Share

2. Tidak Ada Kandidat Lain?

Jakarta, 2 Februari 2017

"Kamu yakin dengan keputusan merekrut anak itu, Bram?" cecar Alena begitu dipersilakan duduk oleh Bram. Saat ini, mereka sedang berada di sebuah ruang kaca di pojok area procurement. "Pengalaman kerjanya kurang mumpuni."

Usai menemani Bram melakukan wawancara, perempuan itu kembali menemuinya. Alena masih tidak habis pikir dengan pilihan yang diambil atasannya itu. Kandidat yang disetujui Bram menurutnya masih terlalu hijau.

Perempuan itu jadi menduga kalau Bram merekrutnya karena alasan pribadi. Memang dari luar sikap Bram tampak seperti biasanya. Dingin dan sinis.

Namun, kandidat yang mereka temui kurang dari satu jam lalu itu punya daya tarik. Tidak terlalu cantik memang, tetapi berkesan. Gadis itu masih muda, polos, dan seperti ada sesuatu dalam dirinya. Jangan sampai performa tim jadi tidak karuan hanya karena sang manajer sedang jatuh cinta.

"Kalau saya sudah memutuskan artinya saya yakin, Alena," tegas Bram sambil menyilangkan kedua tangan di dada.

Terus terang, lelaki itu tidak suka jika kompetensinya dalam mengambil keputusan dipertanyakan. Lagipula, bila ada alasan-alasan tersendiri, Bram merasa punya hak untuk menyimpannya. Pihak manajemen sudah memberikan wewenang padanya. Jadi, pendapat dari pihak lain baginya hanya sebagai bahan pertimbangan. Bukan untuk dituruti. Toh, Bram yang bertindak sebagai penanggung jawab dalam tim procurement.

"Mengapa nggak memilih kandidat yang lebih qualified atau sekalian yang overqualified? Ada lulusan S2 dari overseas. Ada lulusan terbaik dari universitas negeri terkemuka. Semuanya juga punya skill yang terbukti. Mereka punya pengalaman bekerja di perusahaan bonafide. Setidaknya, apa yang mereka tawarkan kurang lebih setara dengan Wynne."

Wynne yang dibicarakan oleh Alena adalah anggota tim yang mengundurkan diri secara mendadak bulan lalu. Padahal, perempuan itu sudah malang melintang di perusahaan. Wynne sudah bergabung selama hampir sepuluh tahun. Alasannya adalah karena mulai sakit-sakitan akibat pekerjaan yang overload. Ternyata, perempuan itu 'dibajak' oleh sebuah ritel furniture yang telah lama menjadi customer perusahaan.

"Maksud kamu supaya dia dapat berpikir untuk melarikan diri setelah mendapat begitu banyak dari perusahaan?” balas Bram sinis.

“Bukan begitu, Bram, setidaknya dia bisa lebih cepat mengimbangi ritme dan kinerja tim. Bisa membawa energi seperti Wynne,” sanggah Alena.

Dalam hati, perempuan itu mencebik. Apa gerangan yang membuat Bram berkata seperti itu? Memang dia mendapatkan apa sampai berpikir seperti pemilik perusahaan? Jangan-jangan dia punya saham di sini.

“Wynne sudah tidak di sini lagi, Al. Jadi lebih baik kita berhenti menyebut-nyebut namanya. Biar dia tenang di alamnya yang sekarang. Berhenti menganggap procurement ini adalah representasi dari Wynne.”

Alena terkesiap mendengar perkataan Bram. Dia baru sadar sudah terlalu banyak bicara tentang mantan rekan kerjanya itu.

Sudah rahasia umum jika Wynne dulu begitu menginginkan posisi Bram. Dasar nasib baik belum berpihak, pemilik perusahaan malah memberikannya pada lelaki itu. Padahal, Wynne lebih dulu mengabdi pada perusahaan. Kelewat loyal malah. Sampai-sampai, mengorbankan banyak hal.

Perempuan itu sudah kehilangan waktu untuk bersenang-senang, kedekatan dengan keluarga, juga masa yang indah bersama teman-temannya. Bahkan, Wynne tidak sempat mencari jodoh. Maklum, bekerja di Cakrawangsa Persada Group ibarat menyerahkan hidup dan mati.

Atas dasar solidaritas, Alena merasa perlu mengingatkan Bram tentang jasa-jasa Wynne. Apalagi, dia dan Wynne adalah teman dekat. Setidaknya, itu anggapan Alena.

Sementara, menurut Bram, Alena hanya dimanfaatkan. Wynne itu butuh sosok penggembira. Seseorang yang akan selalu setuju padanya dan menghiburnya ketika sedang sedikit patah semangat.

Tidak pernah ada persahabatan sejati di kantor. Begitu juga yang terjadi antara kedua perempuan itu. Mereka hanya kebetulan sebaya dan memiliki beberapa persamaan lainnya.

“Anak itu kelihatannya tidak punya ambisi, Bram. Seperti nothing to lose saja. Apa dia nggak tahu, perusahaan ini sepuluh kali lipat lebih besar dari tempat kerjanya yang dulu? Apa dia nggak sadar ada ratusan kandidat lain yang sedang kita pertimbangkan?" Alena menggeleng seraya menegakkan punggung.

“Saya nggak butuh anggota tim yang ambisius dan pandai berkompetisi. Saya hanya butuh tim yang solid.” Bram bergeming.

Alena melempar pandangannya menembus jendela di belakang Bram. Cuaca Jakarta saat ini sedang sendu. Setelah terdiam beberapa saat, perempuan itu mencoba bernegosiasi lagi. Siapa tahu kali ini dia dapat mengubah pikiran Bram. “Masih banyak kandidat lain yang direkomendasikan HRD, yang lebih potensial. Setidaknya kita tidak perlu terseok-seok dalam masa transisi."

"Kamu jangan mudah underestimate, Al. Lagipula, keputusan saya sudah final," tukas Bram. Kesabarannya hampir habis menghadapi tekanan Alena. Lelaki itu yakin tekanan darahnya saat ini sedang meningkat.

Bram tidak mengerti jalan pikiran perempuan itu. Kalau Diandra tidak lulus seleksi HRD, Bram tidak akan memilihnya. Lagipula, kalau orang yang kurang berpengalaman tidak diberi kesempatan, kapan dia bisa membuktikan diri?

Dari segi usia dan masa kerja, Alena memang lebih senior dibanding Bram. Akan tetapi, posisinya saat ini adalah sebagai anak buah. Seharusnya, Alena bisa mempercayai Bram.

Bram memang lebih muda. Namun, Bram bukan anak kemarin sore yang tidak mengerti apa-apa. Lelaki itu mengeluarkan laptop dari tas, meletakkannya di atas meja, membukanya, menekan tombol power, dan menunggu benda itu mulai beroperasi.

Alena tetap memaksa untuk melanjutkan pembicaraan. "Itu artinya kita harus bekerja keras mengajari dia sampai bisa menguasai pekerjaan. Kamu sendiri yang bilang posisi itu tidak mudah. Pokoknya, saya nggak mau kalau dia tiba-tiba mengundurkan diri di tengah jalan. Pekerjaan saya lagi overload, Bram. Saya juga yang harus mengerjakan tugas-tugas Wynne."

Perempuan itu terus mengoceh. Dia merasa tindakannya harus dimaklumi. Alena yang akan kerepotan mendampingi setiap anggota yang baru bergabung di tim mereka.

"Nanti kamu bisa serahkan pekerjaan karyawan yang sudah resign itu kepadanya." Bram menoleh ke arah pintu sebagai isyarat.

Di sana, seseorang sedang berdiri menunggu. Lelaki itu bertubuh tinggi, kurus, dan berkumis tipis. Dia mengisi waktu dengan berbicara dengan seorang lelaki tambun. Yang jelas, lelaki berkumis itu bermaksud menemui Bram.

"Ya sudah kalau begitu," desah Alena seraya bangkit dari duduknya. Kali ini perempuan itu menyerah. Mungkin Alena memang harus mulai menerima perubahan. Termasuk perubahan formasi tim.

"Ya, tolong kamu buatkan saja job desk-nya."

Bram berpikir untuk membimbing sendiri anak baru itu. Percuma saja mengharapkan Alena jika prempuan itu keberatan.

"Baiklah. Paling lambat nanti sore saya berikan datanya."

Alena beringsut dari tempat duduknya tanpa mencoba berdebat lagi. Perempuan itu membuka pintu dan mengangguk pada lelaki berkumis tadi.

Lelaki itu semringah. Dia menyapa Alena dengan suara yang besar dan dalam. "Halo, Al. Pagi-pagi udah bahas yang serius-serius, nih, kayaknya."

"Pagi, Pak Krisna. Nggak serius-serius amat, kok, Pak. Mari, Pak," canda Alena. Perempuan itu melenggang kembali ke mejanya setelah berpamitan.

Di belakangnya, terdengar Krisna terkekeh sebelum pintu kembali menutup. "Kenapa, Bram? Pagi-pagi muka udah lecek begitu."

Tak lama kemudian, kedua lelaki itu sudah terlibat perbincangan. Suara mereka hilang tertelan ruang akuarium di salah satu sudut area procurement.

Krisna Respationo adalah Direktur Supply Chain Management yang merupakan atasan Bram. Pada hari-hari biasa, lelaki itu dikenal supel dan ramah. Akan tetapi, di saat-saat tertentu dia bisa menjadi tidak kenal belas kasihan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status