Share

Bab 5. Awal dari Karma Buruk

Kejadian malam itu membuat Anjani jadi takut pada suaminya sendiri, dia khawatir kalau-kalau suaminya akan kembali lepas kendali dan merudakpaksanya. Begitu juga dengan Juragan Karta, penolakan dari Anjani membuatnya kesal. Dia jadi jarang pulang ke rumah dan lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah dan mulai jarang pulang. Juragan Karta yang biasanya bersikap manis pun mulai dingin pada Anjani, membuat wanita yang sedang hamil empat bulan itu jadi merasa bingung dan serba salah, dia sadar perbuatannya itu menyakiti suaminya, tapi dia juga takut ramalan itu terjadi. Tak mau terus berlarut-larut, Anjani berusaha melawan rasa takutnya, memperbaiki hubungannya dengan sang suami. Dia akan mencari cara untuk memuaskan suaminya tanpa harus bersebadan.

“Kakang …. Aku sudah menyiapkan lodeh nangka muda, kesukaan Kakang!” Anjani tersenyum lebar menyambut suaminya sudah beberapa hari tak pulang itu.

Pria bertubuh sedikit tambun, dengan kumis melingkar itu melengos mendengar sapaan Anjani. Dia  terus melangkah masuk ke dalam rumah, mengabaikan sapaan dari istrinya. Penolakan malam itu, begitu membekas di benaknya. Dia masih marah dan kesal.

“Aku tak lapar!” jawabnya singkat, terus berjalan menuju gudang belakang.

Anjani menggigit bibirnya, lalu mengikuti suami yang mengacuhkannya itu.

“Kakang masih marah padaku?” tanya Anjani mengintil ke mana suami melangkah.

Juragan Karta berbalik, menatap Anjani yang sedari tadi mengintil, menatap wanita yang sedang hamil empat bulan itu lekat, masih dengan wajah dinginnya. Sorot mata itu menatap dari atas sampai bawah tubuh Anjani.

Anjani sendiri kaget saat Juragan Karta berbalik, dia menggigit bibir, tangannya juga meremas-remas ujung jariknya gugup. Dia mulai bingung harus apa, otaknya mulai berpikir kalau suaminya akan munubruk dan mencumbunya. Ini memang siang hari, tapi dulu mereka juga sering melakukannya di siang hari, saat pembantu dan kacung mereka sibuk di pasar dan ladang.  Wanita yang sedang hamil itu ragu dan bimbang, apakah harus kembali menolak atau pasrah saja bila suami yang sudah dia sapih itu minta dilayani.

Juragan Karta menelan ludahnya, menatap Anjani yang menggigit bibir berdiri malu-malu di depannya. Hasratnya kembali bergelora, lebih besar dari yang sudah-sudah. Ingin sekali dia menubruk dan melampiaskan semuanya. Dia masih ingat penolakan Anjani. Dia memang bisa saja memaksa, tapi dia tak ingin menyakiti istrinya itu.

“Ka- kakang….” sapa Anjani ragu melihat sorot mata liar suaminya.

“Haaaa!” Juragan Karta berteriak sambil menggeleng-geleng kepala lalu berbalik mengambil sabit dan bergegas pergi, mengabaikan Anjani yang hanya bisa diam melihat kepergian suaminya. ***

Seharian Juragan Karta menghabiskan waktunya di kebun, mencari rumput sendiri untuk pakan ternaknya. Dia memilih menghabiskan waktu dan energinya melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan kacung-kacungnya untuk membuang rasa kesal pada istrinya. Sore harinya, dia baru pulang sambil memanggul rumput dari kebun.

Srek! Srek!

“Bulan purnama bersinar ….”

Terdengar seseorang yang sedang bernyanyi, diiringi dengan bunyi sapu lidi yang beradu dengan tanah, saat Juragan masuk ke dalam kandang. Buru-buru Juragan Karta melempar rumput dari pondongannya, mengusap peluh lalu mengendap mencari sumber suara. Dari balik palungan, dia melihat Sulastri salah seorang pembantunya sedang menyapu. Hasrat Juragan Karta kembali bergejolak, melihat tubuh Lastri yang semok  dari belakang. Janda berusia tiga puluhan tahun itu memang tak secantik istrinya, tapi bentuk tubuh Lastri jauh lebih matang.

Gejolak kelaki-lakiannya yang lama tak tersalurkan itu membuatnya gelap mata dan nekat. Dia berjalan cepat menyergap dan memeluk Lastri dari belakang, menciumi lehernya buas.

“Lastri ….”

“Kurang ajar, kau!”

Lastri yang kaget tiba-tiba ada yang memeluknya dari belakang, bereaksi melawan dan berteriak. Tapi teriakan itu tertahan, saat tahu yang memeluknya adalah Juragan Karta. Ada rasa takut, segan yang membuatnya bingung tak tahu harus berbuat apa.

“Juragan, jangan … aahh.”

Lastri mulai merasakan geli pangkal lehernya bergesekan dengan kumis Juragan Karta. Tubuhnya langsung panas mendapati sentuhan sentuhan juragan Karta. Meski begitu,  Lastri berusaha melepaskan dekapan kuat Juragan Karta yang melingkar di tubuhnya. Tapi tubuh yang jauh lebih pendek itu malah diangkat oleh Juragan Karta, lalu dilemparkan di tumpukan jerami.

Braak!

“Jangan Juragan, ampuni hamba!” Lastri beringsut mundur, pucat memohon agar Juragan yang selama ini begitu baik dan dermawan  mengurungkan niat jahatnya.

Bukannya iba, melihat wajah ketakutan Lastri, malah membuat Juragan Karta makin bernafsu. Sambil tersenyum buas, dia mulai melepaskan ikat pinggangnya.

“Aku bisa gila, Lastri! bila hasrat ini tak dilepaskan! Ndoro putrimu menolak melayaniku. Tolonglah, aku akan memberimu hadiah setelah ini.”

“Tidak Juragan! Jangan!” Lastri bangkit berlari tapi Juragan Karta berhasil menangkap dan mendekapnya dari belakang.

Bret!

Juragan Karta mulai merobek pakaian Lastri, membuat bagian tubuhnya tersingkap, terlihat putih dan menonjol besar. Juragan Karta makin gelap mata dengan gejolak yang makin membara melampiaskan hasratnya pada janda tiga puluhan tahun itu. Perlawanan Lastri sia-sia. Sore itu, dia harus dimangsa oleh Juragan Karta, yang kehilangan akal sehat dan berubah menjadi buas.

Di tempat lain, seorang Resi yang sedang duduk bersila, bersemedi di pinggir danau, tiba-tiba membuka matanya. Dengan mata batinnya, dia melihat sosok iblis dengan riang menari-nari di awang-awang. Iblis-iblis begitu gembira berhasil menjerumuskan manusia ke dalam lembah dosa lewat nafsu birahi. Sang Resi menarik nafas panjang, menyayangkan peristiwa yang terlintas dalam penglihatan mata batinnya.

“Takdir memang tak bisa diubah. Bayi bernasib malang itu akan benar-benar terlahir. Wahai sang maha kuasa, yang menjadi kehendakMu, itulah yang akan terjadi,” Gumam Sang Resi kembali memejamkan mata melanjutkan semedi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status