Kejadian malam itu membuat Anjani jadi takut pada suaminya sendiri, dia khawatir kalau-kalau suaminya akan kembali lepas kendali dan merudakpaksanya. Begitu juga dengan Juragan Karta, penolakan dari Anjani membuatnya kesal. Dia jadi jarang pulang ke rumah dan lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah dan mulai jarang pulang. Juragan Karta yang biasanya bersikap manis pun mulai dingin pada Anjani, membuat wanita yang sedang hamil empat bulan itu jadi merasa bingung dan serba salah, dia sadar perbuatannya itu menyakiti suaminya, tapi dia juga takut ramalan itu terjadi. Tak mau terus berlarut-larut, Anjani berusaha melawan rasa takutnya, memperbaiki hubungannya dengan sang suami. Dia akan mencari cara untuk memuaskan suaminya tanpa harus bersebadan.
“Kakang …. Aku sudah menyiapkan lodeh nangka muda, kesukaan Kakang!” Anjani tersenyum lebar menyambut suaminya sudah beberapa hari tak pulang itu.
Pria bertubuh sedikit tambun, dengan kumis melingkar itu melengos mendengar sapaan Anjani. Dia terus melangkah masuk ke dalam rumah, mengabaikan sapaan dari istrinya. Penolakan malam itu, begitu membekas di benaknya. Dia masih marah dan kesal.
“Aku tak lapar!” jawabnya singkat, terus berjalan menuju gudang belakang.
Anjani menggigit bibirnya, lalu mengikuti suami yang mengacuhkannya itu.
“Kakang masih marah padaku?” tanya Anjani mengintil ke mana suami melangkah.
Juragan Karta berbalik, menatap Anjani yang sedari tadi mengintil, menatap wanita yang sedang hamil empat bulan itu lekat, masih dengan wajah dinginnya. Sorot mata itu menatap dari atas sampai bawah tubuh Anjani.
Anjani sendiri kaget saat Juragan Karta berbalik, dia menggigit bibir, tangannya juga meremas-remas ujung jariknya gugup. Dia mulai bingung harus apa, otaknya mulai berpikir kalau suaminya akan munubruk dan mencumbunya. Ini memang siang hari, tapi dulu mereka juga sering melakukannya di siang hari, saat pembantu dan kacung mereka sibuk di pasar dan ladang. Wanita yang sedang hamil itu ragu dan bimbang, apakah harus kembali menolak atau pasrah saja bila suami yang sudah dia sapih itu minta dilayani.
Juragan Karta menelan ludahnya, menatap Anjani yang menggigit bibir berdiri malu-malu di depannya. Hasratnya kembali bergelora, lebih besar dari yang sudah-sudah. Ingin sekali dia menubruk dan melampiaskan semuanya. Dia masih ingat penolakan Anjani. Dia memang bisa saja memaksa, tapi dia tak ingin menyakiti istrinya itu.
“Ka- kakang….” sapa Anjani ragu melihat sorot mata liar suaminya.
“Haaaa!” Juragan Karta berteriak sambil menggeleng-geleng kepala lalu berbalik mengambil sabit dan bergegas pergi, mengabaikan Anjani yang hanya bisa diam melihat kepergian suaminya. ***
Seharian Juragan Karta menghabiskan waktunya di kebun, mencari rumput sendiri untuk pakan ternaknya. Dia memilih menghabiskan waktu dan energinya melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan kacung-kacungnya untuk membuang rasa kesal pada istrinya. Sore harinya, dia baru pulang sambil memanggul rumput dari kebun.
Srek! Srek!
“Bulan purnama bersinar ….”
Terdengar seseorang yang sedang bernyanyi, diiringi dengan bunyi sapu lidi yang beradu dengan tanah, saat Juragan masuk ke dalam kandang. Buru-buru Juragan Karta melempar rumput dari pondongannya, mengusap peluh lalu mengendap mencari sumber suara. Dari balik palungan, dia melihat Sulastri salah seorang pembantunya sedang menyapu. Hasrat Juragan Karta kembali bergejolak, melihat tubuh Lastri yang semok dari belakang. Janda berusia tiga puluhan tahun itu memang tak secantik istrinya, tapi bentuk tubuh Lastri jauh lebih matang.
Gejolak kelaki-lakiannya yang lama tak tersalurkan itu membuatnya gelap mata dan nekat. Dia berjalan cepat menyergap dan memeluk Lastri dari belakang, menciumi lehernya buas.
“Lastri ….”
“Kurang ajar, kau!”
Lastri yang kaget tiba-tiba ada yang memeluknya dari belakang, bereaksi melawan dan berteriak. Tapi teriakan itu tertahan, saat tahu yang memeluknya adalah Juragan Karta. Ada rasa takut, segan yang membuatnya bingung tak tahu harus berbuat apa.
“Juragan, jangan … aahh.”
Lastri mulai merasakan geli pangkal lehernya bergesekan dengan kumis Juragan Karta. Tubuhnya langsung panas mendapati sentuhan sentuhan juragan Karta. Meski begitu, Lastri berusaha melepaskan dekapan kuat Juragan Karta yang melingkar di tubuhnya. Tapi tubuh yang jauh lebih pendek itu malah diangkat oleh Juragan Karta, lalu dilemparkan di tumpukan jerami.
Braak!
“Jangan Juragan, ampuni hamba!” Lastri beringsut mundur, pucat memohon agar Juragan yang selama ini begitu baik dan dermawan mengurungkan niat jahatnya.
Bukannya iba, melihat wajah ketakutan Lastri, malah membuat Juragan Karta makin bernafsu. Sambil tersenyum buas, dia mulai melepaskan ikat pinggangnya.
“Aku bisa gila, Lastri! bila hasrat ini tak dilepaskan! Ndoro putrimu menolak melayaniku. Tolonglah, aku akan memberimu hadiah setelah ini.”
“Tidak Juragan! Jangan!” Lastri bangkit berlari tapi Juragan Karta berhasil menangkap dan mendekapnya dari belakang.
Bret!
Juragan Karta mulai merobek pakaian Lastri, membuat bagian tubuhnya tersingkap, terlihat putih dan menonjol besar. Juragan Karta makin gelap mata dengan gejolak yang makin membara melampiaskan hasratnya pada janda tiga puluhan tahun itu. Perlawanan Lastri sia-sia. Sore itu, dia harus dimangsa oleh Juragan Karta, yang kehilangan akal sehat dan berubah menjadi buas.
Di tempat lain, seorang Resi yang sedang duduk bersila, bersemedi di pinggir danau, tiba-tiba membuka matanya. Dengan mata batinnya, dia melihat sosok iblis dengan riang menari-nari di awang-awang. Iblis-iblis begitu gembira berhasil menjerumuskan manusia ke dalam lembah dosa lewat nafsu birahi. Sang Resi menarik nafas panjang, menyayangkan peristiwa yang terlintas dalam penglihatan mata batinnya.
“Takdir memang tak bisa diubah. Bayi bernasib malang itu akan benar-benar terlahir. Wahai sang maha kuasa, yang menjadi kehendakMu, itulah yang akan terjadi,” Gumam Sang Resi kembali memejamkan mata melanjutkan semedi.
“Hiks…. Hamba hanya orang kecil, kenapa Juragan tega melakukan ini!”Sulastri duduk memeluk lutut di atas tumpukan jerami mengusap air mata, sambil menutupi bagian tubuhnya yang tersingkap, dan menyembul keluar. Pakaiannya sudah sobek sana sini, dikoyak dengan buas oleh Juaragan Karta. Entah mimpi apa dia semalam hingga harus mengalami peristiwa yang begitu mengerikan. Dia tak mampu melawan hingga harus pasrah digagahi oleh Juragan Karta. Dia sadar kalau dia seorang Janda, yang harus merantau ke kota demi menghidupi anak perempuannya di desa, juga demi menghindari niat jahat lelaki hidung belang di desa. Tapi, nyatanya meski sudah merantau ke kota, di tetap saja di mangsa oleh lelaki hidung belang.“Lastri…. Jangan menagis lagi. Maafkan aku, aku benar-benar Khilaf, tadi!” hibur Juragan Karta yang rebah di samping Sulastri. Lelaki bertubuh tambun itu masih bertelanjang dada, dengan peluh yang masih menetes. Dia juga tak percaya sudah melakukan hal yang tercela pada Sulastri.“Hiks…. H
Bab 7. Percakapan Tentang NasibDengan jari telunjuk yang menempel di kening, dan jari-jari lain terlipat ke bawah, Raja Akhirat terus berkonsentarsi mengeluarkan energi agar cermin kehidupan yang menampilkan bayangan kejadian di alam dunia tetap bisa terlihat.“Hiap!” Raja Akhirat melepaskan jari-jari dari kening, menghentikan aliran energi, yang membuat bayangan kejadian di alam dunia menghilang. Dia mengatur nafasnya, dan berjalan mendekati roh Panglima Tiang Feng yang masih terlihat kebingungan.“ Wahai roh Panglima Tiang Feng, Aku sudah bicara dengan Dewa Pengatur nasib tentang kehidupanmu selanjutnya….”“Tak ada yang berbeda, aku akan tetap mati mengenaskan oleh derita cinta,” potong roh Panglima Tiang Feng ketus.“Kauu!” Raja Akhirat menuding roh Panglima Tiang Feng geram. Dia sudah mengambil resiko dan berupaya mengurangi penderitaan Panglima Tiang Feng, tapi malah mendapat sikap ketus seperti ini. “Ah, sudahlah!” Raja Akhirat menghempaskan tangannya ke udara dan berbalik.Ro
“Huek, Huek!” Lastri mengeluarkan semua isi perutnya. Wajahnya pucat, tubuhnya jadi panas dingin. Belakangan indra penciumannya juga jadi lebih sensitif, mencium bau-bauan tertentu, perutnya langsung mual-mual.Mbok Darmi rekan sesama pembatu di rumah juragan Karta, memijit-mijit tengkuk Lastri. Wanita paruh baya itu membantu Lastri agar lebih enakan. Sebagai orang tua yang berpengalaman, dia mulai menduga-duga kalau Lastri sedang hamil muda, ciri-cirinya jelas. Tapi yang membuat Mbok Darmi bingung adalah, bagaimana mungkin Lastri bisa hamil kalau dia adalah seorang janda. Mbok Darmi memberanikan diri bertanya pada Lastri tentang kemungkinan itu, barangkali saja Lastri punya hubungan khusus dengan lelaki dan akhirnya keblabasan. Mungkin dengan Parjo dan Timan, mengingat kedua lelaki itu sering menggoda dan dekat dengan Lastri. Wanita yang sebulan terakhir terjerat hubungan terlarang dengan Juragan Karta itu, membantah. Dia bilang kalau masih rutin garap sari. Mbok Darmi pun membuang
Juragan Karta kaget bukan main, mendengar perkataan Lastri. Dia tak menyangka permainan liarnya dengan Lastri menyebabkan janda sintal itu sampai berbadan dua. Sebulan terakhir, mereka memang sering melakukan pergumulan di setiap ada kesempatan. Tak peduli itu siang atau malam, di banyak tempat. Sangat wajar memang, bila dari sekian benih yang ditanamkan di rahim Lastri, salah satunya ada yang tumbuh.Meski kaget, Juragan Karta berusaha berpikir jernih untuk mencari jalan keluar dan yang paling penting adalah menenangkan Lastri terlebih dahulu, dia tak mau Lastri kembali nekat dan punya niat mengakhiri hidupnya. Dan saat melihat Lastri lengah, Juragan Karta bergerak cepat menangkap tangan Lastri yang memegang sabit, mencengkram janda muda itu, berusaha menjatuhkan sabit di tangan Lastri.Srat! “Lepaskan, lepaskan!” Lastri meronta seperti orang kalap berusaha melepaskan diri, tapi dia kalah kuat hingga sabit itu terlepas dari tangannya. Lastri meronta membuat Juragan Karta kewalahan h
Terdengar langkah kaki menuju dapur, membuat Lastri dan Parjo dengan cepat melirik ke luar secara bersamaan. Dari jauh, terlihat Mbok Darmi datang memondong beberapa kayu bakar kering. Lastri dan Parjo mulai menjaga sikap dan terlihat biasa-biasa saja. Parjo lalu berjalan mendekati Lastri dan berbisik pelan, sambil menepuk-nepuk pundak janda tiga puluhan tahun itu.“Kau pikir-pikir saja, dulu. Jangan coba mengadu pada Juragan Karta, atau aku langsung melapor pada Ndoro Putri!” bisik Parjo penuh ancaman, bergegas pergi meninggalkan dapur.Lastri terdiam tak bisa menjawab, dia meremas-remas ujung jariknya bingung harus bagaimana.“Jo, sebentar lagi sayur lodehnya matang, apa kau tak mau menunggu?” sapa Mbok Darmi saat berpapasan dengan Parjo di pintu keluar.“Nanti saja, Mbok. Saya mau ngarit dulu,” jawab Parjo tersenyum sambil melirik nakal ke arah Lastri yang masih gugup terdiam.“Ha ha, tumben-tumbenan.”Mbok Darmi melangkah masuk ke dapur memondong kayu kering, melemparkannya ke sam
“Kang Mas, kenapa? Aku melihat, Kakang beberapa hari ini sering melamun,”Teguran dari Anjani itu membuat Juragan Karta yang sedang duduk termenung di bale-bale, memikirkan cara menutupi perselingkuhannya itu tergagap, kaget. Tahu-tahu sang istri sudah ada di sampingnya, menepuk pundaknya.“Oh, Diajeng,” jawabnya geragapan. “Kakang ada masalah apa, sebenarnya?” desak Anjani kembali bertanya. Firasatnya sebagai perempuan merasakan ada yang berbeda dari suaminya. Meski sebenarnya masih khawatir dengan ramalan sang Resi, Anjani sudah membuang jauh rasa itu dan kembali melayani suaminya seperti biasa. Tapi hal itu seperti tak banyak mengubah keadaan. Suaminya memang tak lagi uring-uringan, berganti jadi sering melamun sendiri. Suaminya juga tak lagi menjamahnya setelah malam pertama Anjani menyerahkan dirinya.“Kakang hanya capek saja, dan tak sabar menantikan kelahiran jabang bayi ini,” jawab Jurag
“Haaaa!” jerit Lastri melihat tubuh Juragan Karta bersimbah darah di samping mayat Parjo yang sudah terbujur kaku. Lastri sudah punya firasat tidak baik saat Juragan Karta bergegas pergi dengan wajah penuh amarah setelah mendengar ceritanya tentang ancaman Parjo. Lastri pun mengikuti Juragan Karta, dan benar saja, Juragan Karta telah membungkam mulut Parjo untuk selamanya. “Oh Dewa, apa yang telah Kakang lakukan? Ohhh….” Lastri membekam mulutnya menahan haru. Parjo memeng telah menghinakannya dan membuat dia berada dalam situasi yang sulit. Tapi, melihat mayat Parjo yang terbujur kaku, Lastri juga merasa tidak tega. Dia tak menyangka kalau Juragan Karta akan bertindak sejauh ini. Juragan Karta yang masih duduk terpekur menatap mayat Parjo, buru-buru menyarungkan keris pusakanya ke dalam warangka, lalu menyelipkannya ke pinggang sambil berdiri. “Dia pantas mati, Lastri! Mulutnya telah terbungkam selamanya. Lekas bantu aku menguburkan pria tak tau diri ini, sebelum ada yang melihat,
Roh Panglima Tiang Feng masih termenung memikirkan kehidupan ketiga ratus tiganya. Gambaran kehidupan yang akan dia jalani sudah terlihat jelas. Dia akan mengalami banyak kesialan dan berkali-kali merasakan derita cinta dalam satu kehidupan. Karma buruk akibat melanggar aturan langit saja sudah cukup berat, di tambah dia harus menanggung beban karma buruk akibat dosa yang diperbuat oleh kedua orang tuanya, makin membuat Panglima gelisah. Meski Raja Akhirat telah berjanji akan membantu mengurangi derita asmaranya, roh Panglima tetap tak yakin akan sanggup mengubah nasib buruk di kehidupan ke tiga ratus tiganya.“Waktumu telah tiba, Panglima….” Raja Akhirat mengingatkan Panglima untuk bersiap menuju gerbang reinkarnasi.Roh Panglima Tiang Feng menoleh pelan, ke arah Raja Akhirat. Tak seperti beberapa hari yang lalu, roh Panglima Tiang Feng kini sudah bisa tenang dan tak lagi berteriak dan meraung-raung minta dijebloskan ke neraka, meski tahu kalau kehidupan ketiga ratus tiganya akan leb