Share

Klarifikasi Bela

Ghina meletakkan sepedanya di bagian paling selatan dari parkiran. Ia tiba di sekolah lebih awal dari biasanya. Pagi itu belum tampak adanya kehidupan di sana, padahal biasanya Pak Amin juga sudah berkeliling untuk membuka pintu-pintu kelas.

"Rajin banget, Mbak!" sapa Eli yang lebih akrab disebut dengan Ibu kantin. Perempuan berusia sekitar tiga puluh tahunan tersebut tampak membawa keranjang berisi makanan yang akan dijual di kantin nantinya. Ibu kantin memang seperti itu, dia ramah kepada siapapun termasuk kepada siswa yang bahkan tidak ia ketahui namanya.

"Hehehe, iya, Bu kantin. Lagi siap-siap buat ngisi kantin, ya?" jawab Ghina disertai dengan basa-basi.

"Iya, Mbak. Dari pagi juga udah repot. Makanya belajar yang rajin, ya. Siapa tahu pas udah besar dapat pekerjaan yang nggak bikin capek."

"Siap, Bu. Saya duluan, ya. Mau ke kelas."

"Iya, Mbak."

Ghina berjalan santai melewati koridor bangunan sekolah. Suasana sunyi yang ia rasakan saat ini mungkin akan berubah beberapa menit ke depan. Sebentar lagi setengah tujuh, biasanya para siswa mulai berdatangan. Ghina menuju kelasnya yang sudah dalam kondisi pintu terbuka namun belum terdapat satupun siswa.

"Ternyata kayak gini kalau pagi. Sunyi banget," gumam Ghina.

Setelah meletakkan tasnya, Ghina menepi menuju pinggiran jendela yang langsung menyuguhkan pemandangan pematang sawah dan tampak pula Gunung Lawu yang begitu indah. Pemandangan indah tersebut tidak selalu bisa dinikmati. Adakalanya suhu udara begitu dingin dan menyebabkan kabur tipis menyelimuti.

"Bagus, ya, Ghin?"

Ghina menoleh ke sumber suara. Ternyata ada Reza yang kehadirannya tidak ia sadari. Kejadian tidak terduga tempo hari membuat Ghina sedikit canggung. Hari ini rencananya Ghina akan membuat perhitungan dengan Bela. Bisa-bisanya ia dijebak oleh sahabat sendiri.

"Iya, bagus, nih. Kamu sering berangkat pagi, Za?" tanya Ghina mencoba menghidupkan pembicaraan.

"Ya, kadang, sih."

"Oh, kalau aku jarang." Reza hanya tersenyum menanggapi ucapan Ghina dan kemudian keluar kelas. Ghina mengutuk dirinya, rasanya aneh sekali mencari topik saat bersama Reza. Sudah susah-susah, malah dipatahkan dengan ekspresi datarnya.

Beberapa siswa mulai berdatangan, namun Ghina masih betah untuk menatap ke arah luar. Hijau adalah warna favoritnya. Bisa menikmati indahnya pegunungan dan sawah merupakan hal yang paling ia suka.

"Ghin, berangkat jam berapa? Aku liat sepeda kamu di paling depan."

Yang ditunggu akhirnya datang. Bela dengan wajah tanpa dosanya menghampiri dan merengkuh Ghina. Ghina dengan sigap langsung menepis tangan Bela, pura-pura marah.

"Lho, ada apa, Ghin?" tanya Bela.

"Ada apa? Kemarin siang itu maksud apa?"

"Yang mana?"

Bela mulai terlihat sedikit panik. Mungkin dia pikir Ghina tidak akan murka. Ya, walaupun yang ia lihat saat ini Ghina sedang marah, sebenarnya gadis itu hanya berniat untuk memberi pelajaran. Hal seperti kemarin tidak seharusnya ia lakukan. Efeknya bisa buruk sekali. Selain bisa membuat Ghina salah tingkah, gadis itu juga bisa malu ketika bertemu Reza.

"Kamu pura-pura lupa. Es krim kemarin sebenarnya dari siapa? Jawab yang jujur, Bel!" Ghina memegang tangan Bela dengan kuat.

"Eh, itu? Itu dari Reza. Kan, aku udah bilang dari Reza."

"Bukan, Reza nggak ngasih itu ke aku!"

"Kamu tahu dari mana?"

"Aku langsung tanya ke dia pulang sekolah kemarin. Aku malu banget, Bel. Aku udah seneng, bilang makasih, dia malah plonga-plongo."

"Eh, maaf, Ghin. Itu aku lakuin juga demi kamu, lho."

"Aku? Aku kenapa, Bel?"

"Biar bisa dekat sama Reza. Kalian cocok."

"Ha? Ide kamu terlalu gila, Bel!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status