Share

Menjadi Kita Semudah Membalik Telapak Tangan

“Trust me, kita bisa mulai semuanya dari awal lagi” pinta Alfi dengan mata yang mulai menahan air mata yang ingin keluar, ia mulai emosional.

Hening sejenak.

Ain menghela nafas perlahan, “Sorry, i can’t do that anymore” Ain menjawab dengan intonasi penekanan di bagian ‘anymore’

“A, aku janji” air mata Alfi sudah tidak dapat dibendung lagi, tumpah ruah di sepasang pipi mungil di antara hidung yang mancung.

Diluar kaca restoran, hujan gerimis membasahi bumi, orang lalu lalang sibuk bergegas pulang dari kantor, ada yang meneduh di toko yang sudah tutup, ada juga yang menerabas gerimis hujan karena mungkin tergesa-gesa. Keadaan hatiku saat ini tak jauh beda dari lima tahun silam. ‘Alfi selalu mempesona’. Guman Ain dalam hati.

“Janji? Udah berapa kali aku dengar kata itu Fi?” Ain tidak memperdulikan air mata itu. Menjawabnya dengan tersenyum getir.

“Waiters!!” Seru Ain.

Ain menyodorkan selembar uang seratus dolar kepada waiters yang datang.

“Ini untuk bill meja nomor enam, kembaliannya ambil aja” ujar Ain kepada waiters.

Merasa di situasi yang canggung karena melihat perempuan sedang menangis di depan pelanggan yang menyodorkan uang seratus dolar, waiters itu hanya mengangguk pelan lalu pergi.

Itu kan Ainun Qolbi, pemilik tunggal perusahaan properti yang semua orang pasti tahu, dan wanita itu, siapa?’  guman waiters dalam hati.

“A, kamu ga bisa tinggal lebih lama lagi?” Alfi kembali memulai percakapan, mencoba menahan Ain lebih lama lagi. “Aku ingin jelasin kesalahpahaman ini” lanjutnya.

………………..

Aku adalah Ainun Qolbi, pemilik tunggal perusahaan properti terbesar di lampung. Semua perusahaan swasta maupun pemerintah paham betul dengan manuver perusahaan Ainun Qolbi.

Perusahaanku memiliki rekam jejak tersingkat dan bersih di bidang properti, dan mulai beberapa bulan yang lalu aku melebarkan sayap perusahaan dibidang makanan, tepatnya restoran yang sedang menjadi tempat aku dengan Alfi bertemu, itu sudah menjadi restoranku.

Semua karyawan memang belum pernah bertemu secara langsung dan formal denganku, karna dibidang restoran, aku telah mengerahkan sepenuhnya ke Amin, tangan kananku sekaligus pemimpin perusahaan Ainun Qolbi dibidang makanan.

Aku bisa setenar dan sebesar ini seperti sekarang karena Alfi. Seorang wanita yang telah merubah cara pandang hidupku sampai aku menjadi seorang bos besar. 

Saat kami masih bersama, lima tahun silam, kami telah merencanakan trip keliling dunia yang dimulai dari Dubai karena Dubai merupakan negara yang paling diinginkan Alfi jika dia bisa jalan-jalan keluar negeri.

Dimulai dari Dubai, lalu menginap di Maldives yang terkenal dengan tempat serpihan surga, setelah itu menikmati sunset di Turki sambil melihat pemandangan balon udara. Mengunjungi kota teromantis di dunia, Paris dengan kemolekan menara eiffel.

Aku ingat betul janji yang kita pegang bersama saat itu, Alfi tersenyum gembira dengan semua rencana janji kita keliling dunia. ‘Bawa aku kemanapun kamu pergi’ pintanya saat itu. Sudah lama sekali aku tidak melihatnya segembira hari itu.

…………..

Namaku Alfisar Nur Ilma, aku wanita egois dengan orang tua yang harus dirawat karena menderita penyakit stroke. Aku hanya seorang wanita biasa yang pendidikannya hanya setingkat menengah atas, aku tidak seberuntung wanita diluar sana yang dapat menikmati bangku kuliah. Aku harus membantu ekonomi keluarga karena keadaan. Aku harus dewasa, sebelum waktunya.

Keluargaku broken home saat usiaku sekelas anak SMP kelas dua, aku memiliki satu adik perempuan yang sangat aku sayangi, satu-satunya adik yang menjadi alasanku tetap tegar menghadapi kenyataan. Mungkin kalau aku tidak memiliki adik perempuan, aku sudah menjadi salah satu penghuni kolong jembatan karena menderita gila.

Ain adalah laki-laki terbaik yang pernah aku temui selama ini, yah memang terbaik, bahkan Ain lebih baik dari ayahku sendiri. Ayahku adalah kekecewaan terbesar dalam hidupku. Begitulah, seorang ayah bisa menjadi cinta pertama sekaligus menjadi kekecewaan terbesar bagi anak perempuannya.

Pertemuanku pertama dengan Ain tidak ada yang istimewa, semua biasa saja. Sebelum menjadi bos besar, Ain adalah seorang yang bekerja disalah satu klinik swasta tempat mama dan nenek menjalani terapi rawat jalan pasca serangan stroke.

Mama dan nenek menjalani terapi seminggu sekali, yang berarti ritme pertemuanku dengan Ain juga seminggu sekali.

Awal mula, hanya perasaan kagum seorang perempuan terhadap laki-laki yang mulai tumbuh, padahal aku kira perasaanku sudah mati saat ayah pergi meninggalkan mama. Yah, Ain adalah satu-satunya orang yang berhasil menumbuhkan rasa sukaku yang selama ini sudah lama hilang.

Ain sama sekali tidak butuh effort yang lebih untuk menumbuhkan rasa kagum terhadapnya, Ain tidak melakukan apapun, aku yang terbuai dengan gerak geriknya, kelincahan nya, ucapannya yang begitu lancar menjelaskan penyakit mama, dan puncaknya adalah dimana keajaiban tangannya yang dapat menyembuhkan sakit leherku, seketika.

……………

Ain menatap wajah Alfi lamat-lamat.

“Jelasin apa lagi Fi?” Jawab Ain dengan nada yang sebisa mungkin terlihat normal, sembari mengenakan jaket abu-abu, bersiap untuk pergi.

Hening lagi sejenak.

“Plis A, aku mohon untuk terakhir kalinya beri aku kesempatan untuk jelasin, aku gatau kalo kejadiannya bakal kaya gini”. Alfi memohon dengan cemas yang membuat suaranya semakin mengecil, kalah dengan isak tangis.

“Fi, i can’t trust you, jadi semua yang mau kamu jelasin itu percuma, aku ga akan percaya” Ain menjawab getir: bohong.

“Oke gapapa, kalo gitu dengerin aku ngomong, setelah itu terserah kamu” Alfi tetap ngotot.

Oh tidak, aku gamau tenggelam terlalu dalam lagi berurusan denganmu Alfi, kamu adalah sumber kelemahan dan kekuatan terbesarku selama ini’.

“Percuma, buang-buang waktu, kamu udah punya anak, siapa namanya? Kalo ga salah Ainun ya? Fi, sampai kapan kamu masih nginget aku terus?…”

“Lima menit A, dengerin aku ngomong lima menit aja, kalo memang kamu sudah ga peduli lagi setelah itu, aku sudah pasrah” potong Alfi, itulah cara terakhir membujuk Ain.

……………

Alfi, bahkan aku masih ingat nama lengkapnya setelah bertahun-tahun tidak bertemu. Wanita yang sudah kuberikan berkali-kali kesempatan untuk berbohong.

Aku masih ingat bagaimana dia berbohong untuk pertama kali, saat itu kami mulai menjalin komunikasi setelah dia meminta nomorku. Kami akrab dan obrolan kami nyambung, bahkan chat sampai tengah malam, tapi satu yang aku curigai waktu itu, dia sangat susah untuk di telpon.

Selalu berpikir positif ternyata tidak baik dalam hubungan yang mulai melibatkan rasa suka, kamu akan dituntut untuk selalu berpikir positif bahkan disaat kamu sudah tidak mempunyai alasan logis untuk itu.

Setiap kali aku ingin nelpon, dia selalu menghindar dengan segudang alasan, mulai dari ditelpon ayah padahal itu hampir tengah malam, lagi ga mood padahal waktu itu baik-baik saja, sampai tiba-tiba menghilang gitu aja kalau sudah menyangkut masalah telpon.

Aku mulai hafal ritme chattingan kita, menurutku banyak sekali kejanggalan yang aneh dan tidak dapat ditoleransi lagi, tapi selalu berpikir positif dapat membuatku sadar tapi pura-pura terlihat baik-baik saja bahwa aku sedang dibohongi, atau setidaknya aku tahu dia sedang menyembunyikan sesuatu.

…………

“Apa yang mau kamu jelasin Fi? Coba lihat aku sekarang, aku sudah menjadi bos besar seperti yang aku janjikan ke kamu dulu, aku udah punya uang untuk bebasin kamu dari hutang budi keluarga itu, aku udah pesen semua tiket pesawat untuk perjalan trip kita keliling dunia, aku udah pesen semua hotel yang akan kita inapin, bahkan aku juga udah pesen bidan yang akan ngerawat mama saat kita tinggal pergi.

Tapi apa yang aku peroleh dari semua usahaku Fi? waktu aku ingin nunjukin semua surprise itu ke kamu, surprise yang sudah aku siapin bertahun-tahun lamanya, malah yang aku dapetin adalah kamu udah punya anak, aku bahkan batalin semua skedul rapat yang kalo itu ditaksir aku rugi sembilan digit angka Fi, hanya untuk apa coba? hanya untuk menemui pak Mijan, lurah desamu, aku ingin memastikan dengan benar apakah itu anakmu atau bukan, dan ternyata yang tertulis di KK itu memang benar anakmu. Aku bahkan masih ingat nama anakmu itu Fi, Afnan Ainun Qolbi” Ain menjelaskan panjang lebar, mengeluarkan semua yang selama ini ia pendam, sambil menahan getir yang amat sangat.

Alfi hanya duduk terdiam dikursi, otak dan tubuhnya belum bisa menerima dan percaya semua yang dilakukan Ain kepadanya selama ini.

Ain melanjutkan “saat aku tahu itu anakmu Fi, aku pulang kerumah menemui orang tuaku dan bilang bahwa aku sudah pasrah mau dicarikan jodoh sama siapa, coba lihat jari manis tangan kananku ini Fi, ini adalah cincin tunangan, aku sudah bertunangan minggu lalu, memang benar wanita itu tidak begitu kucintai, tapi dia cukup baik kepadaku dan dapat mengobati hatiku yang selama ini hancur karenamu Fi. Jadi semua yang ingin kamu jelaskan sekarang itu sudah ga ada pengaruh apapun, ga akan merubah apapun. Dulu waktu aku belum bisa apa-apa untuk hubungan ini, aku hanya bisa membuat janji agar kita bisa hidup bareng, sekarang setelah aku punya segalanya untuk menebusmu, bahkan untuk menjadikan kita semudah membalik telapak tangan, tapi apa yang aku dapat dari semua usahaku ini Fi?” Ain menjelaskan dengan menahan air mata yang memberontak untuk keluar. ‘Shit, aku sudah mempersiapkan diriku untuk menghadapi momen ini tapi tetap saja aku belum siap.

……………..

Saat itu adikku berhasil kubiayai untuk kuliah di jurusan manajemen syariah disalah satu universitas di bandar lampung. Adikku adalah seorang wanita yang pintar, berpendirian teguh, selalu mendapat rangking saat SMA, namun dibalik itu semua adikku juga memiliki segudang trauma yang sama denganku.

Saat itu sepulang dari kerja, aku melihat adikku pulang kerumah, menangis di hadapan mama sambil bersimpuh di kakinya. Aku tidak tahu perihal apa dia tiba-tiba pulang dan menangis sebegitu dalamnya. Adikku sosok yang tegar, dan selama aku tinggal bersamanya, aku hanya melihat dia menangis sekali saat ayahku pergi, dan aku melihatnya menangis yang kedua kalinya sekarang.

Aku tahu pasti bukan masalah sepele hingga dia menangis di hadapan mama, mama juga menangis, apa yang harus kuperbuat?

Seketika itu juga, aku terpaku di tempat, tak pernah terbayangkan sedikitpun adikku melakukan perbuatan yang tidak pantas, aku tahu keluargaku broken home, ayah meninggalkan kami, dan kami hanya keluarga kecil yang terdiri dari tiga orang, mama, aku, dan adikku Icha. Tapi Icha, kenapa kamu melakukan hal setega itu?.

Aku menjadi kepala keluarga meskipun aku perempuan, mengambil alih semua tanggung jawab dan permasalahan dalam keluarga, seperti yang telah kubilang di awal, aku perempuan dewasa sebelum waktunya.

Icha hamil, dan kandunganya telah memasuki bulan ke empat, sedangkan icha sudah menginjak semester enam. Mahasiswi yang ketahuan hamil diluar nikah akan drop out, yang berarti mimpi icha akan luntur seketika itu juga.

Entah apa yang kupikirkan saat itu, aku memutuskan untuk mengasuh dan mengatasnamakan anak Icha menjadi anakku, semua itu ku lakukan agar Icha dapat meraih mimpinya. Aku tidak akan membiarkan seorang anak yang ia kandung menghalangi mimpi adikku.

Semua berjalan lancar, Icha lulus dengan predikat cumlaud, dan anak itu, menjadi anakku, aku menamainya Afnan Ainun Qolbi, dan tertulis di kartu keluargaku sendiri, seorang ibu dengan satu orang anak tanpa ayah.

Satu masalah tentang adikku selesai, kini saatnya aku menyelesaikan masalahku sendiri agar terbebas dan aku dapat dimiliki oleh Ain seutuhnya.

Aku memiliki hutang budi dengan sebuah keluarga yang selama ini tidak dapat kubayar, hutang budi ini yang menjadi tembok penghalang hubunganku dengan Ain.

Keluarga itu memiliki seorang bujang bernama Putra, dan Putra menyukaiku, menganggapku sebagai kekasihnya, dan sialnya aku sama sekali tidak berdaya untuk menolaknya.

Hutang budi itu berawal saat mama sakit, semua biaya rumah sakit ditanggung oleh keluarga Putra, saat itu aku tidak mengerti apa yang mereka lakukan, tapi lambat laun, aku paham apa yang mereka mau.

Putra sudah hampir melamarku berkali-kali, tapi berkali-kali juga aku beralasan belum mau menikah kalau mama belum sembuh. Itulah satu-satunya benteng yang kupunya agar aku tidak dimiliki oleh orang lain kecuali Ain.

Hari-hari kuhabiskan untuk dagang dan bekerja, pagi hari aku menjadi pedagang, sore hari aku bekerja sebagai penjaga toko dan tidak ada hari libur. Hari demi hari aku selalu menyisihkan uang dari hasil keuntunganku berjualan, itu tidak mudah, aku harus super hemat, aku tak pernah beli skin care, perawatan wajah seperti yang dilakukan wanita seusiaku, riasan yang kupakai hanya lipstik dan bedak, semua pengeluaran dihemat agar aku bisa menabung. Terkadang harus kupakai untuk beberapa kepentingan kuliah adikku.

Setelah jerih payah menabung bertahun-tahun, akhirnya terkumpullah uang yang cukup untuk membayar hutang budiku. ‘Tunggu aku Ain, tinggal sebentar lagi aku akan meruntuhkan tembok penghalang kita’.

Setelah cekcok lumayan lama, akhirnya keluarga Putra mau menerima uang sebagai ganti balas budiku, dan dengan ga enak hati aku menjelaskan semuanya agar dapat mereka terima dan masuk akal.

Aku tahu Putra orang baik, penyayang, dan menerimaku apa adanya, tapi sayangnya aku tak pernah bisa untuk menyukainya meskipun berkali-kali kucoba. Hatiku hanya terkunci oleh satu nama; Ain.

…………..

Saat itu aku berada di Singapura, sedang mempersiapkan kantor pusat untuk perusahaanku karena sebentar lagi aku akan membawa perusahaan ini menuju kancah global. Tiba-tiba  ponsel pribadiku berbunyi. Aku sudah lupa kapan terakhir kali ponsel pribadiku berbunyi, karna hanya segelintir orang saja yang tahu nomor pribadi milikku, jika ada yang menghubungi, berarti itu adalah seseorang dari masa lalu yang kukenal.

“Aku ingin bertemu nanti malam, ditempat pertama kali kita makan bareng”.

Aku terkejut dengan siapa yang mengirim pesan tersebut, kubaca berkali-kali nama itu tetap saja sama, “Alfi” malaikat manisku.

Aku terbang ke Indonesia setelah susah payah mengatur dan menunda jadwalku di Singapura, semua staf dan kolegaku heran kenapa aku menunda dan membatalkan beberapa acara yang harus kuhadiri, karna selama ini aku sekalipun tidak pernah melakukan hal tersebut.

“Aku harus menyelesaikan semuanya malam ini”.

…………

Ain menghelas nafas panjang, berusaha memutus suasana canggung lima menit terakhir, “Dah ya, semuanya sudah cukup, ga ada lagi yang perlu dijelasin”.

Ain berjalan menuju pintu keluar restoran dengan perasaan yang campur aduk, setengah dari dirinya sama sekali tidak tega dengan apa yang ia perbuat kepada Alfi.

Terdapat tong sampah tepat di samping pintu keluar restoran, Ain melepaskan cincin di jari manisnya, membuangnya ke tong sampah. Cincin itu hanya imitasi yang Ain beli di penjual asongan yang ia temui di tengah perjalanan menuju restoran. ‘Ternyata ada gunanya juga aku beli cincin ini.’

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status