Share

Keping 5

Author: Puspitalagi
last update Huling Na-update: 2022-12-06 12:25:08

Seandainya tes dan interview semudah menghabiskan secangkir moccachino yang hangat dan manis, pasti aku sudah lulus dan siap bekerja. Sayangnya, itu tidaklah semudah anganku.

Well, aku sudah mencoba mengirimkan beberapa lamaran disertai daftar riwayat hidup yang mengesankan. 

Beberapa perusahaan memanggilku. Beberapa sekolah dan kampus juga memanggilku. Namun, aku selalu saja gagal di sesi wawancara.

“Kenapa Anda berhenti dan keluar dari pekerjaan lama?”

“Karena passion saya rasanya bukan di bidang penyiaran.”

“Kenapa tertarik di bidang edukasi?”

“Saya suka mengajar, melihat anak-anak begitu menggemaskan, bukan?”

“Anda suka anak kecil?”

“Ah, gimana ya. Rasanya repot ya kalau ada anak kecil, ingus dan pipisnya berceceran di mana-mana.” Lalu aku tertawa garing.

Salah ya ngomong begitu?

 Hasil: zonk.

 “Menurut Anda bagaimana dengan berita di televisi dan perkembangan dunia digital sekarang?”

“Dua-duanya penting dan bisa saling bersinergi. Masyarakat membutuhkan berita yang kredibel walau banyak situs berita tak resmi.”

“Anda percaya hoax?”

“Ah, hoax itu kan bikinan pihak yang tak mau menerima kebenaran. Mereka biasanya langsung saja bilang hoax.”

Dia mengamatiku.

“Biasanya sih penguasa yang bilang ini hoax, itu hoax, yang tidak hoax ya versi mereka saja.”

 Hasil akhir: zero.

“Sepertinya sepuluh tahun menjadi penyiar membuat Anda betah di radio, kenapa sekarang tertarik dengan televisi?”

“Karena saya dipecat.”

“Kenapa dipecat?”

“Bos perempuan saya berselingkuh dengan suami—maksud saya mantan suami, lalu saya dipecat karena memergoki mereka sedang having se**x di rumah.”

“Hem.”

"Saat itu saya baru pulang kerja."

"Begitu."

“Ya, itu nasib saya.”

“Oke, Anda diterima. Silakan masuk saja mulai Senin depan.”

“Hah? Serius?”

“Tentu, di sini tidak akan ada pemecatan hanya gara-gara aktivitas di ranjang.”

“Oh, suwun Cak—eh maksudnya terima kasih, Pak.”

Yeay! Akhirnya aku bisa bekerja juga. Walaupun, wawancara terakhir terkesan absurd dan aneh. 

Tapi, HRD yang diwakili oleh lelaki dengan rambut setipis tissue tampaknya akan sedikit mengubah nasibku yang sama sekali tidak ada miripnya dengan keberuntungan Cinderella.

OOO

Namun, apa yang kurasakan sekarang malah melebihi kegelisahan Cinderella saat diberi berkah dengan gaun cantik dan kereta kencana dari labu yang menjelma menjadi emas.

Aku tidak menaiki kereta kencana—omong-omong. Melainkan mobil taksi sewaan yang sepertinya, kehabisan bensin dan harus berhenti di sebuah pom. Mana antriannya begitu panjang.

Aku meringis.

Kenapa sih ada tasyakuran pertunangan Winda segala. Mana aku ini baru saja menyandang status janda. Aduh, bagaimana nanti komentar para sepupu, dan saudara-saudara lainnya. Mau ditaruh mana mukaku ini?

Iya, nggak usah ditaruh pun tetap saja wajahku di muka.

Aku merasakan panasnya mobil yang tiba-tiba pendinginnya mati.

“Pak, AC-nya dinyalakan dong!” kataku pada sopir taksi.

“Mbak, saya alergi dingin. Maaf ya. Lagian antriannya masih panjang. Bisa-bisa nanti saya masuk angin dong.”

“Kok bisa antri sih Pak?”

“Ini kan hari libur Mbak, jadi antri banyak orang piknik.”

Betul juga. Apa kabar aku yang selalu libur sampai tak mengerti ini tanggal merah?

Beruntung, mulai Senin depan aku masuk kerja dan bisa membunuh waktu. Setidaknya melupakan masalahku yang buram. Aku juga bisa membuat topik pembicaraan nanti di acara pertunangan WInda kalau aku bukanlah pengangguran lagi.

Setidaknya, nasibku nggak apes-apes amatlah. Sedikit ada kilaunya.

Walau sedikit sih.

Akhirnya, mobil Avanza berwarna marun ini bisa bergerak maju, dan melenggang dari ramai dan riuhnya pom bensin. Tapi, tentu saja. Lihatlah aku dan gaunku ini. Ini bukan gaun mahal, hanya gamis dengan bahan sifon berlapis dan melambai-lambai yang dulu pernah kubeli setahun lalu saat hari raya.

Mengenakan gaun ini membuatku merasa jadi seperti seorang putri—tanpa kerajaan dan pangeran. Itu setidaknya tigapuluh menit lalu, sebelum gaun ini sedikit basah karena keringat dan hawa panas kota metropolis.

Gaun ini dari sifon, jadi tidak menyerap keringat.

Kalau-kalau ada Kanjeng Mami pastinya aku kena marah nanti. Tetapi, aku bersyukur ibu tidak datang ke tempat Winda. Konon, di kampungku ada kegiatan massal dari salah satu kyai terhormat, sebagai anggota jamaah pengajiannya, ibu tidak mungkin tidak hadir.

OOO

Ternyata dugaanku meleset. Betul-betul meleset dan tidak kena sasaran.

Aku turun dengan sedikit tergesa dari ‘kereta kencanaku’ lalu membawa begitu banyak barang dan titipan dari Ibu. Biasa, oleh-oleh dan segala tetek bengek printilan orang-orang yang sedang tasyakuran.

Bersama dengan gaunku—eh maksudku gamis sifonku yang melambai-lambai dan sedikit beraroma keringat. Aku masuk dari pintu samping dan bergegas menuju kamar Winda.

Namun, di lorong taman—aku malah disergap oleh sosok Ibu yang sedang berjalan mondar-mandir seperti pengawas ujian.

“Lho Ibu kok ke sini?” kataku panik, mengingat kondisiku yang menyedihkan.

Mata Ibu melotot mengamati dari ujung rambutku hingga ujung kaki. Ingatlah, aku tidak bisa memakai heels apapun itu. Jadi, aku memakai snickers andalan. Itu tentu tidak sesuai dengan rumus anggun dari ibuku.

“Kok nggak ngucapin salam to, Nduk?” ucap Ibu sembari menghampiri dan menjawil pipiku yang mulai tirus.

Iya, itu sedikit efek bagus perceraian dengan tragedy sepertiku. Bobot tubuhku yang begitu montok, berkurang perlahan seiring nasib dan pikiranku yang melayang-layang menangisi takdir dan penderitaan.

Aku sedikit langsing. Sedikit ya, bukan berarti langsing seperti model.

“Assalamualaikum, Bu?”

“Waalaikum salam, begitu dong anak Ibu. Lho mana hak tingginya? Kok pakai sepatu olah raga? Mau lari-lari keliling kompleks?”

“Nggak punya Bu. Ketinggalan di rumah Argo.”

“Aduh, senewen ibumu. Kalau dengar nama itu. Ya sudahlah, masuk. Lewat sini saja. Ke kamar tamu Bulek Sri. Nanti ibu bawain baju, cepetan ganti dan cuci muka. Kayak gorengan Nduk wajahmu. Penuh minyak,” komentar Ibu panjang lebar menatap wajahku dan kembali meneliti sekujur tubuhku dalam balutan kain melambai-lambai.

“Nggih, Bu.” 

“Ganti baju. Kayak layangan saja bajumu ini.” 

Aku meringis kecil, “Kan dresscode-nya baju warna pastel. Yang nyisa di koper Jani cuma ini, Bu.” 

“Jangan bilang kalau baju-bajumu masih banyak di rumah Argo.” 

“Memang iya, Bu. Masih bertumpuk, belum kuambil. Argo juga bilang nggak mau nganterin, minta Jani ke sana buat ambil.” 

“Aduh, begini repotnya kalau kamu sendirian di kota seperti ini.” 

“Ya, gimana Bu. Katanya harus move on?” 

“Sudah deh. Sana ganti baju. Nanti kamu Ibu kenalin sama anak temen Ibu ya. Anaknya ganteng, kaya, dan single. Mau nggak?” 

Ya, ampun jadi itu maksud Ibu menyeretku ke sini? 

Mau dijodoh-jodohin begitu? 

Duh, aku jadi bingung mau ngapain. []

Bersambung  

Ketemu lagi dong dengan Anjani yg lucu dan nggemesin karena ceroboh minta ampun, mana nih komentar dan votenya? 😂💗

 

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
g banget deh membaca siluet jani. gemuk,kusam, g terawat dan sembrono.
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Assalamualaikum, Ex-Husband!   Keping 84b

    Anjani RahmaSangat menawan dengan jas putih sempurna. Dengan bunga kecil di saku atas jasnya. Rambutnya tampak berkilau ditimpa sinar lampu, aku mengingat rambut itu. Mirip rambut aktor Jepang. Dulu, saat aku kecil, aku merasa ia penjelmaan tokoh manga.Ketika aku sudah mendekat padanya. Aku mengenali wangi parfum kesukaannya. Ketika pandangan kami bertemu, beberapa detik waktu membeku. Seolah ada yang lepas begitu saja dari dalam diriku. Seperti gumpalan kertas yang menggelinding. Ada kelegaan dan rasa nyaman.Tentu saja, kami akan selalu bersama-sama, iya kan?Kami akan baik-baik saja.Aku tersenyum, ia pun demikian. Lalu, ia membimbingku.Aku menyerahkan buket bungaku pada Lupita. Jemari Biru meremas tanganku lembut. Aku menatapnya, seperti sedang kecanduan sesuatu.Jani, ingat ini di hall masih banyak orang."Mas.""Sst, jangan ngobrol dulu, Jani. Ini masih jalan.""Eh, iya.""Kamu cantik."Aku tersipu-sipu, dan seketika itu semua orang di dalam hall terasa lenyap.Baiklah, aku h

  • Assalamualaikum, Ex-Husband!   Keping 84a

    Anjani RahmaTentu saja aku terperangah. Itu aku. Iya, itu aku.Perempuan dalam balutan kebaya dengan ekor dua meter itu, aku. Nyaris saja aku lupa bagaimana wajahku. Ya, bagaimana sih. Ini seperti tampilan artis begitu. Tampaknya terlalu cantik dan glamour. Namun, begitulah aku sekarang.Sebentar lagi, aku akan turun di hall utama Plaza Athena. Ada ribuan pasang mata yang akan mengamati gerak gerikku. Tentu saja mungkin ada yang penasaran karyawan seperti apa yang bisa memikat bos CEO-nya. Apakah kejadian itu ada di alam nyata, tidak sekadar dalam cerita-cerita fiksi ala platform?Setidaknya, tadi sudah hampir satu jam aku berada di suite mempelai perempuan. Menyiapkan diri untuk tampil sebaik mungkin di malam bersejarah ini.Aku menelan ludah canggung.Rasa-rasanya mustahil rencanaku berhasil, tapi sejauh ini kurasa cukup lancar. Aku masih belum membayangkan bagaimana reaksi Biru, karena kata Ibu tidak boleh bertemu dulu dengan mempelai laki—biar nggak sial. Padahal, kata Ibu juga i

  • Assalamualaikum, Ex-Husband!   Keping 83b

    Anjani Rahma "Sabar, Jani. Nanti giliranmu keluar, kita menunggu aba-aba dari sekretaris EO ya," Ibu seperti mengerti pikiranku.Semua ini terasa begitu glamour, memang ini bukan gayaku. Namun, ini adalah lifestyle relasi Biru dan budaya di kalangan mereka. Jadi, menurutku tidak mengapa. Hal yang masih kupikirkan adalah adanya pesan dari Mbak Wati, yang sedang menunggu Pak Menkes di halaman kantor Gubernur.Well, iya. Aku masih minta bantuan divisi Aneh Tapi Nyata, kan mereka juga sahabat sejati. Ada juga tim dari acara Talk Show Kesehatan yang sudah bersiap di rooftop yang disulap seperti studio tertutup yang sangat lux, agar kalau Pak Menkes datang. Saat acara berlangsung angin besar tidak mengganggu."Keluarga Biru sudah datang, Nduk," Ibu tersenyum begitu manis.Aku merasa kaget, "Siapa saja Bu?""Lho ya keluarga Biru, semua anggota keluarganya.""Papa juga?""Ya harus to. Kan ini putra kesayangan Dokter Mada."Kesayangan. Ya, semoga saja deh Bu. Aku sedikit nyengir, namun hatiku

  • Assalamualaikum, Ex-Husband!   Keping 83a

    Anjani RahmaBaik. Baiklah. Aku tidak boleh panik.Rencana ini akan berhasil, namun sebenarnya aku cemas juga."Jani, aku rasa rencana itu terlalu berani," bisik Lupita di telingaku.Aku sedang menggenggam gawai, dan jemariku berkeringat karena udara dingin dalam ruangan di tepi langit ini. Bukan, ini bukan apartemen atap langit. Melainkan, Plaza Athena, tempat resepsi pernikahan kami berlangsung malam ini.Beberapa hari kemarin, semua sudah dirancang dengan baik oleh EO dan juga beberapa kerabat yang datang dari seluruh nusantara. Tentu saja, Ibu dan Bapak, serta Mas Seno ikut membantu. Karena, Biru seorang diri di sini. Maksudku, kerabatnya sudah diundang, hanya saja sepertinya tidak ada budaya rewang ya. Sebab itu, Biru sangat mengandalkan EO. Tapi, kan selalu ada yang harus dibenahi ini dan itu."Jangan pesimis begitu dong, Pit." Kataku sedikit kesal, kalau aku sedang dirias mungkin MUA, mungkin dia akan terbelalak melihat ekspresiku ini. Karena bisa-bisa merusak riasan.Oh iya,

  • Assalamualaikum, Ex-Husband!   Keping 82b

    Anjani Rahma Maka, karena aku tidak punya siapa-siapa yang bisa diganggu di jam begini. Aku menelpon Lupita."Jani, ampun dah, jam berapa ini?" katanya serak sembari menguap di telepon yang kugenggam."Dah, ah. Kamu kan masih jones, jadi sesekali bantu aku kan nggak apa-apa, Pit.""Jones sih jones, Jani. Tapi besok aku kerja. Belum ada yang ngasih aku nafkah kayak kamu begitu. Aku masih berbentuk dendeng yang harus terus berimprovisasi agar survive di sini," keluhnya."Lha sekarang, kok malah kamu yang curhat sih, Pit?"Dia terdiam, "Eh, iya juga sih ya." Lalu ia tertawa terbahak-bahak sampai telingaku sakit."Jangan ngikik kayak kuntilanak begitu dong, Pit. Bayiku nanti nggak bisa tidur.""Heleh, bayimu masih di perut."Aku bersimpuh di karpet tebal yang terletak di ruang tengah. "Gini, Pit. Sepertinya Papa Biru itu nggak bisa datang. Padahal, kan Biru ngarepin banget ortunya datang semua.""Oh, kok begitu sih?""Ya, kan aku pernah cerita.""Sekilas.""Iya, memang. Sekilas saja sih.

  • Assalamualaikum, Ex-Husband!   Keping 82a

    Anjani RahmaAku terpaku menatap Biru yang terlelap di sampingku. Ini sudah agak larut sebenarnya, tadi pukul sembilan, Biru baru pulang. Sedikit terlambat tidak seperti hari biasanya memang. Konon, proyek pembukaan cabang baru JMTV begitu menyita perhatiannya. Ia tampak lelah. Tidak mudah untuk membuka dua cabang sekaligus, di Batam dan Jakarta.Ia pulang dengan wajah kusut, lalu begitu saja ia berbicara perlahan, "Jani, kalau nanti orang tuaku tidak bisa datang. Tidak apa-apa ya. Kan kemarin kita juga sudah bertemu mereka di pernikahan Samu."Lalu Biru meneguk segelas air di meja makannya. Aku hanya terdiam lama mendengarkan hal tersebut, bagaimana ya. Aku sebenarnya tidak kaget, tapi kalau mertuaku turut hadir rasa-rasanya akan istimewa. Bukankah dulu, di Kanigoro orang tua Biru juga tidak menampakkan diri?"Mas, apa Papa dan Mama tahu kalau aku juga sedang hamil?""Iya.""Mereka senang tidak sih mau punya cucu?""Mama sangat bahagia, tapi Mama tidak bisa ke sini.""Papa kenapa?""

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status