Desir di jiwa dan hati yang tandus, akan terasa basah dikala cinta datang menyapa. Aliran darah seakan memanas saat hati terluka.
**Janganlah kalian mencintai makhluk-Nya, melebihi cinta kepada-Nya dan Rasul-Nya.**
🌹🌹🌹
***
"Ikut aku pulang ke kampung saja, siapa tahu bisa mengurangi rasa rindu terhadap keluargamu," katanya sambil tersenyum pada ku."Kalau dari sini kita bisa pulang dengan berjalan kaki, ya ... walaupun perjalanannya meniti hutan dan lumayan jauh sih. Hitung-hitung, sekalian cuci mata dan wisata ke alam bebas gitu," sambungnya lagi, sambil terus tersenyum ke arahku.
"Boleh, kalau kamu tidak keberatan," ucapku sambil tersenyum balik kearahnya.
"Tapi, sebelum itu kita harus minta izin dulu sama anak Kiai. Jangan sampai kita dikira melanggar aturan pesantren, karena pulang tanpa izin," ucapnya sembari langsung menggandeng tanganku.
Aku hanya tersenyum dan mengangguk tanda setuju. Mengikuti langkah demi langkahnya meninggalkan tempat ternyaman bagiku.
Di bawah rindangnya pohon di atas pelataran bambu, tempatku menerawang jauh kedalam relung hati.
Biasanya saat kami berencana pulang dengan berjalan kaki seperti ini, kami akan membuat janji terlebih dahulu dan bertanya pada teman-teman yang lain.
Karena, tak mungkin bagi kami hanya pulang berdua saja, walaupun tidak ada orang yang jahil, takutnya nanti akan bertemu hewan liar yang ada di dalam hutan.
Saat kami pulang, melalui hutan yang berada di belakang pesantren, kami akan ditemani oleh santriwan yang juga akan pulang ke kampung mereka atau cuma sekedar mengantarkan saja.
Pesantren tempatku menimbah ilmu ini cukup istimewa, bukan karena bangunan atau fasilitasnya. Namun, karena pesantren ini terletak di tanah yang lumayan jauh dari pemukiman penduduk.
Pesantren ini juga akan menjadi pulau dataran tinggi saat musim hujan melanda. Kami yang berada di sini akan sangat kesulitan jika ingin keluar masuk saat sudah seperti itu.
Karena pesantrennya, akan menjadi pulau di tengah sungai. Kami bisa keluar dari pesantren saat membutuhkan atau diperintahkan ke tempat Kiai yang ada di tanah sebrang, dengan menggunakan perahu atau sampan.
Di sini juga ada santri yang menimbah ilmu dengan cara pulang pergi. Karena, memang rumah mereka yang tidak jauh dari pesantren.
Mereka akan jalan kaki menyebrangi bilah-bilah bambu sebagai jembatan atau bahkan menggunakan perahu saat musim hujan datang.
Saat musim hujan datang, bilah-bilah bambu yang dibuat para santri dan penduduk akan tenggelam, karam karena air.
***
"Assalamu'alaikum Ustadzah," ucap kami bersamaan saat telah sampai di salah satu rumah anak Kiai."Wa'alaikumussalam, ada apa?" ustadzah bertanya saat melihat kami datang bersamaan, "silahkan masuk!" perintahnya.
Kami masuk dan menghampiri ustadzah, yang tengah duduk di dalam sembari membaca kitab.
"Kami ingin meminta izin untuk pulang ustadzah, karena kami sudah kehabisan bahan makanan dan uang," ucap Mila yang berdiri tepat dihadapan meja kerjanya, menjawab pertanyaan ustadzah.
Disini makan dan minum tidak di tanggung oleh pihak pesantren, kami benar-benar diajarkan cara hidup sederhana dan mandiri.
Memasak, mencuci baju dan yang bersifat pribadi lainnya kami lakukan sendiri. Karena pihak pesantren hanya memungut biaya asrama, listrik dan iuran perbulan.
'Kenapa biaya listrik harus bayar?' mungkin itu ada di benak sebagian orang yang belum tahu. Pesantren ini menggunakan genset, sebagai alat bantu untuk penerangan.
Listrik pemerintah belum masuk ke pesantren ini, jika pihak pesantren ingin menggunakan listrik seperti itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
'Kenapa tidak memakai panel Surya?' pesantren ini sudah memakainya. Namun, saat musim hujan datang daya yang terkumpul di baterai tidak akan cukup untuk menerangi sepanjang malam.
"Baiklah, kalian saya izinkan pulang. Namun, hanya dua hari, setelah itu kalian harus segera kembali ke pesantren," kata Ustadzah mengizinkan tetapi, tetap ada syarat yang harus kami patuhi. Jika tidak hukuman siap menanti.
Tanpa sadar senyum bahagia terbit di wajah kami berdua. Rangkaian keinginan tersusun rapi dalam benak, berharap hari esok manjadi pengobat penahan rindu.
Kami melangkah keluar dari rumah minimalis berwarna pink itu, rumah sederhana namun, menyejukkan. Di rumah ini juga terkadang, menjadi tempat kami berteduh dari gundah hati dikala sedih melanda.
Ustadzah akan menghibur bahkan merangkul kami seperti keluarga sendiri. Rasa yang tak pernah kualami selama ini namun, kudapatkan dari perjalanan hidup di sini.
Dulu, saat SD lebih tepatnya, aku berpendapat bahwa semua guru itu sama, yang membuatku tak ingin melanjutkan belajar formal di sekolah.
Namun, seiring berjalannya waktu aku sadar, bahwa setiap guru itu berbeda. Sama halnya, mereka adalah manusia biasa yang tak mampu sempurna dibalik kekurangannya.
Berkat mereka aku belajar, bahwa hidup tak selalu terjal, pandanganku juga tidak tertuju di satu titik buram lagi.
Sekarang aku bisa melihat dengan jelas bahwa sebuah pengalaman juga termasuk guru yang baik, yang terbentuk dari suka dukanya hidup.
***
**Awali dengan basmalah dan akhiri dengan hamdalah.**
Aku kembali ke asrama, berhubung waktu sudah melangkah ke pukul lima sore. Tanpa aku sadari, rasa penasaran pada pemberian Erik mulai mengusikku.Perlahan tapi pasti, aku mendudukkan diri di lantai dan bersandar di lemari kayu milikku. Aku mulai membuka lembaran surat yang terselip, di atas kado yang ku terima.Bait demi bait ku baca, ada rasa takut akan hal ini. Namun, tak' memungkiri ada rasa senang juga. "Ternyata ada juga laki-laki yang menyukaiku, rasa yang tak' seharusnya kau tunjukan Erik," aku bergumam di dalam hati, sembari membaca surat darinya."Maaf, sepertinya aku gak bisa balas perasaan mu ini Erik. Aku tak' pernah berharap, seseorang mulai mengagumi ku," Aku berfikir, sambil mendongakkan ke atas. Setelah selesai membaca surat dari Erik.Aku hanya tersenyum penuh arti, tak' berniat menerima keingi
Jam istirahat telah tiba, kami langsung menuju mushola karena telah menunjukan waktu ashar. Selesai shalat kami kembali ke kelas, saat aku ingin menghampiri Mila.Tiba-tiba, Erik muncul dihadapan ku, entah dari mana tuh anak. Tahu-tahu sudah muncul, seperti hantu. Iya, seperti hantu. Suka muncul seenak hati dan menghilang tanpa bekas.Berkata seperti itu, seolah-olah aku pernah menjadi korban ghosting. Erik yang muncul secara tiba-tiba membuat ku sedikit terperanjat, betapa tidak. Dia muncul bagai malaikat pencabut nyawa.*Tadi hantu sekarang malaikat, authornya gabut nih. hehehehe.*Membuat jantung ku menjadi tidak normal, jantung ku berdetak lebih cepat. Desiran darah seakan memompa lebih dari biasanya. Namun, ini bukan perasaan jatuh cinta seperti di novel-novel roman.Melainkan perasaan takut. Takut akan ketahuan para staf pesantren dan aku bisa mendapatkan hukuman. Kalau sam
Jam sekolah umum sudah hampir dimulai, waktu yang ku nanti sekaligus tak' ku harapkan.Menanti untuk belajar dan tak' berharap bertemu Erik. Lelaki yang selalu ada seperti parasit, akhir-akhir ini.Aku bukan membencinya tetapi, aku hanya risih atas kelakuan yang diperbuatnya. Kalau sekarang masih aman. Namun, tidak tau apa yang akan dilakukan dia selanjutnya.Sebenarnya Erik termasuk laki-laki yang baik, di tambah lagi dengan keahlian yang dimilikinya. Namun, entah mengapa aku tidak ingin mendekat, seperti ada sekat di antara kami.Di tengah perjalanan, aku berhenti di bawah pohon rindang, aku mendongak ke atas dan berfikir. Bisakah aku seperti pohon ini? Selalu meneduhi saat panas menerpa tanpa meminta balasan, atas apa yang dilakukannya.Tetap kokoh saat angin berhembus dan memberi udara sejuk di sekitarn
Aku menunduk memperhatikan telunjuknya, dan aku tersenyum saat mengangkat wajahku. Memperhatikan pahatan yang elok di depan mataku, wajahnya yang ayu rupawan, meneduhkan siapa pun yang memandang. Aku tersentak, dikala ingat sesuatu yang sempat aku lupakan .... "Astaghfirullah —!" "Ada apa?" "Aku lupa, ada janji sama Juju." "Janji—, janji yang kemaren?" "Iya, aku lupa." "Ya udah, nanti aja. Mending sekarang kita mondok dulu, kalo telat bisa kena marah loh!" "Iya deh, nanti siang aja." "Iya lah, kan kita ketemu di kelas mata pelajaran umum nanti siang." jawab Vivi sambil tersenyum menenangkan ku. Aku hanya tersenyum menanggapi ucapan Vivi, kami keluar dari asrama menuju kelas. Saat pagi seperti ini kami akan belajar ilmu tasawuf dan kitab kuning lainnya.
Hutan yang mereka lalui sedikit lagi berlalu dan berganti padang rumput hijau nan indah. Karena kurang berhati-hati saat berjalan Lia hampir saja tergelincir, dengan sigap Erik menarik tangan Lia. Namun hal tak terduga terjadi.....Lia hampir terduduk di tanah. Jika saja Erik tidak sigap, semua teman-teman di belakang mereka tiba-tiba berhenti saat melihat kejadian itu."Ka — kamu, gak apa-apa kan?" tanya Erik sedikit tergagap."Gak apa kok tapi, apa kamu bisa melepaskan tanganmu dari lenganku?" jawab Lia sambil menunduk, karena rasa malu. Bagai awan hitam yang seakan menumpahkan hujan."Oh — maafkan aku, aku cuma berniat menolong," jawab Erik sembari melepas genggaman tangannya di lengan Lia."Iya— gak apa
Persahabatan yang tulus tak pernah menuntut atau 'pun meminta hal 'tak mungkin.Persahabatan saling mengerti, menerima, dan melengkapi.Mengingatkan di kala salah,Merangkul di kala bersedih. Itulah arti dari persahabatan, persahabatan tanpa syarat.***Saat tengah sibuk dengan perdebatan kecil mereka, tiba-tiba Ibu memanggil mereka."Ayo ..., ibu manggil tuh!" ajak Mila sambil mengarahkan pandangannya ke pondok."Bentar, aku mau bawa ini dulu. 'Kan sayang pepayanya," jawab Lia menahan langkah kaki Mila yang hampir melangkah jauh.