Share

1. Interview

Jakarta, 2 Februari 2017

Andra tiba di lobi pukul 08.05. Gadis itu masih punya kurang lebih setengah jam untuk mengatur napas dan bersantai. Menyiapkan diri menghadapi interview dengan Procurement Manager yang akan menjadi atasannya nanti.

Info dari Vanty, bakal atasannya ini sangar bukan main. Bujangan berusia 37 tahun, lulusan S2 dari sebuah perguruan tinggi di Amerika. Lelaki itu tidak suka kalau anak buahnya tidak datang tepat waktu.

Vanty adalah salah satu teman yang dikenal Andra dari sebuah komunitas menulis online. Mungkin ini yang dinamakan jodoh. Dari perempuan itu Andra memperoleh informasi lowongan pekerjaan yang sedang dibuka oleh Cakrawangsa Persada Group. Vanty sendiri bekerja di bagian keuangan di kantor Surabaya.

Andra sudah mengikuti tes tertulis dan wawancara dengan HRD seminggu lalu. Hasilnya sangat memuaskan. Oleh sebab itu, perusahaan kembali menghubunginya untuk proses interview dengan user.

"Kamu yang tabah ya dengerin omongan dia. Kayaknya, dia memang udah jutek sejak masih jadi embrio. Yang penting kan gajinya bagus," pesannya via voice call sebuah aplikasi percakapan semalam.

Gedung perusahaan itu terletak di sisi jalan tol di pinggiran Jakarta. Terdiri dari 8 lantai dengan desain minimalis. Di lantai paling bawah, mereka membuka show room produk furnitur yang menjadi bisnis utama mereka. Juga ada ethnic fashion outlet yang lumayan ramai dikunjungi orang. Ada pula gerai coffee shop yang menawarkan konsep outdoor. Tempat duduk untuk pelanggan diletakkan berdekatan dengan area parkir. Orang-orang dari luar pun banyak yang mampir untuk kongko saat makan siang atau jam pulang kerja.

"Ibu Diandra Amaranggana Hadiwibowo," seorang resepsionis memanggil dan mengantar Andra ke salah satu ruang meeting di lantai dua. "Ruang Teratai" begitu nama ruangan berukuran 4 x 4 meter itu.

Kurang lebih 15 menit setelah resepsionis meninggalkan ruangan, dua orang datang menemuinya.

Yang satu seorang perempuan berusia 40-an yang enerjik. Yang satu lagi seorang laki-laki berusia pertengahan 30-an yang tampak acuh tak acuh. Dia adalah bos killer yang diceritakan Vanty pada Andra.

“Kalau mau jujur, sebenarnya dia ganteng,” puji Andra dalam hati pada sosok yang sekarang berdiri di seberangnya sedang menarik kursi. “Kok, sepertinya, aku pernah lihat, ya? Tapi di mana?”

Lelaki itu memang mengingatkan Andra pada sosok Reginald Kray di film Legend. Rambut dipotong pendek dengan sentuhan pomade sehingga tampak klimis dan klasik. Hanya saja, lelaki itu memiliki rambut bergelombang. Bukan lurus.

Hari itu, dia mengenakan setelan jas abu-abu pas badan. Di baliknya, lelaki itu memakai kemeja putih yang bagian atasnya dibiarkan terbuka.

Namun, bukan itu yang membuat Andra merasa lelaki itu begitu familiar. Gadis itu yakin, mereka pernah bertemu sebelumnya.

Setelah saling bersalaman, lelaki itu duduk di hadapannya. Sementara perempuan bernama Alena itu duduk di sampingnya sambil membuka-buka file milik Andra.

"Mbak Diandra, kenalkan, saya Alena dari tim procurement. Kalau nanti Mbak Andra diterima, kita akan bekerja sama. Kenalkan juga, ini Pak Bram, pemimpin bagian procurement," tutur si perempuan yang telinganya dihiasi anting-anting panjang dari rangkaian manik-manik.

“Sebelum Pak Bram mengajukan beberapa pertanyaan, silakan Mbak perkenalkan diri.”

Andra menarik napas panjang bermaksud menanggapi Alena. Bram tahu-tahu menyela, "Coba ceritakan job desk kamu di perusahaan sebelumnya. Jelaskan juga kenapa kami pantas membayar kamu sebesar gaji yang kamu minta."

“Hmmm, ini sih bukan jutek, tapi nggak sopan!” komentar Andra dalam hati. Gadis itu kemudian menguraikan secara detail apa yang diminta oleh lelaki bernama Bramastya Abimanyu Prawiradirga itu.

Bram mendengarkan sambil menggumam dan manggut-manggut. Sementara itu, Alena memberikan tatapan tanpa ekspresi ke arah Andra.

"Kenapa kamu resign?" tanyanya lagi sambil menautkan sebelah alis.

"Sebenarnya, bukan resign, Pak. Saya terkena PHK," jawab Andra setelah menghela nafas pelan.

“Oh, ya? Kenapa sampai di PHK?” Nada suaranya terdengar datar. Seolah-olah itu bukan sesuatu yang luar biasa baginya.

“Perusahaannya bangkrut.”

Kali ini Bram menyeringai seakan mengejek. "Apa yang sudah kamu lakukan sampai mereka bangkrut?"

"Saya dengar kalau pemiliknya salah mengelola keuangan, Pak."

Apakah orang ini benar-benar mengira bahwa Andralah penyebabnya? Melihat respon keduanya, terutama lelaki menyebalkan itu, Andra hanya bisa pasrah. Jika mereka memupuskan harapannya, Andra masih bisa menyebarkan lamaran ke tempat lain.

Namun, tanpa diduga, ketegangan di wajah Bram malah mengendur. Lelaki itu meletakkan kedua tangan di atas meja dan mencondongkan badan ke arahnya. “Kamu tinggal dengan siapa?” tanya lelaki itu. Tatapannya seakan menembus ke dalam isi kepala Andra.

“Sendiri, Pak,” jawab Andra sembari menahan napas. Debar di dadanya mendadak jadi tidak beraturan.

“Tinggal di tempat kos?”

“Iya.” 

“Kamu tidak punya keluarga atau saudara di Jakarta?”

“Ada, Pak. Hanya saja saya lebih nyaman jika tinggal sendiri.”

Lelaki itu terdiam sesaat. Tangan kirinya terlipat di dada. Tangan kanannya mengelusi dagu. Tak lama kemudian dia berkata, "OK. Kamu beruntung. Hari Senin, usahakan untuk datang sebelum jam 08.00.”

Ucapannya itu membuat Andra ternganga. “Senin ini, Pak?” Gadis itu masih tidak percaya mendapat keputusan secepat itu.

“Iya. Senin ini. Kalau kamu tidak datang, saya anggap kamu benar-benar tidak cocok bekerja di sini. Saya akan informasikan ke HRD untuk memasukkan nama kamu pada daftar hitam. OK. Saya rasa cukup."

Lelaki itu tidak peduli dengan Andra yang terkesima mendengar pidatonya. Dia malah berdiri meninggalkan ruangan. "See you around.”

“Ini serius kan? Dia nggak sedang bercanda kan?” Andra bertanya dalam hati.

Sikap lelaki itu membuat dada Andra bergemuruh. Gadis itu tidak tahu apakah harus bahagia atau bingung. Sebelum Andra sempat mencerna apa yang terjadi, Alena mempersilahkannya meminum air mineral yang disiapkan di atas meja. Kemudian, perempuan itu mengantar Andra sampai ke pintu.

"See you on Monday, Diandra."

"See you, Ma'am.”

Saat Andra melintasi area parkir, angin berhembus sepoi-sepoi dan merontokkan kuntum-kuntum tabebuya aneka warna. Langit juga tampak sendu.

Gadis itu memilih bersyukur diterima bekerja setelah empat bulan menganggur. Meskipun kesal mengingat sikap Bram.

Andra memutuskan mampir ke coffee shop. Gadis itu memesan satu cup cappucinno dan duduk di salah satu meja di pelataran. Bermaksud menenangkan diri setelah shock therapy yang dihadapinya sesaat lalu.

[Mbak Vanty, aku diterima. Senin mulai masuk.]

Begitu bunyi pesan yang Andra kirim pada Vanty. Vanty menjawabnya 5 menit kemudian.

[Selamat ya, Non. Nanti kita lanjut lagi. Aku masih ada meeting.]

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status