Share

Asmara dalam Prahara
Asmara dalam Prahara
Author: Nina Milanova

Prolog

Jakarta, 26 April 2018

“Pak, sebaiknya saya kembali saja ke kantor,” ujar Andra terengah-engah sambil berpaling. Perlahan gadis itu membebaskan diri dari Bram yang masih melingkarkan lengan di tubuhnya.

Lelaki itu mengambil jarak sejengkal. Memandangi rona merah yang tersirap di pipi Andra. Membelai rambut gadis itu yang tergerai di atas sofa. Hanya dua hari tidak bertemu, rindunya sudah semenggelegak ini. Jadi, bukannya menuruti permintaan gadis itu, Bram malah berbisik, “I miss you, Ra.”

Kedua pipi gadis itu kian bersemu. Bram tidak berdusta ketika mengatakannya. Andra bergeming. Tidak berani menatap ke dalam sepasang mata kelamnya. Debar di dada kian menggila. Gadis itu ingin menghilang saja. Dia tidak tahu apa yang harus diucapkan. Tidak punya ide sama sekali. Andra bahkan berharap ini semua hanya mimpi.

Seandainya, Andra punya cukup keberanian, seharusnya dia membalas, “I miss you, too.”

Akan tetapi, Andra tidak sanggup. Rasa yang dipendamnya selama ini terlalu besar sampai membuat dirinya sendiri takut. Atau, sepantasnya dia menghadiahi lelaki itu sebuah tamparan karena sudah lancang menciumnya. Bukan malah menyambut dan membalas sampai hampir lupa diri.

Sebelum suasana menjadi makin canggung, bel berbunyi. Tak lama kemudian, benda pipih berwarna hitam di atas meja juga ikut menjerit. Bram menyambarnya dengan malas.

Sedangkan Andra menegakkan tubuh dan menggeser duduknya. Menciptakan ruang di antara dirinya dan Bram. Dikaitkannya kembali kancing blouse yang terlepas akibat ulah Bram.

“Ya, Mel. Ada apa?” sapa Bram. Orang di seberang sana mencerna sesuatu yang berbeda dari suara lelaki itu. Samar telinga Amara menangkap wanita itu menceracau sebelum Bram mendengkus, “Mau apa kamu ke sini?”

“Ya, Tuhan! Itu Imel?!” pekik Andra dalam hati. Jantungnya seakan melompat dari tempat semula. “Mau apa dia datang ke sini?”

Andra jadi mengutuki diri. Semestinya, dia langsung menuju ke kantor begitu urusan di Bea Cukai Tanjung Priok selesai. Bukan mengiyakan perintah Bram untuk mampir mengambil beberapa contract order yang sudah ditandatanganinya. Ah, tetapi dokumen-dokumen itu juga penting dan harus segera diemail ke suplier hari ini.

Kalau bisa, rasanya Andra ingin bersembunyi. Ketimbang harus berkonfrontasi dengan perempuan itu.

Bram menyadari kegelisahan gadis itu. Andra terlihat seperti seekor anak kucing yang ketakutan tetapi berusaha tenang. Gadis itu duduk bersila di sofa, meletakkan laptop ke pangkuannya, dan mulai mengerjakan sesuatu.

Andra bersikap seolah-olah itulah yang dikerjakannya sejak tadi. Sebelum Bram gagal menahan diri untuk tidak menciumnya. Bram tidak menyangka, berduaan saja dengan Andra ternyata seberbahaya ini. Lelaki itu jadi merasa bersalah.

Bona, yang semula sedang duduk di pembatas balkon datang menghampiri. Kucing jantan berbulu abu-abu itu naik ke sofa, lalu meringkuk di samping Andra.

“Don’t worry, Kid. I’ll handle this,” tuturnya, bersiap beranjak membuka pintu.

Kid? Andra mengernyit. Jika saja situasinya tidak seperti ini, pasti dia sudah memprotes. Sejak kapan dia setuju dipanggil dengan sebutan itu?

“Biar saya yang buka pintunya,” tukas Andra menawarkan bantuan. Diturunkannya kedua kakinya hingga menjejak lantai.

Andra pikir, akan lebih baik jika dia yang muncul di depan pintu. Agar Imel tidak berprasangka macam-macam. Kondisi Bram sedang tidak terlalu baik akibat kecelakaan motor yang dialaminya.

Bram mencegah, “Tidak usah. Kamu email Niken saja. Minta dia memproses permintaan pembelian yang sudah tertunda beberapa hari. Suruh Alena bantu approval by system. Kalau sudah kamu print di sini. Sekalian saya tanda tangani. Nanti di kantor kamu tinggal ajukan ke direksi.”

Kaki kanannya memang masih terasa sakit dan dia harus memakai kruk. Tetapi Bram masih sanggup berjalan. Dia tidak sedang sekarat. Bahkan dalam keadaan seperti ini, Bram masih terpikir untuk melindungi Andra.

“Oke,” sahut gadis itu seraya menyaksikan Bram tertatih menuju pintu.

Begitu pintu terbuka, seorang perempuan langsung menerobos masuk. “Gimana, Bram? Kamu udah mendingan? Ini aku bawakan makan siang.”

Bram bermaksud menghalangi tetapi Imel sudah terlanjur berada di dalam. Perempuan itu ternganga begitu mendapati Andra sedang duduk manis di sofa kelabu. Gadis itu mengangguk dan tersenyum kepadanya.

“Lho? Kok kamu di sini, Ndra? Nggak jadi ke Tanjung Priok?” tanya Imel curiga.

Andra baru saja hendak membuka mulut ketika Bram menyela, “Dia sudah balik, Mel. Saya yang suruh dia mampir ke sini dulu. Ada dokumen yang harus diambil. Ada juga yang perlu saya tanda tangani. Biar tidak bolak-balik.”

Imel tidak menggubris penjelasan Bram. Perempuan berambut lurus berwarna merah menyala itu mengayunkan kaki ke area tempat Andra duduk. Layaknya dialah pemilik apartemen tipe studio itu.

Perempuan itu meletakkan paper bag berisi makanan di atas meja. Dia memang sengaja menyempatkan diri mampir ke sebuah café untuk take away dalam perjalanan ke apartemen Bram. Imel kemudian menjatuhkan bokongnya di sofa. Tepat di samping Andra.

“Lagi ngerjain apa kamu?” selidiknya seraya mengintip ke layar di depan gadis itu dari tempatnya.

“Minta Niken kirim dokumen, Bu,” jawab Andra, masih mengatur derap di dada.

Aura permusuhan begitu kuat mulai melingkupi ruangan. Memangnya dia pikir apa? Buka situs online dating atau social media?

“Percuma kamu email dia. Niken sedang dalam perjalanan menuju ke sini. Saya yang suruh dia buat mendampingi Bram. Ya, in case ada yang Bram perlukan. Kamu lebih baik kembali ke kantor. Bukannya pekerjaan kamu banyak, ya? Apa kamu sekarang menyambi jadi perempuan panggilan?” cemooh Imel.

Bukan tanpa alasan Imel mengutarakan itu. Hidungnya mengedus wangi parfum dari tubuh Andra. Mirip sekali dengan yang sekilas menyapa penciumannya ketika melewati Bram tadi. Ditambah, darahnya memang sudah mendidih sejak Bram menjawab telepon.

“Apa-apaan kamu, Mel?!” tegur Bram masih di tempatnya berdiri.

Lelaki itu melirik Andra yang berpura-pura tidak terpengaruh oleh ucapan Imel. Bram tahu, gadis itu sebenarnya panik setengah mati. Sementara, Bona yang semula acuh tak acuh mulai menggeram ke arah Imel.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Firly Hendranata
Halalin dulu donk, Mas! Jangan main sosor aja.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status