hanya melalui sambungan telepon saja, setelah Tommy gagal mengejarnya di kafe tempo hari. Jihan sekarang benar-benar sadar bahwa ternyata dirinya tidak sepenting itu bagi Tommy. Ia sekarang sudah melek.

"Resiko menikahi pria mapan, ya seperti itu, Jihan. Kamu pikir pejabat, pebisnis, dan para tokoh terkenal itu tidak punya selingkuhan?  Semuanya juga punya, Jihan. Jumlahnya puluhan atau berapa pun tidak ada yang tau. Hanya saja, di atas kertas dan dalam bermasyarakat, mereka tetap setia pada satu istri. Istri-istri mereka juga tau, Jihan. Istri-istri mereka hanya berpikir, yang penting suami-suami mereka tetap pulang dan uang bulanan tidak kurang. Sudah sampai di situ saja. Kamu tidak percaya dengan kata-kata Ayah?"

Syahnan terus mengomeli putrinya di ambang pintu. Ia kesal melihat Jihan yang sedari dulu tidak pernah akur dengannya. Beda sekali dengan Nihan, kakaknya. Yang selalu menuruti nasehat-nasehatnya. Makanya hidup Nihan dan keluarga kecilnya selalu adem ayem saja.

"Percaya sekali, Yah. Ibu adalah salah satu contoh nyata dari wanita-wanita itu. Dan Jihan adalah saksi hidup, bagaimana Ibu terus menangis setiap kali Ayah menyambangi madu-madu Ayah, atau perempuan mana pun itu untuk memuaskan nafsu. Dan Jihan bersumpah kalau Jihan tidak mau menjadi bagian dari wanita-wanita itu. Jihan muak melihat bagaimana seorang suami yang seharusnya menyayangi dan melindungi istrinya, malah jadi orang yang paling menyakitinya. Jihan tidak mau mengalami nasib yang sama seperti Ibu, Yah!" terang Jihan dengan dada sesak.

Ia miris melihat kaumnya yang tidak bisa melawan karena memang tidak berdaya. Status sebagai ibu rumah tangga yang hanya mengandalkan uang suami, serta malu karena nama baik menjadi buruk di masyarakat, membuat ibunya dan banyak perempuan-perempuan lain rela menahan luka batin.  Dan ia tidak mau ikut masuk ke dalam barisan sakit hati itu.

"Kalau begitu, menikahlah dengan laki-laki kere yang hanya untuk memberi makan mulutnya sendiri saja susah, apalagi menyuapi mulut perempuan lain. Tapi dengan satu catatan juga. Kalau suatu saat mereka kaya, pasti mereka akan mencari makanan lain juga. Ingatlah Jihan, laki-laki itu hanya setia kalau mereka sedang susah. Coba kalau sudah sugih, pasti mereka akan bertingkah juga. Percayalah pada Ayah. Ayah sudah hidup setua ini!" bentak Syahnan emosi.

Sungguh, ia sama sekali tidak mengira, kalau putrinya bisa sekeras kepala ini. Entah apa yang merasuki pikirannya. Putrinya ini belum tau betapa sulitnya hidup sebagai seorang janda. Apalagi dengan dua orang anak yang masih kecil-kecil. Terlebih lagi Jihan ini sudah terbiasa hidup enak sedari kecil. Mana mungkin putrinya ini bisa survive hidup sendiri? Ujung-ujungnya pasti akan menyusahkannya juga. Belum lagi mereka akan menjadi bahan omongan tetangga. Baru menikah beberapa tahun sudah bercerai. Aib ini akan mencoreng nama baik keluarga mereka tentu saja.

Jihan memandang ayahnya dingin. Sedari kecil ia telah dicekoki dengan perlakuan ketidakadilan terhadap kaum perempuan. Keluarga ayahnya menerapkan sistem patriakri dan feodalisme. Di mulai dari kakeknya, Syahrul Jayawijaya yang masih keturunan ningrat, kemudian ayahnya, Syahnan Jayawijaya hingga dua orang pamannya. Mereka semua masih memperlakukan budaya perseliran. Adalah hal yang biasa jika para laki-laki di keluarga ini, memiliki istri simpanan, baik sah secara agama, ataupun hanya sekedar jajan-jajan saja. Mereka menganggap hal tersebut wajar-wajar saja, selama mereka tidak menelantarkan anak dan istri mereka. Pokoknya selama keluarga intinya cukup sandang, pangan, papan, maka mereka harus tunduk pada suami. Dan Jihan muak dengan segala ketidakadilan zaman feodal ini.

"Mungkin saja yang Ayah katakan itu benar. Istimewa karena Ayah berkelakuan sama seperti mereka, makanya Ayah berpikir kalau semua orang sepemikiran dengan Ayah. Tetapi laki-laki yang baik juga banyak, Yah. Jihan tidak suka menyamaratakan orang. Satu hal yang pasti  Jihan tidak sudi memunguti serpihan sisa-sisa cinta dari laki-laki jahat penyiksa psikologis perempuan. Maaf, Jihan tidak bisa bersikap seperti Ibu, yang selalu tersenyum walau telah Ayah perlakukan seperti keset wellcome."

Air muka ayahnya menghitam saat mendengar argumennya. Tangan kanan ayahnya seketika terangkat ke udara. Jihan memejamkan matanya. Siap-siap menerima perlakuan kasar ayahnya. Sikap ayahnya selalu seperti ini. Menggunakan kekerasan apabila ayahnya tidak bisa membantah kebenaran argumennya. Satu hal yang tidak Jihan duga adalah ibunya tiba-tiba saja menerobos ke dalam kamar. Sepertinya ibunya sudah cukup lama berdiri di balik pintu kamar yang memang terbuka separuh.

"Jangan pernah menyakiti Jihan lagi, Mas! Jihan sedang susah. Sebagai orang tua, seharusnya Mas mendukung Jihan. Bukannya terus menekannya."

Rianti menyerbu masuk ke dalam kamar, dan menahan laju tangan suaminya. Sudah cukup selama ini ia menjadi korban keegoisan suaminya. Ia tidak mau kalau putrinya juga ikut teraniaya. Sekarang ia sudah tua. Ia sudah tidak takut apapun lagi. Ia sudah muak dengan segala urusan duniawi. Hanya saja, selama ia masih hidup, ia akan terus berusaha melindungi anak-anaknya.

"Aku bertahan selama ini, demi anak-anak dan nama baik keluarga kita. Tetapi kalau Mas kembali main tangan seperti ini, Aku tidak akan mengalah lagi, Mas."

Jihan terkesima. Untuk kali pertama, Jihat melihat ibunya berani menentang ayahnya. Tatapan ibunya juga berbeda. Jika biasanya ibunya mengalah dan manut-manut saja, kali ini tatapan ibunya membara. Ibunya bersikap galak seperti seekor induk ayam yang melindungi anak-anaknya. Ayahnya sejenak tertegun, sebelum mendengus kesal.

"Baik! Kalau kamu tidak mau menerima nasihat Ayah, terserah! Tapi ingat, jangan menyusahkan Ayah dan mencari perlindungan di rumah ini. Pokoknya, selama Tommy tidak mengantarkan kamu pada Ayah, Ayah tidak akan menerima kehadiranmu. Ayah tidak suka kalau kamu sedikit-sedikit minggat dari rumah. Seperti tidak diajari tata krama oleh orang tua saja!"

Syahnan bergegas keluar dari kamar setelah memperingati putrinya. Perempuan sekarang memang banyak maunya. Tidak seperti perempuan di zamannya dulu. Semua hal mereka pasrahkan kepada orang tua. Apalagi kali ini, Rianti ikut-ikutan menentangnya. Entah mengapa akhir-akhirnya ini anak-anak dan istrinya banyak tingkah. Sebaiknya ia ke rumah madunya saja. Di sana ia akan disambut seperti raja dan diperlakukan penuh cinta.

Akan hal Rianti, ia hanya bisa menarik napas panjang, saat suaminya berlalu sembari membanting pintu. Dulu ia selalu mengalah mengingat anak-anaknya yang masih kecil-kecil. Ia takut kalau ia tidak mampu membesarkan anaknya dengan layak, kalau ia menentang Syahnan. Ia hanyalah seorang ibu rumah tangga, yang mengandalkan uang suami. Menentang artinya tidak makan. Makanya ia terus bersabar walau hatinya berdarah-darah. Namun kini tidak lagi. Ia sudah tua. Usianya pun mungkin tidak akan panjang lagi. Oleh karena itu, selama ia masih hidup, ia akan terus mendukung anak-anaknya. Untuk itulah ia harus kuat, agar bisa membagi kekuatan pada putrinya. Karena Syahnan tidak memperbolehkan Jihan tinggal di rumah ini, Rianti pun mempersiapkan sebuah rencana. Intinya ia akan selalu mensupport Jihan, sampai batas kemampuannya.

***

Irama musik EDM menghentak-hentak penuh gairah di Exodus. Pada dini hari seperti ini, memang waktunya para pecinta dunia malam beraksi. Di dance floor, para wanita berpakaian seksi bergoyang panas dengan gaya sensual. Mereka sedang berlomba-lomba mencari perhatian para pria hidung belang berkantong tebal, atau sekedar bergembira ria melepas kepenatan. Sementara para executive muda yang sedang dugem, tertawa mesum sembari mengamati para penjaja cinta semalam yang bisa mereka booking. Sejurus kemudian para executive muda itu telah memindai wanita-wanita incaran mereka. Dan kini kedua kubu saling membutuhkan itu, tengah melakukan transaksi jual beli syahwa*.

Di tengah para penikmat dunia malam itu, Tommy duduk sendirian di bartender. Di depannya tersaji tiga gelas whiskey yang telah kosong, dan satu yang masih terisi setengahnya. Tommy menikmati minuman beralkohol itu untuk menghilangkan bayangan Jihan dan Niko. Namun semakin ia mabuk, bayangan istri dan anaknya itu malah semakin terbayang-bayang di benaknya.

Karena efek alkohol tidak jua bisa membuatnya tenang, Tommy meraih sebatang rokok. Setelah rokok dibakar, Tommy menghisap rokoknya dalam-dalam. Kemudian ia menghembuskan asapnya dalam bentuk bulatan-bulatan berwarna kecil putih. Ia terus melakukannya berulang-ulang, demi membunuh rasa bosan.

Tanpa Tommy sadari, sesosok tubuh langsing langsung memindainya, saat masuk ke dalam club. Sosok itu mengembangkan seulas senyum bahagia, saat melihat pria pujaannya duduk sendirian di bartender. Sepertinya sang pria pujaannya itu belum berbaikan dengan istrinya. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Ini adalah saat yang tepat untuk mencoba peruntungannya. Dan wanita itu pun perlahan berjalan menghampiri sosok Tommy. Waktunya berjudi dengan keadaan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
pantesan bapaknya Jihan helain Tommy orang kelakuannya sama aja
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Asa diujung Sajadah#book2   Extra Part

    Enam tahun kemudian.Seorang pria berusia awal empat puluhan, duduk termenung di atas kursi rodanya. Sesekali ia mengucek-ucek dan mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia berharap kabut yang membayangi pandangannya segera berlalu.Tatkala semua usahanya tidak berhasil, sosok itu menghembuskan napas kasar sambil memaki-maki. Ia kesal karena tidak bisa memandangi ikan-ikan hias kesayangannya di kolam dengan jelas. Akhir-akhir ini pandangannya semakin lama semakin buram. Jika biasanya ia bisa menonton televisi dengan jelas, kini tidak lagi. Dan sekarang melihat ikan-ikan kesayangannya pun semakin lama semakin kabur."Ah sial!" Sosok itu kembali marah-marah. Tingkah laki-laki ringkih yang duduk di kursi roda itu, diamati dalam diam oleh seorang anak laki-laki. Kesal karena keinginannya tidak terpenuhi, sosok itu kemudian menggerakkan kursi roda elektriknya. Namun sepertinya rodanya tersangkut sesuatu. Makanya kursi roda elektriknya t

  • Asa diujung Sajadah#book2   Chapter 52 (end)

    "Tidak disangka ya, Han. Ternyata ayah meninggalkan seluruh warisannya hanya pada kita berdua. Lebih tidak disangka lagi, ternyata Johan bukan saudara kita."Nihan baru bersuara setelah Pak Bahtiar dan rekan-rekannya kembali ke kantor. Ibunya sudah lebih dulu permisi kembali ke kamar untuk beristirahat. Nihan tahu sebenarnya ibunya bukan ingin beristirahat. Melainkan ibunya sedih karena teringat kembali dengan almarhum ayahnya."Iya, Mbak. Jihan juga tidak menyangka. Karena biasanya Ayah sangat dingin terhadap kita," imbuh Jihan takjub. Kalau terhadap Nihan, ayahnya memang sedikit lunak. Tetapi terhadap dirinya, jangan harap. Ayahnya selalu bersikap antipati padanya dalam hal apapun. Intinya, apapun yang ia lakukan tidak pernah benar di mata ayahnya."Surat wasiat ayahmu tadinya bukan seperti ini." Kali ini Om Syahril yang bersuara. Jihan dan Nihan mengalihkan pandangan pada kakak tertua ayahnya itu.&

  • Asa diujung Sajadah#book2   Chapter 51

    Suasana di tempat pemakaman telah sepi. Para kerabat, handai tolan, maupun relasi-relasi yang ikut mengantarkan ayahnya ke peristirahatan terakhir, telah kembali ke kediaman mereka masing-masing. Yang tersisa hanya dirinya, Azzam, ibu, kakaknya Nihan, dan suaminya, Bram. Kedua anak Nihan, tidak ikut pulang ke tanah air. Mereka tengah mengikuti ujian nasional.Sementara ketiga istri siri ayahnya, berikut Johan sudah pulang lebih dulu. Ibunya benar. Ia melihat perubahan sikap Johan begitu signifikan. Biasanya Johan sangat betah mencari muka. Bersikap seolah-olah ia adalah orang yang paling penting dalam kehidupan ayahnya, karena berjenis kelamin laki-laki. Begitu juga dengan Rania, istrinya. Namun kali ini mereka hanya datang sebentar saja. Setelah ayahnya dimakamkan, mereka berdua langsung menghilang. Masih mendingan sikap ibunya, Tante Rahmah. Ia sempat meraung-raung pilu terlebih dahulu sebelum berlalu. Ada apa ini sebenarnya? Namun Jihan tidak sempat ber

  • Asa diujung Sajadah#book2   Chapter 50

    Dan di sinilah dirinya berada. Di meja makan besar keluarga, di mana ia menghabiskan masa kecil, remaja hingga dewasa mudanya. Di meja besar ini ada dua belas kursi. Tujuh di antara kursi ini kosong. Hanya lima yang terisi. Dan kelima orang yang menduduki kursi-kursi itu adalah dirinya, Azzam, Niko, ayah dan juga ibunya. Sementara Niki tengah bermain di taman belakang yang luas bersama Bu Marni. Anak yang sedang belajar berjalan seperti Niki memang tidak bisa duduk diam dalam waktu lama. Setiap ada kesempatan, Niki akan merengek ingin berjalan.Suasana di meja makan sangat hening. Masing-masing orang yang duduk mengelilingi meja, menyantap makanan dalam diam. Benak mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Sedari tadi hanya denting peralatan makan yang terdengar. Walaupun Jihan tahu, masing-masing penghuni meja sesungguhnya juga tidak menikmati cita rasa makanan, kecuali Niko. Begitulah anak kecil dengan kepolosannya.Jihan mena

  • Asa diujung Sajadah#book2   Chapter 49

    Empat bulan kemudian.Jihan merasakan laju mobil yang ia tumpangi semakin memelan dan akhirnya berhenti. Saat ini ia berada di dalam mobil bersama dengan Azzam dan kedua buah hatinya. Azzam ingin memberinya dan anak-anak kejutan. Untuk itulah Azzam menutup matanya dengan sehelai kain. Niko yang duduk di baby care seat belakang bersama dengan Niki tertawa geli. Ia lucu melihat mata bunda ditutup katanya."Kita ada di mana ini, Mas?" tanya Jihan penasaran. Sedari matanya ditutup oleh Azzam pikirannya telah mengembara ke mana-mana. Memikirkan kejutan apa yang akan suaminya berikan padanya. Ya, Suaminya. Ia telah menikah dengan Azzam dua bulan yang lalu.Dan selama dua bulan ini ia dan kedua buah hatinya tinggal bersama dengan keluarga besar Azzam. Bu Sahila, ibu mertuanya memang memintanya sementara tinggal di sana. Bu Sahila kesepian katanya. Selain itu Bu Sahila sangat menyukai Niki yang kini sudah semakin besar. Ni

  • Asa diujung Sajadah#book2   Chapter 48

    Jihan memasuki ruang IGD dengan jantung berdebar. Bukan hal mudah baginya melihat keadaan seseorang dalam tubuh penuh selang dan luka. Bagaimanapun Tommy pernah tujuh tahun lebih menjadi suaminya. Ia pernah sedekat nadi dengan Tommy dan berbagi hal paling rahasia dengannya. Ada rasa kasihan berbalut prihatin di hatinya.Yang pertama ia lihat dalam ruangan IGD ini adalah berbagai peralatan-peralatan medis khusus untuk pasien-pasien yang kritis. Dan di atas bed pasien, terlihat Tommy terbaring diam. Ia dikelilingi olehbed site monitor, blood gas analysis on site, oxygen, dan entah apa lagi sebutan untuk berbagai alat-alat penunjang hidupnya.Jihan menghampiri bed. Berdiri dan memandangi Tommy dari balik selang-selang dan cairan infus di lengannya. Kepala Tommy diperban besar. Seperti yang dikatakan oleh dokter tadi, yang terluka cukup parah adalah bagian kepalanya. Tubuh Tommy hanya mengalami luka-luka kecil yang tidak bera

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status