Share

Keping 5

Seandainya tes dan interview semudah menghabiskan secangkir moccachino yang hangat dan manis, pasti aku sudah lulus dan siap bekerja. Sayangnya, itu tidaklah semudah anganku.

Well, aku sudah mencoba mengirimkan beberapa lamaran disertai daftar riwayat hidup yang mengesankan. 

Beberapa perusahaan memanggilku. Beberapa sekolah dan kampus juga memanggilku. Namun, aku selalu saja gagal di sesi wawancara.

“Kenapa Anda berhenti dan keluar dari pekerjaan lama?”

“Karena passion saya rasanya bukan di bidang penyiaran.”

“Kenapa tertarik di bidang edukasi?”

“Saya suka mengajar, melihat anak-anak begitu menggemaskan, bukan?”

“Anda suka anak kecil?”

“Ah, gimana ya. Rasanya repot ya kalau ada anak kecil, ingus dan pipisnya berceceran di mana-mana.” Lalu aku tertawa garing.

Salah ya ngomong begitu?

 Hasil: zonk.

 “Menurut Anda bagaimana dengan berita di televisi dan perkembangan dunia digital sekarang?”

“Dua-duanya penting dan bisa saling bersinergi. Masyarakat membutuhkan berita yang kredibel walau banyak situs berita tak resmi.”

“Anda percaya hoax?”

“Ah, hoax itu kan bikinan pihak yang tak mau menerima kebenaran. Mereka biasanya langsung saja bilang hoax.”

Dia mengamatiku.

“Biasanya sih penguasa yang bilang ini hoax, itu hoax, yang tidak hoax ya versi mereka saja.”

 Hasil akhir: zero.

“Sepertinya sepuluh tahun menjadi penyiar membuat Anda betah di radio, kenapa sekarang tertarik dengan televisi?”

“Karena saya dipecat.”

“Kenapa dipecat?”

“Bos perempuan saya berselingkuh dengan suami—maksud saya mantan suami, lalu saya dipecat karena memergoki mereka sedang having se**x di rumah.”

“Hem.”

"Saat itu saya baru pulang kerja."

"Begitu."

“Ya, itu nasib saya.”

“Oke, Anda diterima. Silakan masuk saja mulai Senin depan.”

“Hah? Serius?”

“Tentu, di sini tidak akan ada pemecatan hanya gara-gara aktivitas di ranjang.”

“Oh, suwun Cak—eh maksudnya terima kasih, Pak.”

Yeay! Akhirnya aku bisa bekerja juga. Walaupun, wawancara terakhir terkesan absurd dan aneh. 

Tapi, HRD yang diwakili oleh lelaki dengan rambut setipis tissue tampaknya akan sedikit mengubah nasibku yang sama sekali tidak ada miripnya dengan keberuntungan Cinderella.

OOO

Namun, apa yang kurasakan sekarang malah melebihi kegelisahan Cinderella saat diberi berkah dengan gaun cantik dan kereta kencana dari labu yang menjelma menjadi emas.

Aku tidak menaiki kereta kencana—omong-omong. Melainkan mobil taksi sewaan yang sepertinya, kehabisan bensin dan harus berhenti di sebuah pom. Mana antriannya begitu panjang.

Aku meringis.

Kenapa sih ada tasyakuran pertunangan Winda segala. Mana aku ini baru saja menyandang status janda. Aduh, bagaimana nanti komentar para sepupu, dan saudara-saudara lainnya. Mau ditaruh mana mukaku ini?

Iya, nggak usah ditaruh pun tetap saja wajahku di muka.

Aku merasakan panasnya mobil yang tiba-tiba pendinginnya mati.

“Pak, AC-nya dinyalakan dong!” kataku pada sopir taksi.

“Mbak, saya alergi dingin. Maaf ya. Lagian antriannya masih panjang. Bisa-bisa nanti saya masuk angin dong.”

“Kok bisa antri sih Pak?”

“Ini kan hari libur Mbak, jadi antri banyak orang piknik.”

Betul juga. Apa kabar aku yang selalu libur sampai tak mengerti ini tanggal merah?

Beruntung, mulai Senin depan aku masuk kerja dan bisa membunuh waktu. Setidaknya melupakan masalahku yang buram. Aku juga bisa membuat topik pembicaraan nanti di acara pertunangan WInda kalau aku bukanlah pengangguran lagi.

Setidaknya, nasibku nggak apes-apes amatlah. Sedikit ada kilaunya.

Walau sedikit sih.

Akhirnya, mobil Avanza berwarna marun ini bisa bergerak maju, dan melenggang dari ramai dan riuhnya pom bensin. Tapi, tentu saja. Lihatlah aku dan gaunku ini. Ini bukan gaun mahal, hanya gamis dengan bahan sifon berlapis dan melambai-lambai yang dulu pernah kubeli setahun lalu saat hari raya.

Mengenakan gaun ini membuatku merasa jadi seperti seorang putri—tanpa kerajaan dan pangeran. Itu setidaknya tigapuluh menit lalu, sebelum gaun ini sedikit basah karena keringat dan hawa panas kota metropolis.

Gaun ini dari sifon, jadi tidak menyerap keringat.

Kalau-kalau ada Kanjeng Mami pastinya aku kena marah nanti. Tetapi, aku bersyukur ibu tidak datang ke tempat Winda. Konon, di kampungku ada kegiatan massal dari salah satu kyai terhormat, sebagai anggota jamaah pengajiannya, ibu tidak mungkin tidak hadir.

OOO

Ternyata dugaanku meleset. Betul-betul meleset dan tidak kena sasaran.

Aku turun dengan sedikit tergesa dari ‘kereta kencanaku’ lalu membawa begitu banyak barang dan titipan dari Ibu. Biasa, oleh-oleh dan segala tetek bengek printilan orang-orang yang sedang tasyakuran.

Bersama dengan gaunku—eh maksudku gamis sifonku yang melambai-lambai dan sedikit beraroma keringat. Aku masuk dari pintu samping dan bergegas menuju kamar Winda.

Namun, di lorong taman—aku malah disergap oleh sosok Ibu yang sedang berjalan mondar-mandir seperti pengawas ujian.

“Lho Ibu kok ke sini?” kataku panik, mengingat kondisiku yang menyedihkan.

Mata Ibu melotot mengamati dari ujung rambutku hingga ujung kaki. Ingatlah, aku tidak bisa memakai heels apapun itu. Jadi, aku memakai snickers andalan. Itu tentu tidak sesuai dengan rumus anggun dari ibuku.

“Kok nggak ngucapin salam to, Nduk?” ucap Ibu sembari menghampiri dan menjawil pipiku yang mulai tirus.

Iya, itu sedikit efek bagus perceraian dengan tragedy sepertiku. Bobot tubuhku yang begitu montok, berkurang perlahan seiring nasib dan pikiranku yang melayang-layang menangisi takdir dan penderitaan.

Aku sedikit langsing. Sedikit ya, bukan berarti langsing seperti model.

“Assalamualaikum, Bu?”

“Waalaikum salam, begitu dong anak Ibu. Lho mana hak tingginya? Kok pakai sepatu olah raga? Mau lari-lari keliling kompleks?”

“Nggak punya Bu. Ketinggalan di rumah Argo.”

“Aduh, senewen ibumu. Kalau dengar nama itu. Ya sudahlah, masuk. Lewat sini saja. Ke kamar tamu Bulek Sri. Nanti ibu bawain baju, cepetan ganti dan cuci muka. Kayak gorengan Nduk wajahmu. Penuh minyak,” komentar Ibu panjang lebar menatap wajahku dan kembali meneliti sekujur tubuhku dalam balutan kain melambai-lambai.

“Nggih, Bu.” 

“Ganti baju. Kayak layangan saja bajumu ini.” 

Aku meringis kecil, “Kan dresscode-nya baju warna pastel. Yang nyisa di koper Jani cuma ini, Bu.” 

“Jangan bilang kalau baju-bajumu masih banyak di rumah Argo.” 

“Memang iya, Bu. Masih bertumpuk, belum kuambil. Argo juga bilang nggak mau nganterin, minta Jani ke sana buat ambil.” 

“Aduh, begini repotnya kalau kamu sendirian di kota seperti ini.” 

“Ya, gimana Bu. Katanya harus move on?” 

“Sudah deh. Sana ganti baju. Nanti kamu Ibu kenalin sama anak temen Ibu ya. Anaknya ganteng, kaya, dan single. Mau nggak?” 

Ya, ampun jadi itu maksud Ibu menyeretku ke sini? 

Mau dijodoh-jodohin begitu? 

Duh, aku jadi bingung mau ngapain. []

Bersambung  

Ketemu lagi dong dengan Anjani yg lucu dan nggemesin karena ceroboh minta ampun, mana nih komentar dan votenya? 😂💗

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status