Share

BAB 6. Kebekuan yang Mencair

“Hiks…. Hamba hanya orang kecil, kenapa Juragan tega melakukan ini!”

Sulastri duduk memeluk lutut di atas tumpukan jerami mengusap air mata, sambil menutupi bagian tubuhnya yang tersingkap, dan menyembul keluar. Pakaiannya sudah sobek sana sini, dikoyak dengan buas oleh Juaragan Karta. Entah mimpi apa dia semalam hingga harus mengalami peristiwa yang begitu mengerikan. Dia tak mampu melawan hingga harus pasrah digagahi oleh Juragan Karta. Dia sadar kalau dia seorang Janda, yang harus merantau ke kota demi menghidupi anak perempuannya di desa, juga demi menghindari niat jahat lelaki hidung belang di desa. Tapi, nyatanya meski sudah merantau ke kota, di tetap saja di mangsa oleh lelaki hidung belang.

“Lastri…. Jangan menagis lagi. Maafkan aku,  aku benar-benar Khilaf, tadi!” hibur Juragan Karta yang rebah di samping Sulastri. Lelaki bertubuh tambun itu masih bertelanjang dada, dengan peluh yang masih menetes. Dia juga tak percaya sudah melakukan hal yang tercela pada Sulastri.

“Hiks…. Hiks…. Bagaimana kalau hamba sampai hamil. Apa kata orang-orang nanti, Oooh!” Lastri terisak meratapi nasibnya.

Juragan Karta bangkit dan duduk di samping Lastri. Ragu-ragu dia mengulurkan tangannya mengusap-usap punggung janda yang beberapa saat lalu dengan buas dia rudapaksa. Ada rasa iba dan sesal yang menyelimuti pikiran Juragan Karta, tapi semua telah terjadi, dan tak bisa dia tarik mundur kembali.

“Jangan takut! Aku akan bertanggung jawab, padamu!”

Lastri menepis tangan Juragan Karta, mengusap air matanya dan menatap mata lelaki yang dulu sangat dia hormati tapi dengan tega malah memangsanya.

“Hamba tak sanggup menanggung ini. Lebih baik hamba mati saja!” teriak Lastri dengan cepat bangkit berdiri dan berlari cepat mengambil sabit yang tergeletak bermaksud mengakhiri hidupnya.

“LASTRI! Jangan berbuat nekat!” jerit Juragan Karta melompat berdiri, dengan sigap menangkap tangan Lastri yang hendak menggorok lehernya sendiri itu.

Lastri yang kalap, meronta berusaha melepaskan tangan Juragan Karta yang hendak mencegahnya mengakhiri hidup.

“LEPASKAN! Biarkan hamba mati saja!” jerit Lastri seperti kesetanan.

PLAK!

Juragan Karta menampar keras Lastri yang makin tak terkendali, menepis sabit yang ada di tangan janda muda itu.

“Sadarlahlah!”

Sulastri tersentak, memegangi pipinya yang memerah.

“Hwuaaaa!” tangis Lastri kembali pecah, dia menubruk Juragan Karta.

Lelaki berusia empat puluh tahunan itu dengan sigap memeluk erat Lastri yang masih tak terkendali, membiarkan wanita itu mencubit dan memukulnya. Hingga saat tangis Lastri mulai reda, dia mulai berbisik lembut pada pembatunya.

“Aku benar-benar minta maaf. Jangan lagi bertindak bodoh, aku bertanggung jawab. Semua sudah terjadi.”

Sulastri yang merasa marah, kecewa dan rapuh pun akhirnya membalas pelukan Juragan Karta sambil terus menangis terisak. Kedua manusia berbeda jenis kelamin itu berpelukan erat. Juragan Karta mengelus-elus pundak Lastri, elusan merembet ke bagian-bagian lain, berlanjut pada ciuman dan pergumulan panas secara suka rela tanpa paksaan. Lastri yang rapuh dan bingung, akhirnya pasrah dan terbawa oleh nalurinya yang memang merindukan pelukan hangat. Kedua insan itu bermain dengan masyuk, hingga tak menyadari, ada mata yang sedang mengamati perbuatan terlarang mereka.

“Oh Dewa!” gumam pemilik mata itu menelan ludah mengintip pergumulan antara  pembantu dan majikan yang harusnya tak terjadi itu. ***

Pergumulan terlarang antara Juragan Karta dan Lastri itu terjadi lagi dan lagi. Setiap ada kesempatan dan situasi memungkinkan. Lastri yang awalnya terpaksa, kini malu-malu mulai menikmati hubungan terlarang itu. Juragan Karta juga makin tenggelam oleh pesona janda semok itu. Lastri memang jauh lebih berpengalaman dari Anjani, yang membuat Juragan Karta terlarut. Hubungannya dengan Anjani pun kian terasa hambar. Dia memang tak lagi uring-uringan, tapi tetap bersikap dingin.

“Kakang masih marah, padaku?” tanya Anjani beringsut menyandarkan kepalanya pada lengan Juragan Karta saat keduanya rebah di tempat tidur. Anjani merasa kalau suaminya makin bersikap dingin padanya

“Kakang lelah sekali hari ini. Kakang ingin tidur!” jawab Juragan Karta menarik lengannya perlahan, berbalik memunggungi istrinya. Terbayang di benak lelaki empat puluh tahun itu pergumulan panasnya dengan Lastri di gudang belakang beberapa saat yang lalu.

Anjani mengusap perutnya yang makin membesar, dia kecewa dan sikap sang suaminya. Dia sama sekali tak menyangka penolakannya malam itu berbuntut panjang dan berlarut-larut.

“Hiks…. hiks,” Anjani mulai terisak, sedih. Suami yang dia harapkan bersikap hangat, mengacuhkannya lagi.

Suara isak tangis itu menyadarkan Juragan Karta dari lamunan nakalnya tentang Lastri. Dia berbalik menatap istrinya yang tersedu. Dia memang kesal pada Anjani yang begitu termakan ramalan Resi di pasar, tapi melihat wanita itu menagis, rasa sayang itu perlahan muncul lagi. Bagaimanapun, Anjani adalah istrinya.

“Kenapa kau menangis, Diajeng?” tanya Juragan Karta memcoba membelai rambut Anjani.

“Kakang jahat sekali! Sudah berpekan pekan Kakang bersikap dingin. Hiks…. Hiks…. Aku sedang hamil, Kang! Hamil anakmu! Akan tak mau melayanimu juga demi anak ini. Kenapa kau tak bisa bersabar!” tangis Anjani pecah meluapkan rasa kecewa yang selama ini dia pendam.

Juragan Karta menarik nafas panjang, mendekatkan tubuhnya pada Anjani. Mengusap-usap lembut Anjani, yang membuat wanita itu makin terisak. Juragan Karta makin tak bisa berkata-kata dibuatnya.

“Kang…. apa kakang sudah tak sayang lagi padaku?”

Juragan Karta tertegun, tak bisa menjawab pertanyaan istrinya itu, dia kembali teringat perbuatan terlarangnya dengan Sulastri. Rasa bersalah mulai menghimpit. Kilas balik permainan panasnya dengan Sulastri dengan cepat berubah menjadi penyesalan yang menyakitkan. Mulutnya berat untuk berkata, lelaki bertumbuh tambun itu mendekap Anjani di dadanya, membelai lembut rambut dan mengecup kening wanita yang sedang mengandung benih darinya.

“Maafkan Kakang, Anjani!”

Anjani mengusap air matanya, merangkul Juragan Karta erat. Wanita yang sedang hamil itu benar-benar merindukan sikap hangat sang suami yang beberapa pekan ini hilang. sikap hangat yang dulu membuatnya menerima cinta lelaki yang usianya jauh lebihh tua darinya.

“Mmm, apa Kakang, ingin?” tanya Anjani mendongakkan kepalanya, tersenyum malu-malu menatap Juragan Karta. Dia telah luluh, tak peduli lagi pada ramalan Resi yang membuat hubungannya dengan suami merenggang.

“Tidak Anjani, Kakang akan bersabar. Kau tak perlu seperti ini, bila memang tak ingin! Maafkan Kakang, yang uring-uringan belakangan ini!”

Anjani melepaskan rangkulan. Duduk menatap suaminya dengan senyum yang mengembang. Di luar dugaan juragan Karta, tangan Anjani perlahan melolosi pakaian bagian atasnya. Terlihat tubuh mulus Anjani dan perut yang membuncit.

“Aku ingin, Kang….” ucapnya menggoda.

Juragan Karta mematung  menelan ludah melihat itu. Melihat sikap gugup dan ragu suaminya, Anjani meraih tangan Juragan Karta, menuntunnya menyentuh bagian tubuhnya yang menonjol.

“Tak apa, Kang…. Aku milikmu. Jangan bersikap dingin lagi, Kumohon!”

Darah Juragan Karta langsung mendidih terus-menerus digoda. Bayang-bayang Sulastri langsung lenyap tertutup peseona Anjani, istri yang memang dia cintai. Malam itu, keinginan yang tertahan terlampiaskan dengan masyuk. Hingga membuat Anjani harus mengingatkan sang suami karena terlalu bersemangat.

“Pelan pelan, KANG! Aku sedang hamil!”

Di akhirat, Panglima Tiang Feng melihat kejadian itu, lewat bayangan yang ditampilkan oleh pancaran energi dari Raja Akhirat. Dia masih belum mengerti kenapa Raja Akhirat memperlihatkan semua ini padanya. Setelah rohnya dibuat tak berdaya oleh pengawal akhirat, roh Panglima Tiang Feng dibawa menghadap pada Raja Akhirat. Bukan untuk dihukum, tapi diperlihatkan sebuah cerminan kehidupan di sebuah negeri asing yang tak dia kenali.

“Apa maksudmu, memperlihatkan semua ini, Raja Akhirat?” tanya roh Panglima Tiang Feng melirik heran ke Raja Akhirat yang berdiri tak jauh darinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status