"Kamu yakin dengan keputusan merekrut anak itu, Bram?" cecar Alena begitu dipersilakan duduk oleh Bram. Saat ini, mereka sedang berada di sebuah ruang kaca di pojok area procurement. "Pengalaman kerjanya kurang mumpuni."
Usai menemani Bram melakukan wawancara, perempuan itu kembali menemuinya. Alena masih tidak habis pikir dengan pilihan yang diambil atasannya itu. Kandidat yang disetujui Bram menurutnya masih terlalu hijau.
Perempuan itu jadi menduga kalau Bram merekrutnya karena alasan pribadi. Memang dari luar sikap Bram tampak seperti biasanya. Dingin dan sinis.
Namun, kandidat yang mereka temui kurang dari satu jam lalu itu punya daya tarik. Tidak terlalu cantik memang, tetapi berkesan. Gadis itu masih muda, polos, dan seperti ada sesuatu dalam dirinya. Jangan sampai performa tim jadi tidak karuan hanya karena sang manajer sedang jatuh cinta.
"Kalau saya sudah memutuskan artinya saya yakin, Alena," tegas Bram sambil menyilangkan kedua tangan di dada.
Terus terang, lelaki itu tidak suka jika kompetensinya dalam mengambil keputusan dipertanyakan. Lagipula, bila ada alasan-alasan tersendiri, Bram merasa punya hak untuk menyimpannya. Pihak manajemen sudah memberikan wewenang padanya. Jadi, pendapat dari pihak lain baginya hanya sebagai bahan pertimbangan. Bukan untuk dituruti. Toh, Bram yang bertindak sebagai penanggung jawab dalam tim procurement.
"Mengapa nggak memilih kandidat yang lebih qualified atau sekalian yang overqualified? Ada lulusan S2 dari overseas. Ada lulusan terbaik dari universitas negeri terkemuka. Semuanya juga punya skill yang terbukti. Mereka punya pengalaman bekerja di perusahaan bonafide. Setidaknya, apa yang mereka tawarkan kurang lebih setara dengan Wynne."
Wynne yang dibicarakan oleh Alena adalah anggota tim yang mengundurkan diri secara mendadak bulan lalu. Padahal, perempuan itu sudah malang melintang di perusahaan. Wynne sudah bergabung selama hampir sepuluh tahun. Alasannya adalah karena mulai sakit-sakitan akibat pekerjaan yang overload. Ternyata, perempuan itu 'dibajak' oleh sebuah ritel furniture yang telah lama menjadi customer perusahaan.
"Maksud kamu supaya dia dapat berpikir untuk melarikan diri setelah mendapat begitu banyak dari perusahaan?” balas Bram sinis.
“Bukan begitu, Bram, setidaknya dia bisa lebih cepat mengimbangi ritme dan kinerja tim. Bisa membawa energi seperti Wynne,” sanggah Alena.
Dalam hati, perempuan itu mencebik. Apa gerangan yang membuat Bram berkata seperti itu? Memang dia mendapatkan apa sampai berpikir seperti pemilik perusahaan? Jangan-jangan dia punya saham di sini.
“Wynne sudah tidak di sini lagi, Al. Jadi lebih baik kita berhenti menyebut-nyebut namanya. Biar dia tenang di alamnya yang sekarang. Berhenti menganggap procurement ini adalah representasi dari Wynne.”
Alena terkesiap mendengar perkataan Bram. Dia baru sadar sudah terlalu banyak bicara tentang mantan rekan kerjanya itu.
Sudah rahasia umum jika Wynne dulu begitu menginginkan posisi Bram. Dasar nasib baik belum berpihak, pemilik perusahaan malah memberikannya pada lelaki itu. Padahal, Wynne lebih dulu mengabdi pada perusahaan. Kelewat loyal malah. Sampai-sampai, mengorbankan banyak hal.
Perempuan itu sudah kehilangan waktu untuk bersenang-senang, kedekatan dengan keluarga, juga masa yang indah bersama teman-temannya. Bahkan, Wynne tidak sempat mencari jodoh. Maklum, bekerja di Cakrawangsa Persada Group ibarat menyerahkan hidup dan mati.
Atas dasar solidaritas, Alena merasa perlu mengingatkan Bram tentang jasa-jasa Wynne. Apalagi, dia dan Wynne adalah teman dekat. Setidaknya, itu anggapan Alena.
Sementara, menurut Bram, Alena hanya dimanfaatkan. Wynne itu butuh sosok penggembira. Seseorang yang akan selalu setuju padanya dan menghiburnya ketika sedang sedikit patah semangat.
Tidak pernah ada persahabatan sejati di kantor. Begitu juga yang terjadi antara kedua perempuan itu. Mereka hanya kebetulan sebaya dan memiliki beberapa persamaan lainnya.
“Anak itu kelihatannya tidak punya ambisi, Bram. Seperti nothing to lose saja. Apa dia nggak tahu, perusahaan ini sepuluh kali lipat lebih besar dari tempat kerjanya yang dulu? Apa dia nggak sadar ada ratusan kandidat lain yang sedang kita pertimbangkan?" Alena menggeleng seraya menegakkan punggung.
“Saya nggak butuh anggota tim yang ambisius dan pandai berkompetisi. Saya hanya butuh tim yang solid.” Bram bergeming.
Alena melempar pandangannya menembus jendela di belakang Bram. Cuaca Jakarta saat ini sedang sendu. Setelah terdiam beberapa saat, perempuan itu mencoba bernegosiasi lagi. Siapa tahu kali ini dia dapat mengubah pikiran Bram. “Masih banyak kandidat lain yang direkomendasikan HRD, yang lebih potensial. Setidaknya kita tidak perlu terseok-seok dalam masa transisi."
"Kamu jangan mudah underestimate, Al. Lagipula, keputusan saya sudah final," tukas Bram. Kesabarannya hampir habis menghadapi tekanan Alena. Lelaki itu yakin tekanan darahnya saat ini sedang meningkat.
Bram tidak mengerti jalan pikiran perempuan itu. Kalau Diandra tidak lulus seleksi HRD, Bram tidak akan memilihnya. Lagipula, kalau orang yang kurang berpengalaman tidak diberi kesempatan, kapan dia bisa membuktikan diri?
Dari segi usia dan masa kerja, Alena memang lebih senior dibanding Bram. Akan tetapi, posisinya saat ini adalah sebagai anak buah. Seharusnya, Alena bisa mempercayai Bram.
Bram memang lebih muda. Namun, Bram bukan anak kemarin sore yang tidak mengerti apa-apa. Lelaki itu mengeluarkan laptop dari tas, meletakkannya di atas meja, membukanya, menekan tombol power, dan menunggu benda itu mulai beroperasi.
Alena tetap memaksa untuk melanjutkan pembicaraan. "Itu artinya kita harus bekerja keras mengajari dia sampai bisa menguasai pekerjaan. Kamu sendiri yang bilang posisi itu tidak mudah. Pokoknya, saya nggak mau kalau dia tiba-tiba mengundurkan diri di tengah jalan. Pekerjaan saya lagi overload, Bram. Saya juga yang harus mengerjakan tugas-tugas Wynne."
Perempuan itu terus mengoceh. Dia merasa tindakannya harus dimaklumi. Alena yang akan kerepotan mendampingi setiap anggota yang baru bergabung di tim mereka.
"Nanti kamu bisa serahkan pekerjaan karyawan yang sudah resign itu kepadanya." Bram menoleh ke arah pintu sebagai isyarat.
Di sana, seseorang sedang berdiri menunggu. Lelaki itu bertubuh tinggi, kurus, dan berkumis tipis. Dia mengisi waktu dengan berbicara dengan seorang lelaki tambun. Yang jelas, lelaki berkumis itu bermaksud menemui Bram.
"Ya sudah kalau begitu," desah Alena seraya bangkit dari duduknya. Kali ini perempuan itu menyerah. Mungkin Alena memang harus mulai menerima perubahan. Termasuk perubahan formasi tim.
"Ya, tolong kamu buatkan saja job desk-nya."
Bram berpikir untuk membimbing sendiri anak baru itu. Percuma saja mengharapkan Alena jika prempuan itu keberatan.
"Baiklah. Paling lambat nanti sore saya berikan datanya."
Alena beringsut dari tempat duduknya tanpa mencoba berdebat lagi. Perempuan itu membuka pintu dan mengangguk pada lelaki berkumis tadi.
Lelaki itu semringah. Dia menyapa Alena dengan suara yang besar dan dalam. "Halo, Al. Pagi-pagi udah bahas yang serius-serius, nih, kayaknya."
"Pagi, Pak Krisna. Nggak serius-serius amat, kok, Pak. Mari, Pak," canda Alena. Perempuan itu melenggang kembali ke mejanya setelah berpamitan.
Di belakangnya, terdengar Krisna terkekeh sebelum pintu kembali menutup. "Kenapa, Bram? Pagi-pagi muka udah lecek begitu."
Tak lama kemudian, kedua lelaki itu sudah terlibat perbincangan. Suara mereka hilang tertelan ruang akuarium di salah satu sudut area procurement.
Krisna Respationo adalah Direktur Supply Chain Management yang merupakan atasan Bram. Pada hari-hari biasa, lelaki itu dikenal supel dan ramah. Akan tetapi, di saat-saat tertentu dia bisa menjadi tidak kenal belas kasihan.
Jakarta, 2 Februari 2017 Untung saja Andra punya sejumlah tagihan untuk dibayar. Termasuk cicilan rumah yang ditempati ibunya. Jika tidak, gadis itu akan berpikir seribu kali menerima kesempatan bekerja di perusahaan itu. Calon atasannya saja jutek begitu. Sikapnya seakan tidak menghargai. Seperti mau tak mau, terpaksa, atau apalah, menerima Andra bergabung dalam perusahaan. Belum lagi perempuan yang mendampinginya seakan mencoba mematahkan harapan gadis itu. Semua ini harus Andra jalani akibat peristiwa empat bulan lalu. Gadis itu terkena PHK dari sebuah perusahaan distributor mesin kopi. Perusahaan pertama yang merekrutnya setelah lulus kuliah. Uang tabungan Andra selama tiga tahun hampir menipis saat ini. Untuk menyambung hidup, dia mengirimkan tulisan-tulisannya ke berbagai media. Honor yang diterimanya tidak seberapa. Gadis itu tidak berani pulang ke rumah. Andra tidak tega kalau harus menambah beban ibunya. Biarlah sang ibu merasa bahagia mengisi masa tua dengan mengurus tok
Jakarta, 7 Februari 2018 Jam di layar laptop sudah menunjukkan pukul 20.10. Semua penghuni ruang procurement sudah pulang. Hanya tersisa Andra, seorang import staff, dan bos workaholic yang masih betah berdiam di dalam ruang kaca. Andra bermaksud memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. Ada telepon genggam, kacamata anti radiasi, dan kotak bekal berisi kudapan yang sudah tandas. Namun, telepon di mejanya tiba-tiba berdering. “Rara, bisa ke sini sebentar? Sekarang,” perintah suara di seberang sana. Siapa lagi yang memanggilnya "Rara" kalau bukan si bos workaholic? Padahal, gadis itu sudah menuliskan di formulir data karyawan bahwa nama panggilannya adalah Andra. Tanpa menunggu jawaban darinya, lelaki itu meletakkan gagang telepon. Andra tahu, dia tidak punya pilihan selain segera menampakkan diri di depannya. Jangan bilang ada tugas tambahan lagi. Mau pulang jam berapa? Andra mengeluh dalam hati. Akan tetapi, diraihnya note book dan pulpen sebelum beranjak ke samping kubikelny
Jakarta, 19 Januari 2013 Malam itu di sebuah ballroom gedung di kawasan Jakarta Selatan. Harris Setiawan menghampiri Bram. Bram berdiri sendirian di samping meja minuman. Lelaki itu tengah menyesap segelas infuse water. Bram bukan enggan bersosialisasi dengan para kerabat dan saudara. Dia hanya sedang tidak berminat untuk berbasa-basi. Terlebih, sang ayah tampak kurang berkenan dengan kehadirannya. Padahal, Bram datang hanya demi Talitha, adiknya semata wayang. Gadis itu sedang berpamitan ke rest room untuk membenahi dandanannya. "Hei, Bram! Apa kabar? Sendirian aja. Mana calonnya? Kapan nih nyusul Satria?" sapanya sambil menjabat tangan Bram. Istri lelaki itu hanya tersenyum di sampingnya. Wajahnya teduh dan ayu. Dia mengenakan kebaya berwarna biru elektrik dengan jarik dan selendang batik hitam yang tampak serasi. Rautnya mengingatkan Bram pada sang ibu. Perempuan yang tidak layak untuk ditipu. "Hei, Om Harris. Apa kabar? Nyusul apa nih, Om?" Bram balik bertanya sebelum menyesap
Jakarta, 7 Februari 2018 "Langsung pulang, Ra. Jangan keluyuran. Sudah malam." Andra terhenyak mendengar suara parau yang menyapa pendengarannya. Gadis itu menoleh ke arah si empunya. Lelaki itu sedang menatap lurus ke pintu lift. Mereka hanya berdua saja di dalam. Berdiri bersisian dengan jarak sehasta. Kebetulan, seluruh karyawan lantai 7 memang sudah membubarkan diri. Termasuk staff yang tadinya masih tersisa di procurement. Begitu pula dengan karyawan di lantai lain. Dalam hati, gadis itu bertanya-tanya. Apa gerangan yang ada di benak lelaki itu? Mengapa dia jadi perhatian begini? Bukankah tadi, Bram menahan Andra di ruangannya? Seperti tidak mau tahu bahwa gadis itu sudah penat. "Iya, Pak. Saya juga sudah mengantuk," jawab Andra tanpa tedeng aling-aling. Bram malah terkekeh. Matanya terpaku pada Tag Heuer chronograph dengan steel strap yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul 20.50. "Baru jam segini sudah mengantuk." Lagi-lagi, Andra menengok. Dalam hati, gadis itu m
Jakarta, 19 Januari 2013 “Mas Bram! Ayo ganti seragam dulu. Nanti kan mau foto keluarga.” Bram tersentak ketika seorang gadis memanggilnya. Serta merta lelaki itu meletakkan gelas di tangannya. Hampir saja isinya tumpah mengenai setelan jas hitam yang dia pakai. Tanpa memedulikan kerepotannya, sang gadis menggamit lengan Bram. Menggiring lelaki itu ke ruang ganti. “Jangan seret-seret Mas kaya gini, dong, Dek,” protes Bram. “Biarin!” "Nanti kamu dikira pacaran sama om-om, lho!" Gadis itu tergelak mendegar gurauan Bram. "Nggak apa-apa. Siapa suruh sembarangan mengambil kesimpulan?" Gadis yang ternyata adalah Talitha itu memperlambat langkahnya. Senyum cerianya mengembang pada wajah-wajah yang menyapa. Malam itu, Talitha mengenakan kebaya kutu baru berwarna keemasan dan kain batik perpaduan warna coklat tua dan krem. Rambut gadis itu ditata dengan sanggul Jawa klasik. Sama seperti para wanita lain yang merupakan keluarga inti dari pihak kedua mempelai. Mereka berjalan
Jakarta, 7 Februari 2018 Terjangan jarum-jarum bening dari langit baru saja mereda. Namun, genangan yang tersisa di sepanjang permukaan aspal menjadikan arus lalu lintas sedikit merayap. Pandangan yang terhalau embun membuat kendaraan harus bergerak perlahan. Menjaga jarak aman dengan kendaraan lain. Sementara, bunyi klakson bersahutan meningkahi udara malam yang lebih dingin dari biasanya. Dari belakang kemudi, Bram mengatur temperatur pendingin. Ekor matanya menangkap Andra bersidekap di sampingnya. Sesekali, gadis itu menguap. Ada iba menyelinap ke relung pria itu. Blouse yang dikenakan Andra sedikit basah akibat menerobos hujan di parkiran tadi. Bram khawatir kalau dia jatuh sakit. “Kamu ngantuk, Ra?” Bram mengakhiri kebisuan di antara mereka sejak hampir setengah jam lalu. “Ngantuk, Pak,” sahut Andra singkat. Dalam hati gadis itu bergumam, “Pasti dia mau menyindir lagi.” Suara seorang reporter laki-laki menghilang dari radio. Digantikan dengan Lovesong dari The Cure. D
Jakarta, 6 Agustus 2001 "Kalau kamu bukan anakku, sudah kukirim kamu ke penjara!" hardik Baswara Prawiradirga. Pria itu berdiri sambil menodongkan telunjuk pada seorang laki-laki muda di hadapannya. Pemuda berusia 21 tahun itu duduk bersandar di salah satu sisi sofa panjang dari kulit berwarna coklat tua. Rambutnya ikal tergerai sedikit melewati bahu. Cuping hidung mancungnya dihiasi sebentuk anting perak. Sebagaimana telinga kirinya.Dia menatap Baswara tanpa ekspresi. Membuat bara di dada orang tua itu kian meletup-letup. "Sabar, Mas," bujuk Adhilangga Prawiradirga, sang adik, seraya menepuk-nepuk bahunya. "Kita selesaikan masalah ini baik-baik." "Bagaimana aku bisa sabar? Anak ini harus diberi pelajaran!" Baswara mengepalkan tangan kanannya. "Tenang, Mas! Tenang! Jangan sampai semua tambah runyam!" Adhil membimbing sang kakak agar kembali ke tempat duduknya: sebuah kursi besar yang terbuat dari kulit berwarna hitam. Kemudian, lelaki berusia awal 40 an itu berpaling kepada kepon
Jakarta, 8 Februari 2018 “Hai, Ndra. Bram ada di ruangan?” sapa seorang perempuan. Aroma bunga-bungaan bercampur kayu-kayuan seketika memenuhi udara. Begitu Andra mengangkat kepala dari layar laptop, matanya bersirobok dengan Imelda Cakrawangsa. Perempuan itu tahu-tahu sudah berdiri di depan mejanya. Pagi itu, Imel mengenakan slip dress satin berwarna marun yang jatuh di atas lutut. Bagian atas gaunnya cukup rendah sehingga menampakkan belahan dadanya. Sebuah kalung emas dengan liontin bertatahkan berlian menghias leher jenjangnya. Blazer hitam menyelamatkan penampilannya agar lebih pantas. Di usianya yang sudah kepala empat, Imel terlihat memesona. Kulitnya halus terawat. Putih seperti porselen. Imel terlihat beberapa tahun lebih muda dari usia sebenarnya. Ketika masih duduk di bangku perguruan tinggi, perempuan itu sempat menjadi model iklan produk kosmetik. Wajahnya pernah menghiasi halaman media cetak dan layar televisi. Perusahaan kosmetik itu tidak salah memilihnya. “Ada, B