Seandainya tes dan interview semudah menghabiskan secangkir moccachino yang hangat dan manis, pasti aku sudah lulus dan siap bekerja. Sayangnya, itu tidaklah semudah anganku.
Well, aku sudah mencoba mengirimkan beberapa lamaran disertai daftar riwayat hidup yang mengesankan.
Beberapa perusahaan memanggilku. Beberapa sekolah dan kampus juga memanggilku. Namun, aku selalu saja gagal di sesi wawancara.
“Kenapa Anda berhenti dan keluar dari pekerjaan lama?”
“Karena passion saya rasanya bukan di bidang penyiaran.”
“Kenapa tertarik di bidang edukasi?”
“Saya suka mengajar, melihat anak-anak begitu menggemaskan, bukan?”
“Anda suka anak kecil?”
“Ah, gimana ya. Rasanya repot ya kalau ada anak kecil, ingus dan pipisnya berceceran di mana-mana.” Lalu aku tertawa garing.
Salah ya ngomong begitu?
Hasil: zonk.
“Menurut Anda bagaimana dengan berita di televisi dan perkembangan dunia digital sekarang?”“Dua-duanya penting dan bisa saling bersinergi. Masyarakat membutuhkan berita yang kredibel walau banyak situs berita tak resmi.”
“Anda percaya hoax?”
“Ah, hoax itu kan bikinan pihak yang tak mau menerima kebenaran. Mereka biasanya langsung saja bilang hoax.”
Dia mengamatiku.
“Biasanya sih penguasa yang bilang ini hoax, itu hoax, yang tidak hoax ya versi mereka saja.”
Hasil akhir: zero.“Sepertinya sepuluh tahun menjadi penyiar membuat Anda betah di radio, kenapa sekarang tertarik dengan televisi?”“Karena saya dipecat.”
“Kenapa dipecat?”
“Bos perempuan saya berselingkuh dengan suami—maksud saya mantan suami, lalu saya dipecat karena memergoki mereka sedang having se**x di rumah.”
“Hem.”
"Saat itu saya baru pulang kerja."
"Begitu."
“Ya, itu nasib saya.”
“Oke, Anda diterima. Silakan masuk saja mulai Senin depan.”
“Hah? Serius?”
“Tentu, di sini tidak akan ada pemecatan hanya gara-gara aktivitas di ranjang.”
“Oh, suwun Cak—eh maksudnya terima kasih, Pak.”
Yeay! Akhirnya aku bisa bekerja juga. Walaupun, wawancara terakhir terkesan absurd dan aneh.
Tapi, HRD yang diwakili oleh lelaki dengan rambut setipis tissue tampaknya akan sedikit mengubah nasibku yang sama sekali tidak ada miripnya dengan keberuntungan Cinderella.
OOO
Namun, apa yang kurasakan sekarang malah melebihi kegelisahan Cinderella saat diberi berkah dengan gaun cantik dan kereta kencana dari labu yang menjelma menjadi emas.
Aku tidak menaiki kereta kencana—omong-omong. Melainkan mobil taksi sewaan yang sepertinya, kehabisan bensin dan harus berhenti di sebuah pom. Mana antriannya begitu panjang.
Aku meringis.
Kenapa sih ada tasyakuran pertunangan Winda segala. Mana aku ini baru saja menyandang status janda. Aduh, bagaimana nanti komentar para sepupu, dan saudara-saudara lainnya. Mau ditaruh mana mukaku ini?
Iya, nggak usah ditaruh pun tetap saja wajahku di muka.
Aku merasakan panasnya mobil yang tiba-tiba pendinginnya mati.
“Pak, AC-nya dinyalakan dong!” kataku pada sopir taksi.
“Mbak, saya alergi dingin. Maaf ya. Lagian antriannya masih panjang. Bisa-bisa nanti saya masuk angin dong.”
“Kok bisa antri sih Pak?”
“Ini kan hari libur Mbak, jadi antri banyak orang piknik.”
Betul juga. Apa kabar aku yang selalu libur sampai tak mengerti ini tanggal merah?
Beruntung, mulai Senin depan aku masuk kerja dan bisa membunuh waktu. Setidaknya melupakan masalahku yang buram. Aku juga bisa membuat topik pembicaraan nanti di acara pertunangan WInda kalau aku bukanlah pengangguran lagi.
Setidaknya, nasibku nggak apes-apes amatlah. Sedikit ada kilaunya.
Walau sedikit sih.
Akhirnya, mobil Avanza berwarna marun ini bisa bergerak maju, dan melenggang dari ramai dan riuhnya pom bensin. Tapi, tentu saja. Lihatlah aku dan gaunku ini. Ini bukan gaun mahal, hanya gamis dengan bahan sifon berlapis dan melambai-lambai yang dulu pernah kubeli setahun lalu saat hari raya.
Mengenakan gaun ini membuatku merasa jadi seperti seorang putri—tanpa kerajaan dan pangeran. Itu setidaknya tigapuluh menit lalu, sebelum gaun ini sedikit basah karena keringat dan hawa panas kota metropolis.
Gaun ini dari sifon, jadi tidak menyerap keringat.
Kalau-kalau ada Kanjeng Mami pastinya aku kena marah nanti. Tetapi, aku bersyukur ibu tidak datang ke tempat Winda. Konon, di kampungku ada kegiatan massal dari salah satu kyai terhormat, sebagai anggota jamaah pengajiannya, ibu tidak mungkin tidak hadir.
OOO
Ternyata dugaanku meleset. Betul-betul meleset dan tidak kena sasaran.Aku turun dengan sedikit tergesa dari ‘kereta kencanaku’ lalu membawa begitu banyak barang dan titipan dari Ibu. Biasa, oleh-oleh dan segala tetek bengek printilan orang-orang yang sedang tasyakuran.
Bersama dengan gaunku—eh maksudku gamis sifonku yang melambai-lambai dan sedikit beraroma keringat. Aku masuk dari pintu samping dan bergegas menuju kamar Winda.
Namun, di lorong taman—aku malah disergap oleh sosok Ibu yang sedang berjalan mondar-mandir seperti pengawas ujian.
“Lho Ibu kok ke sini?” kataku panik, mengingat kondisiku yang menyedihkan.
Mata Ibu melotot mengamati dari ujung rambutku hingga ujung kaki. Ingatlah, aku tidak bisa memakai heels apapun itu. Jadi, aku memakai snickers andalan. Itu tentu tidak sesuai dengan rumus anggun dari ibuku.
“Kok nggak ngucapin salam to, Nduk?” ucap Ibu sembari menghampiri dan menjawil pipiku yang mulai tirus.
Iya, itu sedikit efek bagus perceraian dengan tragedy sepertiku. Bobot tubuhku yang begitu montok, berkurang perlahan seiring nasib dan pikiranku yang melayang-layang menangisi takdir dan penderitaan.
Aku sedikit langsing. Sedikit ya, bukan berarti langsing seperti model.
“Assalamualaikum, Bu?”
“Waalaikum salam, begitu dong anak Ibu. Lho mana hak tingginya? Kok pakai sepatu olah raga? Mau lari-lari keliling kompleks?”
“Nggak punya Bu. Ketinggalan di rumah Argo.”
“Aduh, senewen ibumu. Kalau dengar nama itu. Ya sudahlah, masuk. Lewat sini saja. Ke kamar tamu Bulek Sri. Nanti ibu bawain baju, cepetan ganti dan cuci muka. Kayak gorengan Nduk wajahmu. Penuh minyak,” komentar Ibu panjang lebar menatap wajahku dan kembali meneliti sekujur tubuhku dalam balutan kain melambai-lambai.
“Nggih, Bu.”
“Ganti baju. Kayak layangan saja bajumu ini.”
Aku meringis kecil, “Kan dresscode-nya baju warna pastel. Yang nyisa di koper Jani cuma ini, Bu.”
“Jangan bilang kalau baju-bajumu masih banyak di rumah Argo.”
“Memang iya, Bu. Masih bertumpuk, belum kuambil. Argo juga bilang nggak mau nganterin, minta Jani ke sana buat ambil.”
“Aduh, begini repotnya kalau kamu sendirian di kota seperti ini.”
“Ya, gimana Bu. Katanya harus move on?”
“Sudah deh. Sana ganti baju. Nanti kamu Ibu kenalin sama anak temen Ibu ya. Anaknya ganteng, kaya, dan single. Mau nggak?”
Ya, ampun jadi itu maksud Ibu menyeretku ke sini?
Mau dijodoh-jodohin begitu?
Duh, aku jadi bingung mau ngapain. []
Bersambung
Ketemu lagi dong dengan Anjani yg lucu dan nggemesin karena ceroboh minta ampun, mana nih komentar dan votenya? 😂💗
Sesuatu mengenai kepalaku, aku meringis sakit. Rasa-rasanya tadi aku cukup berhati-hati melangkah di rumah besar yang penuh sesak dengan tamu dan keluarga ini. Aku memutar pandangan, menoleh dan kulihat seseorang melewatiku tanpa menoleh sedetik pun. Mungkin dikiranya aku boneka beruang. Sesuatu itu ternyata cukup besar dan membuat kepalaku berdenging pusing. Memangnya tadi apa sih? Aku mengerang lirih. Merasakan ubun-ubunku terasa begitu nyeri dan berat. Gawat, jangan sampai aku tumbang di dalam keriuhan acara. Nanti dikira cari perhatian begitu. Ibu sudah bersama Bulik Sri tampak begitu sibuk di belakang dan di kamar Winda. Aku mengusap kepalaku yang terasa berkedut. Sedikit ada benjolan kecil. Aih, belum-belum sudah benjol saja Jani! Ketika aku menoleh, samar-samar kulihat seorang lelaki tergopoh dan merunduk sembari mencangklong tas besar. Siapa itu? Sales kosmetik? Umpatku kesal. Tentu saja masih dalam hati. Lelaki itu merunduk dan bersikap begitu sopan bergerak menjauh ke
"Kamu kenapa Jani, kok pucat begitu?" komentar Paklik Broto dengan mata menyelidik penuh rasa ingin tahu.Mungkin sekarang, wajahku pucat seperti mayat. Duh, kok serem sih. Tapi, bisa jadi. Aku sendiri merasa begitu pias mendengar musik favorit Argo mengalun lembut. Apa tidak ada jenis musik lainnya yang lebih ceria?Ini kan acara pertunangan. Memang apa yang salah dengan jazz, Jani?Terlalu classy. Sama sekali tidak membumi. Ibarat berada di sebuah tempat yang salah. Kecamku dalam hati.Inikan masih di Surabaya, bukannya London. Kalau mau nyetel musik, mending gending Jawa kayak Lingsir Wengi begitu. Mengundang para kuntilanak beraksi di sini. Kasihan Winda sih.Kuntilanak secantik Julie Estelle? Mau dong.Hus.Termakan dogma salah kaprah. Lingsir Wengi itu lirik lagu campursari yang dulu pernah ditulis Kanjeng Sunan Kalijaga untuk media dakwah. Pengingat saat salat malam. Jadi, arti lingsir wengi itu menjelang tengah malam. Isi lirik yang asli dari Kanjeng Sunan penuh dengan munajat
“Suka baca puisi?” sahut Biru begitu saja, saat aku mengomentari namanya.Aku tentu menggeleng. Aku suka membaca, tapi bukan tipe melankolis melambai-lambai.“Kok tahu kalau ada puisi dengan judul namaku?” tiba-tiba wajah Biru tampak menahan rasa geli, dia melirik penuh arti Ibu yang sedari tadi mengawasi kami.“Aku pernah bikin puisi saat SD dulu, judulnya Langit Biru,” jawabku begitu saja. Tak begitu menghiraukan bagaimana reaksi Biru tadi.“Oh, begitu. Aku jadi tersanjung,” katanya, “berarti namaku menginspirasi.”“Iya, mungkin ya Nak Biru. Biasanya kalau orang nulis itu kan sesuai alam bawah sadar. Seperti Jani ini,” Ibu tiba-tiba mencolek lenganku, tersenyum begitu lebar.Aku meringis. Kenapa? Ada-ada saja sih.Aku menoleh ke arah pintu gerbang di samping taman. Tampak begitu ramai, mungkin ada beberapa rombongan tamu datang. Semakin senja tamu-tamu begitu saja berjubel di halaman dan memenuhi seisi rumah.“Senang bertemu denganmu lagi, Jani.” Katanya lagi.“Terima kasih,” jawabk
Pagi ini aku tersaruk-saruk dari meja kopi setelah menghabiskan sarapan pagiku, sepiring nasi pecel dan kopi. Aku perlu tenaga untuk mengawali hari pertama masuk kerja. Di sebuah studio televisi.Memang sih, nanti pekerjaanku akan membuat aku banyak berada di luar studio karena menurut bos baruku—yang aku lupa namanya, tapi yang kuingat dia memiliki rambut setipis tissue, aku akan bekerja sebagai reporter.Aku mengenakan rok hitam, dan atasan berupa blus kerja abu-abu. Serta hijab bercorak lembut. Penampilanku masih mirip-mirip anak magang ketimbang reporter professional. Yah, tak mengapa kan?Aku mengendarai ojek online agar tak terkena macet, seperti biasanya. Karena jam-jam seperti ini rawan kemacetan. Akhirnya aku tiba di sebuah gedung tinggi bertingkat.Sungguh jauh beda dengan tempat kerjaku dahulu.Aku bertekad, kali ini harus berhasil dan sukses. Atau tidak muluk-muluk sih, aku ingin hari pertama kerja ini aku tak banyak menimbulkan masalah.Biasanya, seorang Anjani terkenal a
Aduh! Tadi kenapa aku harus salto seperti itu sih?Macam film laga saja, ini kan liputan berita olah raga, kalau nggak salah sih. Tapi, kata Martin ini liputan untuk acara live acara Aneh Tapi Langka. Beda bukan ya?Apa Bos Tissue bakal marah nanti?Begitu pikirku setelah Bang Napi memamerkan senyum seribu dollarnya, dan mengajakku untuk mewawancarai beberapa atlit dayung yang sedang berkerumun di sebuah sudut dekat panggung untuk penyematan hadiah.Aku menyeruak di antara kerumunan orang dan tergesa-gesa mencari narasumber untuk diwawancarai. Ini tentu saja memakan banyak waktu. Namun, aku harus tangguh, lagipula Bang Napi ada di sampingku. Jadi, tidak ada yang perlu aku takutkan, bukan?Saat aku selesai mewawancarai salah satu atlit dengan tinggi 180 cm dan begitu besar, sehingga aku sulit untuk menatap wajahnya yang tampak jauh di atasku—pandanganku tiba-tiba berkerlip seperti melihat hantu.Bukan hantu siang bolong, tapi hantu penunggu radio tempat aku bekerja dulu.Hem. Apakah ad
Tring!Jantungku terasa meledak begitu mendengar lift berhenti di lantai ke-30.Ini beneran kan? Bukan adegan di Fifty Shades of Grey?Aku memiringkan kepala, menggetoknya perlahan agar tidak berhalusinasi menjadi Anastasia Steele, yang sedang bersiap bertemu Mr. Grey.Halah.Ini mungkin efek badan yang terlalu lelah dan letih setelah hari yang demikian berat. Punggungku terasa kaku dan pegal, sementara kakiku sakit.Aku sekarang tentu saja tidak sedang memakai sepatu olah ragaku yang penuh dengan lumpur dan pasir. Setelah mengitari kota dan berlarian bersama kru dan Bang Napi berburu berita.Aku berjuang melewati pintu lift, dan segera saja menemukan ruang lobi yang begitu mewah, penuh kaca, berlantai granit, dan terasa begitu bersih. Berbeda sekali dengan ruang-ruang di bawah. Tempat berkumpulnya para kacung korporat sepertiku ini.Aku menahan senyum geli, menyadari bahwa aku sekarang pun ternyata telah menjadi salah satu kacung korporat di media terbesar di Surabaya ini. Aku tak men
Aku perlahan-lahan membuka mataku yang tadi begitu saja kupejamkan begitu erat. Perempuan di depanku tiba-tiba memasang wajah kemayu dan manja, ada apa sih ini? "Oh, enggak. Tadi aku mau ngucapin selamat sama pegawai barumu ini, Honey," katanya dengan suara dibuat-buat. Aku hanya bengong. "Betulkan? Eh ... ehm, Anja—Anjani?" kata perempuan itu dengan wajah seperti ingin ditabok. Aku lalu mengangguk, tak berani mengangkat wajah. Mungkin yang sedang berada di belakangku ini adalah CEO JMTV. Oh, ngerinya! Kenapa aku masuk ke dalam skandal mereka ini sih? "Mbak Anjani, silakan masuk ke dalam ruangan. Bapak sudah menunggu!" sekretaris berbaju licin dan berdandan prima itu tiba-tiba menarikku dan membawaku ke sebuah ruangan. Aku menurut. Aku masih bingung tentu. OOO Tiba-tiba aku merasa menjadi orang paling tolol dan bodoh sedunia. Bagaimana tidak? Tadi itu kenapa sih sebenarnya? Oh, ya Allah. Ya Tuhanku, tolong bisikkan pada CEO JMTV agar tidak memecatku karena mengetahui skanda
Sialan. Sialan besar tentu saja. Aku dan dua kakiku ini seperti terpaku di atas lantai karpet tebal. Ini karpet dari mana? Lebih mirip rumput golf saking tebalnya. Duh, kok kamu mikirin karpet sih Jani! Aku tersedak dengan ludahku sendiri. Menggeleng lemah saat menemukan kondisi kalau aku kembali jatuh. Jahatnya pula, tersandung kakiku sendiri. Kalau sekiranya ada yang menjegal kakiku ini tentu itu lebih heroik, ada tokoh antagonis yang yang mengindimidasiku. Tapi ini tidak. Justru kakiku ini. Kaki kananku yang semampai (maksudnya semeter tak sampai) inilah yang menyebabkan aku jatuh terjerembab, dengan posisi kepala merunduk ke dalam kantor. Aku tentunya sedikit malu dong. Koreksi, malu yang begitu banyak. Karena ini kantor CEO JMTV yang mulia, agung, dan mewah! Norak banget sih aku ini? Ya, Tuhan. Tolong bisikkan kalimat sakti agar Pak CEO tidak menyadari kegugupanku. Atau setidaknya ia tak marah dengan perilaku konyolku ini. Aku mencoba bangkit, merangkak tentunya. Duh, aku