Tanah pasren masih sibuk meski malam telah turun. Obor-obor menyala di tiap sudut, menerangi gudang tempat bahan pokok ditumpuk. Rakai berdiri tegap, memperhatikan daftar yang digenggamnya.“Arum,” ucapnya tenang. “Beras, kacang, dan garam, apakah semua sudah siap. Besok sebelum fajar, semua harus sudah berangkat ke Daha.”Arum yang sejak tadi sibuk menghitung karung tiba-tiba menoleh dengan senyum nakalnya. Ia mengangguk, lalu bersedekap dengan gaya pura-pura serius.“Baik, tuanku. Tapi…” ia menurunkan suaranya, lalu melirik Rakai sambil menggeleng sok manja, “ada bayarannya.”Rakai mengangkat alis. “Bayaran?”“Pangeran ini tahu sendiri, tangan hamba pegal-pegal sejak kemarin angkat karung. Kalau tidak diberi imbalan, bisa-bisa besok hamba rebahan seharian,” jawab Arum sambil menahan tawa.Rakai mendengus pelan. “Imbalan apa yang kau mau?”Arum mengedip sekali, lalu berkata cepat, “Paling tidak, senyuman satu saja dari tuanku. Senyuman yang bisa bikin hamba kuat lagi sampai sepuluh k
Kabut malam makin tebal di hutan Daha. Alin, Sitira, dan Situ melangkah dengan hati-hati, cahaya obor di tangan Situ menari-nari, membentuk bayangan panjang di batang pohon. Suasana hening, hanya terdengar suara burung malam dan gemuruh air sungai di kejauhan.“Kenapa Gusti Raras berjalan sendirian?” gerutu Alin, wajahnya tegang. “Seharusnya Tuan Putri tidak boleh meninggalkan perkemahan tanpa pengawal.”Situ menanggapi dingin, “Aku sudah berusaha menahannya. Tapi Gusti Putri keras kepala. Kau kira aku tidak khawatir?”Sitira yang berjalan di belakang berusaha menengahi. “Sudahlah, yang penting kita temukan Gusti Putri dulu.”Belum sempat langkah mereka lebih jauh, tiba-tiba tanah di tepi jalan licin. Sitira yang agak dekat dengan jurang kecil terpeleset. Tubuhnya meluncur deras menuruni lereng berlumpur.“Sitira!” Alin menjerit, berlari mencoba meraih tangannya, tapi terlambat. Sitira terhanyut hingga jatuh ke sungai deras di bawah.Air bergemuruh, tubuh Sitira terbawa arus. Ia menje
Suasana Dhaha sore itu masih muram. Langit kelabu seakan belum puas menumpahkan hujannya, sementara tanah di halaman pendapa becek oleh lumpur yang tercampur abu dari reruntuhan rumah. Rakyat Dhaha tampak lesu, namun begitu kabar datang bahwa rombongan Alin dan Jaladri kembali dengan beberapa karung pangan, semua sontak bergegas.“Cepat! Pindahkan ke lumbung darurat!” seru Kaki prawira, disambut teriakan lain yang saling bersahut. Beberapa orang lelaki mengangkat karung beras ke bahu mereka, sementara yang lain menyiapkan wadah untuk membagi-bagikan ubi kepada warga yang paling kelaparan.Alin menepuk bahu Jaladri yang masih terengah, “Syukurlah, perjalanan kita tak sia-sia. Meski tidak banyak, setidaknya cukup untuk bertahan beberapa hari.”Namun, ketika matanya mencari sosok yang selalu hadir menyambut mereka, Alin mendapati sesuatu yang janggal. Wajahnya berubah tegang. Ia menoleh ke kanan-kiri, berulang kali menyapu pandangan ke kerumunan. Tak ada bayangan kain kebesaran ataupun s
Senja merayap pelan di langit Daha. Awan hitam menggantung rendah, berat, seolah hendak menumpahkan segala murkanya ke tanah yang sudah porak poranda. Angin membawa hawa lembap dan bau anyir lumpur yang tak kunjung kering.Raras berdiri di tepi hutan yang mulai diselimuti kabut tipis. Di belakangnya, suara keluhan warga dan prajurit yang kelaparan masih terngiang di telinga. Ia menatap rimbun pepohonan, matanya tajam, seakan mencari jawaban di antara batang-batang basah itu.“Jika kerajaan menutup mata, maka aku sendiri yang harus membuka jalan,” bisiknya lirih.Beberapa prajurit sempat menawarkan diri menemaninya, namun ia menolak. Ia tahu persediaan tenaga mereka harus dihemat, sementara dirinya… sudah terbiasa menghadapi kerasnya alam. Lagipula, ia tidak ingin ada yang tahu seberapa dalam ia menguasai cara bertahan hidup di hutan, sisa-sisa masa lalunya yang dulu ia kubur rapat."Gusti, ijinkan saya membantu!" "Situ! Jalardi dan Alin sedang mencari bantuan. Jika kamu ikut aku baga
Malam turun pelan di Dhaha, api unggun yang padam ditimpa angin menyisakan bara merah. Raras duduk sendirian di bawah naungan atap reyot balai bambu, menatap jauh ke kegelapan. Hatinya gelisah, bayangan Rakai muncul berulang kali di benaknya—apakah dia baik-baik saja di luar sana? Fitnah dari istana masih terngiang, membuat dadanya sesak.Langkah tergesa terdengar, Situ datang dengan wajah muram. Ia membungkuk hormat sebelum menyampaikan kabar yang membuat bara di hati Raras kian berat.“Gusti Raras,” ucapnya pelan, “istana menolak mengirim bantuan. Mereka beralasan jalan menuju kemari tertutup longsor dan bebatuan. Bahkan, katanya, tak ada satu pasukan pun yang bisa menembusnya.”Raras menarik napas panjang, menahan diri agar wajahnya tetap teduh. Ia hanya mengangguk, menatap bara api yang kian redup. “Aku sudah menduganya,” gumamnya lirih.Situ hendak berbalik keluar, namun suara Raras menghentikan langkahnya.“Situ,” panggilnya pelan namun tegas. “Ceritakan padaku… hubunganmu denga
Di Tanah Pasren, malam itu diselimuti cahaya lampu minyak dan aroma dupa dari rumah-rumah hiburan yang berjejer di pelabuhan. Tempat itu hidup di antara gemuruh ombak, penuh gelak tawa, tabuhan gamelan kecil, dan suara seruling yang mendayu.Rakai duduk di sebuah sudut ruangan, memandangi peta usang di hadapannya. Wajahnya tegang, pikirannya masih terpaku pada kabar tentang Daha yang porak poranda dilanda bencana. Baru saja ia menghela napas panjang ketika tirai kain sutra tipis tersibak.Muncullah Arum—wanita penghibur sekaligus pemilik rumah hiburan paling ternama di Pasren. Pakaian sutranya berwarna merah marun, bahunya terbuka, langkahnya ringan dan terlatih. Senyumnya manis, namun sorot matanya penuh kelicikan. Ia dikenal sebagai perayu ulung, tapi hanya sedikit yang tahu bahwa di balik kecantikannya, Arum adalah mata-mata setia Rakai.“Denmas Rakai...” suara Arum lirih, hampir seperti nyanyian. Ia berjalan mendekat, lalu duduk di samping Rakai, tanpa diminta. Jemarinya yang lent