“Hiks…. Hamba hanya orang kecil, kenapa Juragan tega melakukan ini!”
Sulastri duduk memeluk lutut di atas tumpukan jerami mengusap air mata, sambil menutupi bagian tubuhnya yang tersingkap, dan menyembul keluar. Pakaiannya sudah sobek sana sini, dikoyak dengan buas oleh Juaragan Karta. Entah mimpi apa dia semalam hingga harus mengalami peristiwa yang begitu mengerikan. Dia tak mampu melawan hingga harus pasrah digagahi oleh Juragan Karta. Dia sadar kalau dia seorang Janda, yang harus merantau ke kota demi menghidupi anak perempuannya di desa, juga demi menghindari niat jahat lelaki hidung belang di desa. Tapi, nyatanya meski sudah merantau ke kota, di tetap saja di mangsa oleh lelaki hidung belang.
“Lastri…. Jangan menagis lagi. Maafkan aku, aku benar-benar Khilaf, tadi!” hibur Juragan Karta yang rebah di samping Sulastri. Lelaki bertubuh tambun itu masih bertelanjang dada, dengan peluh yang masih menetes. Dia juga tak percaya sudah melakukan hal yang tercela pada Sulastri.
“Hiks…. Hiks…. Bagaimana kalau hamba sampai hamil. Apa kata orang-orang nanti, Oooh!” Lastri terisak meratapi nasibnya.
Juragan Karta bangkit dan duduk di samping Lastri. Ragu-ragu dia mengulurkan tangannya mengusap-usap punggung janda yang beberapa saat lalu dengan buas dia rudapaksa. Ada rasa iba dan sesal yang menyelimuti pikiran Juragan Karta, tapi semua telah terjadi, dan tak bisa dia tarik mundur kembali.
“Jangan takut! Aku akan bertanggung jawab, padamu!”
Lastri menepis tangan Juragan Karta, mengusap air matanya dan menatap mata lelaki yang dulu sangat dia hormati tapi dengan tega malah memangsanya.
“Hamba tak sanggup menanggung ini. Lebih baik hamba mati saja!” teriak Lastri dengan cepat bangkit berdiri dan berlari cepat mengambil sabit yang tergeletak bermaksud mengakhiri hidupnya.
“LASTRI! Jangan berbuat nekat!” jerit Juragan Karta melompat berdiri, dengan sigap menangkap tangan Lastri yang hendak menggorok lehernya sendiri itu.
Lastri yang kalap, meronta berusaha melepaskan tangan Juragan Karta yang hendak mencegahnya mengakhiri hidup.
“LEPASKAN! Biarkan hamba mati saja!” jerit Lastri seperti kesetanan.
PLAK!
Juragan Karta menampar keras Lastri yang makin tak terkendali, menepis sabit yang ada di tangan janda muda itu.
“Sadarlahlah!”
Sulastri tersentak, memegangi pipinya yang memerah.
“Hwuaaaa!” tangis Lastri kembali pecah, dia menubruk Juragan Karta.
Lelaki berusia empat puluh tahunan itu dengan sigap memeluk erat Lastri yang masih tak terkendali, membiarkan wanita itu mencubit dan memukulnya. Hingga saat tangis Lastri mulai reda, dia mulai berbisik lembut pada pembatunya.
“Aku benar-benar minta maaf. Jangan lagi bertindak bodoh, aku bertanggung jawab. Semua sudah terjadi.”
Sulastri yang merasa marah, kecewa dan rapuh pun akhirnya membalas pelukan Juragan Karta sambil terus menangis terisak. Kedua manusia berbeda jenis kelamin itu berpelukan erat. Juragan Karta mengelus-elus pundak Lastri, elusan merembet ke bagian-bagian lain, berlanjut pada ciuman dan pergumulan panas secara suka rela tanpa paksaan. Lastri yang rapuh dan bingung, akhirnya pasrah dan terbawa oleh nalurinya yang memang merindukan pelukan hangat. Kedua insan itu bermain dengan masyuk, hingga tak menyadari, ada mata yang sedang mengamati perbuatan terlarang mereka.
“Oh Dewa!” gumam pemilik mata itu menelan ludah mengintip pergumulan antara pembantu dan majikan yang harusnya tak terjadi itu. ***
Pergumulan terlarang antara Juragan Karta dan Lastri itu terjadi lagi dan lagi. Setiap ada kesempatan dan situasi memungkinkan. Lastri yang awalnya terpaksa, kini malu-malu mulai menikmati hubungan terlarang itu. Juragan Karta juga makin tenggelam oleh pesona janda semok itu. Lastri memang jauh lebih berpengalaman dari Anjani, yang membuat Juragan Karta terlarut. Hubungannya dengan Anjani pun kian terasa hambar. Dia memang tak lagi uring-uringan, tapi tetap bersikap dingin.
“Kakang masih marah, padaku?” tanya Anjani beringsut menyandarkan kepalanya pada lengan Juragan Karta saat keduanya rebah di tempat tidur. Anjani merasa kalau suaminya makin bersikap dingin padanya
“Kakang lelah sekali hari ini. Kakang ingin tidur!” jawab Juragan Karta menarik lengannya perlahan, berbalik memunggungi istrinya. Terbayang di benak lelaki empat puluh tahun itu pergumulan panasnya dengan Lastri di gudang belakang beberapa saat yang lalu.
Anjani mengusap perutnya yang makin membesar, dia kecewa dan sikap sang suaminya. Dia sama sekali tak menyangka penolakannya malam itu berbuntut panjang dan berlarut-larut.
“Hiks…. hiks,” Anjani mulai terisak, sedih. Suami yang dia harapkan bersikap hangat, mengacuhkannya lagi.
Suara isak tangis itu menyadarkan Juragan Karta dari lamunan nakalnya tentang Lastri. Dia berbalik menatap istrinya yang tersedu. Dia memang kesal pada Anjani yang begitu termakan ramalan Resi di pasar, tapi melihat wanita itu menagis, rasa sayang itu perlahan muncul lagi. Bagaimanapun, Anjani adalah istrinya.
“Kenapa kau menangis, Diajeng?” tanya Juragan Karta memcoba membelai rambut Anjani.
“Kakang jahat sekali! Sudah berpekan pekan Kakang bersikap dingin. Hiks…. Hiks…. Aku sedang hamil, Kang! Hamil anakmu! Akan tak mau melayanimu juga demi anak ini. Kenapa kau tak bisa bersabar!” tangis Anjani pecah meluapkan rasa kecewa yang selama ini dia pendam.
Juragan Karta menarik nafas panjang, mendekatkan tubuhnya pada Anjani. Mengusap-usap lembut Anjani, yang membuat wanita itu makin terisak. Juragan Karta makin tak bisa berkata-kata dibuatnya.
“Kang…. apa kakang sudah tak sayang lagi padaku?”
Juragan Karta tertegun, tak bisa menjawab pertanyaan istrinya itu, dia kembali teringat perbuatan terlarangnya dengan Sulastri. Rasa bersalah mulai menghimpit. Kilas balik permainan panasnya dengan Sulastri dengan cepat berubah menjadi penyesalan yang menyakitkan. Mulutnya berat untuk berkata, lelaki bertumbuh tambun itu mendekap Anjani di dadanya, membelai lembut rambut dan mengecup kening wanita yang sedang mengandung benih darinya.
“Maafkan Kakang, Anjani!”
Anjani mengusap air matanya, merangkul Juragan Karta erat. Wanita yang sedang hamil itu benar-benar merindukan sikap hangat sang suami yang beberapa pekan ini hilang. sikap hangat yang dulu membuatnya menerima cinta lelaki yang usianya jauh lebihh tua darinya.
“Mmm, apa Kakang, ingin?” tanya Anjani mendongakkan kepalanya, tersenyum malu-malu menatap Juragan Karta. Dia telah luluh, tak peduli lagi pada ramalan Resi yang membuat hubungannya dengan suami merenggang.
“Tidak Anjani, Kakang akan bersabar. Kau tak perlu seperti ini, bila memang tak ingin! Maafkan Kakang, yang uring-uringan belakangan ini!”
Anjani melepaskan rangkulan. Duduk menatap suaminya dengan senyum yang mengembang. Di luar dugaan juragan Karta, tangan Anjani perlahan melolosi pakaian bagian atasnya. Terlihat tubuh mulus Anjani dan perut yang membuncit.
“Aku ingin, Kang….” ucapnya menggoda.
Juragan Karta mematung menelan ludah melihat itu. Melihat sikap gugup dan ragu suaminya, Anjani meraih tangan Juragan Karta, menuntunnya menyentuh bagian tubuhnya yang menonjol.
“Tak apa, Kang…. Aku milikmu. Jangan bersikap dingin lagi, Kumohon!”
Darah Juragan Karta langsung mendidih terus-menerus digoda. Bayang-bayang Sulastri langsung lenyap tertutup peseona Anjani, istri yang memang dia cintai. Malam itu, keinginan yang tertahan terlampiaskan dengan masyuk. Hingga membuat Anjani harus mengingatkan sang suami karena terlalu bersemangat.
“Pelan pelan, KANG! Aku sedang hamil!”
Di akhirat, Panglima Tiang Feng melihat kejadian itu, lewat bayangan yang ditampilkan oleh pancaran energi dari Raja Akhirat. Dia masih belum mengerti kenapa Raja Akhirat memperlihatkan semua ini padanya. Setelah rohnya dibuat tak berdaya oleh pengawal akhirat, roh Panglima Tiang Feng dibawa menghadap pada Raja Akhirat. Bukan untuk dihukum, tapi diperlihatkan sebuah cerminan kehidupan di sebuah negeri asing yang tak dia kenali.
“Apa maksudmu, memperlihatkan semua ini, Raja Akhirat?” tanya roh Panglima Tiang Feng melirik heran ke Raja Akhirat yang berdiri tak jauh darinya.
Bab 7. Percakapan Tentang NasibDengan jari telunjuk yang menempel di kening, dan jari-jari lain terlipat ke bawah, Raja Akhirat terus berkonsentarsi mengeluarkan energi agar cermin kehidupan yang menampilkan bayangan kejadian di alam dunia tetap bisa terlihat.“Hiap!” Raja Akhirat melepaskan jari-jari dari kening, menghentikan aliran energi, yang membuat bayangan kejadian di alam dunia menghilang. Dia mengatur nafasnya, dan berjalan mendekati roh Panglima Tiang Feng yang masih terlihat kebingungan.“ Wahai roh Panglima Tiang Feng, Aku sudah bicara dengan Dewa Pengatur nasib tentang kehidupanmu selanjutnya….”“Tak ada yang berbeda, aku akan tetap mati mengenaskan oleh derita cinta,” potong roh Panglima Tiang Feng ketus.“Kauu!” Raja Akhirat menuding roh Panglima Tiang Feng geram. Dia sudah mengambil resiko dan berupaya mengurangi penderitaan Panglima Tiang Feng, tapi malah mendapat sikap ketus seperti ini. “Ah, sudahlah!” Raja Akhirat menghempaskan tangannya ke udara dan berbalik.Ro
“Huek, Huek!” Lastri mengeluarkan semua isi perutnya. Wajahnya pucat, tubuhnya jadi panas dingin. Belakangan indra penciumannya juga jadi lebih sensitif, mencium bau-bauan tertentu, perutnya langsung mual-mual.Mbok Darmi rekan sesama pembatu di rumah juragan Karta, memijit-mijit tengkuk Lastri. Wanita paruh baya itu membantu Lastri agar lebih enakan. Sebagai orang tua yang berpengalaman, dia mulai menduga-duga kalau Lastri sedang hamil muda, ciri-cirinya jelas. Tapi yang membuat Mbok Darmi bingung adalah, bagaimana mungkin Lastri bisa hamil kalau dia adalah seorang janda. Mbok Darmi memberanikan diri bertanya pada Lastri tentang kemungkinan itu, barangkali saja Lastri punya hubungan khusus dengan lelaki dan akhirnya keblabasan. Mungkin dengan Parjo dan Timan, mengingat kedua lelaki itu sering menggoda dan dekat dengan Lastri. Wanita yang sebulan terakhir terjerat hubungan terlarang dengan Juragan Karta itu, membantah. Dia bilang kalau masih rutin garap sari. Mbok Darmi pun membuang
Juragan Karta kaget bukan main, mendengar perkataan Lastri. Dia tak menyangka permainan liarnya dengan Lastri menyebabkan janda sintal itu sampai berbadan dua. Sebulan terakhir, mereka memang sering melakukan pergumulan di setiap ada kesempatan. Tak peduli itu siang atau malam, di banyak tempat. Sangat wajar memang, bila dari sekian benih yang ditanamkan di rahim Lastri, salah satunya ada yang tumbuh.Meski kaget, Juragan Karta berusaha berpikir jernih untuk mencari jalan keluar dan yang paling penting adalah menenangkan Lastri terlebih dahulu, dia tak mau Lastri kembali nekat dan punya niat mengakhiri hidupnya. Dan saat melihat Lastri lengah, Juragan Karta bergerak cepat menangkap tangan Lastri yang memegang sabit, mencengkram janda muda itu, berusaha menjatuhkan sabit di tangan Lastri.Srat! “Lepaskan, lepaskan!” Lastri meronta seperti orang kalap berusaha melepaskan diri, tapi dia kalah kuat hingga sabit itu terlepas dari tangannya. Lastri meronta membuat Juragan Karta kewalahan h
Terdengar langkah kaki menuju dapur, membuat Lastri dan Parjo dengan cepat melirik ke luar secara bersamaan. Dari jauh, terlihat Mbok Darmi datang memondong beberapa kayu bakar kering. Lastri dan Parjo mulai menjaga sikap dan terlihat biasa-biasa saja. Parjo lalu berjalan mendekati Lastri dan berbisik pelan, sambil menepuk-nepuk pundak janda tiga puluhan tahun itu.“Kau pikir-pikir saja, dulu. Jangan coba mengadu pada Juragan Karta, atau aku langsung melapor pada Ndoro Putri!” bisik Parjo penuh ancaman, bergegas pergi meninggalkan dapur.Lastri terdiam tak bisa menjawab, dia meremas-remas ujung jariknya bingung harus bagaimana.“Jo, sebentar lagi sayur lodehnya matang, apa kau tak mau menunggu?” sapa Mbok Darmi saat berpapasan dengan Parjo di pintu keluar.“Nanti saja, Mbok. Saya mau ngarit dulu,” jawab Parjo tersenyum sambil melirik nakal ke arah Lastri yang masih gugup terdiam.“Ha ha, tumben-tumbenan.”Mbok Darmi melangkah masuk ke dapur memondong kayu kering, melemparkannya ke sam
“Kang Mas, kenapa? Aku melihat, Kakang beberapa hari ini sering melamun,”Teguran dari Anjani itu membuat Juragan Karta yang sedang duduk termenung di bale-bale, memikirkan cara menutupi perselingkuhannya itu tergagap, kaget. Tahu-tahu sang istri sudah ada di sampingnya, menepuk pundaknya.“Oh, Diajeng,” jawabnya geragapan. “Kakang ada masalah apa, sebenarnya?” desak Anjani kembali bertanya. Firasatnya sebagai perempuan merasakan ada yang berbeda dari suaminya. Meski sebenarnya masih khawatir dengan ramalan sang Resi, Anjani sudah membuang jauh rasa itu dan kembali melayani suaminya seperti biasa. Tapi hal itu seperti tak banyak mengubah keadaan. Suaminya memang tak lagi uring-uringan, berganti jadi sering melamun sendiri. Suaminya juga tak lagi menjamahnya setelah malam pertama Anjani menyerahkan dirinya.“Kakang hanya capek saja, dan tak sabar menantikan kelahiran jabang bayi ini,” jawab Jurag
“Haaaa!” jerit Lastri melihat tubuh Juragan Karta bersimbah darah di samping mayat Parjo yang sudah terbujur kaku. Lastri sudah punya firasat tidak baik saat Juragan Karta bergegas pergi dengan wajah penuh amarah setelah mendengar ceritanya tentang ancaman Parjo. Lastri pun mengikuti Juragan Karta, dan benar saja, Juragan Karta telah membungkam mulut Parjo untuk selamanya. “Oh Dewa, apa yang telah Kakang lakukan? Ohhh….” Lastri membekam mulutnya menahan haru. Parjo memeng telah menghinakannya dan membuat dia berada dalam situasi yang sulit. Tapi, melihat mayat Parjo yang terbujur kaku, Lastri juga merasa tidak tega. Dia tak menyangka kalau Juragan Karta akan bertindak sejauh ini. Juragan Karta yang masih duduk terpekur menatap mayat Parjo, buru-buru menyarungkan keris pusakanya ke dalam warangka, lalu menyelipkannya ke pinggang sambil berdiri. “Dia pantas mati, Lastri! Mulutnya telah terbungkam selamanya. Lekas bantu aku menguburkan pria tak tau diri ini, sebelum ada yang melihat,
Roh Panglima Tiang Feng masih termenung memikirkan kehidupan ketiga ratus tiganya. Gambaran kehidupan yang akan dia jalani sudah terlihat jelas. Dia akan mengalami banyak kesialan dan berkali-kali merasakan derita cinta dalam satu kehidupan. Karma buruk akibat melanggar aturan langit saja sudah cukup berat, di tambah dia harus menanggung beban karma buruk akibat dosa yang diperbuat oleh kedua orang tuanya, makin membuat Panglima gelisah. Meski Raja Akhirat telah berjanji akan membantu mengurangi derita asmaranya, roh Panglima tetap tak yakin akan sanggup mengubah nasib buruk di kehidupan ke tiga ratus tiganya.“Waktumu telah tiba, Panglima….” Raja Akhirat mengingatkan Panglima untuk bersiap menuju gerbang reinkarnasi.Roh Panglima Tiang Feng menoleh pelan, ke arah Raja Akhirat. Tak seperti beberapa hari yang lalu, roh Panglima Tiang Feng kini sudah bisa tenang dan tak lagi berteriak dan meraung-raung minta dijebloskan ke neraka, meski tahu kalau kehidupan ketiga ratus tiganya akan leb
Owew owew owewTangisan bayi yang baru lahir itu memecah keheningan malam saat keluar dari rahim sang ibu. Dukun bayi mengangkatnya tinggi-tinggi lalu buru-buru membersihkannya. Meski masih merah, Dukun bayi bisa merasakan aura yang berbeda pada bayi yang baru lahir itu. Bayi itu terlihat gagah dan rupawan memancar aura yang memikat.“Hmm, bayi laki-laki yang tampan. Entah berapa gadis yang akan terpikat olehnya nanti,” gumam Dukun mengelap-elap tubuh bayi mungil itu.Mbok yam ibu dari Lastri tersenyum bahagia melihat bayi yang masih merah itu terlahir dengan selamat. Mbok Yam menyambut dengan senyum haru cucu laki-lakinya itu, Mbok Yam untuk sejenak melupakan rasa marahdan kesalnya pada Lastri yang tiba-tiba pulang dalam keadaan hamil. Berkali-kali Mbok Yam mempertanyakan tentang laki-laki yang telah membuatnya mengandung. Setiap kali hal itu ditanyakan, Lastri selalu menjawab kalau lelaki itu akan bertanggung jawab dan menjemputnya di desa. Tapi nyatanya tak kunjung datang.“Cucuku