Pagi itu Bella telah menandatangani beberapa map yang telah menumpuk di mejanya, melihat jam di layar hp ‘masih pukul sembilan’.
Bella iseng membuka aplikasi chat kemudian mengirim sederet pesan “A, seminggu ini aku udah menyelesaikan beberapa urusan untuk minggu depan, aku juga sudah membuat pengumuman skedul jadwal, aku siap untuk tur kita.”
Bella tersenyum manis, pipinya merah merona saat malu-malu, aduhai aku sudah lama sekali tidak bahagia seperti ini.
Di Ujung sana, Ain membuka layar ponselnya, pesan di nomor pribadi. Selesai memimpin rapat kecil yang membahas tentang tujuan jangka panjang. Melihat isi pesan tersebut Ain merasakan kelegaan yang menyusup bercampur dengan rasa bersalah.
Ain membuang jauh-jauh perasaan tersebut, ia bertekad, mungkin ini sudah waktunya membuka hati kembali untuk orang baru.
Seusai rapat, Ain membuka layar laptop, membaca beberapa kandidat untuk karyawan baru yang telah dikirim melalui email. Kandidat tersebut telah dipilih terlebih dahulu oleh Bella, sekretaris pribadinya.
Beberapa nama muncul, hanya tiga kandidat, dari seribu lebih pelamar dengan latar belakang dan penelitian mereka. Ain tersenyum yakin, dia telah menemukan kandidat yang cocok untuk mengisi di bagian perencanaan manajemen perusahannya di Singapura.
………..
Sepulang dari kantor Bella mengajak Cimer untuk belanja beberapa baju musim dingin, karena bulan Desember adalah awal mula musim dingin di Dubai, Bella tahu itu dari internet.
Membayangkan Dubai, membuat hatinya berbunga, negara yang selama ini hanya dapat ia saksikan dari televisi, negara yang penuh dengan orang-orang kaya, akhirnya ia akan kunjungi. Tunggu kedatanganku Dubai.
Terkadang Bella bertanya-tanya, kenapa ke Dubai? Sebenarnya ia lebih ingin ke Korea, tapi untuk jalan-jalan gratis, kemanapun ia mau, apalagi diajakin orang spesial yang selama ini ia sukai diam-diam.
“Itu ga pantes Bel, terlalu norak.” Bella mendengus kesal. Ini sudah baju kesekian yang Bella coba, tapi tetap saja tidak cocok dimata Cimer.
“Cim, aku tu mau beli baju untuk musim dingin loh, kenapa ribet banget?” Protes Bella.
“Ssssst, untuk first date, apalagi diajak ke luar negri, lu harus tampil perfect dong, masak lu mau pake pakaian lu yang di Indo, gua sebagai temen lu prihatin Bel, masak sekretaris pribadi Ainun Qolbi cuma ada kemeja putih sama rok hitam doang di deretan semua baju yang di lemari, selama ini gaji lu kemana aja? Buat ngidupin om-om?” Ujar Cimer.
“Sudah, ikutin semua saranku, percaya pilihan bajuku oke?” Lanjutnya.
Cimer memang selalu tampil modis, entah itu ke kantor, pergi keluar, atau hanya sekadar hangout cari makan, dia selalu memperhatikan penampilan, menurutnya penampilan adalah all out seorang wanita. Meskipun dia sampai saat ini masih jomblo.
Cimer sibuk memilih baju sedangkan Bella sibuk mencoba, setelah toko hampir tutup akhirnya mereka berdua keluar dari mall dengan membawa sepuluh bungkusan, yang kesemuanya berisi baju.
“Aku ga akan ngajakin kamu beli baju lagi Mer.” Keluh Bella.
“Udah jangan protes, makan yuk laper nih abis dandanin tuan putri” ledeknya.
Bella tidak menjawabnya, ia hanya mendengus kesal.
………..
“Gila lu A, lu beneran mau ke Dubai bareng Bella?” Tanya Ali kaget.
Ain tersenyum malu, “iya bener, aku ralat ya, bukan hanya Dubai, tapi juga Turki” jawabnya singkat.
“Lu ga akan jadiin Bella sebagai pelampiasan kan?” Selidik Ali. Ali adalah satu-satunya orang yang tahu masa lalu Ain, teman kuliah sekaligus tempat cerita Ain selama ini, Ali juga tahu pertemuan malam itu antara Ain dengan Alfi. Ali bekerja di salah satu rumah sakit besar di Solo.
Ain menyeruput kopi, menghisap sebatang rokok yang telah terbakar setengah, menghirup nafas dalam, lalu menghembuskannya dibarengi dengan keluarnya asap rokok, “iya gue juga berharap gitu, mungkin ini waktunya buat gue untuk ngelupain semua tentang Alfi men.”
Ali tau, Ain bukan perokok aktif, Ain hanya merokok saat mendaki gunung atau dalam keadaan hidupnya yang kacau.
“Gue tau A sesakit apa hati lu saat ini, gue paham apa yang lu alamin. Tapi gue berharap banget sama lu, jangan jadiin Bella sebagai pelampiasan untuk ngelupain Alfi. Memang semua orang atau bahkan bawahan lu tau kalo Bella memang tertarik dengan lu, tapi lu jangan manfaatin keuntungan itu ya”
“Iyaa iyaaa, gue ngerti Li, gue sekarang ini bener-bener ga bisa mikir jernih Li, mungkin orang lain lihatnya hidup gue enak, semua tercukupi, mau liburan kemana juga tinggal berangkat, tapi kalo lu tau, gue bener-bener ngerasa kesepian ‘diatas’ sini, hidup gue penuh keramaian tapi hati gue sebatang kara.” Ain membuang muka, menatap kosong langit cerah malam itu dari atap lantai hotel Alila.
Ain meneruskan “orang lain enak, kerja capek, pulang ada yang nungguin dirumah, ada yang marahin kalau telat, disiapin makan, istri ngambek karena pulang telat, anak-anak pada nungguin oleh-oleh papanya pulang, gue pengen banget ngerasain moment kaya gitu Li.
Lu bisa bayangin setiap gue pulang selalu dapetin rumah sepi, ga ada yang menyambut gue saat pulang kerja. Gue pulang jam berapa pun ga ada yang nyariin, lu ngerti kan gimana rasa kesepian gue selama ini?”
“Oke gue ngerti apa yang lu rasain selama ini” jawab Ali final.
“Gue akan berusaha untuk mencintai Bella apa adanya Li, gue yakin.”
“Gue akan support lu, selama yang lu lakuin bener.” Jawab Ali sambil menepuk bahu sabatnya itu.
Ali prihatin dengan keadaan Ain, ia tahu Ain sangat sukses dalam mengejar karir dan cita-citanya, tapi dibalik semua tirai kesuksesan itu, ada satu nama yang mengecewakannya, siapa lagi kalau bukan Alfi.
Ali tahu semua kerja jerih payah yang Ain lakukan selama ini hanya untuk Alfi seorang, tapi saat semuanya sudah mapan, malah kekecewaan datang.
Ain berdiri tegak di tepi pantai, angin laut yang sejuk menerpa wajahnya. Langit sore itu begitu tenang, seperti mencoba menenangkan hati yang sedang terbelah. Ombak yang berdebur di ujung kaki pantai seakan menjadi suara yang menggema di dalam pikirannya, mengingatkannya pada semua yang telah terjadi. Pada Bella, pada Alfi, pada segala hal yang telah menghiasi hidupnya—dan kini, semuanya terasa hilang begitu saja.Dia menatap horizon yang tak berbatas, di mana langit bertemu dengan laut. Seperti halnya dirinya, tak tahu lagi harus kemana, tak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Keseimbangannya goyah, seolah semua yang telah dia perjuangkan selama ini hancur dalam sekejap mata. Momen-momen indah bersama Bella dan Alfi seperti bayangan yang terus terulang di pikirannya, namun setiap kali ia meraihnya, ia merasa semakin jauh darinya. Kenangan itu sekarang hanyalah serpihan-sepihan yang menorehkan luka di hatinya—luka yang tak akan pernah sembuh.Ain menar
Kehidupan telah membawa Bella dan Ain melalui begitu banyak kejadian yang penuh teka-teki, pengorbanan, dan kehilangan. Mereka telah melewati jalan yang panjang dan berliku, dengan banyak kali terjatuh dan bangkit kembali. Namun, kali ini, di bawah langit yang sama, di tempat yang penuh dengan kenangan, mereka berdiri bersama, siap menghadapi kenyataan yang mereka takuti selama ini.Mereka telah mengalahkan Cakra, menghancurkan rencana balas dendam yang berbahaya. Namun, meskipun kemenangan itu membawa kedamaian sementara, keduanya tahu bahwa mereka harus menghadapi sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang telah mengikat mereka dengan masa lalu yang penuh kebingungan dan luka. Semua jalan mereka telah terjalin dalam satu kisah yang sama, kisah yang melibatkan Alfi, cinta yang hilang, dan semua pengorbanan yang telah mereka buat demi mencapai kedamaian.Bella dan Ain berdiri di tempat itu, di sebuah taman yang pernah menjadi saksi bisu dari banyak kenangan indah. Tam
Malam itu terasa lebih gelap dari biasanya, meskipun langit dipenuhi bintang. Bella dan Ain berdiri di tengah keheningan, perasaan mereka masih terombang-ambing oleh apa yang baru saja mereka temui—tulisan tangan Alfi, pesan yang mengungkapkan bahwa kebenaran yang selama ini mereka cari ternyata lebih rumit dan lebih berbahaya daripada yang mereka bayangkan. Di atas batu itu, di tempat yang penuh kenangan, mereka menyadari bahwa Cakra masih mengendalikan banyak hal, meski kini, ia hanya ada dalam bayang-bayang.“Cakra,” Bella berbisik, suaranya penuh kebingungan dan ketakutan. “Dia masih ada, Ain. Kita bisa saja terjebak dalam perangkapnya tanpa kita sadari.”Ain mengangguk pelan, hatinya dipenuhi dengan keresahan yang mendalam. Meskipun mereka telah menemukan begitu banyak petunjuk, meskipun mereka akhirnya mengerti bahwa Alfi masih hidup dan mungkin menyimpan kunci untuk menghentikan Cakra, rasa takut itu tak bisa hilang begitu saja. Cak
Langit malam terlihat lebih luas dari yang Bella ingat. Bintang-bintang berkelip cerah di langit yang gelap, seolah-olah menatapnya dengan tatapan penuh misteri. Tempat ini, sebuah taman kecil di pinggir kota, selalu menjadi tempat mereka bertemu di masa lalu—tempat yang penuh dengan kenangan manis, tawa, dan kebahagiaan yang tampaknya sudah lama hilang. Namun malam ini, suasana itu terasa berbeda. Udara yang biasanya menenangkan kini terasa berat, seolah menyimpan kegelisahan yang sama dalam dada mereka berdua.Bella berdiri di sana, di bawah pohon besar yang dulu sering mereka duduki bersama. Angin semilir menggerakkan dedaunan, dan bau tanah basah menguar di udara. Setiap langkah yang ia ambil menuju tempat itu terasa penuh keraguan, setiap detik semakin menambah ketegangan dalam dirinya. Begitu banyak yang telah terjadi sejak terakhir kali mereka bertemu. Begitu banyak kata yang tidak terucap, begitu banyak luka yang belum sembuh. Dan kini, di bawah bintang-bintang
Bella duduk di tepi tempat tidurnya, mata terpejam rapat, mencoba mencari kedamaian dalam kegelapan yang melingkupi malam. Suara detak jam yang berdetak pelan, seakan-akan menjadi satu-satunya pengingat bahwa waktu terus berjalan, meskipun hidupnya terasa terhenti. Sudah berhari-hari sejak kejadian yang mengubah segalanya—sejak perpisahannya dengan Ain. Setiap saat yang dilaluinya seakan diselimuti oleh bayangan wajah Ain, yang seakan terus menghantuinya, meski ia berusaha sekuat tenaga untuk melupakan.Malam ini terasa lebih sunyi dari biasanya. Tidak ada suara hujan, tidak ada angin yang berdesir, hanya kesunyian yang terasa begitu pekat. Bella menarik napas panjang, berusaha mengusir semua pikiran yang datang mengganggu. Ia harus melanjutkan hidup. Itu adalah keputusannya. Ia tidak bisa terus berada di tempat ini, terjebak dalam kenangan yang menyakitkan. Tidak bisa terus menghukum dirinya sendiri atas keputusan yang sudah ia buat.Namun, seiring dengan pemiki
Langkah Ain terasa semakin berat seiring semakin dekatnya ia dengan tempat itu. Jalan yang dilalui sudah begitu familiar, namun ada perasaan yang berbeda—sebuah rasa yang mencekam, seperti ada sesuatu yang tak terlihat mengikutinya, menunggu di balik setiap sudut. Hujan yang turun sejak tadi semakin deras, membasahi rambutnya, mengaburkan pandangannya, namun ia tidak peduli. Ini adalah perjalanan yang ia pilih untuk ditempuh. Perjalanan yang ia rasa tidak hanya akan mengungkapkan misteri Bella, tetapi juga dirinya sendiri.Taman itu—tempat yang pernah mereka kunjungi bertahun-tahun lalu—terletak di ujung jalan kecil, tersembunyi di balik pepohonan lebat dan pagar besi yang sudah mulai berkarat. Dulu, tempat ini adalah tempat yang tenang, penuh dengan kenangan indah, namun kini, setiap sudutnya terasa asing dan penuh dengan kesunyian yang menekan. Angin malam berdesir, membawa aroma tanah basah, dan suasana yang dulu nyaman kini terasa suram, seperti menyembu