Setelah tiga hari penuh Raras beristirahat, tubuh-tubuh yang sebelumnya lelah kini mulai pulih. Raras duduk di bawah rindangnya pohon asam, memandang langit yang berwarna pucat keemasan. Angin pagi berhembus lembut, seolah memberi salam sebelum perjalanan panjang kembali dilanjutkan. Para prajurit sibuk membereskan perlengkapan, ikatan kuda diperiksa, kendi air diisi ulang, pedang dipastikan terhunus dengan baik di pinggang masing-masing.
“Gusti Raras, Apabila kita berangkat sekarang, sore nanti sudah bisa sampai di perbatasan Mandalajati,” ucap salah seorang prajurit sambil menepuk pelana kudanya.Raras hanya mengangguk pelan. Ada beban yang belum juga hilang dari sorot matanya. Tiga hari istirahat seolah belum cukup untuk menenangkan gelombang pikirannya yang terus mengingat luka masa lalu dan rahasia yang ia simpan rapat.Namun pagi itu, sesuatu yang aneh terjadi. Tanah di bawah pijakan kaki tiba-tiba bergetar.Kedutan kecil, nyaris tak terlihaRaras berdiri tegak menyambut. Ia tetap menampilkan senyum, meski dalam hati masih ada getir karena bukan Rakai yang muncul.Wanita itu menyibakkan selendangnya, tersenyum miring sambil menatap Raras dari ujung kepala hingga kaki. “Jadi ini… Gusti Raras?” suaranya lirih namun terdengar jelas oleh orang-orang sekitar. “Hmmm… aku kira istri Pangeran Rakai itu seorang bangsawan agung yang anggun. Tapi ternyata… hanya gadis desa yang dipoles sedikit.”Raras tertegun. Matanya langsung menyipit, dadanya panas. Namun ia menahan diri. Jangan… jangan terpancing. Dia membawa bantuan, jangan sampai rakyatku yang jadi korban amarahku.Lasmi melangkah mendekat, mendengus kecil seakan sedang menilai kain sederhana yang Raras kenakan. “Lihatlah, pakaiannya sederhana, wajahnya pun polos tanpa riasan. Benarkah ini yang dipilih Rakai? Padahal banyak wanita di istana yang lebih… pantas.”Beberapa prajurit di dermaga menoleh gelisah, suasana menjadi tegang.Raras menarik napas panjang, memaksakan senyum
Di dermaga Daha, aroma kayu bakar dan bubur yang mengepul memenuhi udara. Raras masih sibuk membagi bubur untuk warga yang berdesakan, tangannya gemetar halus karena kelelahan. Wajahnya pucat, namun ia tetap memaksakan senyum agar orang-orang merasa tenang.Alin berlari ke sana kemari, sibuk membagikan mangkuk batok kepada anak-anak kecil. Sementara itu, Situ awalnya ikut membagikan bubur, tapi pandangannya tak pernah lepas dari sosok tuannya. Dari tadi ia mengamati setiap gerak-gerik Raras, dan hatinya mencelos melihat pipi sang putri yang semakin pucat.“Sitira, teruskan tugasku,” ucap Situ singkat.Sitira mengangguk cepat, mengambil alih sendok kayu besar untuk menuang bubur ke batok-batok kelapa. Situ pun melangkah mendekat dengan langkah tenang, membawa semangkuk bubur hangat di tangannya.“Gusti, makanlah sebentar,” katanya datar, namun suaranya tak bisa menyembunyikan nada khawatir.Raras tersenyum samar, menggeleng pelan. “Tidak usah, Situ. Warga lebih butuh—”Namun belum sele
Tanah pasren masih sibuk meski malam telah turun. Obor-obor menyala di tiap sudut, menerangi gudang tempat bahan pokok ditumpuk. Rakai berdiri tegap, memperhatikan daftar yang digenggamnya.“Arum,” ucapnya tenang. “Beras, kacang, dan garam, apakah semua sudah siap. Besok sebelum fajar, semua harus sudah berangkat ke Daha.”Arum yang sejak tadi sibuk menghitung karung tiba-tiba menoleh dengan senyum nakalnya. Ia mengangguk, lalu bersedekap dengan gaya pura-pura serius.“Baik, tuanku. Tapi…” ia menurunkan suaranya, lalu melirik Rakai sambil menggeleng sok manja, “ada bayarannya.”Rakai mengangkat alis. “Bayaran?”“Pangeran ini tahu sendiri, tangan hamba pegal-pegal sejak kemarin angkat karung. Kalau tidak diberi imbalan, bisa-bisa besok hamba rebahan seharian,” jawab Arum sambil menahan tawa.Rakai mendengus pelan. “Imbalan apa yang kau mau?”Arum mengedip sekali, lalu berkata cepat, “Paling tidak, senyuman satu saja dari tuanku. Senyuman yang bisa bikin hamba kuat lagi sampai sepuluh k
Kabut malam makin tebal di hutan Daha. Alin, Sitira, dan Situ melangkah dengan hati-hati, cahaya obor di tangan Situ menari-nari, membentuk bayangan panjang di batang pohon. Suasana hening, hanya terdengar suara burung malam dan gemuruh air sungai di kejauhan.“Kenapa Gusti Raras berjalan sendirian?” gerutu Alin, wajahnya tegang. “Seharusnya Tuan Putri tidak boleh meninggalkan perkemahan tanpa pengawal.”Situ menanggapi dingin, “Aku sudah berusaha menahannya. Tapi Gusti Putri keras kepala. Kau kira aku tidak khawatir?”Sitira yang berjalan di belakang berusaha menengahi. “Sudahlah, yang penting kita temukan Gusti Putri dulu.”Belum sempat langkah mereka lebih jauh, tiba-tiba tanah di tepi jalan licin. Sitira yang agak dekat dengan jurang kecil terpeleset. Tubuhnya meluncur deras menuruni lereng berlumpur.“Sitira!” Alin menjerit, berlari mencoba meraih tangannya, tapi terlambat. Sitira terhanyut hingga jatuh ke sungai deras di bawah.Air bergemuruh, tubuh Sitira terbawa arus. Ia menje
Suasana Dhaha sore itu masih muram. Langit kelabu seakan belum puas menumpahkan hujannya, sementara tanah di halaman pendapa becek oleh lumpur yang tercampur abu dari reruntuhan rumah. Rakyat Dhaha tampak lesu, namun begitu kabar datang bahwa rombongan Alin dan Jaladri kembali dengan beberapa karung pangan, semua sontak bergegas.“Cepat! Pindahkan ke lumbung darurat!” seru Kaki prawira, disambut teriakan lain yang saling bersahut. Beberapa orang lelaki mengangkat karung beras ke bahu mereka, sementara yang lain menyiapkan wadah untuk membagi-bagikan ubi kepada warga yang paling kelaparan.Alin menepuk bahu Jaladri yang masih terengah, “Syukurlah, perjalanan kita tak sia-sia. Meski tidak banyak, setidaknya cukup untuk bertahan beberapa hari.”Namun, ketika matanya mencari sosok yang selalu hadir menyambut mereka, Alin mendapati sesuatu yang janggal. Wajahnya berubah tegang. Ia menoleh ke kanan-kiri, berulang kali menyapu pandangan ke kerumunan. Tak ada bayangan kain kebesaran ataupun s
Senja merayap pelan di langit Daha. Awan hitam menggantung rendah, berat, seolah hendak menumpahkan segala murkanya ke tanah yang sudah porak poranda. Angin membawa hawa lembap dan bau anyir lumpur yang tak kunjung kering.Raras berdiri di tepi hutan yang mulai diselimuti kabut tipis. Di belakangnya, suara keluhan warga dan prajurit yang kelaparan masih terngiang di telinga. Ia menatap rimbun pepohonan, matanya tajam, seakan mencari jawaban di antara batang-batang basah itu.“Jika kerajaan menutup mata, maka aku sendiri yang harus membuka jalan,” bisiknya lirih.Beberapa prajurit sempat menawarkan diri menemaninya, namun ia menolak. Ia tahu persediaan tenaga mereka harus dihemat, sementara dirinya… sudah terbiasa menghadapi kerasnya alam. Lagipula, ia tidak ingin ada yang tahu seberapa dalam ia menguasai cara bertahan hidup di hutan, sisa-sisa masa lalunya yang dulu ia kubur rapat."Gusti, ijinkan saya membantu!" "Situ! Jalardi dan Alin sedang mencari bantuan. Jika kamu ikut aku baga