Desiran ombak menghantam cadas, terdengar sayup angin berhembus sepoi-sepoi membuat suasana dipinggir pantai semakin syahdu, ombak sesekali mencapai bibir pantai tempat Ain mendirikan gazebo untuk pesta merayakan keberhasilan mendirikan kantor pusat di Singapura. Malam itu Ain habiskan dengan beberapa teman kantor dan pejabat tinggi di perusahaan.
Amin bermain gitar, mereka semua mengelilingi api unggun kecil, sambil melantunkan lagu ‘secukupnya’ lagu yang lumayan populer saat Ain masih dibangku kuliah.
Gelak tawa sambut menyambut mengiringi petikan gitar Amin ditengah-tengah dentingan gelas dan botol kaca, bersama-sama melantunkan lagu indie yang membuat pesta tersebut menjadi pesta mellow, seperti suasana hati Ain saat ini.
“Bos, silahkan request lagu apa” seru Amin meminta.
“Hitam putih” Jawab Ain singkat.
“Oke baiklah, karena suasana hati bos besar kita sedang tidak bersahabat, kita akan menyanyikan lagu konco mesra karya via valen.” Ujar Amin disambut tepuk tangan meriah. Ain kemudian menjauh dari keramaian pesta, duduk dibangku kosong, menyendiri.
Diantara kemeriahan pesta malam itu, Bella diam-diam memperhatikan Ain, menghampirinya yang sedang duduk menyendiri menjauhi keramaian “boleh aku duduk disini?”
“Bebas” jawab Ain tanpa merubah ekspresi mimik wajah.
Bella duduk disebelah Ain, diam, memperhatikan tatapan Ain, kosong. Bella berusaha mencairkan suasana, memulai obrolan dengan sungkan “semua baik-baik aja A?”
“Maybe” ucap Ain lirih.
Ditengah suara ombak dan hembusan angin pantai, mereka berdua terlihat seperti sepasang kekasih yang sedang duduk berdua, bercanda tawa, memadu kasih, menumbuhkan cinta, disaksikan bulan purnama, bulat sempurna. Namun kenyataan sebaliknya, jauh dari bayangan itu.
Rambut Bella terurai tertiup angin, memperlihatkan leher jenjang miliknya, Ain memperhatikan, “kamu ga kedinginan pake baju kaya gitu malam-malam gini di pinggir pantai?” Bella memakai baju terusan panjang selutut warna abu-abu dengan lengan terbuka.
“Enggk, dulu rumahku juga dipinggir pantai, jadi udah biasa.” Jawab Bella sambil tersenyum manis.
Lenggang.
Bella menghela nafas panjang “A, maaf ya aku mau tanya sesuatu tapi ini kayanya udah masuk dalam ranah pribadi.”
Ain tidak menjawab, hanya merespon dengan mengangkat alis yang berarti ‘silahkan’. Karena selama ini mereka berdua memang selalu membahas masalah bisnis.
Bagi Ain, Bella adalah sekretaris sekaligus tangan kanan bagi perusahaan, orang yang dapat diandalkan jika Ain sedang repot atau absen dalam rapat.
Sedangkan bagi Bella, Ain lebih dari sekedar bos.
“Kemarin di Singapura kenapa tiba-tiba membatalkan semua pertemuan?”
“Oh, kemaren ada urusan mendadak di Indo.”
“A, aku udah lumayan kenal kamu lama, setahuku seorang Ain tidak pernah membatalkan pertemuan dengan siapapun” Bella menegaskan sambil menyelidik.
“Ini beda, ada seseorang yang harus kutemui” respon Ain datar.
“Seseorang siapa yang mampu memanggil Ain dari Singapura ke Indo, di hari ini juga tanpa membuat janji terlebih dahulu?” Selidik Bella sambil geleng-geleng tertawa.
Ain juga menyuratkan senyum sambil bergumam ‘belum saatnya orang lain mengetahui masa laluku’.
“Sekarang aku gantian tanya ya, selama kita kerja bersama, kamu sama sekali ga pernah ngenalin cowok ke aku. Kamu jomblo ya?” Ledek Ain.
“Ga ada waktu bos” ucap Bella ketus. Dibarengi gelak tawa mereka berdua.
Malam itu Bella berhasil menghibur Ain dari kejadian malam kemarin, sejenak Ain menemukan kembali siapa dirinya, menyeretnya dalam lamunan panjang yang selama ini menguras energi dan pikiran.
Setelah ngobrol lama, membahas sesuatu yang mereka senangi, Ain akhirnya membuka sedikit tentang kehidupannya.
“Aku paling gasuka makan daging” ujar Ain.
“Beneran gasuka daging?” Tanya Bella heran.
“Iya beneran, daging, jeroan, hati, pokoknya yang berbau-bau daging aku gasuka.” Ain meyakinkan.
“Hahaha baru kali ini aku tau ada orang yang gasuka makanan surga” kata Bella sambil tertawa sampai menutup mulut.
“Maen lu kurang jauh si Bel”
Bella baru tahu sedikit dari peribadi Ain, Ain juga baru tahu beberapa tentang Bella yang selama ini Ain sama sekali tidak tahu. Seperti Bella ternyata tidak menyukai hujan, tempat keramaian, dan tidak suka makan wortel.
‘Aku selama ini belum menjadi atasan yang baik, bagaimana tidak, sekretaris pribadiku saja aku baru tahu beberapa hal kecil mengenainya, selama ini aku kemana saja?’
Ain teringat tentang tiket tur keliling dunia bareng Alfi yang tidak jadi berangkat, daripada sayang kalau dibuang, Ain memberanikan diri untuk mengajak Bella menggantikan Alfi.
“Bel, bulan depan ambil cuti panjang ya, aku kebetulan ada dua tiket tur keliling dunia, sebenarnya bukan dunia sih, cuma di Dubai, Turki sama di maldives.”
Bella tercengang mendengar ajakan Ain “kamu mau ajak aku jalan-jalan A?”
“Ya semacam itulah, itung-itung bonus gaji kamu selama ini.” Ujar Ain nyengir.
Mendengar Ain menjawab seperti itu, seperti ada sebuah perasaan aneh muncul dari bawah dasar perut, memberontak untuk keluar, seketika langit yang cerah ditaburi bintang gemintang bagaikan laron terbang, indah. Bella hampir salah tingkah dibuatnya, namun karena kelincahannya dalam mengendalikan mimik wajah, Bella berusaha sedatar mungkin menanggapi ajakan Ain “baiklah aku pikir-pikir dulu ya.”
Malam itu Bella tidak bisa tidur, kata-kata ‘berdua’ selalu saja menghanyuti pikirannya. Senang bukan kepalang. Bella memang telah jatuh hati kepada Ain sejak lama, melihat kepribadian dan ketampanan Ain, semua bawahan mana yang tidak tertarik dengan Ain. Bibir tebal dengan brewok tipis, kumis pendek rapi, dan tatapan tajam yang mampu menumbangkan lawan maupun melenakan kaum hawa. Ain merupakan tipikal orang yang serius. Tipe ideal untuk dijadikan kepala rumah tangga.
Ain berdiri tegak di tepi pantai, angin laut yang sejuk menerpa wajahnya. Langit sore itu begitu tenang, seperti mencoba menenangkan hati yang sedang terbelah. Ombak yang berdebur di ujung kaki pantai seakan menjadi suara yang menggema di dalam pikirannya, mengingatkannya pada semua yang telah terjadi. Pada Bella, pada Alfi, pada segala hal yang telah menghiasi hidupnya—dan kini, semuanya terasa hilang begitu saja.Dia menatap horizon yang tak berbatas, di mana langit bertemu dengan laut. Seperti halnya dirinya, tak tahu lagi harus kemana, tak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Keseimbangannya goyah, seolah semua yang telah dia perjuangkan selama ini hancur dalam sekejap mata. Momen-momen indah bersama Bella dan Alfi seperti bayangan yang terus terulang di pikirannya, namun setiap kali ia meraihnya, ia merasa semakin jauh darinya. Kenangan itu sekarang hanyalah serpihan-sepihan yang menorehkan luka di hatinya—luka yang tak akan pernah sembuh.Ain menar
Kehidupan telah membawa Bella dan Ain melalui begitu banyak kejadian yang penuh teka-teki, pengorbanan, dan kehilangan. Mereka telah melewati jalan yang panjang dan berliku, dengan banyak kali terjatuh dan bangkit kembali. Namun, kali ini, di bawah langit yang sama, di tempat yang penuh dengan kenangan, mereka berdiri bersama, siap menghadapi kenyataan yang mereka takuti selama ini.Mereka telah mengalahkan Cakra, menghancurkan rencana balas dendam yang berbahaya. Namun, meskipun kemenangan itu membawa kedamaian sementara, keduanya tahu bahwa mereka harus menghadapi sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang telah mengikat mereka dengan masa lalu yang penuh kebingungan dan luka. Semua jalan mereka telah terjalin dalam satu kisah yang sama, kisah yang melibatkan Alfi, cinta yang hilang, dan semua pengorbanan yang telah mereka buat demi mencapai kedamaian.Bella dan Ain berdiri di tempat itu, di sebuah taman yang pernah menjadi saksi bisu dari banyak kenangan indah. Tam
Malam itu terasa lebih gelap dari biasanya, meskipun langit dipenuhi bintang. Bella dan Ain berdiri di tengah keheningan, perasaan mereka masih terombang-ambing oleh apa yang baru saja mereka temui—tulisan tangan Alfi, pesan yang mengungkapkan bahwa kebenaran yang selama ini mereka cari ternyata lebih rumit dan lebih berbahaya daripada yang mereka bayangkan. Di atas batu itu, di tempat yang penuh kenangan, mereka menyadari bahwa Cakra masih mengendalikan banyak hal, meski kini, ia hanya ada dalam bayang-bayang.“Cakra,” Bella berbisik, suaranya penuh kebingungan dan ketakutan. “Dia masih ada, Ain. Kita bisa saja terjebak dalam perangkapnya tanpa kita sadari.”Ain mengangguk pelan, hatinya dipenuhi dengan keresahan yang mendalam. Meskipun mereka telah menemukan begitu banyak petunjuk, meskipun mereka akhirnya mengerti bahwa Alfi masih hidup dan mungkin menyimpan kunci untuk menghentikan Cakra, rasa takut itu tak bisa hilang begitu saja. Cak
Langit malam terlihat lebih luas dari yang Bella ingat. Bintang-bintang berkelip cerah di langit yang gelap, seolah-olah menatapnya dengan tatapan penuh misteri. Tempat ini, sebuah taman kecil di pinggir kota, selalu menjadi tempat mereka bertemu di masa lalu—tempat yang penuh dengan kenangan manis, tawa, dan kebahagiaan yang tampaknya sudah lama hilang. Namun malam ini, suasana itu terasa berbeda. Udara yang biasanya menenangkan kini terasa berat, seolah menyimpan kegelisahan yang sama dalam dada mereka berdua.Bella berdiri di sana, di bawah pohon besar yang dulu sering mereka duduki bersama. Angin semilir menggerakkan dedaunan, dan bau tanah basah menguar di udara. Setiap langkah yang ia ambil menuju tempat itu terasa penuh keraguan, setiap detik semakin menambah ketegangan dalam dirinya. Begitu banyak yang telah terjadi sejak terakhir kali mereka bertemu. Begitu banyak kata yang tidak terucap, begitu banyak luka yang belum sembuh. Dan kini, di bawah bintang-bintang
Bella duduk di tepi tempat tidurnya, mata terpejam rapat, mencoba mencari kedamaian dalam kegelapan yang melingkupi malam. Suara detak jam yang berdetak pelan, seakan-akan menjadi satu-satunya pengingat bahwa waktu terus berjalan, meskipun hidupnya terasa terhenti. Sudah berhari-hari sejak kejadian yang mengubah segalanya—sejak perpisahannya dengan Ain. Setiap saat yang dilaluinya seakan diselimuti oleh bayangan wajah Ain, yang seakan terus menghantuinya, meski ia berusaha sekuat tenaga untuk melupakan.Malam ini terasa lebih sunyi dari biasanya. Tidak ada suara hujan, tidak ada angin yang berdesir, hanya kesunyian yang terasa begitu pekat. Bella menarik napas panjang, berusaha mengusir semua pikiran yang datang mengganggu. Ia harus melanjutkan hidup. Itu adalah keputusannya. Ia tidak bisa terus berada di tempat ini, terjebak dalam kenangan yang menyakitkan. Tidak bisa terus menghukum dirinya sendiri atas keputusan yang sudah ia buat.Namun, seiring dengan pemiki
Langkah Ain terasa semakin berat seiring semakin dekatnya ia dengan tempat itu. Jalan yang dilalui sudah begitu familiar, namun ada perasaan yang berbeda—sebuah rasa yang mencekam, seperti ada sesuatu yang tak terlihat mengikutinya, menunggu di balik setiap sudut. Hujan yang turun sejak tadi semakin deras, membasahi rambutnya, mengaburkan pandangannya, namun ia tidak peduli. Ini adalah perjalanan yang ia pilih untuk ditempuh. Perjalanan yang ia rasa tidak hanya akan mengungkapkan misteri Bella, tetapi juga dirinya sendiri.Taman itu—tempat yang pernah mereka kunjungi bertahun-tahun lalu—terletak di ujung jalan kecil, tersembunyi di balik pepohonan lebat dan pagar besi yang sudah mulai berkarat. Dulu, tempat ini adalah tempat yang tenang, penuh dengan kenangan indah, namun kini, setiap sudutnya terasa asing dan penuh dengan kesunyian yang menekan. Angin malam berdesir, membawa aroma tanah basah, dan suasana yang dulu nyaman kini terasa suram, seperti menyembu
Keheningan yang membungkus dunia mereka terasa asing. Meskipun Cakra telah berhasil mereka hadapi, meskipun Bella akhirnya bebas dari cengkeraman tangan jahatnya, masih ada ruang kosong yang tak bisa diisi—ruang antara mereka berdua. Ain dan Bella. Setelah semua yang terjadi, mereka harus melangkah jauh dari satu sama lain, meskipun untuk sementara, untuk memberi ruang bagi perasaan yang bergejolak.Bella berdiri di tepi jendela kamar, menatap hujan yang mulai turun dengan perlahan di luar. Setiap tetes air yang jatuh terasa seperti petir yang menghantam relung hatinya. Hatinya yang sebelumnya penuh dengan ketakutan dan kecemasan kini perlahan diselimuti oleh kebingungan yang lebih dalam. Apa yang sebenarnya terjadi antara Alfi dan Cakra? Kenapa semuanya harus terungkap dengan cara yang begitu menyakitkan?Ia menutup matanya sejenak, mencoba untuk menenangkan diri, namun bayangan Cakra yang terenggut dari kehidupannya baru saja menghilang, dan tempat itu kini ter
Setiap langkah terasa lebih berat daripada yang terakhir. Bella dan Ain berjalan menyusuri lorong gelap yang mengarah ke ruang bawah tanah, yang kini semakin terasa seperti labirin yang tak terpecahkan. Walau mereka merasa semakin dekat dengan solusi yang akan menghentikan Cakra, semakin mereka mendekat, semakin besar pula tekanan emosional yang mendera hati mereka. Rasanya seperti dunia mereka mengerut, seiring dengan semakin sedikitnya ruang untuk bernapas.Ain, yang berjalan di samping Bella, tidak bisa mengalihkan pandangannya dari layar ponselnya yang kini menampilkan koordinat yang harus mereka tuju. Jantungnya berdegup kencang, dan pikiran tentang Alfi yang terjebak dalam rencana Cakra terus berputar-putar di kepalanya. Tidak ada yang lebih menakutkan daripada memikirkan kenyataan bahwa orang yang mereka percayai mungkin sudah terperangkap dalam jaringan kebohongan yang begitu dalam, dan tidak ada cara yang mudah untuk menariknya keluar.Bella menatap ponsel di
Malam telah tiba dengan sunyi yang mencekam, dan langit di atas pelabuhan utara dipenuhi awan gelap yang menghalangi cahaya bulan. Di bawahnya, air laut bergelombang dengan suara gemuruh yang terdengar lebih keras daripada biasanya, seolah-olah angin malam ikut berbisik tentang rahasia yang tersembunyi di kedalaman. Bella dan Ain berdiri di ujung pelabuhan, menatap cahaya lampu yang redup di kejauhan. Tempat ini terasa asing, bahkan lebih asing dari yang mereka bayangkan.Mereka telah menempuh perjalanan jauh, mengikuti petunjuk yang ditemukan Ain di pesan tadi malam—pesan yang seolah menjadi jawaban dari seluruh kebingungan yang telah mereka alami. Namun, semakin dekat mereka dengan tujuan, semakin besar ketegangan yang terasa. Ada sesuatu yang tak bisa mereka ungkapkan, sebuah rasa yang merayap dalam setiap langkah mereka. Meskipun mereka berdua berusaha untuk tetap tenang, suasana malam itu membawa rasa cemas yang semakin membelenggu.“Apakah kita benar-