Andra tiba di lobi pukul 08.05. Gadis itu masih punya kurang lebih setengah jam untuk mengatur napas dan bersantai. Menyiapkan diri menghadapi interview dengan Procurement Manager yang akan menjadi atasannya nanti.
Info dari Vanty, bakal atasannya ini sangar bukan main. Bujangan berusia 37 tahun, lulusan S2 dari sebuah perguruan tinggi di Amerika. Lelaki itu tidak suka kalau anak buahnya tidak datang tepat waktu.
Vanty adalah salah satu teman yang dikenal Andra dari sebuah komunitas menulis online. Mungkin ini yang dinamakan jodoh. Dari perempuan itu Andra memperoleh informasi lowongan pekerjaan yang sedang dibuka oleh Cakrawangsa Persada Group. Vanty sendiri bekerja di bagian keuangan di kantor Surabaya.
Andra sudah mengikuti tes tertulis dan wawancara dengan HRD seminggu lalu. Hasilnya sangat memuaskan. Oleh sebab itu, perusahaan kembali menghubunginya untuk proses interview dengan user.
"Kamu yang tabah ya dengerin omongan dia. Kayaknya, dia memang udah jutek sejak masih jadi embrio. Yang penting kan gajinya bagus," pesannya via voice call sebuah aplikasi percakapan semalam.
Gedung perusahaan itu terletak di sisi jalan tol di pinggiran Jakarta. Terdiri dari 8 lantai dengan desain minimalis. Di lantai paling bawah, mereka membuka show room produk furnitur yang menjadi bisnis utama mereka. Juga ada ethnic fashion outlet yang lumayan ramai dikunjungi orang. Ada pula gerai coffee shop yang menawarkan konsep outdoor. Tempat duduk untuk pelanggan diletakkan berdekatan dengan area parkir. Orang-orang dari luar pun banyak yang mampir untuk kongko saat makan siang atau jam pulang kerja.
"Ibu Diandra Amaranggana Hadiwibowo," seorang resepsionis memanggil dan mengantar Andra ke salah satu ruang meeting di lantai dua. "Ruang Teratai" begitu nama ruangan berukuran 4 x 4 meter itu.
Kurang lebih 15 menit setelah resepsionis meninggalkan ruangan, dua orang datang menemuinya.Yang satu seorang perempuan berusia 40-an yang enerjik. Yang satu lagi seorang laki-laki berusia pertengahan 30-an yang tampak acuh tak acuh. Dia adalah bos killer yang diceritakan Vanty pada Andra.
“Kalau mau jujur, sebenarnya dia ganteng,” puji Andra dalam hati pada sosok yang sekarang berdiri di seberangnya sedang menarik kursi. “Kok, sepertinya, aku pernah lihat, ya? Tapi di mana?”
Lelaki itu memang mengingatkan Andra pada sosok Reginald Kray di film Legend. Rambut dipotong pendek dengan sentuhan pomade sehingga tampak klimis dan klasik. Hanya saja, lelaki itu memiliki rambut bergelombang. Bukan lurus.
Hari itu, dia mengenakan setelan jas abu-abu pas badan. Di baliknya, lelaki itu memakai kemeja putih yang bagian atasnya dibiarkan terbuka.
Namun, bukan itu yang membuat Andra merasa lelaki itu begitu familiar. Gadis itu yakin, mereka pernah bertemu sebelumnya.
Setelah saling bersalaman, lelaki itu duduk di hadapannya. Sementara perempuan bernama Alena itu duduk di sampingnya sambil membuka-buka file milik Andra.
"Mbak Diandra, kenalkan, saya Alena dari tim procurement. Kalau nanti Mbak Andra diterima, kita akan bekerja sama. Kenalkan juga, ini Pak Bram, pemimpin bagian procurement," tutur si perempuan yang telinganya dihiasi anting-anting panjang dari rangkaian manik-manik.
“Sebelum Pak Bram mengajukan beberapa pertanyaan, silakan Mbak perkenalkan diri.”
Andra menarik napas panjang bermaksud menanggapi Alena. Bram tahu-tahu menyela, "Coba ceritakan job desk kamu di perusahaan sebelumnya. Jelaskan juga kenapa kami pantas membayar kamu sebesar gaji yang kamu minta."
“Hmmm, ini sih bukan jutek, tapi nggak sopan!” komentar Andra dalam hati. Gadis itu kemudian menguraikan secara detail apa yang diminta oleh lelaki bernama Bramastya Abimanyu Prawiradirga itu.
Bram mendengarkan sambil menggumam dan manggut-manggut. Sementara itu, Alena memberikan tatapan tanpa ekspresi ke arah Andra.
"Kenapa kamu resign?" tanyanya lagi sambil menautkan sebelah alis.
"Sebenarnya, bukan resign, Pak. Saya terkena PHK," jawab Andra setelah menghela nafas pelan.
“Oh, ya? Kenapa sampai di PHK?” Nada suaranya terdengar datar. Seolah-olah itu bukan sesuatu yang luar biasa baginya.
“Perusahaannya bangkrut.”
Kali ini Bram menyeringai seakan mengejek. "Apa yang sudah kamu lakukan sampai mereka bangkrut?"
"Saya dengar kalau pemiliknya salah mengelola keuangan, Pak."
Apakah orang ini benar-benar mengira bahwa Andralah penyebabnya? Melihat respon keduanya, terutama lelaki menyebalkan itu, Andra hanya bisa pasrah. Jika mereka memupuskan harapannya, Andra masih bisa menyebarkan lamaran ke tempat lain.
Namun, tanpa diduga, ketegangan di wajah Bram malah mengendur. Lelaki itu meletakkan kedua tangan di atas meja dan mencondongkan badan ke arahnya. “Kamu tinggal dengan siapa?” tanya lelaki itu. Tatapannya seakan menembus ke dalam isi kepala Andra.
“Sendiri, Pak,” jawab Andra sembari menahan napas. Debar di dadanya mendadak jadi tidak beraturan.
“Tinggal di tempat kos?”
“Iya.”
“Kamu tidak punya keluarga atau saudara di Jakarta?”
“Ada, Pak. Hanya saja saya lebih nyaman jika tinggal sendiri.”
Lelaki itu terdiam sesaat. Tangan kirinya terlipat di dada. Tangan kanannya mengelusi dagu. Tak lama kemudian dia berkata, "OK. Kamu beruntung. Hari Senin, usahakan untuk datang sebelum jam 08.00.”
Ucapannya itu membuat Andra ternganga. “Senin ini, Pak?” Gadis itu masih tidak percaya mendapat keputusan secepat itu.
“Iya. Senin ini. Kalau kamu tidak datang, saya anggap kamu benar-benar tidak cocok bekerja di sini. Saya akan informasikan ke HRD untuk memasukkan nama kamu pada daftar hitam. OK. Saya rasa cukup."
Lelaki itu tidak peduli dengan Andra yang terkesima mendengar pidatonya. Dia malah berdiri meninggalkan ruangan. "See you around.”
“Ini serius kan? Dia nggak sedang bercanda kan?” Andra bertanya dalam hati.
Sikap lelaki itu membuat dada Andra bergemuruh. Gadis itu tidak tahu apakah harus bahagia atau bingung. Sebelum Andra sempat mencerna apa yang terjadi, Alena mempersilahkannya meminum air mineral yang disiapkan di atas meja. Kemudian, perempuan itu mengantar Andra sampai ke pintu.
"See you on Monday, Diandra."
"See you, Ma'am.”
Saat Andra melintasi area parkir, angin berhembus sepoi-sepoi dan merontokkan kuntum-kuntum tabebuya aneka warna. Langit juga tampak sendu.
Gadis itu memilih bersyukur diterima bekerja setelah empat bulan menganggur. Meskipun kesal mengingat sikap Bram.
Andra memutuskan mampir ke coffee shop. Gadis itu memesan satu cup cappucinno dan duduk di salah satu meja di pelataran. Bermaksud menenangkan diri setelah shock therapy yang dihadapinya sesaat lalu.
[Mbak Vanty, aku diterima. Senin mulai masuk.]
Begitu bunyi pesan yang Andra kirim pada Vanty. Vanty menjawabnya 5 menit kemudian.
[Selamat ya, Non. Nanti kita lanjut lagi. Aku masih ada meeting.]
Jakarta, 2 Februari 2017 "Kamu yakin dengan keputusan merekrut anak itu, Bram?" cecar Alena begitu dipersilakan duduk oleh Bram. Saat ini, mereka sedang berada di sebuah ruang kaca di pojok area procurement. "Pengalaman kerjanya kurang mumpuni." Usai menemani Bram melakukan wawancara, perempuan itu kembali menemuinya. Alena masih tidak habis pikir dengan pilihan yang diambil atasannya itu. Kandidat yang disetujui Bram menurutnya masih terlalu hijau. Perempuan itu jadi menduga kalau Bram merekrutnya karena alasan pribadi. Memang dari luar sikap Bram tampak seperti biasanya. Dingin dan sinis. Namun, kandidat yang mereka temui kurang dari satu jam lalu itu punya daya tarik. Tidak terlalu cantik memang, tetapi berkesan. Gadis itu masih muda, polos, dan seperti ada sesuatu dalam dirinya. Jangan sampai performa tim jadi tidak karuan hanya karena sang manajer sedang jatuh cinta. "Kalau saya sudah memutuskan artinya saya yakin, Alena," tegas Bram sambil menyilangkan kedua tangan di d
Jakarta, 2 Februari 2017 Untung saja Andra punya sejumlah tagihan untuk dibayar. Termasuk cicilan rumah yang ditempati ibunya. Jika tidak, gadis itu akan berpikir seribu kali menerima kesempatan bekerja di perusahaan itu. Calon atasannya saja jutek begitu. Sikapnya seakan tidak menghargai. Seperti mau tak mau, terpaksa, atau apalah, menerima Andra bergabung dalam perusahaan. Belum lagi perempuan yang mendampinginya seakan mencoba mematahkan harapan gadis itu. Semua ini harus Andra jalani akibat peristiwa empat bulan lalu. Gadis itu terkena PHK dari sebuah perusahaan distributor mesin kopi. Perusahaan pertama yang merekrutnya setelah lulus kuliah. Uang tabungan Andra selama tiga tahun hampir menipis saat ini. Untuk menyambung hidup, dia mengirimkan tulisan-tulisannya ke berbagai media. Honor yang diterimanya tidak seberapa. Gadis itu tidak berani pulang ke rumah. Andra tidak tega kalau harus menambah beban ibunya. Biarlah sang ibu merasa bahagia mengisi masa tua dengan mengurus tok
Jakarta, 7 Februari 2018 Jam di layar laptop sudah menunjukkan pukul 20.10. Semua penghuni ruang procurement sudah pulang. Hanya tersisa Andra, seorang import staff, dan bos workaholic yang masih betah berdiam di dalam ruang kaca. Andra bermaksud memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. Ada telepon genggam, kacamata anti radiasi, dan kotak bekal berisi kudapan yang sudah tandas. Namun, telepon di mejanya tiba-tiba berdering. “Rara, bisa ke sini sebentar? Sekarang,” perintah suara di seberang sana. Siapa lagi yang memanggilnya "Rara" kalau bukan si bos workaholic? Padahal, gadis itu sudah menuliskan di formulir data karyawan bahwa nama panggilannya adalah Andra. Tanpa menunggu jawaban darinya, lelaki itu meletakkan gagang telepon. Andra tahu, dia tidak punya pilihan selain segera menampakkan diri di depannya. Jangan bilang ada tugas tambahan lagi. Mau pulang jam berapa? Andra mengeluh dalam hati. Akan tetapi, diraihnya note book dan pulpen sebelum beranjak ke samping kubikelny
Jakarta, 19 Januari 2013 Malam itu di sebuah ballroom gedung di kawasan Jakarta Selatan. Harris Setiawan menghampiri Bram. Bram berdiri sendirian di samping meja minuman. Lelaki itu tengah menyesap segelas infuse water. Bram bukan enggan bersosialisasi dengan para kerabat dan saudara. Dia hanya sedang tidak berminat untuk berbasa-basi. Terlebih, sang ayah tampak kurang berkenan dengan kehadirannya. Padahal, Bram datang hanya demi Talitha, adiknya semata wayang. Gadis itu sedang berpamitan ke rest room untuk membenahi dandanannya. "Hei, Bram! Apa kabar? Sendirian aja. Mana calonnya? Kapan nih nyusul Satria?" sapanya sambil menjabat tangan Bram. Istri lelaki itu hanya tersenyum di sampingnya. Wajahnya teduh dan ayu. Dia mengenakan kebaya berwarna biru elektrik dengan jarik dan selendang batik hitam yang tampak serasi. Rautnya mengingatkan Bram pada sang ibu. Perempuan yang tidak layak untuk ditipu. "Hei, Om Harris. Apa kabar? Nyusul apa nih, Om?" Bram balik bertanya sebelum menyesap
Jakarta, 7 Februari 2018 "Langsung pulang, Ra. Jangan keluyuran. Sudah malam." Andra terhenyak mendengar suara parau yang menyapa pendengarannya. Gadis itu menoleh ke arah si empunya. Lelaki itu sedang menatap lurus ke pintu lift. Mereka hanya berdua saja di dalam. Berdiri bersisian dengan jarak sehasta. Kebetulan, seluruh karyawan lantai 7 memang sudah membubarkan diri. Termasuk staff yang tadinya masih tersisa di procurement. Begitu pula dengan karyawan di lantai lain. Dalam hati, gadis itu bertanya-tanya. Apa gerangan yang ada di benak lelaki itu? Mengapa dia jadi perhatian begini? Bukankah tadi, Bram menahan Andra di ruangannya? Seperti tidak mau tahu bahwa gadis itu sudah penat. "Iya, Pak. Saya juga sudah mengantuk," jawab Andra tanpa tedeng aling-aling. Bram malah terkekeh. Matanya terpaku pada Tag Heuer chronograph dengan steel strap yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul 20.50. "Baru jam segini sudah mengantuk." Lagi-lagi, Andra menengok. Dalam hati, gadis itu m
Jakarta, 19 Januari 2013 “Mas Bram! Ayo ganti seragam dulu. Nanti kan mau foto keluarga.” Bram tersentak ketika seorang gadis memanggilnya. Serta merta lelaki itu meletakkan gelas di tangannya. Hampir saja isinya tumpah mengenai setelan jas hitam yang dia pakai. Tanpa memedulikan kerepotannya, sang gadis menggamit lengan Bram. Menggiring lelaki itu ke ruang ganti. “Jangan seret-seret Mas kaya gini, dong, Dek,” protes Bram. “Biarin!” "Nanti kamu dikira pacaran sama om-om, lho!" Gadis itu tergelak mendegar gurauan Bram. "Nggak apa-apa. Siapa suruh sembarangan mengambil kesimpulan?" Gadis yang ternyata adalah Talitha itu memperlambat langkahnya. Senyum cerianya mengembang pada wajah-wajah yang menyapa. Malam itu, Talitha mengenakan kebaya kutu baru berwarna keemasan dan kain batik perpaduan warna coklat tua dan krem. Rambut gadis itu ditata dengan sanggul Jawa klasik. Sama seperti para wanita lain yang merupakan keluarga inti dari pihak kedua mempelai. Mereka berjalan
Jakarta, 7 Februari 2018 Terjangan jarum-jarum bening dari langit baru saja mereda. Namun, genangan yang tersisa di sepanjang permukaan aspal menjadikan arus lalu lintas sedikit merayap. Pandangan yang terhalau embun membuat kendaraan harus bergerak perlahan. Menjaga jarak aman dengan kendaraan lain. Sementara, bunyi klakson bersahutan meningkahi udara malam yang lebih dingin dari biasanya. Dari belakang kemudi, Bram mengatur temperatur pendingin. Ekor matanya menangkap Andra bersidekap di sampingnya. Sesekali, gadis itu menguap. Ada iba menyelinap ke relung pria itu. Blouse yang dikenakan Andra sedikit basah akibat menerobos hujan di parkiran tadi. Bram khawatir kalau dia jatuh sakit. “Kamu ngantuk, Ra?” Bram mengakhiri kebisuan di antara mereka sejak hampir setengah jam lalu. “Ngantuk, Pak,” sahut Andra singkat. Dalam hati gadis itu bergumam, “Pasti dia mau menyindir lagi.” Suara seorang reporter laki-laki menghilang dari radio. Digantikan dengan Lovesong dari The Cure. D
Jakarta, 6 Agustus 2001 "Kalau kamu bukan anakku, sudah kukirim kamu ke penjara!" hardik Baswara Prawiradirga. Pria itu berdiri sambil menodongkan telunjuk pada seorang laki-laki muda di hadapannya. Pemuda berusia 21 tahun itu duduk bersandar di salah satu sisi sofa panjang dari kulit berwarna coklat tua. Rambutnya ikal tergerai sedikit melewati bahu. Cuping hidung mancungnya dihiasi sebentuk anting perak. Sebagaimana telinga kirinya.Dia menatap Baswara tanpa ekspresi. Membuat bara di dada orang tua itu kian meletup-letup. "Sabar, Mas," bujuk Adhilangga Prawiradirga, sang adik, seraya menepuk-nepuk bahunya. "Kita selesaikan masalah ini baik-baik." "Bagaimana aku bisa sabar? Anak ini harus diberi pelajaran!" Baswara mengepalkan tangan kanannya. "Tenang, Mas! Tenang! Jangan sampai semua tambah runyam!" Adhil membimbing sang kakak agar kembali ke tempat duduknya: sebuah kursi besar yang terbuat dari kulit berwarna hitam. Kemudian, lelaki berusia awal 40 an itu berpaling kepada kepon