MasukPukul lima sore.
Hanya satu orang yang masih bekerja dengan ritme stabil, rapi, dan presisi: Ara.
Ia mengecek ulang laporan harian, memastikan jadwal Leonard untuk besok bersih tanpa tumpang tindih, lalu mengetuk pintu ruang direktur.
“Masuk,” terdengar suara berat dari dalam.
Ara membuka pintu. Leonard masih duduk tegak, jasnya terlipat rapi di sandaran kursi, kemeja tetap sempurna seolah waktu tidak berani menyentuhnya. Alisnya tertekuk—ekspresi fokus yang sudah familiar bagi Ara.
“Pak Leonard,” panggilnya pelan.
“Ada dokumen tambahan dari tim legal. Bapak ingin cek hari ini atau besok pagi?”
Leonard menghela napas pelan. “Letakkan di meja.”
Ara mendekat, menaruh map biru di permukaan meja kayu mahoni itu. Ketika ia hendak berbalik, suara Leonard terdengar lagi.
“Kamu belum pulang?”
Ara menoleh. “Belum, Pak. Saya ingin memastikan jadwal besok aman.”
Leonard menutup laptop perlahan—gerakan yang jarang ia lakukan saat masih ingin bekerja. Tatapannya terarah pada Ara, dalam tapi sulit diterjemahkan.
“Ara.”
“Ya, Pak?”
“Kamu tidak perlu bekerja sejauh itu.”
Ara terpaku sepersekian detik kemudian tersenyum.
Leonard menyandarkan tubuh ke kursi, ekspresinya sesaat melembut sebelum ia kembali menegakkannya.
“Kamu terlalu lama di kantor,” ucapnya. “Saya tidak ingin—”
Hening menempel dingin di antara mereka.
Bagi orang lain, kalimat itu mungkin biasa saja.
Ara menahan senyum tipis. “Saya baik-baik saja, Pak.”
Leonard mengangguk kecil, canggung, seolah menyesal telah menunjukkan terlalu banyak sisi manusianya.
“Baik, Pak.”
Kenapa… tiba-tiba perhatian begitu?
---
Di meja pribadinya, Ara membuka tas kerja. Di dalamnya, kotak kecil berisi anting perak, lipstik merah, dan kartu VIP Club Venom—kontras total dengan image “asisten paling sopan” yang dikenal satu kantor.
Ia menatap pantulan wajahnya di layar laptop: kemeja pastel, bibir natural, rambut terikat rapi.
Persona yang sudah ia bangun bertahun-tahun… sekaligus tembok antara dirinya dan dunia.
Lima menit lagi.
Ara melepas ikat rambutnya. Rambut hitam panjangnya jatuh lembut, mengubah wajahnya dari lembut menjadi lebih dewasa. Lipstik merah digoreskan perlahan, membunuh kesan polos dalam hitungan detik.
Ara kantor menghilang.
Ia menutup laptop, meraih tas, mengembalikan penampilan awal, lalu melangkah keluar.
---
Di lobi, beberapa karyawan masih mengobrol sambil merapikan tas.
“Mbak Ara pulang juga? Tumben cepet,” sapa seorang staf.
“Kami mau makan bareng nih. Mbak mau Ikut?” tanya yang lain.
Ara tersenyum sopan, kembali memainkan persona lemahnya. “Makasih, tapi aku ada urusan malam ini.”
Saat berjalan pergi, ia mendengar bisikan kecil dari belakang.
“Mbak Ara itu Perfect, tapi humble banget ya dia…”
“Kalo gue sepintar itu sih udah songong.”Ara hanya mengangkat satu sudut bibir.
Kalau kalian tahu siapa aku sebenarnya… kaget ngga ya?
Di parkiran basement, dia membuka pintu mobil, akhirnya bisa mengembus napas panjang tanpa harus menjaga nada atau ekspresi. Mulai bersiap karna malam ini, dia akan menuju dunianya.
“Fiuh… akhirnya bebas.”
Playlist favorit diputar, lampu mobil menyala, dan Ara menatap dirinya di spion.
“Selamat datang kembali, Ara yang asli.”
Mobil melaju keluar dari gedung menuju tujuan favoritnya.
---
Club Venom.
Lampu neon ungu menyapu tubuhnya ketika ia masuk. Musik bass rendah bergetar di lantai. Mata-mata mengikutinya—bukan karena ia mencolok, tapi karena auranya berubah total: sensual, percaya diri, tak tersentuh.
Bartender menyapanya. “Ara? Lama banget nih lo nggak kelihatan.”
Ara duduk, menyilangkan kaki. “Kerjaan numpuk, Bang.”
“Kayak biasa?”
Bartender mengangkat alis. “Setress banget kayaknya sampai langsung dua?”
Ara menahan senyum sinis. “Bos gue lagi masuk fase ‘perfectionist level sepuluh’. Terus kalau dia stres, ya gue ikutan stres.”
Bartender tertawa kecil. “Ya tapi tetap aja, kayaknya lo sayang sama bos lo, Ra.”
Ara memainkan gelasnya. “Gue cuma ngehargain dia sebagai atasan ya, Bang.”
Namun tatapan Ara memantulkan sesuatu yang tidak ia ucapkan.
Shot pertama masuk.
Dan justru ketika alkohol pertama menyentuh aliran darahnya… pikiran Ara melayang pada sosok itu.
Leonard.
Kenapa gue masih aja kepikiran dia…
---
Ara mencondongkan tubuh ke meja bar.
Bukan sentuhan.
Tapi aroma.
Cologne mahal—aroma yang sama yang selalu menempel pada ruangan direktur.
Ara menoleh, setengah malas.
Dan darahnya langsung berhenti mengalir.
Leonard Arman Atmadja.
Duduk dua kursi darinya.
Ara hampir menjatuhkan gelasnya.
Leonard tidak menyadarinya—belum.
Ara menempelkan jemari ke gelasnya, hati berdebar tidak sesuai rencana.
Kenapa dia ada di sini…?
Dan yang jauh lebih berbahaya:
Apakah aku harus menyapanya sebagai Ara kantor?
Atau… membiarkan dia bertemu “Ara” yang tidak pernah ia kenal?
Senyum liar muncul di sudut bibirnya—senyum yang tidak pernah ia izinkan keluar di area kantor.
Malam ini, topeng manisnya sudah mati.
Dan Ara ingin tahu…
Ara keluar dari lift Atmadja Corp dengan langkah yang jauh lebih cepat dari biasanya. Begitu pintu gedung menutup di belakangnya, semua yang ia tahan di dalam ruangan Leonard tadi pecah berantakan.Deg-deg-degan. Marah. Malu. Kecewa. Perasaan itu bercampur jadi satu.Angin sore menerpa wajahnya, tapi tidak cukup dingin untuk menenangkan kepalanya yang masih penuh adegan barusan: Claire menggandeng Leonard seperti miliknya, Leonard menahan Ara pergi, tatapan itu, ucapan itu—"Alea Arananda… kamu cemburu."Ara mengerjapkan mata keras-keras, berusaha menghapus kalimat itu dari kepalanya. Tapi tidak bisa. Kalimat itu justru menancap semakin dalam.Dia menatap layar HP. Ada pesan singkat dari sahabat lamanya, Rhea.Rhea:“Babe, tonight? Aku baru balik ke Indo. Lama banget ngga party. Plis bilang iya.”Ara menutup mata.Rasanya sudah lama ia tidak menginjakkan kaki di club. Sejak kejadian di club Venom tempo lalu. Sebelum hidupnya diremukkan oleh mantannya—club adalah tempat ia melarika
Sore itu Atmadja Corp sudah mulai sepi. Hampir semua karyawan pulang setelah kekacauan Divisi Finance resmi diselesaikan. Leonard memberi instruksi terakhir dengan tegas, dingin, dan tanpa kompromi.Ara baru saja keluar dari ruang rapat ketika informasi terakhir masuk ke tablet-nya.“Semuanya sudah dibereskan, Pak. Angka yang dimanipulasi sudah diperbaiki. Divisi Finance akan mengirim laporan final malam ini,” ucap Ara sambil berdiri di depan meja kerja Leonard.Leonard mengangguk kecil. “Good job, Alea.”Ara menunduk, menyembunyikan senyum tipisnya.Namun ketenangan itu hanya bertahan lima detik.TING—Suara elevator berbunyi. Ara dan Leonard sama-sama menoleh.Pintu kaca ruang CEO terbuka. Dan seorang wanita masuk.Wanita itu cantik—cantik dengan cara klasik dan aristokrat: rambut bergelombang rapi, blazer premium, tas branded. Wajahnya menunjukkan kepercayaan diri yang tidak tergoyahkan.“Sayang?” panggilnya sambil melangkah masuk seolah ruangan itu miliknya.Ara langsung menegang
Ara sudah masuk lebih pagi dari biasanya. Bukan karena ada pekerjaan mendesak… tapi karena detak jantungnya sejak tadi malam belum stabil.Bagaimana bisa seseorang yang selama ini ia kagumi dari jauh—pria yang selalu dingin, nyaris tak tersentuh—tiba-tiba berubah menjadi sosok yang begitu dekat, begitu intens, begitu berbahaya bagi warasnya?Nyaris satu kecupan di ruang itu. Satu tarikan napas dekat telinganya. Dan dunia Ara mendadak kehilangan gravitasi.Ara menunduk di meja kerjanya, berusaha terlihat sibuk dengan kalender di layar. Tangannya yang biasanya stabil justru sedikit gemetar."Tenang… jangan sampai kelihatan," gumamnya pelan.Sialnya, tubuhnya punya ingatan yang terlalu baik. Setiap kali ia menutup mata sedikit saja, ia kembali merasakan genggaman Leonard di pinggangnya—hangat, kuat, dan sama sekali tidak profesional.Ara menepuk pipinya sendiri. Fokus. Fokus. Dia bukan cuma asisten… dia pewaris Arananda Group, masa depan perusahaan besar. Dia tidak boleh kehilangan k
Pagi di lantai 52 Atmadja Corp biasanya ramai dengan langkah cepat para staf, suara printer, dan bunyi telepon berdering.Tapi pagi ini ada ritme yang berbeda. Ada bisik-bisik kecil yang cepat menghilang tiap kali Ara lewat.Ara pura-pura tidak sadar. Rambutnya ia ikat rapi, kemeja biru muda dan rok hitam membuatnya tampak profesional… tapi tidak ada yang bisa menutupi aura berbeda yang ia bawa sejak kemarin.Aura yang Leonard kenal.Aura yang membuatnya menatap dua kali.Ketika Ara tiba di ruangannya—ruangan kecil tepat di samping kantor CEO—pintu Leonard langsung terbuka.“Masuk.”Nada suara itu tidak tinggi, tapi padat. Perintah yang tidak memberi ruang berpikir.Ara menutup pintu di belakangnya dan masuk.Leonard berdiri di depan jendela besar, tangan di saku celana, jas hitamnya memeluk tubuh sempurna yang selalu terlihat seperti difoto untuk majalah bisnis. Lampu pagi menyinari siluetnya.Tanpa menoleh, ia berkata,“Laporan cross-check kemarin sudah kamu kumpulkan?”Ara meletakk
Ruang rapat lantai 52 dipenuhi ketegangan yang menggantung pekat. Empat kepala divisi duduk berbaris rapi, tapi tak satu pun berani mengangkat wajah ketika suara pintu terbuka dan langkah berat Leonard memasuki ruangan.Ara berjalan setengah langkah di belakangnya, membawa tablet dan catatan rapat. Sorot matanya tajam, waspada—dia sudah bisa membaca tanda-tandanya sejak di lift.Leonard sedang marah. Bukan marah biasa. Tetapi marah versi Leonard Atmadja: dingin, presisi, dan membuat seluruh ruangan terasa sepuluh derajat lebih dingin.Pria itu meletakkan berkas print out di atas meja dengan suara thap! yang membuat semua orang tersentak.“Siapa,” Leonard memulai tanpa basa-basi, “yang mengubah angka di laporan operasional minggu ini?”Tak ada jawaban. Hanya suara AC yang menyelinap di sela-sela napas tertahan para staf.Ara mengetik cepat, mencatat. Tapi fokusnya tertuju pada rahang Leonard yang mengeras.Leonard menggeser kertas ke tengah meja. “Ini bukan selisih kecil. Ini—” ia meng
Pukul delapan pagi, kantor pusat Atmadja Corp sudah ramai. Namun semuanya berubah begitu lift Presiden Direktur berbunyi.Ding.Leonard Atmadja keluar dengan wajah setenang batu… dan sedingin itu juga.Semua orang langsung menegakkan punggung.Beberapa bahkan menghentikan napas.Ara berjalan setengah langkah di belakangnya sambil membawa tablet kerja, mencoba menyamakan langkah panjang lelaki itu. Aura Leonard pagi ini… berbeda. Lebih gelap, lebih tajam, seperti ada badai yang sedang ditahannya.Begitu masuk ruangannya, Leonard langsung menutup pintu lebih keras dari biasanya.Brak.Alea hampir tersentak.“Pak?” tanyanya hati-hati.Leonard melepaskan jasnya dan melemparnya ke sofa. Napasnya panjang—tanda ia sedang menahan amarah.“Finance Department cari gara-gara,” katanya dingin. “Dan mereka pikir saya tidak akan tahu?”Ara mendekat perlahan. “Kesalahan laporan kemarin?”“Mereka ubah angkanya.” Suara Leonard rendah, mengandung ancaman. “Tanpa izin saya.”Ara tahu apa artinya:Seseor







